(Episode 2)
Septi urung melanjutkan
langkah saat melewati koridor tempat toilet laki-laki berjajar. Di koridor itu
seorang cowok dengan rambut acak-acakan duduk bersandar di dinging toilet. Di
dahinya mengalir darah merah segar yang tampak lengket dan bercampur dengan
keringat. Mata cowok itu terpejam. Ujung bibirnya tertarik ke atas, meringis,
menahan (entahlah) mungkin nyeri di mata kirinya yang lebam atau rusuk yang
kini dipeluknya dengan tangan kanan.
“Sakit?”
Mata cowok beralis
hitam lebat itu tiba-tiba terbuka. Ia sontak menggeser tubuhnya saat mendapati
wajah seorang gadis tepat berada dalam satu garis lurus dengan tatapannya. Ia
mencoba menepis tangan Septi yang mengulurkan selembar wettissue untuk menyeka luka di dahinya. Namun, Septi tak peduli.
“Hm… aku mengenal
begitu banyak dewa perang dalam berbagai mitologi. Kupikir, Aries—Putra
Zeus—memilih menyendiri setelah mengantongi begitu banyak kekalahan dalam
perang yang dipimpinnya. Atau Lucifer memilih untuk bertaubat dari mengobarkan
peperangan agar dapat kembali ke surga—tempat abadi untuknya. Hm… bahkan
setelah diagungkan oleh begitu banyak umat Hindu, Dewa Indra tak bersedia
mengalirkan darah perangnya kepada manusia…”
Luka di dahi cowok
berkulit putih itu terasa perih saat terkena air dari tissue basah yang
digunakan cewek di hadapnnya. Ia bungkam. Meskipun tampak tak peduli, ia
memperhatikan baik-baik celoteh gadis di hadapannya.
“Hm… kupikir aku
salah.” Cewek berambut hitam lebat itu melanjutkan celotehnya. “Sepertinya Zeus
lupa memenjarakan putranya agar tak melarikan diri dan kembali ke bumi. Atau
jangan-jangan… Phopos dan Deimos telah membantunya melarikan diri. Karena ternyata…”
Gadis itu menggantung
kalimatnya. Ia menatap lulus mata cowok yang sejak tadi mengamatinya. Untuk
beberapa saat waktu berhenti berderak. Gravitasi bumi hanya perpusat pada
mereka. Suara siswa dan guru yang sedang belajar di kelas tiba-tiba lenyap.
Semuanya terperangkap dalam sebuah ruang hampa. Mereka hanya mendengar detak
jantung masing-masing.
“Ternyata apa?” suara
cowok itu terdengar berat.
Wajah mereka hanya
terpaut beberapa senti. Septi dapat mendengar dengan jelas deru jantung mereka
berdua.
“Ternyata… Zeus
membiarkan Aries tersesat di sekolah ini.” Bisiknya pelan. Padangan mereka
bertaut tajam. Aries tiba-tiba lupa cara bernafas saat bibir Septi dengan
lembut mengecup bibirnya. Hangat. Saat itu semua nyeri yang dirasanya tiba-tiba
lenyap.
“Ini masih terlalu pagi
untuk berperang, Aries.” Septi mengecup pipi cowok itu perlahan lalu beranjak
dari duduknya.
Aries ingin mengucapkan
terima kasih. Namun, Septi segera berlalu dengan langkah ringan. Ia melangkah
lincah dengan tungkainya yang panjang. Tak peduli pada Aries yang masih terpaku
bersandar di dinding toilet. Nyeri itu kembali menjalar di tubuhnya.
* * * *
“Elo kasih tau siapa
yang ngelakuin ini semua? Kita harus bales, Ries! Pengecut-pengecut itu harus
tau sopan-santun. Mereka nyerang Lo saat nggak ada kita. Pagi-pagi lagi. Kasih
tau kita, Ries. Biar tuh anak kapok! Biar mereka tahu siapa kita dan siapa elo,
Ries.”
Aries menggeleng. “Ini
masih terlalu pagi untuk memulai sebuah peperangan.”
“Maksud lo?”
“Bukan berarti lo milih
diem aja kan?”
Aries menggeleng cepat
mendengar pertanyaan teman-teman gengnya. Ia tidak benar-benar ingin
mengonfirmasi pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi lebih untuk menetralisasi
otaknya yang tiba-tiba memberontak karena mengulang sebuah kalimat dari orang
yang baru pertama di kenalnya.
“Kita bakal bales, tapi
setelah ada waktu yang tepat. Minimal, setelah luka-luka gue sembuh.” Aries
menyeka luka di dahinya. Masih terasa nyeri. Namun, di sana tertinggal jejak
jemari lentik Septi yang menyeka darah dan peluhnya yang asin dan perih.
* * * *
“Berantem lagi?” Papa
memegang dagu Aries dan memutar wajah putra bungsunya itu dengan seenaknya.
Aries menepiskan tangan
papa dengan sebal, “Nggak, Pa! Mereka yang nyerang Aries!!”
“Mereka nyerang kamu
karena kamu yang duluan nyerang mereka. Iya kan?” suara papa meninggi. Memenuhi
semua atmosfer rumah. “Sekolah tu buat belajar, Ries! Bukan berantem! Mau jadi
apa kamu nanti kalau sibuk berantem gini?”
“Papa denger nggak
sih?? Bukan Aries yang mulai!!! Mereka yang nyerang!!” Aries meraung marah.
“Sekolah.. sekolah…sekolah! Aries sudah sekolah, Pa! Hampir dua belas tahun
penuh! Tapi apa yang didapet??? Nggak ada! Cuma predikat bintang kelas tanpa
sinar! Tanpa pilihan!”
“Dan sekali-sekali
surat panggilan dan peringatan!” potong papa.
“Ya! Bener!” Sambut Aries.
“Cuma itu yang bisa sekolah berikan untuk Aries dan papa! Tidak lebih! Papa
sama aja kayak guru-guru di sekolah, cuma bisa berteriak dan marah, tetapi
tuli! Mana pernah mau mendengar!”
“Aries!!” bentak papa.
Aries mengepalkan
tangan. Mengumpulkan amarah dan kesalnya di sana. Sarung tangan perak dengan
ukiran rumit perlahan menutupi jemarinya hingga pergelangan tangan. Dalam waktu
bersamaan, sebuah perisai perak juga melingkari lengannya perlahan. Cahaya
merah berpendar mengelilingi tubuhnya. “Aku, Aries, Pa! Berhentilah
menyudutkanku seperti ini!” desisnya perlahan. Ia benar-benar tak terima
disalahkan untuk sesuatu yang tidak dilakukannya. Jelas-jelas dia dikeroyok,
bukan berkelehi. Namun, tetap saja selalu dia yang disalahkan.
Aries melompati dua
anak tangga terakhir. Ingin segera tiba di kamarnya. Napasnya tersengal karena
kemarahannya. Tiba di kamar ia segera menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur
dan menekan remote control. Sedetik
kemudian Linkin Park langsung menjerit hebat dari CD player pojok kamar. Ia mencoba mengingat-ngingat gadis yang tadi
pagi ditemuinya di toilet. Mencoba mencari sosok gadis itu dalam ingatannya.
Namun, gagal! Ia merasa tak mengenal gadis itu dan tak pernah melihatnya di
sekolah sebelum peristiwa tadi pagi. Atau… ini juga berarti bawa ia mengidap
autisme ringan karena Aries gagal mengenali orang-orang di sekolahnya dengan
baik meskipun waktu yang ia habiskan di sekolah itu hampir tiga tahun penuh.
* * * *
Lebam di mata kiri Aries
hanya menyisakan lingkaran hitam samar. Luka di dahinya hanya membutuhkan
beberapa hari lagi untuk sembuh sempurna. Beberapa siswa yang melintas di
hadapan Aries menyempatkan diri menyapanya atau sekadar tersenyum—mencoba
beramah-tamah. Semua siswa di sekolah tahu tentang reputasi ganda yang
disandang Aries, siswa terbaik sekaligus terburuk. Tiga tahun berturut-turut ia
memegang posisi puncak sebagai juara umum di sekolah. Lalu, dua tahun terakhir
secara sukarela dia menjadi organisator semua peristiwa tawuran yang melibatkan
sekolahnya. Aries yang jarang bicara dan lebih sering bermuka masam itu tak
pernah kehilangan pengikut. Ia dipuja dan dibenci dalam satu waktu bersamaan.
“Tumben duduk manis di
sini? Mau tobat Lo?”
Aries mencoba tersenyum
mendengar pertanyaan Indra yang sudah duduk di sebelahnya. Namun, ia merasa
wajahnya pastilah terlihat begitu aneh dengan senyum itu. Ia tak menjawab pertanyaan itu. Hanya menepuk
ringan pundak Indra—rekan setianya di medan tempur tawuran. Sebenarnya, hari
ini adalah genap satu minggu Ares sengaja duduk manis di kursi panjang di depan
perpustakaan karena ini adalah sudut paling signifikan untuk mengamati seluruh
aktivitas penghuni sekolah. Ia memperhatikan baik-baik siswa yang sedang asyik
bermain basket di lapangan dan beberapa cewek yang duduk bergerombol tebar
pesona di tepi lapangan. Lalu beralih pada cewek-cewek yang lalu-lalang di
koridor sekolah. Namun, tak ada sosok yang dicarinya. Hingga bel masuk meraung
pun, cewek berambut pajang sebahu itu tak tampak di antara ratusan penghuni
sekolah.
“Masuk, Ries.”
“Elo duluan gih, gue
mau telat. Ke toilet dulu aja ah.”
“Kayak cewek, ya, Elo
sekarag. Suka ke toilet!”
Aries tak peduli pada
komentar Indra. Ia melangkah pelan—mengulur-ulur waktu—menuju toilet pria. Mau
tak mau ia membenarkan kata-kata Indra. Entahlah, sebenarnya ia tak benar-benar
membutuhkan toilet itu. Namun, ada jejak yang selalu ingin ia ingat di sana.
Jejak darah di dinding koridor toilet, jejak jemari gadis berambut hitam
berkilau di dahinya, dan… kecupan itu.
Ada kerinduan absurd yang menghentak-hentak di rongga dadanya. Berdiri
di koridor toilet dan menghadirkan lagi peristiwa itu dari ingatannya meskipun
dalam slide hitam putih adalah salah satu cara manis yang dapat dilakukannya
untuk mengingat semuanya.
“Hai! Kau tidak sedang
terluka kan?”
Aries segera berbalik.
Mencari sosok pemilik aksen ceria itu. Septi berdiri di ujung koridor. Aries
mencoba tersenyum meskipun selalu merasa bahwa wajahnya tak pantas memproduksi
sebuah senyuman.
“Kau ke mana saja?” ah… bodoh! Bodoh! Bodoh! Mengapa bertanya
seperti itu! rutuknya dalam hati.
Septi tersenyum. Manis
sekali. Ia berjalan mendekat ke arah Aries. Matanya bergerak jenaka memandang
luka di dahi Aries yang dulu disentuhnya lembut. “Sudah sembuh,” ujarnya
ringan.
Aries mengangguk.
Matanya tak lepas dari menikmati pahatan wajah cewek di hadapannya. Sempurna! Wajah itu tidak berlapis
bedak, tetapi begitu halus bak pualam. Bibirnya tak seperti milik ratusan cewek
di sekolah yang berebut antre jadi anggota cheerleaders
sekolah. Bibir itu tetap terlihat merah segar meskipun tanpa berlapis lipglos yang berkilat dan menggoda.
Septi masih asyik
memeriksa luka di dahi Aries. Entah sadar atau tidak bahwa mata Aries sedang
melumat habis wajah manisnya. “Kamu cantik,” bisik Aries nyaris tak terdengar.
“Kau lebih tampan tanpa
luka ini,” jawabnya tak acuh. “Jangan berperang Aries. Berikan saja pedang Zeus
itu pada Phobos atau Deimos. Biarkan mereka yang menyelesaikan semua
pertarungan.”
Aries tak mengerti
dengan ucapan Septi. Gadis itu sepertinya begitu fasih dengan mitologi Aries
sang dewa perang dari Yunani. Ia bahkan mengenal Phobos dan Deimos dengan
sangat baik sebagai pengawal setia Aries.
“Perang akan
membunuhmu, Aries. Pedang Zeus dan pegasusmu tak banyak membantu untuk
memenangkan perang yang kau ciptakan. Aries, aku benci melihat Lucifer di
wajahmu.”
Aries merasakan tangan
Septi yang dingin menggenggam erat jemarinya. Ia menatap genggaman itu sesaat
lalu kembali menatap cahaya di kedua mata Septi. Wajahnya terlihat pucat. Ada
kesedihan di lorong matanya.
Maaf… Aries ingin mengucapkan kata itu sambil
berlutut. Ia tertunduk merasakan genggaman Septi yang makin erat. Di kepalanya
terbayang wajah-wajah yang akan menunggunya siang ini.
“Anak-anak
sudah tau?”
Indra
mengangguk. “Rendi bahkan sudah membawa gear andalannya. Tajam, terasah, dan
sudah dibiarkan berkarat!”
Aries
mengangguk, “Jangan ada anak kelas satu yang ikut. Gue nggak mau tanggung jawab
dengan orang-orang bego! Nyali mereka nggak pasti!”
“Tenang.
Emang ada orang baru, tapi bukan anak bawang. Dia punya nyali singa lapar.”
Aries
mengangguk. Dipandangnya Indra yang tersenyum penuh kemenangan. Ia memang tidak
pernah salah menilai Indra. Anak seorang perwira polisi itu memiliki insting
kuat untuk menilai anak-anak di sekolah mereka. Sejauh ini, insting cowok
berkulit hitam itu belum pernah salah.
“Aries?”
Aries terkejut
mendengar Septi memanggil namanya. Lamunannya buyar. Ia menghindari tatapan
gadis itu. Tak bersedia membohonginya.
“Aries, Zeus bisa saja
marah dan mengutukmu dengan kematian atas peperangan yang kau ciptakan dan
kerusakan yang kau sisakan. Dapatkah kau menjadi Aries yang tak lagi mengenakan
baju zirahmu? Dapatkah kau tak lagi melangkahkan kaki ke arena perang itu?”
“Aku, Aries. Aries yang
biasa. Bukan dewa perang dalam cerita-cerita tua yang sering elo baca, Sep.
Nggak ada Zeus, nggak ada Pegasus, apalagi baju zirah!” sampai di sini, Aries
seperti menelan sebuah pil pahit sepuluh biji sekaligus. Ia berbohong! Karena
sesungguhnya, ia sering berimajinasi tentang baju zirah yang melingkupi
tubuhnya saat kemarahannya tak terkendali. “Aku juga nggak pernah perang, Sep.”
Septi menggeleng. Ia
memeluk tubuh Aries erat. “Zeus memperlakukanmu terlalu keji. Tega sekali
membiarkan kau tersesat di sini.”
Aries mencoba
melepaskan pelukan Septi yang membuatnya sulit bernapas. Belum lagi kepalanya
yang berputar karena kalimat-kalimat langit yang digunakan Septi. Ditambah
lagi, dari kejauhan tampak Pak Wanto—penjaga sekolah mereka—berjalan mendekat
ke arah mereka. Aries tidak mau dituduh melakukan tindakan amoral di sekolah.
Ia berusaha melepaskan pelukan Septi seiring langkah Pak Wanto yang semakin
dekat. Namun, gagal.
Pak Wanto mengulurkan
tangan untuk membantu Aries melepaskan pelukan Septi yang begitu erat. “Maaf,
Nak.. Maaf..”
“Saya mestinya yang
berterima kasih, Pak,” jawab Aries saat terlepas dari pelukan Septi.
“Ini anak bapak. Tadi
pintu rumah tidak terkunci rapat, jadinya dia masuk ke sekolah. Ingatannya agak
kurang baik, Nak…” Pak Wanto menggandeng tangan Septi dan menyeret gadis itu
pergi.
Kalimat Pak Wanto
menggema jauh di dasar ingatan Aries. Kalimat itu seperti magnet yang menyedot
energi dan euforia yang tadi dimilikinya saat menatap gadis itu. Benarkah? Pertanyaannya turut menggema
di lorong ingatan dan rongga hatinya. Terkurung pengap di sana.
* * * *
Jangan
berperang Aries. Berikan saja pedang Zeus itu pada Phobos atau Deimos. Biarkan
mereka yang menyelesaikan semua pertarungan. Suara Septi
menggema jauh.
“Gue sudah nggak sabar,
Ries. Ini saatnya nunjukin ke mereka bahwa gue bukan pengecut.” Hendro memasang sarung tangan kulit di kedua
tangannya. Selanjutnya ia mengeluarkan tali pinggang berkepala besar dari dalam
tasnya. Untuk pertarungan jarak dekat, satu pukulan gesper itu saja sudah cukup
untuk meretakkan tengkorak kepala musuh.
Aries mengukir senyum.
Wajahnya terlihat bercahaya dengan senyum sinis yang khas. “Jangan ada yang
nyerang sebelum mereka menyerang. Biarkan mereka yang menabuh genderang dan
kita yang akan memenangkan battle kali
ini.”
Aries berjalan di
paling depan. Di tangan kanannya, sebuah batu besar tergenggam erat. Tangan
kirinya memegang stick softball
kualitas terbaik. Cukup untuk meretakkan tulang kering lawannya. Di sampingnya
Indra melangkah dengan tangan kosong, tetapi Aries tahu bahwa cowok satu itu
pastilah menyelipkan sesuatu di pinggangnya atau bahkan ia membawa celurit
berkarat di tas sandangnya. Tak jauh dari mereka, dilihatnya Rendi
memutar-mutar gear besi yang diikatkan di sebuah sabuk bekas. Ia seperti pemain
akrobat yang sedang bermain-main dengan sebuah medali. Kroco-kroco lain sengaja
diminta berjalan dalam jarak yang cukup signifikan untuk mengantisipasi
serangan yang tak diperkirakan.
Ada rasa hangat yang
menjalar perlahan di tubuh Aries. Ia tersenyum lugas. Perisai-perisai perak itu
terbentuk satu persatu seiring langkahnya yang kian dekat berhadapan dengan
musuh bebuyutan mereka dari SMANSA. Perisai itu melingkupi setiap inci
tubuhnya. Yang terakhir dirasakannya adalah sebuah helm yang hanya menyisakan
lubang untuk mata dan hidungnya.
Pedang
Zeus dan Pegasus tak akan mampu membantumu, Aries…
Ah… lagi-lagi suara
Septi menggema di kepalanya. Aries menatap tongkat kayu di tangan kirinya.
Perlahan tongkat itu mengeras dan berubah menjadi pedang baja panjang yang
mengilat dan tajam. Aku punya pedang,
Sep… Aries menatap lurus kelompok massa berseragam abu-abu di depannya.
Para pengendara sepeda motor dan pejalan kaki menyingkir dengan sukarela dari
jalanan. Ibu-ibu menjerit histeris.
“Seraaangg!!!”
Entah komando untuk
siapa. Suara itu menggerakkan dengan massif semua tangan yang menggenggam batu-batu
besar. Dalam hitungan detik, batu beterbangan tak tentu arah. Perhitungan langkah
harus akurat. Semua orang harus berjudi dengan waktu, menentukan kapan harus
menyerang maju memberangus siapa pun tanpa ampun atau mundur agar tak terlepas
dari kelompok. Adrenalin mereka memuncak
puas. Lucifer menjelma dalam semua wajah dan menguasai pikiran mereka.
Aries tertawa terbahak.
Ini adalah dunianya. Ia melihat ketakutan di wajah musuh-musuhnya. Ketakutan
yang menjadi sumber energinya. Ia mengayunkan tongkat pemukulnya pada siapa pun
yang mendekat. Tiga orang jatuh tersungkur saat tongkat softball itu mementung keras kepala mereka. Dari kejauhan
dilihatnya seseorang yang hanya berdiri tegak sambil memutar gear besar yang telah diikat dengan
tali. Itu adalah sosok yang membuat matanya lebam dan rusuknya retak satu
minggu lalu. Sosok itu terlihat hanya menikmati battle yang ia ciptakan ini. Sesekali ia tertawa puas.
Aries tahu siapa yang
harus dihabisinya siang itu. Ia merangsek maju, tak peduli pada Indra yang
memintanya mundur. Ia tahu siapa lawan yang harus dirobohkannya. Kakinya
melangkah tegap. Aku tidak memerlukan
Pegasus, Sep… bisiknya dalam hati. Senyumnya magis.
Kedatangan Aries
disambut tawa penuh ejekan. Aries tak peduli. Ini peperangannya dan ia tidak
ingin kalah. Namun, tanpa disadari, rupanya mereka membawa begitu banyak orang.
Entah memang siswa SMANSA atau sebagiannya orang-orang bayaran. Ada banyak yang melangkah mendekat ke arah Aries.
Indra sendiri tak mematuhi kata-katanya. Ia malah maju untuk memperkecil jarak
dengan Aries. Kayu, tongkat, dan batu beterbangan dan menyerang silih berganti.
Aries mengandalkan instingnya untuk menghindar dari hujan batu yang bisa saja
meretakkan tengkoraknya. Ia mencari Indra, tetapi matanya malah menemukan sosok
berseragam abu-abu berlari ke arahnya. Rambut panjang hitamnya berkibar
dimainkan angin.
“Septi??”
Apa yang dilakukannya
di sini?? Aries tak pernah ingin menjadi pengecut. Namun, kali ini ada yang
mendorongnya begitu kuat untuk meninggalkan Indra dan tempat itu. Ada Septi di
seberang sana yang membutuhkan pertolongannya. Gadis itu tak layak mati konyol
karena cerita klasik yang hidup di kepalanya.
“Ariieeeesss!!!” Septi
melambaikan tangan. Ia terus melangkah memasuki arena tawuran. Orang-orang
berteriak mengingatkannya. Beberapa di antara mereka berusaha meraih tangannya
untuk mencegah gadis itu melangkah. Namun, Septi tak peduli. Entah tidak
menyadari bahwa sedang ada tawuran hebat di depannya atau matanya hanya mampu
melihat Aries.
Aries melangkah
menjauh. Musuhnya tertawa mengejek. Sisa yang lain berusaha mengejarnya. Namun,
Aries tak peduli. Ia bukan ingin melarikan diri, hanya hendak menyingkirkan
Septi.
“Menyingkir dari sini!”
Aries menarik tangan Septi. Tak peduli pada senyum sumringah gadis itu karena
mendapati kedatangannya.
“Aries akan ada perang
yang nanti paling kau benci. Berhentilah Aries, kau tak harus selalu berada di
tengah peperangan. Kau punya pilihan Aries, kau tak harus selalu memicu
kebencian dan amarah. Aries…”
“Ariiieeess!!!” ada
suara lain yang meneriakkan namanya. Aries mengandalkan instingnya langsung
menarik Septi untuk menunduk. Sebuah batu besar mendarat tepat di samping
mereka.
“Ayo! Pergi dari sini!”
Suara sirine mobil
polisi meraung semakin dekat dan jelas. Aries menarik tangan gadis itu. namun,
telinganya dapat menangkap dengan jelas langkah besar penuh amarah di
belakangnya.
“Kau sudah menjadi
pengecut rupanya.”
Darah Aries mendidih
mendengar ejekan itu. Ia berhenti melangkah dan menarik Septi untuk bersembunyi
di balik punggungnya. Lawan di hadapannya menatapnya penuh nafsu sambil
memutar-mutar gear besar di
tangannya. Mereka telah menjadi musuh bebuyutan hampir dua tahun terakhir.
Namun, Aries selalu berhasil melukainya.
“Aku Aries! Tak pernah
membiarkan ketakutan mengendap di kepalaku lebih dari satu detik saja, Roni
Pesek!” Aries merasa menang mengejek lawanannya dengan sebutan memalukan itu.
Septi memeluknya dari
belakang. “Aries, kumohon. Berhentilah untuk kali ini saja,” bisiknya.
Aries berusaha
melepaskan tangan Septi yang melingkar di pinggangnya. Rusuknya masih terasa
nyeri. Roni yang benci dengan julukan itu tak lagi membuang banyak waktu. Ia
melangkah maju sambil memutar-mutar gear karatan
yang siap menghabisi lawannya. Aries berusaha menghindar dan melindungi Septi
yang tak bersedia menjauh. Beberapa kali gear
karatan itu menghantam aspal jalan atau ruang kosong di samping mereka.
Sampai detik ini, Aries bersyukur bahwa Septi masih bisa mengikuti komandonya.
Namun, keberuntungan ini pastilah tidak berlangsung lama. Aries memutuskan
untuk menyeret Septi menjauh dari tempat itu. Ia tak peduli apakah Septi dapat
mengikuti langkahnya atau tidak, yang pasti Aries berlari dalam langkah lebar
dan cepat.
“Inilah perang yang
kumaksudkan Aries. Zeus tak benar-benar menyayangimu dengan membiarkan kau
memakai pedang itu. Kau mencuri pedang itu darinya dan dia ingin kau menerima hukuman dari
pedang yang kau curi itu.”
Septi berceloteh lagi.
Aries tak peduli. Ia tak mengendurkan sedikit pun genggamannya di pergelangan
tangan Septi. Matanya awas terhadap lemparan batu yang mungkin nyasar ke arah
mereka. Telinganya mengawasi langkah Roni yang membuntuti mereka. “Aries!”
Septi berusaha menahan langkah Aries. BRUKK!! Detik berikutnya ia tersungkur.
Kakinya tersandung trotorar yang tadi dilompati Aries. Sepatunya terlepas. Aries
mengumpat dalam hati. Namun, mau tak mau ia menghentikan langkah untuk menolong
gadis bermata zaitun itu berdiri dan membersihkan rok dan kerikil yang melukai
lututnya.
“Kau baik-baik
saja?”
Septi mengangguk. Aries
masih berusaha membersihkan debu yang mengotori rok abu-abu Septi. Ia melihat
Roni yang kian mendekat, tetapi Aries merasa masih memiliki setidaknya satu
menit untuk membangun jarak dengan mahluk satu itu. Aries berusaha meraih
sepatu Septi yang tergeletak tak jauh dari mereka.
“Ariieeeessss!!!” Ini
kali ke sekian Septi meneriakkan namanya. Namun, Aries yang sedang merangkak
untuk meraih sepatunya tak sempat tahu alasan Septi meneriakkan namanya karena
gadis itu langsung menubruk tubuhnya hingga mereka terguling di tanah.
Wajah mereka sedekat
dahulu—saat pertama kali gadis itu muncul. Namun, kali ini Septi terpejam.
Kulitnya lebih pucat daripada terakhir ia menatapnya. Ada butiran peluh bening
berkilau di dahinya. Perlahan kepala gadis itu rebah di dada Aries.
“Sep???” Aries berusaha
mengguncangkan tubuh gadis itu. Ingin bertanya untuk memahami apa yang sedang
dilakukannya. Ia bisa merasakan nafas Septi yang hangat, tetapi berat. Aries mengangkat tangan kirinya yang sejak
tadi melingkari tubuh Septi. Ia ingin berteriak, tetapi pita suaranya menolak
bergetar. Air mata yang dibencinya mengalir perlahan dari sudut matanya saat
menatap tangannya yang basah oleh darah.
“Septi!!! Banguuuuunnnn!!!!” Aries
mengguncangkan tubuh gadis itu sekali lagi. Namun, nihil.
Aries berusaha bangkit,
tetapi pelukannya masih begitu erat. Kemarahannya semakin mendidih saat melihat
gear karatan yang sejak tadi
diproyeksikan Roni untuk menghabisinya kini malah tertancap lurus di punggung Septi.
Hampir sempurna tenggelam di tubuh ringkih gadis itu. Entah kekuatan apa yang
digunakan Roni sehingga dapat melukai Septi begitu dalam. Tidak!!! Luka ini
jauh lebih menyakitkan untuknya. Roni berbalik dan melarikan diri dari hadapan
Ares.
“Bangsaaatttt!!!” Aries
bersuaha bangkit. Ia harus menuntaskan dendam ini. Cengkraman lemah di seragam
putihnya yang telah ternoda merah mengurungkan langkahnya.
“Jangan!” Suara Septi
terdengar lemah. Ia berusaha membuka mata zaitunnya yang cemerlang. Namun, Aries
tak menemukan cahaya di sana. Gadis itu berusaha mengukir sebuah senyuman,
tetapi tak sempurna simetris. “Aries, setelah ini tinggalkan semua peperangan.
Zeus pun merasa terluka dan bersalah atas kematianku. Kau punya pilihan Aries!”
Ah… dalam situasi seperti
ini pun gadis itu masih berceloteh tentang Zeus. Namun, Aries tak dapat
membantah. Sekuat apapun gadis itu berusaha tersenyum dan membuka matanya,
tetapi energinya susut sudah. Tangannya yang mencengkram seragam putih Ares
perlahan jatuh tanpa energi.
Zeus
memperlakukanmu terlalu keji. Tega sekali membiarkan kau tersesat di sini.
* * * *