Rabu, 23 Maret 2011

UNDIAN


“Naik haji sama seperti kematian. Keduanya mutlak kehendak Allah. Sebanyak apa pun harta kita jika Allah tak memanggil kita untuk menginjakkan kaki ke rumah-Nya, tak akan sampai juga langkah kita ke sana. Begitu pula kematian, sekuat apa pun kita menghindarinya jika Allah telah memanggil kita, tak ada satu pun yang dapat menghalangi kepergian kita. Tak ada yang harus disesali, Ilham…”
Kalimat lelaki tujuh puluh tahun yang baru dikenal Ilham satu bulan ini kembali terngiang di telinganya. Tak seperti imajinasi. Suara itu benar-benar nyata. Menggema setiap kali penyesalan yang sama menghantam dadanya.
* * *
Lobi bank syariah itu ramai oleh para nasabah. Tiga baris kursi yang berada di sisi kanan pintu masuk penuh oleh para nasabah yang ingin menyetor atau mengambil uang. Mereka menunggu monitor 21 inchi yang tergantung di atas meja teller memanggil nomor antrean mereka. Beberapa nasabah lainnya duduk di tiga baris kursi di sebelah kiri pintu masuk. Kursi-kursi itu disediakan untuk para nasabah yang ingin berhubungan dengan customer service. Mereka juga menunggu monitor yang terdapat di depan meja customer sevice itu menyebutkan nomor urut antrean mereka.
Setelah memastikan tak ada orang yang berdiri karena tak kebagian kursi, Ilham duduk di kursi pojok di barisan paling belakang. Ia menunggu antrean untuk berurusan dengan customer service. Ia mengeluarkan The Last Emperor dari tasnya. Namun, ia tidak benar-benar menikmati novel itu. Matanya malah sibuk memperhatikan layar televisi yang menampilkan gambar-gambar tanpa suara dari sebuah stasiun berita. Perhatiannya beralih dari layar televise saat seorang satpam melangkah mengiri seorang lelaki tua.
Ilham memperhatikan gerak-gerik satpam bertubuh atletis itu. Dilihatnya satpam bertanya dengan sabar kepada lelaki tua dengan pakaian lusuh di sampingnya. Ilham memperhatikan baik-baik sang pengunjung baru itu. Lelaki itu berjalan tertatih. Tampaknya usia telah merenggut kegagahan dan kelincahan kakinya. Sebuah tas lusuh terselempang di dadanya. Beberapa tambalan dengan jahitan yang tak rapi menghias punggung kemejanya yang telah tipis dan kusam.
Dalam hati, Ilham mulai menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan satpam itu untuk mengusir sang pengemis tua dengan sopan dari bank elite seperti ini. Akan sangat memalukan bila satpam itu gagal mengusir pengemis itu dari gedung yang semua orang di dalamnya berurusan dengan lembaran-lembaran rupiah dan berbagai transaksi yang menyertainya. Mungkin, pengemis itu memiliki rencana lain? Berpura-pura menjadi seorang pengemis lalu mengeluarkan sebuah pistol dari dalam tas lusuhnya itu untuk mendapatkan berbal-bal uang dari brankas di bank ini? Ah… Ilham segera menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran buruknya yang terpengaruh berbagai film produksi Hollywood yang sering ditontonnya.
Setelah beberapa menit berlalu, satpam itu malah membimbing lelaki tua yang berjalan tertatih menuju meja tempat berbagai slip transaksi disusun secara rapi. Ia memberikan selembar kertas berwarna hijau kepada lelaki itu untuk diisi. Pena digenggaman lelaki itu bergetar. Ia mengerahkan seluruh energinya untuk mengisi kolom-kolom dalam slip hijau itu.
“Permisi, Nak,” Ilham gelagapan saat lelaki tua itu menyapanya dengan santun, “bisa bapak minta tolong?”
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Ilham hanya mengangguk.
“Pinjam jaketnya, Nak,” sambung lelaki itu.
Ilham mengerutkan dahinya. Heran. Namun, beberapa saat kemudian ia lepaskan juga jaket kulit yang dipakainya dan mengulurkan jaket itu kepada lelaki yang bahunya mulai membungkuk dan berdiri di hadapannya.
Lelaki itu menyambut jaket yang diulurkan padanya lalu membentangkan jaket itu di pangkuan Ilham. Keheranan Ilham makin menjadi, tetapi ia diam saja. Ia menyingkirkan ransel dari pangkuannya agar jaket itu dapat terbentang tanpa gangguan apa pun. Lelaki yang rambutnya hampir sempurna memutih itu melepaskan tas yang melingkar di lehernya lalu menumpahkan semua isinya ke pangkuan Ilham.
“Masya Allah…” gumam Ilham pelan.
Ia terpana melihat recehan yang memenuhi pangkuannya dan terasa berat di pahanya.
“Bantu bapak menghitungnya ya…” pinta lelaki itu.
Lagi-lagi Ilham hanya mampu menganggukkan kepalanya. Ia ingin bertanya sesuatu, tetapi ada yang terasa mengganjal tenggorongkannya. Kepingan recehan itu menyita konsentrasinya.
Ilham membantu lelaki itu menghitung rupiah demi rupiah yang terhampar di pangkuannya. Saking asyiknya ia membantu lelaki itu menghitung kepingan-kepingan rupiah itu Ilham melupakan urutan antreannya. Saat azan zuhur berkumandang, barulah mereka selesai menghitung semua rupiah itu. Hanya dua ratus ribu rupiah. Tak kurang juga tak lebih. Sebuah pertanyaan menggelitik hatinya. Namun, ia urung bertanya saat melihat lelaki itu mengeluarkan buku tabungannya yang sama lusuhnya dengan dirinya. Kini Ilham merasa lidahnya makin kelu saat melihat gambar buku tabungan itu. Gambar itu mencekik pita suaranya. Buku tabungan itu bergambar Ka’bah. Arah kiblat muslim sedunia. Itu adalah buku tabungan haji.
“Masya Allah….”
Ada haru yang memenuhi rongga dadanya melihat lelaki tua yang mengumpulkan kepingan rupiah itu dan menghabiskan hampir satu jam untuk menghitung semua rupiah itu lalu menyimpannya dalam sebuah tabungan haji. Entah sudah berapa lama ia mengumpulkan rupiah-rupiah itu.
Tak ada lagi antrean nasabah di lobi bank syariah ternama itu. Ilham membiarkan lelaki itu menuju meja teller terlebih dahulu untuk menyetorkan recehannya itu. Diam-diam Ilham mengambil Nikon D5000-nya dan mengabadikan lelaki itu lewat lensa kameranya.
* * *
Ilham membuntuti lelaki bungkuk yang berpeluh itu. Ia berjalan lambat-lambat di belakangnya. Nikon D5000 dengan lensa tambahan tergantung di lehernya laksana AK47 yang dipanggul para tentara dan tampak siap membidik sasaran. Ia berjalan lambat-lambat seperti seorang pemburu yang takut kehilangan kijang buruannya. Ilham berhenti melangkah saat dilihatnya laki-laki itu berhenti melangkah di depan sebuah toko alat olahraga tepat di bawah jembatan penyebrangan di depan Masjid Agung Palembang. Ia menyapa seorang wanita yang hampir sama tua dengan dirinya.
“Sudah?” tanya wanita itu.
Sang lelaki tua itu mengangguk.
Mugo-mugo cepet tekumpul, ye, duitnyo,[1]ujar wanita itu penuh harap.
Lelaki itu lagi-lagi hanya mengangguk. Tangannya merapikan kacang goreng yang dibungkus dalam kantong plastik kecil dan dijalin dalam satu ikatan. Kacang-kacang itu diletakkan berkelompok dalam sebuah tampa[2] yang juga terlihat usang. Sepertinya, segala sesuatu yang berhubungan dengan lelaki itu selalu saja usang.
“Pak Harun, semir!”
Seorang petugas Pol-PP yang biasa patroli di daerah itu menyerahkan dua pasang sepatu kepada lelaki yang dipanggil Pak Harun itu. Lelaki itu adalah Pak Tua yang dikenal Ilham di bank dan dibuntutinya diam-diam. Ilham membodoh-bodohkan dirinya karena tak sempat menanyakan nama lelaki itu. Menyesali diri bahwa ia harus mengetahui nama lelaki itu lewat lidah seorang Pol-PP yang sering dicacinya dalam beberapa tulisannya.
Pak Harun menerima sepatu hitam dari kulit sintetis itu dengan senyum sumringah di wajahnya. Ia mengeluarkan lap, sikat, dan sekaleng semir dari dalam tas yang melingkar di lehernya sejak tadi. Tangan tuanya begitu lincah memoleskan semir, meratakannya dengan sikat, lalu menggosokkan lap agar sepatu itu terlihat lebih mengilap.
Ilham telah mengabadikan beberapa foto tentang lelaki tua bernama Harun saat ia men-service sepatu milik petugas yang berseragam coklat kusam tadi. Ia terus memperhatikan Pak Harun baik-baik hingga telepon genggamnya bergetar dan menampilkan sebuah pesan. Setelah membaca pesan itu, ia segera meninggalkan pelataran toko tempatnya berdiri sejak beberapa menit lalu. Sebuah ide terlintas di benaknya.
* * *
“Tapi itu penipuan, Ham! Pembohongan publik! Melanggar kode etik!” suara Bang Anton meninggi saat memimpin rapat redaksi.
“Tapi ini demi kemanusiaan, Bang. Tak dapatkah kita sedikit saja membantunya.”
“Ya, tapi tidak dengan cara seperti ini,” jawab lelaki itu.
Ilham tertunduk. Ia pikir idenya untuk meminta staf redaksi Sriwijaya Pagi merekayasa pemenang undian haji yang dilaksanakan oleh harian itu adalah ide cemerlang yang dapat membantu Pak Harun untuk segera mewujudkan impiannya. Namun, ide cerdas itu malah dianggap sebagai kebohongan publik.
“Aku…” Ilham ragu, “hanya ingin membantunya.”
“Tapi tidak dengan cara seperti idemu itu,” tegas Bang Anton.
“Menurutku ini lebih manusiawi, memberikan hadiah itu pada orang yang memang berhak dan layak. Atau… kita ingin membiarkan uang puluhan juta ongkos naik haji itu terbuang percuma karena nanti dimenangkan oleh orang yang mungkin dapat melaksanakan haji dengan jentikan jarinya saja!” suara Ilham meninggi.
“Kau pikir pesulap, naik haji dengan menjentikkan jari! Siapa pun yang nanti memenangkan undian ini tentu dia adalah orang yang dipilih Allah dan diundang-Nya untuk menginjakkan kaki ke Baitullah,” bela Bang Anton.
“Tapi kali ini aku menemukan orang yang benar-benar berhak dan layak menerima hadiah itu!”
“Tapi tidak dengan kebohongan seperti rencanamu itu. Sudah terlalu banyak pembohong di negeri ini, kuharap kau tak ikut menjadi salah satu dari mereka!” sindir Bang Anton.
“Aku bukan pembohong! Aku hanya ingin membantunya, TITIK!!”
Ilham kehabisan akal. Ia tak tahu bagaimana lagi mencari jalan untuk mengurai mimpi Pak Harun menjadi kenyataan. Membawa mimpi itu keluar dari kepala suami istri renta itu lalu membiarkan mereka terbang mewujudkan asanya. Wajah Pak Harun yang bergelambir dan keriput melintas di benak Ilham.
Ia meninggalkan ruang rapat itu. Menyandang ranselnya dan menyambar kamera yang diletakkannya di meja. Ia keluar tanpa permisi. Bang Anton memanggilnya, tetapi Ilham tak berniat berbalik. Kecewa. Bukan karena usulnya ditolak mentah-mentah, melainkan karena merasa jalan untuk membantu lelaki itu mewujudkan mimpinya tertutup sudah.
* * *
“Abimu mana, Is?”
Istianah mengedikkan bahunya, sedangkan Ilham melongokkan kepalanya ke ruang tamu rumah besar itu untuk mencari seorang lelaki berperut buncit yang selalu membiarkan sebuah peci putih nangkring di kepalanya yang plontos.
“Lagi ngurus paspor?”
“Mau naik haji lagi?” tebak Ilham penasaran.
“Umroh. Minggu depan berangkatnya,” jawab Istianah singkat, jelas, dan padat.
Ilham menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengerucutkan bibirnya. Ayah temannya satu ini memang luar biasa. Tiap tahun tidak pernah absen untuk umroh. Selain itu, beliau juga telah empat kali melaksanakan ibadah haji. Untuk orang sekaliber Haji Mat Tjik, semua itu tidaklah luar biasa. Ayah teman karibnya itu adalah pemilik 20ha kebun karet yang masih sangat produktif. Tentu saja melaksanakan ibadah haji dan umroh baginya hal yang tak begitu menyulitkan bahkan jika berniat memberangkan 20 orang anggota keluarganya sekaligus pun uangnya tak akan kehabisan. Aset kebun dan usaha perdagangannya jauh dari cukup.
Tiba-tiba Ilham teringat lelaki yang ditemuinya di bank beberapa hari lalu. Seandainya ada yang membantu Pak Harun untuk segera mencukupkan biaya hajinya gumam Ilham dalam hati sambil memainkan telunjuknya di bibir gelas.
Istianah tak tega melihat wajah kusut Ilham. Sahabat karibnya sejak SMA itu jarang sekali terlihat murung apalagi berputus asa. Kemurungan itu bukan tanpa alasan. Pak Harun yang tak sengaja dikenal Ilham itu benar-benar telah mengusik pikiran pemuda itu. Di tengah keputusasaan itu ia harus pula mendengar cerita rencana ayahnya melaksanakan umroh untuk ke sekian kalinya.
“Masih memikirkan Pak Harun?”
Ilham mengukir senyum kecut di wajahnya. Ia mengangguk pelan sambil menarik nafas dalam dan menghempaskannya seketika.
“Kita ikutan saja undiannya, Ham. Kita kirim banyak-banyak kupon, siapa tahu menang. Kan, semakin banyak kita mengirim kuponnya, peluang menangnya pun semakin besar? Betul kan? Di rumah sama di kantor kan langganan koranmu, biar nanti aku gunting ambil semua kupon undian hajinya. Gimana?”
Wajah Ilham berubah cerah. Senyumnya pun seindah mentari pagi. Dalam hati dia membodoh-bodohkan dirinya karena tak sempat memikirkan ide seperti itu. Ia ingin memberikan sebuah medali istimewa pada Istianah atas ide cemerlangnya itu. Ia ingin berteriak Istianah kamulah juaranya!!!! Sebagai hadiah atas kecerdasan temannya itu.
“Kapan kita mulai?” tanya Ilham bersemangat.
“Tahun depan!!” jawab Istianah asal-asalan sambil memoyongkan bibirnya.
Hari itu perburuan mereka dimulai. Setiap hari mereka memborong Sriwijaya Pagi dari anak-anak loper koran di lampu merah Simpang Veteran. Sengaja mereka membeli koran dari anak-anak itu selain berniat untuk membantu mewujudkan mimpi Pak Harun juga membantu meningkatkan omset penjualan anak-anak itu. Jadi, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Mereka mengumpulkan dan menggunting kupon-kupon undian dari koran yang mereka beli itu. Ditambahi pula dengan kupon undian yang berasal dari koran yang ada di kantor dan rumah. Jadilah mereka berdua peserta illegal dalam undian memperebutkan tiket naik haji gratis dari koran lokal terkenal itu. Dalam sehari mereka mengirimkan paling sedikit 25 lembar kupon yang telah dilengkapi identitas palsu ke kantor redaksi Sriwijaya Pagi. Hingga hari terakhir pengiriman kupon undian itu Ilham dan Istianah selalu mengirimkan kupon dalam jumlah yang sama, hanya satu hari saja mereka mengirimkan kupon dua belas lembar karena Istianah tak menemukan koran yang menjadi incarannya setiap pagi di teras rumahnya.
Ilham terus menjaga kedekatannya dengan Pak Harun. Menemaninya menanti pejalan kaki yang tergiur dengan kacang goreng yang ditawarkannya atau berniat memoles sepatu mereka sebentar. Ia memperhatikan rupiah demi rupiah yang terkumpul dari butiran-butiran kacang goreng yang dijual lima ratus rupiah per bungkus oleh suami istri itu. Ia belajar bersyukur atas kehadiran debu jalanan yang menebal sehingga ada banyak sepatu yang berdatangan kepadanya untuk disemir dan dipoles hingga mengilat. Di sela-sela penantian tak pasti itu, suami istri yang tergerus usia dan zaman itu mengisi detik-detik mereka sambil bergantian mendengarkan hafalan Al Qur’an mereka. Dari kejauhan keduanya terlihat begitu rapat dan berbisik-bisik satu dengan yang lain. Namun, tak ada perbincangan antara keduanya, hanya desisan hafalan yang diulang keduanya secara bergantian.
“Kenapa bapak dan emak harus bekerja sekeras ini?” tanyanya suatu hari saat melihat suami istri itu sedang membereskan dagangannya menjelang magrib.
Kereno kami dag galak ngemis, Nak. Biar susah cag ini kami idag nyusahke uwong laen,” jawab Mak Leha diiringi senyum suaminya.
Ilham manggut-manggut mendengar jawaban itu.
“Kapan bapak mau ke bank lagi?” tanya Ilham mengalihkan pembicaraan.
Kagek la, Ham. Belum ado duit yang tekumpul. Yang kemaren tu bae, kumpulan hasil jualan dengen nyemir selamo enam bulan,” urainya tenang dibarengi dengan senyum tulus dan ditingkahi batuk yang berat. Akhir-akhir ini dada dan bahu lelaki 70 tahun itu memang lebih sering berguncang karena batuk yang setiap hari terdengar makin berat.
Ilham menelan ludah mendengar jawaban itu. Kapan biaya haji itu akan cukup kalau selama enam bulan Pak Harun hanya mampu menabung dua ratus ribu rupiah itu pun dengan kepingan-kepingan uang logam. Dalam hati Ilham berharap makin dalam agar undian naik haji itu akan dimenangkan Pak Harun. Bukankah mereka telah mengirimkan kupon begitu banyak. Allah… perkenanlah dia… bisiknya dalam hati.
* * *
Ruangan itu dipadati para awak berita Sriwijaya Pagi. Ribuan kupon di tumpuk di tengah-tengah ruangan. Pimpinan redaksi, aparat kepolisian, dan notaris telah siap menyaksikan pengundian kupon berhadiah itu. Ilham dan Istianah berdiri agak jauh dari kerumunan orang-orang yang memiliki harapan serupa dengan mereka. Namun, keduanya jauh lebih optimis daripada siapa pun yang ada di ruangan itu sebab mereka telah mengirimkan hampir tiga ratus lembar kupon undian. Artinya, mereka memiliki peluang lebih besar dibandingkan orang-orang yang hanya mengirimkan satu atau dua kupon undian. Ilham telah membayangkan senyum Pak Harun yang tulus dan bersahaja bila nanti menerima kado dari mereka.
Tiga nama pemenang yang mendapatkan hadiah umroh telah diumumkan. Ilham dan Istianah membisikkan doa agar Allah mendengar harapan mereka. Seorang tamu kehormatan dipersilahkan mengaduk kupon yang terhampar di lantai dan mengambil satu kupon secara acak. Setelah perwakilan pihak kepolisian dan notaris mengecek dan menyatakan sah pada kupon yang terpilih, panita mengumkan nama pemenang yang berhak melaksanakan ibadah haji gratis dari Sriwijaya Pagi.
“BADARUDDIN MAT TJIK!” ujar MC lantang.
Istianah terngaga. Ilham tertunduk kecewa.
“A… Ayah???” ujarnya tak percaya sambil menggelengkan kepala.
Istianah memejamkan matanya karena berharap apa yang didengarnya hanyalah halusinasi dan setelah matanya terbuka nanti ia dapat mendengar satu nama lain yang mengisi doa-doa panjangnya bersama Ilham. Namun, saat nama itu disebutkan sekali lagi diiringi tepuk tangan meriah, tak ada perubahan sama sekali. Ayahnyalah yang menjadi pemenang.
Ia menatap Ilham mencari kebenaran atas apa yang baru saja di dengarnya. Namun, pemuda itu melangkah perlahan meninggalkannya. Istianah merasakan matanya memanas dan siap melebur kekecewanya.
“Ayah???” ulangnya lagi.
Air matanya runtuh. Jadi, inilah jawaban atas hilangnya kupon dari koran di rumahnya selama beberapa hari lalu. Ayahnya? Ayahnya juga memperebutkan undian naik haji itu????
* * *
Hampir sebulan Ilham tak menghubungi sahabatnya, Istianah. Entahlah, ia merasakan kekecewaan yang akut. Pak Harun dan istrinya yang biasa berjualan di bawah jembatan di depan Masjid Agung pun tak lagi ditemuinya. Entah kemana suami istri itu. Di minggu ke tiga baru diketahuinya bahwa Pak Harun dirawat di rumah sakit. Ia mengetahui kabar itu lagi-lagi dari petugas Pol-PP yang sering dihujatnya.
Ilham mendapati lelaki itu tergolek lemah di tempat tidur bangsal kelas tiga. Bangsal khusus bagi pengguna kartu berobat gratis. Istrinya melantunkan Surah Al Ahzab di tepi telinganya. Ilham makin tak tega melihat pemandangan itu. Suara Mak Leha terdengar letih.
Sekantong jeruk di genggam Ilham erat sambil membaca papan identitas di ujung tempat tidur. Paru-paru. Penyakit umum untuk mereka yang menghabiskan hari menghisap asap kendaraan.
“Apa kabar, Pak?” sapa Ilham pada lelaki itu meski tak yakin bahwa lelaki renta itu mendengar suaranya.
Mak Leha membuang muka untuk menyembunyikan air mata dari tatapan Ilham.
“Maafkan Ilham, Pak. Ilham gagal memenangkan undian naik haji itu.”
Suaranya berat penuh sesal.
Tak ada suara. Mak Leha terisak.
“Nanti, Ilham akan carikan jalan untuk Bapak dan Emak agar bisa segera berkunjung ke baitullah…”
Mak Leha menyusut air matanya. Wanita itu berusaha tegar sambil kembali berusaha melantuntan Al Ahzab untuk suami tercintanya. Ia mendekatkan kepalanya ke tepian telinga lelaki yang lebih dari setengah abad berbagi hidup dengannya. Persis seperti kebiasaan mereka berdua saat bergantian mengulang hafalan. Namun, kali ini hanya Mak Leha yang membacakan Al Quran dan entah telah berapa lama Pak Harun hanya menjadi pendengar setia.
Tiba-tiba Ilham merasa lelaki itu meremas tangannya, ia membuka matanya perlahan, menatap Ilham, dan mengukir sebuah senyuman untuknya. Pemuda itu membalas senyum tulus dari lelaki yang makin renta yang tergolek di hadapannya. Bukan hanya usia yang menyedot semangat hidupnya, melainkan juga penyakit yang kini menggerogoti paru-parunya.
“Naik haji sama seperti kematian, Ham. Keduanya mutlak kehendak Allah. Sebanyak apa pun harta kita jika Allah tak memanggil kita untuk menginjakkan kaki ke rumah-Nya, tak akan sampai juga langkah kita ke sana. Begitu pula kematian, sekuat apa pun kita menghindarinya jika Allah telah memanggil kita, tak ada satu pun yang dapat menghalangi kepergian kita. Tak ada yang harus disesali, Ilham…” ujarnya lemah.
Ilham mengangguk, “Iya, Pak, Ilham mengerti,” jawabnya pendek.
Ilham merapikan kacamatanya sambil menarik nafas panjang. Ada sesak yang menghimpitnya. Ada sesuatu yang hendak tumpah dari matanya saat mendengar kalimat itu.
“Tapi…”
Ilham tak sempat melanjutkan kata-katanya saat matanya melihat genggaman tangan di lengannya itu perlahan melemah. Ilham menatap wajah renta itu ia tampak seperti sedang bersiap untuk tidur. Ilham kembali beralih pada tangan yang masih berusaha menggenggam lengan Ilham. Tangan keriput itu makin tak memiliki energi, perlahan kelima jemarinya terlepas satu persatu dari lengan Ilham.
Tangis wanita disampingnya pecah tertahan. Ilham geram menggenggam jemarinya. “Allah, Kau undang dia langsung menemui-Mu, meskipun dia begitu ingin berkunjung ke rumah-Mu terlebih dahulu? Begitu cinta-Nya kah Kau padanya?” Ilham merapatkan gerahamnya.
Telepon genggam di kantongnya berdering.
“Ham, dapet, Ham… Pak Harun berhasil jadi pemenang undian umroh di kantorku. Aku mengirimkan nama beliau diam-diam…”
Suara Istianah terdengar bahagia di ujung telepon.
Ilham diam. Mutiara bening merayap perlahan menyusuri pori-pori wajahnya.
* * *




[1] Semoga cepat terkumpul, ya, uangnya.
[2] Alat untuk menampi beras yang terbuat dari anyaman bambu

Sabtu, 19 Maret 2011

TEMANI AKU

malam ini
temani aku memandang bulan
di kedalaman danau yang memantulkan
wajahku wajahmu bersama rembulan

temani aku menikmati rembulan
dari balik riak danau
yang menenggelamku benih mawar
yang sempat kutawarkan padamu

Minggu, 13 Maret 2011

SEPATU ARINI


“Kalau Arini minta pesta ulang tahun juga, boleh nggak, Mak?”
Wanita itu tak menjawab. Ia terus melipat pakaian yang menumpuk di depannya. Anak perempuannya yang baru kelas 5SD itu mengharap-harapkan sebuah jawaban terbaik dari emaknya. Beberapa detik telah berlalu, tetapi tidak tampak tanda-tanda wanita itu akan memberikan jawaban. Ia bergeming dengan diamnya. Dalam diam itu neuron-neuron otaknya berdenyut-denyut mengumpulkan serpihan-serpihan kata untuk disusunnya menjadi kalimat terbaik untuk menjawab pertanyaan putrinya.
Arini tertunduk lesu dengan wajah cemberut. Ia masih berharap emaknya memberikan jawaban meskipun hanya sekadar anggukan kepala.
“Mak, kenapa diam?” tanya Arini, “Nggak boleh, ya, Mak?” suara bocah itu bernada kecewa.
Wanita tiga puluh tahun di samping bocah itu masih diam saja. Ia masih teguh merapatkan bibirnya dan meneguh-neguhkan hati untuk tak menjawab pertanyaan putri sulungnya. Ia tahu, permintaan Arini adalah hal wajar bagi anak seusianya. Namun, apa mau dikata, hidup tak berpihak pada mereka. Jangankan melaksanakan sebuah pesta ulang tahun, untuk dapat terus mempertahankan dapurnya agar berasap tiap hari pun, ia harus memutar otak. Ia makin tak tega saat membayangkan suaminya yang berpeluh-peluh mengayuh becaknya hanya untuk mempertahankan nyala api di dapur mereka. Namun, menolak keinginan Arini pun sama pahitnya. Seperti mimpi memeluk bulan. Tak akan pernah menjadi kenyataan.
“Mak, kalau tak bisa, tak apa-apa. Hm……” bocah itu menggantung kalimatnya sebentar, “emmmm…. Kalau Arini minta hadiahnya saja, gimana? Boleh nggak?”
Bocah perempuan berambut ikal itu bertanya hati-hati.
Emaknya masih diam dan terus melipat tumpukan pakaian di hadapan mereka.
“Arini mau sepatu, Mak. Tidak usah yang mahal, yang biasa saja. Sekarang lagi musim itu, lho, Mak… sepatu karet. Kata teman-teman, sih, sepatu Crocs. Bagus lho, Mak, bisa dipake buat jalan-jalan, buat maen, dan kalo jalanan rumah kita lagi becek juga nggak apa-apa, Mak. Kata temen-temen, tinggal dicuci aja, nggak bakalan cepet mangap sepatunya.”
Ah… kepala wanita itu berdenyut-denyut. Ia merasakan pusing yang begitu tiba-tiba menyerang kepalanya dengan bertubi-tubi. Cerocosan putrinya itu membuatnya semakin pusing. Namun, ia masih bungkam dan terus menyelesaikan pekerjaannya. Bagaimana ia menjelaskan pada anaknya bahwa semua permintaannya itu adalah barang mewah yang ia dan suaminya tak akan sanggup memenuhi permintaan itu. Dapatkah kau ganti mimpimu itu dengan hal yang lebih sederhana lagi, Nak… rintihnya dalam hati.
“Mak, kenapa diam?”
Arini tak sabar lagi dengan sikap diam emaknya. Ia menggoyangkan bahu emaknya menuntut jawaban. Jawaban lengkap atau sekadar anggukan kepala pun tak apalah. Yang penting, emaknya memberikan jawaban. Jawaban terbaik untuknya. Untuk mimpi kanak-kanaknya.
Wanita itu menghentikan kesibukannya dan menatap wajah putri sulungnya itu. Dirayapinya baik-baik pahatan wajah kecil di depannya. Mata bulat, hidung, dan senyuman gadis cilik itu adalah kombinasi sempurna. Ia melihat duplikat wajah suaminya dalam wajah anak perempuannya. Ia tahu bahwa ia mencintai pemilik wajah hitam manis itu dengan sempurna, seperti ia mencintai suaminya yang menitiskan wajah indah itu pada putrinya.
Wanita itu menarik nafas dalam lalu menarik ujung-ujung bibirnya membentuk senyuman. Putrinya membalas senyum hangat itu sambil kepalanya menebak-nebak jawaban terbaik yang akan diberikan ibunya.
“Rin….” Ujarnya hati-hati sambil memikirkan kalimat tebaik untuk putrinya.
Tiba-tiba, terdengar ketukan tergesa di pintu depan rumah mereka. Ia tak sempat menyelesaikan kata-katanya. Tergesa ia menuju pintu untuk melihat tamunya. Arini mengekor langkah ibunya dengan sebal karena batal mendengar jawaban sang ibu.
Terdengar ketukan keras sekali lagi. Pintu segera dibuka. Seorang pria dengan topi lusuh berdiri di ambang pintu.
“Bi Cik, Mang Rozak kecelakaan. Becaknya hancur ditabrak truk. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit,” tanpa basa-basi lagi lelaki itu menyampaikan kabar.
“Maaaak…..” suara Arini terbata.
Wanita berambut ikal itu menguatkan pegangannya di tepian pintu. Pusing di kepalanya makin menjadi.
Mak Cik, Mang Rozak kecelakaan suara itu menggema. Tiba-tiba pintu itu terasa berputar.
Mak, kalau Arini minta pesta…. “Ah, kemana matahari????” Wanita itu meraba mencari cahaya yang perlahan menghilang.
Sepatu saja, Mak. Arini minta hadiahnya saja, sepatu, Mak…. “Ah, Oksigen. Bagi aku Oksigen,” wanita itu memohon karena merasakan nafasnya tiba-tiba sesak.
“Maaakkk…..” jerit Arini.
Bocah itu menahan tubuh ibunya yang limbung.
Wanita itu masih mendengar jerit putrinya. Samar.
Ulang tahun, Mak…. Crocs, sepatu Crocs, Mak….
Mang Rozak kecelakaan…. Becaknya hancur….
…..
Gelap
* * *

Sabtu, 05 Maret 2011

ISTRIKU


Kalau kau mejadi laki-laki seperti aku, Kawan, pekerjaan yang paling kau hindari pastilah menjadi ibu. Kita kaum laki-laki mungkin tak akan pernah sanggup menjadi seperti para wanita di sekitar kita (seperti nenek, ibu, adik, atau istri kita).
Aku tak akan pernah sanggup membawa beban yang semakin berat dari waktu ke waktu selama sembilan bulan di perut seperti yang dialami istriku. Sambil menanggung beban berat yang menyakitkan itu, ia tetap melaksanakan semua aktivitasnya dengan baik. Aku melihatnya lambat-lambat meninggalkan tempat tidur jauh sebelum ayam-ayam jantan di kampung kami berkokok. Ia akan segera memanaskan air, menanak nasi, menyeduhkan segelas kopi untukku, menyiapkan susu anak-anakku, dan menggorengkan pisang untuk sarapan kami.
Sebelum para muazin mengumandangkan azan dari masjid-masjid di kampung kami, semua itu sudah tersedia di meja makan. Saat azan berkumandang, ia telah berwudhu lalu membangunkanku dan dua anak balitaku. Dibangunkannya kami pelan-pelan agar tak menimbulkan suara gaduh sehingga tak mengganggu tidur anak ketiga kami yang masih bayi itu. Aku sebenarnya tak tega melihat anak pertama dan keduaku itu terkantuk-kantuk mengikuti kami sholat subuh berjamaah, tetapi istriku bersikeras bahwa mereka harus didik untuk belajar disiplin. Kelak di kemudian hari, aku bersyukur bahwa kedisiplinan yang diterapkannya membawa anak-anakku jauh berbeda dari remaja seusia mereka.
Usai sholat subuh berjamaah, segelas kopi untukku, dan susu anak-anakku telah disuguhkan kepada kami. Di tengah sarapan pagi itu, bayi ketiga kami akan melengking suara tangisnya lalu istriku akan dengan lincah mendekatinya. Mencium pipi montoknya, menceritakan sesuatu untuk menghentikan tangisnya, dan mendamaikan bayi kami itu dalam pelukannya. Tak perlu waktu lama anak ketiga kami akan membulat matanya dan segera asyik menyedot makanan pokoknya sepuas hati tanpa pernah takut kehabisan. Ia membiarkan bayi kami menyusu sepuasnya sedang bibirnya tak henti bercerita. Di bahunya dalam waktu bersamaan kedua anakku akan bergelayut menagih perhatian yang sama seperti yang diterima adik bungsu mereka. Istriku seolah memiliki bahu yang terbuat dari rangka baja, ia tak pernah mengeluh bahunya lelah, pegal, atau linu meskipun seharian harus menggendong anak-anakku.
Istriku tak pernah mengeluh meskipun berpeluh-peluh dahinya. Mengasuh dan menjaga anak-anakku, menyiapkan makanan dan pakaianku dan anak-anak, serta menjaga dan merawat rumah kami. Ia tetap saja tersenyum menyambut kepulanganku dari kantor dan berceloteh tentang tingkah anak-anak kami saat kutinggalkan bekerja. Pernah kubayangkan, kalau saja istriku ini adalah robot, tentu di sore hari ia telah kehabisan batre karena begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya dan begitu banyak hal yang harus dipikirkannya. Namun, aku bersyukur bahwa para istri diciptakan Tuhan dari materi kualitas terbaik sehingga kami para suami tak perlu repot memikirkan ganti batre atau recharge batre di tubuh mereka. Tuhan memberi mereka kekuatan super yang tak tertandingi.
Istriku adalah orang pertama yang mengajarkan anak-anakku a-ba-ta-tsa… lalu menuntun anak-anakku menghafalkan Al Fatihah untuk sholat-sholat mereka. Ia menggendong anak ke-3 kami yang masih balita sambil jemarinya menuntun dua anakku yang lainnya melanjutkan pelajaran mereka. Ia mampu melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu bersamaan. Menemani anak-anakku belajar sambil menanak nasi, menyetrika, dll.. Kalau aku yang menjadi dirinya, mungkin aku akan memohon pada Tuhan agar satu hari adalah 40 jam, satu minggu adalah 10 hari, dst..
Istriku adalah pengusir nyamuk paling efektif yang pernah ada. Ia rela menghentikan keasyikannya membaca buku demi menjauhkan anak-anakku dari gigitan nyamuk tak terpelajar itu. Bila sakit menghampiri putera-puteriku bersamaan, istriku tak jua mengeluh. Meskipun terlihat kekhawatiran di wajahnya, ia tetap menyelesaikan semua pekerjaannya dengan baik dengan tak sedetik pun luput perhatiannya pada putra-putriku. Matanya begitu tangguh menghalau kantuk. Ditemaninya putra-putriku sepanjang malam sambil mengompres kepala-kepala mungil mereka. Istriku seolah memiliki energi yang dikumpulkannya dari langit, bumi, samudera, mentari, rembulan, gemintang, dan seisi semesta raya. Energinya tak pernah surut meski aku telah mulai terkantuk-kantuk saat berusaha menggantikan tugasnya untuk menemani anak-anakku yang sedang sakit. Aku tak tahu dari mana ia kumpulkan energi-energi itu, ia asuh anak-anakku dengan baik, ia siapkan kebutuhanku dan anak-anakku tanpa mengeluh, ia juga yang menyelesaikan segala perkara rumah tangga kami dengan baik. Namun, peluhnya tak sebanyak peluhku saat bekerja. Begitu kuatkah para istri kita? Atau Tuhan menciptakan wanita dengan komposisi terbaik yang dimiliki-Nya??
Istriku akan kuberikan predikat summa cum laude atas prestasi dan pengorbanannya yang luar biasa untukku dan anak-anakku.

Jumat, 04 Maret 2011

CAHAYA

katakan! katakan pada cahaya
untuk terus menemani hidupku
dan aku berjanji tak akan meminta apa-apa lagi