Jumat, 22 April 2011

ELEGI TEPIAN OGAN


Kabut asap di musim kemarau masih mengambang di atas perairan Sungai Ogan. Dingin suhu udara pagi hanya akan bertahan hingga pukul enam saja, selanjutnya perlahan-lahan akan terasa garang, seperti halnya karakter suhu di awal musim kemarau. Mentari di ufuk memancarkan cahaya kemerahan karena tertutup kabut asap hingga ke pangkal-pangkal cakrawala.
Badriah mendayung perahu jukungnya. Perlahan ia kendalikan laju perahu tua itu menuju patok-patok di pingir sungai. Setelah mendekat, ia letakkan dayung di geladak perahu dan mulai menarik jaring yang telah dipasangnya sejak sore kemarin. Beberapa ikan betok, sepat siam, patin, dan dua ekor ikan gabus yang besar tersangkut di jaringnya. Ia tersenyum girang melihat hasil tangkapannya pagi ini. Ikan-ikan itu diambilnya dan diletakkan di dalam sebuah ember yang telah disiapkannya. Reranting dan rumput yang turut tersangkut di jaring itu dibuangnya dengan telaten. Kemudian, ia mengatur letak jaring itu kembali. Ia kembali mendayung menuju jaring ikannya di tepian sungai yang lain. Beberapa kali ia lakukan hal serupa tadi, menarik jaring, mengumpulkan ikan-ikan, membuang sampah dan reranting, lalu memasang kembali jaring itu di tepi sungai.
Air sungai yang kuning itu beriak pelan saat perahu jukungnya bergerak di permukaan sungia itu.
"Tuhan… Kau dimani? Trime kaseh, ari ini banyak nia ikan kudapat…" ia bersyukur memantulkan sepenggal doa dari permukaan sungai sambil menengadah menatap langit yang berselimut kabut asap.
Matahari makin tinggi. Angkutan desa, mobil-mobil pribadi, motor, bentor, dan sepeda mulai lalu lalang menyemut di atas Jembatan Sakatiga. Badriah melintas di bawah jembatan sambil mendongakkan kepala. Tangannya sangat teratur memecah arus sungai dengan dayungnya, ia dapat merasakan getaran roda kendaraan dari atas jembatan itu. Dulu, kakeknya sering bercerita tentang jembatan tua itu. Saat jembatan itu belum di bangun, para tukang perahu sangat dibutuhkan untuk membantu menyeberang. Begitu pun mendiang kakeknya, beliau adalah salah seorang tukang perahu andalan di Desa Sakatiga. Kini hanya beberapa saja penduduk yang menggantungkan hidup dari mendayung perahu untuk menyebarangkan orang menuju Pasar Inderalaya. Lagi pula, tak banyak lagi orang mau bersusah-susah pergi ke pasar melalui sungai. Becak, bentor, motor, dan angkutan desa kini telah banyak dan menggantikan peran perahu-perahu tua itu. Jumlah mereka semakin melesat seiring tingginya minat masyarakat untuk berganti ke gaya hidup modern dan berklas. Perahu-perahu itu akhirnya tenggelam di tengah Sungai Sakatiga yang kian dangkal. Romantisme antara perahu jukung dengan Desa Sakatiga yang bersahaja akhirnya tertelan zaman.
"Badriaaaaaaaah……. Dapat ikannya????" Romlah berteriak dari atas jembatan.
Badriah mendongakkan kepala mencari pemilik suara yang sudah sangat dikenalnya. Ia menjawab pertanyaan Romlah dengan senyuman dan lambaian tangannya. Giginya yang rapi dan putih membuat senyumnya makin mempesona.
"Jangan lupaaa…. Tahun depan sekolah ya…..!!!" Teriak Romlah sambil melambaikan tangan. Gadis itu memakai putih biru dan tas hitam yang disandang di punggungnya, "aku pergi, ya…" teriaknya lagi sambil berlalu.
Badriah kembali melambaikan tangan dan melepaskan senyumnya.
“Yaaaaa. Hati-hati, Romlah. Petang gi bagi cerite lagi ngan aku.yeee” teriaknya.
Romlah menganggukkan kepala dan melangkah sambil berpegangan pada pagar pembatas jembatan yang dicat kuning dengan strip hitam sebagai variasinya.
Badriah melukis bayangannya di riak air Sungai Ogan. Lukisan sosoknya yang ringkih dengan seragam sekolah. Ya… hanya dengan seragam sekolah, lukisan dirinya itu hanya memakai seragam sekolah tanpa ada tas yang disandang di bahu atau di punggunnya, tidak juga sebuah buku yang didekap di dada. Umaknya hanya berjanji membayar uang sekolahnya bila tabungannya cukup, tanpa diembel-embeli janji membelikan buku dan tas sekolah. Ia sudah sangat bersyukur mamaknya yang telah renta menjalani hidup itu masih mau berjanji menyekolahkannya.
Badriah menepikan perahunya di tangga batu menuju Pasar Indralaya. Ini hari pertama kalangan di pekan ini. Dalam sepekan Pasar Inderalaya menggelar dua kali hari kalangan, Selasa dan Kamis. Walaupun setiap hari kegiatan di pasar itu berlangsung seperti halnya pasar-pasar lain, pada hari Selasa dan Kamis jumlah pedagang akan jauh lebih banyak dan pembeli juga lebih berlipat ganda. Mereka biasanya datang dari berbagai daerah di sekitar Palembang, Kabupaten Ogan Ilir, dan Kayu Agung.
Hari ini Badriah dengan semangat memulai harinya berjualan di pasar. Ia menurunkan ember dari atas perahu dan mengambil sebuah terpal plastik yang sudah disiapkannya dari rumah. Ikan-ikan hasil jaringnya akan dijual, kemudian dikumpulkan uangnya sebagai modal mendaftar sekolah.
"Aku mau masuk madrasah saja, Romlah. Biar aku tahu pasti Tuhan kite dimani?"
Romlah mengeluarkan ikan-ikannya yang segar dan menyusunnya dalam kelompok-kelompok ikan yang sejenis.
"Sekolah SMP lebih enak, Badriah. Nanti kupinjamkan buku-bukuku."
Badriah tersenyum. Dirapikannya dua puluh ekor ikan gabus segar dalam satu kelompok khusus.
"Idak, terime kaseh. Aku cuma nak tahu Tuhan ade dimani? Kate Nyai, Tuhan ade di ayek, di darat, di langit, juge di kepalak segale urang di dunie ni… Aku nak sekolah untuk belajar tentang Tuhan, Romlah."
Badriah membentang terpal plastik yang dibawanya sebagai alas duduk untuk berjualan. Ia tersenyum membayangkan harapannya selama ini akan segera menjadi kenyataan. Ia akan seperti semua anak gadis di kampungnya, juga anak gadis para guru dan dokter yang datang dari Palembang itu. Ia akan mengisi waktu paginya dengan mandi di sungai lalu memakai seragam sekolah, berjalan berombongan menuju sekolah mereka. Memakai baju lengan panjang dan rok panjang menuju madrasah. Menghafal surat-surat pendek dan hadist Arbain setiap hari lalu menyetorkannya kepada ustadz dan ustadzah di madrasah. Wow, Badriah dibakar kerinduan pada bangku madrasah yang makin tua karena terlalu lama menunggunya.
"Badriah! Umakmu nitipke duit cicilan utang dio dak?"
Badriah mendongakkan kepala mendengar sebuah suara berat dengan logat Palembang yang sangat kental menyebut namanya. Ia menatap sosok laki-laki yang berdiri di atas gelaran jualanannya. Tubuhnya bergetar saat memantang sosok tinggi besar di hadapannya.
Ini adalah kali ke sekian laki-laki itu menagih hutang umaknya pada dirinya. Untuk ke sekian kalinya pula ia hanya menggeleng dan menatap ketakutan pada laki-laki itu untuk menjawab pertanyaannya.
"Idak, Wak. Mamak belum ade duit…" jawabnya dengan suara bergetar.
Mata laki-laki itu berkilat mendengar jawaban Badriah. Ia melumat tubuh ringkih Badriah dengan matanya. Badriah gemetar merasakan pandangan lelaki kekar itu. Ia melantunkan segenggam doa. Lidahnya kelu dan tulang-belulangnya melemah, tak sanggup menopang tubuhnya yang berat dibebani ketakutan menatap laki-laki itu.
Seorang wanita paruh baya dengan kerudung coklat mendekat padanya. Ia bersyukur mendapati kedatangan wanita itu. Lelaki berkulit gelap di hadapannya menyingkir saat wanita itu berjongkok di hadapannya untuk memilih ikan yang ditawarkan Badriah.
“Banyak, i… ikanmu ari, ni. Aku ambek gabus due kilo.”
Ayek lagi besak, Bik. Alhamdulillah banyak juge aku dapat pagi, ni.”
Wanita itu mengangguk mendengar jawaban Badriah yang mulai memilih-milihkan ikan dan memasukkan ke dalam kantong plastik hitam. Ia berusaha melayani pelanggan pertamanya itu. Hanya beberapa menit wanita gemuk itu membeli ikan-ikannya yang masih segar itu. Badriah kembali tersenyum dan mengucapkan syukur meskipun ia merasakan getaran hebat sebab laki-laki itu masih berdiri di belakangnya.
Matahari telah hampir tinggi. Pasar itu makin ramai, telah banyak pula yang singgah pada lapak sederhana yang dibentang Badriah. Beberapa orang hanya melihat, menawar sedikit, lalu pergi begitu saja. Sebagian pelanggannya adalah orang-orang Kampung Sakatiga yang telah mengenal Badriah kecil yang mimpi melanjutkan sekolah ke madrasah. Mereka sengaja membeli ikan dari gadis kecil itu untuk membantu gadis itu mewujudkan mimpinya dan melanjutkan hidupnya dengan umaknya yang renta.
Jauh sebelum azan Zuhur, ikan yang dimiliki Badriah telah habis terjual. Ia menghitung uang hasil dagangannya, menyusunnya dengan rapi secara berkelompok, dan memasukkan lembaran-lembaran uang itu ke dalam kantong plastik sambil menggumamkan hamdalah. Ia melipat terpal plastik yang digunakannya sebagai alas untuk memajang ikan-ikannya dan alas duduknya. Ia masukkan terpal plastik tadi ke dalam ember.
Pasar semakin ramai, tetapi di sungguh sepi dan menakutkan bagi Badriah. Ia bergegas hendak kembali ke perahunya yang telah tua. Namun, ada perasaan berat bergantung di rongga dadanya, ditatapnya pasar itu lekat-lekat. Menikmati semua keramaian yang selama dua tahun ini telah sangat akrab dengan dirinya. Ia membalikkan badan lalu menatap hamparan Sungai Sakatiga yang tenang di tengah hari. Beberapa perahu bersandar di tepiannya, jukung Badriah terlihat amat kecil di antara perahu-perahu nelayan yang bersandar di sana. Di tatapnya perahu tua peninggalan almarhum ayahnya itu. Dihirupnya udara puas-puas mencari aroma keringat bapaknya yang memeras keringat hanya untuk sebuah perahu kecil itu.
Ia melangkah tergesa saat menuruni tangga menuju sungai tempat perahunya terikat. Namun, tiba-tiba tubuhnya terhuyung saat sebuah tangan kukuh menarik lengannya. Badriah tersentak. Tenaganya kalah kuat untuk menarik tangannya dan melepaskan cengkraman di tangannya. Bola matanya membulat besar saat menatap sosok gelap itu. Nafasnya tersengal, dadanya tiba-tiba terasa sesak dipenuhi aroma tubuh pemilik tangan itu. Pemilik tangan itu menyergapnya dan menyeretnya menuju jajaran WC umum yang terletak tak jauh dari tangga itu.
"Umak kau la lamo nian berutang dengan aku!! Ari ini aku nak nagih bayarannyo. Idak dengan duit kutageh dengan kau…!!!"
Laki-laki itu??? Badriah merasakan dunianya gelap. Ia mencari bumi untuk menapakkan kaki. Ia mencari langit untuk bertemu matahari. Ia mencari sungai untuk mewujudkan mimpi. Nihil. Ia tak menemukan apa-apa. Tiba-tiba semua terasa gelap dan menyesakkan. Udara tak bersisa untuknya, laki-laki itu menyesap semuanya. Diantara musholla yang sepi dan ditepian sungai yang membisu dan dingin. Laki-laki itu menyedot semua energi dan mimpi yang pernah ia miliki. Badriah tergagap mencari dirinya.
"Jangan lupaaa…. Tahun depan sekolah ya…..!!!"
Romlah… tunggu aku.
Angin terasa panas.
"Aku mau masuk madrasah saja, Romlah. Biar aku tahu pasti Tuhan kite dimani?"
Matahari? Matahari? Matahari mengapa berhenti bersinar?
"Sekolah SMP lebih enak, Badriah. Nanti kupinjamkan buku-bukuku."
Tidak! Aku tak perlu buku. Aku….
"Tidak, terime kaseh. Aku cuma nak tahu Tuhan ade dimani?"
Sungai kemana? Kering?
Tuhan… ada dimana? Tolong… tolong aku.
"Ria… Tuhan kete ade dimani-mani. Tuhan ade di ayek, di darat, juge di atas kepale segale urang di dunie ni…"
Nyai…. Katakan pada Tuhan aku mencari-Nya. Tuhan… mana tangan-Mu??? Tuhan… ayo tolong aku… Tuhan, kemana sungaiku, tolong basahi aku.
“Agek, kite beli baju seragam. Kau kumpulkelah duit dari bejualan. Kite sekolah taun depan.”
Umak… dimane madrasah kite?
Badriah diam. Ia mencari-cari mimpinya. Tiba-tiba semua hal retak. Porak poranda di tangga tepian Sungai Ogan, Pasar Inderalaya. Menyakitkan… Ia tersedu tanpa air mata. Didayungnya perahu ke persimpangan. Dayungnya beku. Air sungai itu segar menyambut tangan dan kakinya yang dahaga. Sungai itu merangkulnya, ia merasakan kenyamanan yang mistik di dalamnya. Damai air sungai itu sungguh bening dan diterimanya tanpa sepatah kata.
“BADRIAHHH!!!!!” teriak beberapa orang ditepian sungai yang melihat tubuh gadis itu berkecipakan di air sungai. Beberapa laki-laki langsung melompat dan menceburkan diri untuk menolong gadis itu.
Sungai itu beriak pelan.
“BADRIAHHH!!!!”
Suara teriakan makin ramai. Namun, Badriah tak peduli.
Aku nyari Tuhan ade dimani?
* * *
Sakatiga, 27 Mei 2008