Rabu, 06 Juli 2011

SERDADU KUMBANG: Film Sederhana yang Luar Biasa


Setelah sukses dengan film Denias: Senandung di Atas Awan, Liburan Seru, King, dan Tanah Air Beta (2010) Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale kembali menunjukkan duet maut mereka dalam film Serdadu Kumbang (2011). Film yang dirilis pada 16 Juni 2011 lalu ini berkisah tentang mimpi seorang anak berbibir sumbing di tanah Sumbawa. Sama seperti film-film garapan Alenia Production terdahulu, Serdadu Kumbang pun sarat dengan pesan-pesan moral dan pendidikan. Sepertinya, duet suami istri ini dalam dunia perfilman nasional memang spesialis dunia anak-anak dan pendidikan.
Film berdurasi 105 menit ini berkisah tentang tiga sahabat, yakni Amek (Yudi Miftahudin), Umbe (Aji Santosa), dan Acan (Fachri Azhari). Mereka bertiga adalah siswa sekolah dasar di Desa Mantar. Sebagai ketiganya tumbuh dengan kepolosan, kejahilan, dan kekritisan khas anak-anak. Mereka bertiga adalah biang kenakalan di kelas, tetapi juga sumber inspirasi yang mengajarkan kepedulian, rela bekorban, dan kejujuran. Tak jarang ketiganya harus menjalani hukuman dari seorang guru killer, Pak Halim (Lukman Sardi), yang terkenal tak pandang bulu dan tak kenal ampun dalam memberikan hukuman kepada para siswa yang melanggar aturan kedisiplinan yang diterapkannya. Namun, dibalik bayang-bayang kekerasan Pak Halim, ada Ibu Guru Imbok (Ririn Ekawati) dan Pak Openg (Leroy Osmani) yang selalu siap sedia membela Amek dan kawan-kawan. Amek adalah seorang anak yang menderita bibir sumbing. Kekurangannya ini membuat dia minder dari teman-temannya. Hal ini membuatnya menjadi satu-satunya anak yang tidak pernah berani memiliki cita-cita. Ia tak pernah menuliskan harapannya lalu memasukkannya ke sebuah botol dan menggantungkannya dengan sebuah tali ke pohon harapan. Pohon Harapan adalah sebuah pohon beringin tua yang berada di puncak bukit dan langsung menghadap ke laut lepas. Pohon itu memiliki akar yang kokoh dan dahan yang bercabang-cabang. Namun, tak memiliki sehelai daun pun. Di dahan pohon itu tergantung banyak botol yang berisi berbagai harapan dan cita-cita seluruh penduduk Desa Mantar.
Serdadu Kumbang begitu kental dengan pesan moral. Dalam film ini, Nia dan Ari berhasil mengangkat religiusitas masyarakat Sumba. Tokoh agama begitu dihormati dan diteladani. Papin yang diperankan oleh Putu Wijaya memiliki peran besar dan membentuk karakter masyarakat Desa Mantar. Gaya bicaranya yang halus selalu berhasil menyentuh anak-anak tanpa mereka pernah merasa dihakimi. Misalnya, pada saat Amek berbohong bahwa ia telah melaksanakan sholat Isya’, Papin dengan mudah dapat mengetahui kebohongan itu dengan bertanya tentang berita terbaru saat ini sebab beliau tahu bahwa Amek sangat senang menonton berita. Menyadari bahwa kebohongannya diketahui Papin, Amek tidak harus merasa tersudut, ia malah dengan berani mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
Ada banyak kritik-kritik pedas yang berhasil dirangkum dalam film ini. Tentang menyontek, kejujuran, persaudaraan, dan kasih-sayang. Semua itu disampaikan dengan cerdas kepada para penonton melalui dialog-dialog para tokohnya. Misalnya, pada saat Acan mengajak Amek dan Umbe memancing. Umbek sambil berkedip kepada Amek mengatakan bahwa lebih baik memancing saat purnama karena ikan akan lebih banyak. Pada hari yang ditentukan ketiganya membolos, Umbe merancang kebohongan apabila nanti mereka ditanya tentang ketidakhadiran mereka di sekolah. Umbe mengusulkan agar mereka membuat alasan sakit, tetapi Amek malah meminta mereka untuk berkata apa adanya. Mengatakan bahwa mereka bolos karena sebuah kebohongan pasti akan diikuti oleh kebohongan lainnya.
Film ini sangat bernas untuk dinikmati para guru, orang tua, anak-anak, menteri, hingga politikus, atau bahkan Presiden Indonesia. Dialog-dialog cerdas para tokoh dalam film ini berhasil menggelitik kesadaran kita tentang apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat grass root. Ternyata selama ini, sebagai orang tua, guru, teman sebaya, atau mungkin pengambil kebijakan, kita telah lalai memperhatikan hal-hal kecil yang merupakan kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh anak-anak Indonesia. Kita lalai melaksanakan peran seperti Papin (Putu Wijaya) yang menyampaikan nasihat kejujuran berdasarkan logika dan pemahaman anak-anak. Seperti ketika Amek dan kawan-kawan mencuri jeruk bali dari kebun warga yang terkenal pelit. Papin tidak memarahi mereka, tetapi juga tidak membenarkan perbuatan itu. Menurut Papin, mencuri sekecil apa pun adalah sebuah kesalahan sebab jika hari ini Amek berhasil mencuri jeruk, besok mungkin akan mencuri kambing, lusa akan mencuri kerbau, dan seterusnya mungkin akan mencuri tanah dan semua harta di Desa Mantar.
Produser, penulis skenario, hingga sutradara film ini tidak bermaksud memasukkan film ini dalam genre film religius seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, atau Dalam Mihrab Cinta, tetapi nilai religius dalam Serdadu Kumbang jauh melampaui semua pesan keagamaan yang sempat diusung oleh film-film religus sebelumnya meskipun tak ada satu pun dialog dalam film ini menukil ayat-ayat Al Qur’an. Jika saja tidak mengenal produser film ini sebelumnya, kita tidak akan pernah menyangka bahwa film ini diproduseri oleh seorang kristiani. Jika film Islami yang selama ini diproduksi selalu berkutat tentang cinta, kesalehan, dan ketuhanan, dalam film ini kesabaran yang lebih hakiki begitu kuat terlihat dari tokoh Amek. Ia adalah seorang anak kecil yang menderita bibir sumbing, ditinggalkan ayahnya yang menjadi TKI ke Malaysia, harus menempuh perjalanan puluhan kilometer ke kota demi membelikan es batu untuk ibunya yang berjualan es, menangis karena kuda kesayangannya disita orang, dan menanggung sedih karena kematian kakak tersayangnya. Kesabaran yang dicontohkan Amek dan film ini sungguh luar biasa.
Inilah, film sederhana, tetapi memiliki daya gugah luar biasa.