Selasa, 13 Desember 2011

LELAKI MALAIKAT DAN BOCAH MATAHARI


Lelaki itu hampir enam puluh tahun. Namun, tubuhnya masih tegap. Langkahnya tak goyah sedikit pun. Matahari dan debu jalanan belum mampu menggoyahkan tubuhnya yang legam. Rambutnya memang telah sempurna memutih. Tubuhnya masih terlihat kekar, meskipun kulit legam pembalut tubuh itu mulai mengendur. Namun, sorot matanya masih setajam empat puluh tahun lalu. Tak berkurang sedikit pun. Langkahnya masih awas dan tegap seperti dalu. Ia bukan orang penting bagi para penumpang kereta di stasiun itu, tetapi gerbong-gerbong tua kereta berkarat di sana mengenal lelaki itu dengan baik. Juga, gunungan sampah di belakang stasiun besa itu. Mereka adalah kawan akrab yang berbagi oksigen dengan adil di sudut kota besar nan sibuk itu.
Lelaki itu bersandar di besi tua pagar pembatas stasiun kereta. Tangan kanannya asyik memainkan beberapa keping uang receh yang gemerincing dalam genggamannya. Namun, ia tak benar-benar sedang menikmati mainan itu. Matanya sedang mengawasi bocah laki-laki berambut ikal yang meringkuk gemetar di seberang jalan. Matahahari yang bersinar garang menyorot kontras tubuh sang bocah. Tubuh ringkih bocah itu hanya berbalut kaus tipis usang dan telah berubah warna karena debu jalan. Wajahnya pucat. Bibirnya kering gemetar mengemis derma. Tangan kanannya masih berusaha menadah pada para pejalan kaki yang lalu lalang di hadapannya. Namun, hanya beberapa recehan saja yang berlabuh di genggamannya. Sekali dua bocah itu memejamkan matanya sambil meremas perutnya yang entah telah berapa lama tak terisi nasi. Sesuatu yang tak ia kenali seperti sedang menggigit perutnya dengan rakus.
Lelaki tua itu mulai kesal. Ia meremas recehan dalam genggamannya lalu melangkah menyeberangi jalan. Menyebrang seenaknya membelah kemacetan jalan. Tak pedui para pengendara sepeda motor, mobil pribadi, dan bus kota yang harus berhenti mendadak karena ulahnya. Para supir bus kota menekan klakson bus tua mereka dengan kesal. Makian pun tak urung ditumpahkan bersama raungan klason yang memekakkan telinga. Lelaki itu tak peduli. Ia mendekali bocah ringkih yang gemetar di trotoar jalan di depan sebuah toko besi tua. Ia menyeret paksa bocah itu. Sang bocah kurus kering berambut ikal tersaruk-saruk mengikuti langkah lelaki tua itu. Ia tak lagi punya daya untuk sekadar menarik lepas tangannya dari cengkraman tangan keriput di hadapannya. Bahkan untuk sekadar memohon agar lelaki itu berhenti menyeretnya, ia tak kuasa. Bocah itu seperti daun kering tak berarti yang menunggu angin menerbangkannya lalu membiarkannya sekarat sendiri di tanah becek.
Nafas bocah itu tersengal saat lelaki itu melepaskan tangannya. Ia tersungkur di trotoar di depan sebuah toko. Ia tak sempat memperhatikan toko apa itu. Yang pasti hidungnya mencium aroma lezat yang semakin membuat lambungnya perih. Ia terbatuk karena paru-parunya terhimpit lelah. Beberapa pejalan kaki memperlambat langkah mereka saat menyaksikan betapa menderitanya bocah itu walaupun hanya sekadar bernafas. Namun, mereka hanya memberinya tatapan iba yang kosong. Tak tergerak hati untuk menolongnya.
“Ini!” lelaki tua melemparkan sebungkus nasi yang masih terasa hangat, “makanlah!” perintahnya tak acuh.
Tak perlu diperintah dua kali. Bocah ringkih itu segera membuka bungkusan nasi dan melahap seporsi besar nasi dengan kuah santan pedas dan sepotong ikan panggang. Porsi yang terlalu besar untuk ukuran anak-anak seusianya. Namun, tidak bagi lambungnya yang telah kosong sejak tiga hari lalu. Seandainya ada, ia masih mampu menampung dua porsi nasi lagi dengan ukuran yang sama.
“To ma ko sih!” ujarnya sambil menatap sekilas lelaki tua yang berjongkok di sebelahnya. Mulutnya penuh dengan nasi hangat berkuah santan pedas.
Lelaki itu mengangguk sambil mengusap kepala bocah itu. Ia menggeleng menyebalkan melihat semangat bocah itu untuk menghabiskan sebungkus nasi porsi besar yang diberikannya. Sebuah senyum terukir di bibirnya sesaat sebelum ia menghisap dalam-dalam rokok kreteknya.
* * *
Hari itu adalah hari terakhir bocah itu kelaparan di pinggir jalan. Lelaki tua bermata elang itu adalah malaikat Tuhan yang dikirim hanya untuknya. Hari itu ada kesepakatan imajiner diantara keduanya untuk saling melengkapi. Keduanya menjalin simbiosis mutualisme yang lebih berharga dibanding hubungan antara seekor kerbau dan burung jalak perjaka. Sebungkus nasi dan sepotong ikan panggang adalah mahar pembelian jiwanya oleh lelaki tua yang rambutnya hampir sempurna memutih. Sebungkus nasi berkuah santan pedas itu telah membuat sang bocah itu mengukir prasasti pengabdian kepada sang lelaki tua. Diukirnya prasasti pengabdian dan kepatuhan kepada lelaki yang ia tak tahu benar siapa dan bagaimana kehidupannya. Namun, itu tak penting. Yang penting adalah lelaki tua itu adalah manusia terbaik yang ada di kota ini. Tiga hari ia kelaparan dan menadahkan tangan pada hampir sebagian penghuni kota. Namun, taka da satu pun yang peduli. Hanya seorang, hanya seorang saja yang peduli padanya. Lelaki itu. lelaki yang tak pernah tersenyum padanya.
Lelaki tua itu pun demikian. Ada kesepakatan imajiner antara dirinya dengan bocah laki-laki yang diam-diam dinamainya Bocah Matahari itu. Ia tak pernah berminat menanyakan nama bocah itu, begitu pun sebaliknya. Diam-diam bocah itu pun menamai sendiri lelaki beruban itu, Lelaki Malaikat.
Lelaki Malaikat membiarkan bocah kurus kering yang diberinya sebungkus nasi padang mengikuti langkahnya memasuki wilayah kumuh tempat puluhan rumah kardus berdiri ringkih. Ia membiarkan bocah itu tidur di sampingnya walaupun tak juga benar-benar meminta bocah itu pergi. Ia tak tahu apa yang menggerakkan tangannya untuk membagi satu-satunya plastik besar yang dimilikinya untuk berlindung dari serbuan angin malam yang meringsek masuk dari celah rumah kardusnya kepada bocah ringkih itu. Ia juga tak tahu, apa yang membuatnya membiarkan bocah itu terus berpeluk dengan mimpinya meskipun kokok ayam telah ramai dan ia harus segera meninggalkan rumah kardus itu.
Lelaki Malaikat beranjak dari tidurnya. Ia merapikan plastik yang menyelimuti tubuh bocah laki-laki di sampingnya dengan hati-hati lalu beranjak keluar dari rumah kardusnya. Di luar, beberapa pemulung telah sibuk memperebutkan sampah yang baru ditumpahkan dari sebuah truk kuning yang telah kusam catnya. Aroma tak sedap menusuk hidung. Aroma mix dari bangkai hewan, sampah busuk, bahkan kotoran manusia. Namun, siapa peduli dengan aroma itu! Mereka bahkan jejingkrakan di atas tumpukan sampah itu karena berharap menemukan mutiara di dalamnya. Beberapa kali lelaki beruban itu melambaikan tangan membalas sapaan pemulung yang mengenalnya. Tanpa senyum. Ia melangkah cepat sambil merapatkan kacing jaket lusuhnya. Sebuah topi jerami menutupi rambut berubannya.
Lelaki Malaikat menghabiskan perjalanan dari rumah kardusnya hingga ke halaman sebuah rumah sakit pemerintah dengan menunduk dan menendang-nendang kaleng minuman ringan yang dibuang di sembarangan. Sebuah aktivitas dan kehidupan yang kontras dijalaninya setiap hari. Di siang hari, sejak matahari terbit hingga terbenam, ia menghabiskan waktu di tempat dengan standard dan petugas kesehatan terbaik di kota ini. Namun, saat mentari tenggelam hingga terbit esok pagi, ia menghabiskan malamnya di tempat paling busuk di sudut kota. Tak jauh dari rumah sakit tempat ia bekerja sebagai penyapu halaman.
Di halaman rumah sakit itu ia mengais rezeki. Sebuah sapu lidi berada dalam genggamannya laksana tombak para pengawal Kerajaan Majapahit. Sapu lidi itu melengkung di ujungnya. Tangkainya yang patah disambung dengan lilitan tali rapiah. Dengan sapu sederhana itu, ia mengais semua sampah dan daun kering di halaman rumah sakit hingga petang menjelang. Setiap akhir pekan ia akan menerima beberapa lembar puluhan ribu untuk hidupnya sepekan ke depan. Di pinggangnya terselip sebuah kemoceng yang telah kocar-kocir bulunya. Dengan kemoceng compang-camping itu, ia membersihkan debu di mobil para dokter atau pengunjung rumah sakit untuk mendapatkan tambahan rupiah seadaanya. Menjelang petang, ia menyimpan kemoceng dan sapu lidi melengkung miliknya dan bersiap pulang sambil membawa sebungkus nasi berkuah santan pedas.
“Lihat! Aku dapat lumayan hari ini.”
Bocah lelaki kurus kering yang kini mulai memerah wajahnya itu mengulurkan cangkir bekas air mineral yang berisi beberapa keping uang receh dan beberapa lembar seribuan. Wajahnya cerah. Senang menatap kepingan receh di cangkir itu. Namun, Lelaki Malaikat di hadapannya menatap sinis cangkir air mineral yang penuh dengan rupiah itu. Kemudian. PLAKK!!! Sebuah tamparan mendarat di wajah bocah itu. Bocah Matahari meringis menahan pedih di wajahnya. Dalam hitungan detik, pelupuk matanya memanas. Namun, ia berusaha membendung air mata itu, tetapi gagal. Dalam senyap, air mata itu runtuh satu persatu. Bulat bening lalu beach di tepian wajahnya. Sang bocah masih bertahan agar tak tersedan. Mempertahankan harga dirinya.
Lelaki Malaikat menarik tangan kanan Bocah Matahari di hadapannya yang sejak tadi menutupi pipinya yang pedas memerah. Ditatapnya wajah bocah yang telah basah oleh air mata itu.
“Dengar, Bocah!!!” ujarnya, “Kau tahu???”
Bocah itu menggeleng.
“Jarimu ini terlau lentik untuk mengemis! Tanganmu ini terlalu kuat untuk mengemis! Tubuhmu ini terlalu gagah untuk mengemis!! Jiwamu itu terlalu mahal untuk mengemis!!” sergahnya dengan suara tinggi, “Kau tahu??? Aku pantang memakan uang derma!!!” lanjutnya lagi sambil merebut gelas air mineral berisi uang receh itu dan melemparkannya ke luar rumah kardus.
Air mata mengalir makin deras. Namun, Bocah Matahari bergeming. Ia tahu tindakannya salah dan memalukan. Ia telah berjanji tak akan membantah apa pun dari lelaki itu. Bukankah semua yang dikatakan lelaki itu benar? Maka ia pasrah saja jika nanti lelaki tua itu mengusirnya atau bahkan memotong tangannya terlebih dahulu sebelum membuangnya kembali ke jalanan. Air matanya masih mengalir deras saat lelaki itu mendorongnya hingga terduduk ke pojok rumah kardus yang sempit itu.
“Makanlah!” perintah lelaki tua itu sambil melemparkan sebungkus nasi dengan aroma kuah santan pedas.
Air mata terus mengalir di wajahnya. Bocah Matahari tak hendak membantah apalagi melawan lelaki itu. Ia telah berjanji tak akan membantah apapun yang dikatakan lelaki tua itu. Lelaki Malaikat itu telah membeli jiwanya. Termasuk kepatuhan tertinggi yang ia miliki. Beberapa hari lalu lelaki itu telah menyelamatkan nyawanya dari kematian yang hina. Mati karena kelaparan. Lelaki itu telah membeli dirinya hanya dengan sebungkus nasi. Apa pun yang diminta lelaki itu akan ia lakukan untuk membayar hutang budinya. Namun, lelaki itu belum meminta bayaran. Hari ini lelaki itu malah membawakannya sebungkus nasi beraroma kuah santan pedas dengan sepotong ayam. Dengan air mata di pipi dan sedan yang tertahan, ia berusaha menelan nasi yang masih hangat dan beraroma wangi itu. Susah payah ia meminta tenggorokannya untuk menelan nasi itu cepat-cepat. Namun, tenggorokannya malah terasa sakit dan tercekik. Seperti menelan sebutir bakso bulat-bulat tanpa dibelah alih-alih dikunyah. Setetes air mata jatuh di nasi berkuah santan pedas. Bahu bocah itu berguncang menahan tangis.
“Maafkan aku,” ujarnya lirih dengan suara tercekat, tetapi tetap berusaha memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.
Lelaki itu tak peduli. Ia mematikan rokoknya dan beranjak ke sudut yang lain rumah kardus sempit itu. Menarik sebuah plastik dan menyelimuti di badannya. Beranjak tidur secepat mungkin. “Kau habiskan nasi itu,” perintahnya.
Bocah itu mengangguk pelan. Tangan kirinya menyeka air mata yang kian basah.
* * *
“Bangun!!!” perintahnya.
Bocah Matahari berusaha membuka matanya yang masih dipulut kantuk.
“Ini,” lelaki itu mengulurkan sebuah kotak kayu dengan sebuah tali sederhana.
“Nyemir??” tanya bocah itu ragu.
Lelaki itu mengangguk, “Lebih mulia untuk tanganmu itu daripada mengemis.”
“Terima kasih,” ia menghambur memeluk lelaki itu. Mengucapkan ‘terima kasih’ untuk ke sekian kalinya, “Kau lebih ‘ayah’ dari ayahku sendiri,” ucapnya tulus dan mempererat pelukannya sambil terisak.
Lelaki Malaikat tak siap dengan reaksi sang bocah. Ia hampir terhuyung karena sebuan dekapan tiba-tiba itu. Kalimat bocah itu terdengar begitu tulus. Kalimat itu seperti jarum yang masuk ke hatinya. Tajam. Namun, mencairkan kebekuan yang selama ini disembunyikannya dari semesta. Meskipun demikian, ia tetap berusaha keras menekan naluri kebapakannya untuk mengusap lembut kepala Bocah Matahari itu. Tangan lelaki itu menggantung di udara.
“Sudah! Bersiaplah, sebelum calon langgananmu diambil yang lain.”
Bocah itu mengangguk. Ia berusaha tersenyum meskipun matanya terasa perih dan berat karena terlalu banyak menangis sejak semalam. Namun, seperangkat kotak semir itu memberinya semangat baru. Mencuci otaknya untuk segera melupakan kemarahan lelaki itu padanya. Dalam hati ia berjanji, akan membelikan lelaki itu sebungkus nasi berkuah santan pedas dengan hasil keringatnya sendiri.
Bagi Bocah Matahari, kotak semir itu mengubah segalanya. Kotak itu adalah mesin ajaib untuk hidupnya saat ini. Tak ada lagi kelaparan dalam hari-hari Bocah Matahari itu. Sepotong roti setiap pagi dapat dibelinya untuk mengganjal perut hingga siang tiba dan ia berhasil mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membeli sebungkus nasi. Relasinya dengan Lelaki Malaikat tak banyak berubah. Mereka tak pernah terlibat pembicaraan dua arah. Seperti biasa, lelaki itu pergi pagi-pagi sebelum ayam ramai bermain di tumpukan sampah dan baru kembali setelah langit sempurna kelam. Ia tak banyak bicara. Lebih banyak menghabiskan waktunya di depan pintu rumah kardus sambil menghisap dalam-dalam rokok kreteknya.
* * *
Seperti biasa saat kokok pertama ayam jantan di permukiman kumuh itu terdengar, Lelaki Malaikat beranjak dari tidurnya. Melipat selimut plastik miliknya lalu merapikan plastik selimut yang melapisi tubuh bocah di sebelahnya. Bocah Matahari masih nyaman bermain di mimpinya. Ia telah terbiasa meninggalkan bocah itu setiap pagi. Saat truk sampah pertama menumpahkan isi perutnya, lelaki itu telah siap dengan jaket lusuh berdebu dan topi jeraminya. Dengan sepatu karet bertali rapiah, ia mulai menyusuri jalan pinggiran rel kereta menuju rumah sakit pemerintah tempatnya mengais rezeki.
Beberapa mobil dan motor terparkir di halaman rumah sakit. Sampah dedaunan kering, plastik bungkus makanan, dan plastik air mineral terserak di beberapa titik halaman. Lelaki itu segera mengambil sapu lidi dan kemocengnya. Ia baru saja hendak memasang masker di wajahnya dan memulai aktivitas menyapu halaman saat terdengar sesuatu terjatuh berdebam dengan keras. Dilihatnya seseorang berjas dokter lengkap dengan sebuah stetoskop melingkar di leher terjatuh dari mobilnya.
“Dokter??”
Lelaki tua itu mencoba memberi pertolongan seadanya. Ia membantu dokter itu berdiri dan membersihkan jasnya kotor terkena debu. Ia mengenal dokter itu cukup baik karena dokter itu sering menggunakan jasanya untuk membersihkan debu mobil atau sekalian mencucikan mobilnya dengan imbalan yang tak perlu disepakati sebelumnya.
“Terima kasih,” ujar dokter itu sambil mengamati lelaki tua itu lekat-lekat.
“Ada apa dokter?? Dokter sakit?” tanyanya sopan.
Sang dokter menggeleng, “Tidak, mungkin hanya lelah,” jawab dokter itu singkat.
“Oh… Mari, Dokter,” lelaki itu berusaha tahu diri untuk tidak bertanya lebih jauh dengan seseorang yang berbeda kasta dengannya itu. Ia berniat kembali menekuri sapu lidi dan kemocengnya.
“Hm.. Bapak!” pangil dokter itu.
Lelaki itu menunjuk dirinya. Sang dokter membalas dengan anggukan kepala.
“Saya butuh bantuan,” ujar dokter itu lugas, “bisa bantu saya mencari orang yang bersedia mendonorkan ginjal? Tidak! Bukan bantuan. Katakan, saya akan membayar dengan harga pantas,” lajutnya lagi.
Lelaki tua itu mengerutkan dahi, “Membeli ginjal??”
Dokter itu mengangguk.
“Untuk apa dokter?”
“Untuk istri saya. Segera!” jawabnya ringkas.
Lelaki tua itu mengangguk, “Nanti akan saya coba tanyakan, Dokter.”
Ia tak yakin dapat membantu dokter itu mencarikan donor untuk istrinya. Siapa yang bersedia mendonorkan ginjal? Siapa yang bersedia hidup timpang setelah menerima setumpuk uang yang akan habis dalam sekejap mata? Kalaupun ada mungkin dokter itu tak bersedia menerima ginjal itu karena lingkaran relasi lelaki tua itu adalah fakir miskin dan pemulung di lingkungan kumuh dekat stasiun kereta api. Jangan-jangan ginjal mereka pun berbau busuk dan tercemar karena terlalu lama hidup di atas tumpukan sampah tempat mereka mengais rezeki itu. Namun, dibalik semua kemungkinan buruk itu lelaki itu masih berniat mencarikan bantuan untuk dokter muda itu.
* * *
Langit merah jingga. Beberapa walet terbang menukik bergerombol. Bocah-bosah berambut merah kusam berlarian di tepi rel kereta api ditingkahi teriakan ibu mereka yang menyuruh pulang. Aroma khas gunungan sampah telah tercium puluhan meter sebelum TPA itu jelas terlihat, ditambah lagi angin bertiup semilir.
Lelaki Malaikat menuju gubuk kardusnya sambil menenteng dua bungkus nasi berkuah santan pedas dengan sepotong ikan panggang lezat. Ia sumringah membayangkan wajah cerah Bocah Matahari saat menerima nasi bungkus darinya. Setidaknya, bocah itu tak harus mengeluarkan uang hasil menyemirnya untuk membeli makan malam ini. Namun, senyum di wajahnya, tiba-tiba pudar. Saat dilihatnya bocah itu masih terbujur berselimut plastik seperti tadi pagi saat ditinggalkannya. Ia meletakkan sembarang saja kantong plastik nasi bungkus itu. Disekanya dahi bocah itu. Keringat mengucur dari tubuhnya yang terasa hangat.
“Hei, kau mengapa seperti ini?” lelaki itu mengguncangkan tubuh sang bocah.
Tak ada jawaban. Bocah itu bergeming terpejam.
“Maafkan aku,” bisiknya sambil mengangkat tubuh itu, “bertahanlah,” ia menggendong Bocah Matahari keluar dari rumah kardus.
Terseok Lelaki Malaikat berjalan membawa bocah itu di pundaknya. Tak dijawabnya berbagai sapaan dan pertanyaan yang disampaikan padanya. Di kepalanya hanya ada satu tempat yang harus segera didatanginya. Satu-satunya petugas kesehatan yang ada di permukiman kumuh itu. Mantri Setiabudi. Di kota secanggih itu hanya ada seorang mantra tua yang disediakan untuk mereka para pemulung, gelandangan, pengemis, dan pencopet. Mantri itu melayani semua keluhan penyakit warga kumuh di sana, mulai dari kudisan, mencret, wanita hamil, sunatan, bahkan korban penusukan dan perkelahian pun dia yang menangani. Hanya tangannya yang semakin menua dan keriput, serta jarum suntiknya itu yang setia berbagi duka selama puluhan tahun dengan orang-orang terbuang di tepi gunungan sampah kota.
Lelaki tua itu langsung membaringkan bocah kurus kering di gendonganya ke atas ranjang periksa, “Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Yang pasti, ia kutinggalkan dalam keadaan tidur dan saat aku kembali ia juga masih tertidur.”
Mantri tua berkaca mata tebal menganggukkan kepala. Ia menyeka dahi bocah itu. Tangannya lincah membuka sebuah tas hitam. Dalam waktu hampir bersamaan ia mengeluarkan stetoskop, thermometer, dan tensimeter. Tangan kanannya lincah memasangkan stetoskop itu ke telinganya dan tangan kirinya meletakkan thermometer di ketiak Bocah Matahari. Kedua tangan itu bekerja secara bersamaan. Hasil latihan bertahun-tahun. Maklumlah, ia mengabdi di permukiman kumuh itu hampir tiga perempat masa tugasnya tanpa didampingi seorang asisten pun. Waktu membuatnya semakin gesit.
Mantri itu terlihat khusuk mendengarkan detak jantung dan derak paru-paru bocah itu. Ia menggeleng saat melihat angka yang ditunjukkan oleh thermometer tuanya. Ia mengetuk perut bocah itu dan mendengarkan suaranya. Di beberapa bagian ia malah menekan dengan keras perut bocah itu. Sang bocah meringis menahan sakit.
“Kau makan hari ini?”
Bocah itu menggeleng lemah.
“Aku berusaha menelannya, tapi perutku semakin sakit, lalu tanpa mampu kucegah semuanya merangsek keluar dari perutku,” keluh bocah itu lemah.
Mantri Setiabudi mengangguk.
“Sudah berapa lama?” tanyanya.
“Ini yang terparah. Sebelumnya aku mampu menanggung semua rasa sakitnya,” keluh bocah itu memelas.
Kali ini sang mantri menggeleng.
Pak tua yang sejak tadi menanti hasil pemeriksaan tak sabar mendengar penjelasan mantra itu, “Ada apa dengannya?”
“Ada masalah dengan ususnya. Aku tak mampu memastikan. Ilmuku terlalu dangkal. Mungkin usus buntu akut atau radang usus. Kau harus membawanya ke dokter segera. Bahkan jika perkiraanku benar bahwa anak ini menderita usus buntu akut, kau juga harus menyiapkan biaya operasi untuknya.”
“Berapa besar?” tanya lelaki itu tak yakin.
“Entahlah, lima hingga sepuluh juta. Bahkan mungkin lebih,” jawab dokter itu prihatin.
Kepala Lelaki Malaikat berdenyut hebat. Di pandangnya bocah yang meringis menahan sakit yang terbaring di ranjang pemeriksaan. Bagaimana mungkin ia mendapatkan uang sebanyak itu? Haruskah bocah itu kehabisan usianya hanya karena biaya operasi yang tak mampu dipenuhinya.
“Ambillah ini,” mantri itu menyodorkan beberapa jenis obat, “ini hanya mampu mengatasi demamnya dan mengurangi sedikit nyeri yang dirasakannya. Maaf, aku tak mampu memberi lebih. Kau tau sendiri persediaan obat-obatan di klinikku ini terbatas jenis dan kualitasnya. Hanya ini yang dapat kubantu untukmu,” ucapnya tulus, “tak usah membayar,” sambungnya lagi saat lelaki tua bertopi jerami di hadapannya hendak mengulurkan segelung uang yang sama lusuh dengan dirinya dari saku jaketnya yang berdebu.
Lelaki itu menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih. Ia mengambil bungkusan obat yang diulurkan Pak Mantri. Sambil menggendong bocah kurus beraroma matahari di bahunya, ia meninggalkan rumah sederhana bercat putih kusam itu, warna khas rumah petugas kesehatan. Nafas bocah itu terasa hangat di punggungnya. Langkah lelaki itu terasa makin berat. Beban di punggungnya yang terdengar merintih menahan sakit itu jelas di atas empat puluh kilogram ditambah lagi beban imajiner yang bertengger di kepalanya.
“Kau tahu,” bisik bocah itu dengan suara lemah, “seingatku, ayahku tak pernah sekali pun menggendongku dipunggungnya seperti ini,” air mata bocah itu jatuh di tengkuk Lelaki Malaikat, “kau lebih ‘ayah’ dari ayahku sendiri,” bisik bocah itu lalu tertidur di punggung kokoh yang legam terbakar matahari.
Lelaki Malaikat merasa dadanya nyeri mendengar kalimat itu lagi. Bahkan makin sesak seolah terhimpit saat memikirkan maut yang mengincar bocah itu seandainya ia tak mampu mengumpulkan biaya operasi untuk memutus usus sialan itu. Lelaki itu melangkah dalam diam menuju gubuk kardusnya. Setibanya di gubuk kardus yang rawan hancur bila hujan deras melanda, ia membaringnkan Bocah Matahari dengan hati-hati. Tangan kananannya menyeka keringat yang membasahi dahi sang bocah derita. Menyelimutinya dengan dua lembar plastik lebar. Diletakkannya sebotol air minum, sebungkus nasi padang berkuah santan pedas, bungkusan obat pemberian Mantri Setiabudi, dan sebungkus roti yang hampi mengeras.
“Hai, Bocah!” Lelaki itu menepuk lembut pipi bocah lelaki yang matanya hampir selalu terpejam sejak kepulangannya tadi, “Dengar! Jaga dirimu baik-baik. Makan dan minumlah semua obat dan makanan yang telah aku siapkan. Ingat!! Kuperintahkan kau jangan mati!! Akan kucarikan jalan untuk mempertahankan nyawamu itu. Ingat! Kau tak boleh menyerah dengan penyakit bodoh itu. Kau ingat perintahku?"
Bocah itu mengangguk lemah. Di kepalanya berputar janji yang pernah dia patrikan sejak pertama bertemu lelaki tua beruban itu.
“Kau tidak boleh mati! Kau dengar?” ulang lelaki itu, “apalagi hanya karena penyakit itu. Kalau nanti malaikat yang datang sendiri padamu, baru kau boleh mati! Kau hanya boleh mati karena dua hal. Pertama bila aku izikan dan kedua bila malaikat yang datang sendiri padamu.”
Bocah Matahari mengangguk kembali dengan sisa energi yang dimilikinya dan kesetiaan luar biasa pada lelaki itu. Ia telah berjanji mematuhi dan mendengarkan semua perintah lelaki itu. Bahkan perintah untuk hidup dan matinya pun, ia dengarkan baik-baik dari lelaki itu.
* * * *
“Aku ingin bertemu Dokter Handoko!” suara lelaki tua itu meninggi. Tangan kanannya terhempas di meja administrasi dengan kesal.
Suster yang bertugas jaga di UGD malam itu tak kalah kesalnya. Matanya yang lelah menahan kantuk balas melotot pada laki tua dekil di hadapannya, “Dokter Handoko tidak jaga malam ini, Bapak! Tunggu sampai besok pagi di stase penyakit dalam,” perintahnya sinis.
“Bukankah kau bisa meneleponnya? Bukankah kau biasa menghubunginya dalam keadaan darurat, tidak peduli siang, malam, hujan, atau badai? Bukankah kau biasa melakan itu semua?”
“Ya, tapi tidak malam ini. Ini tidak darurat.”
“Ini darurat!!” teriak lelaki itu, “Anakku! Anakku sedang bertaruh nyawa!”
Untuk pertama kalinya, Lelaki Malaikat menyebut Bocah sebagai anaknya. Dadanya sesak saat menyebut kata itu. Ia bahkan harus berjuang keras mempertahankan ketangguhan matanya yang mulai memanas dan siap meruntuhkan air bah. Entah apa pula yang menggerakkan suster di hadapannya untuk mengulurkan gagang telepon kepada lelaki itu sambil menekan cepat sebuah deretan angka.
Angin malam makin dingin dan sunyi. Beberapa pasien memasuki UGD dengan tergesa. Suara brangkar yang didorong cepat berderak-derak saat rodanya beradu dengan lantai rumah sakit yang licin. Lelaki tua menunggu dengan pasrah Dokter Handoko yang berjanji segera menemuinya kurang dari 10 menit. Namun, waktu yang dijanjikan itu terasa amat panjang dan menjemukan. Bayangan dan rintih bocah itu makin menjadi hantu di kepalanya. Bocah Matahari adalah anak yang ditemukannya di bawah terik matahari. Matahari telah bermurah hati memberikan anak itu padanya.
“Dokter, bisakah saya yang menjadi donor untuk istri dokter?”
Tanpa tedeng aling-aling lelaki itu menyampaikan maksudnya saat Dokter Handoko menemuinya di ruang tunggu UGD. Dokter itu mengamati lawan bicaranya baik-baik. Ia sama sekali tak yakin akankah ginjal itu cocok untuk istrinya.
“Mengapa tiba-tiba? Bapak butuh uang?”
Lelaki itu menggeleng, “Tak usah membayar saya, Dokter. Tapi..”
“Apa?” tanya dokter itu tak sabar.
“Anak saya butuh operasi segera,” ada yang mengganjal tenggorokannya saat menyebut kalimat itu, “saya mohon,” pintanya memelas, “biarlah ginjal ini sebagai bayarannya. Mantri di kampung saya bilang dia mungkin mengalami radang usus atau usus buntu akut. Dia akan mati bila saya dan Dokter diam saja,” suara lelaki itu terdengar lirih.
* * *
Bocah Matahari mengingat semua perintah yang diberikan lelaki itu padanya. Ia tahu ia harus bertahan hidup hingga lelaki itu mengizinkannya mati. Sejak dua malam lalu, lelaki itu pergi. Nasi berkuah santan pedas yang ditinggalkan untuknya telah menguarkan aroma tak sedam. Sepotong roti murahan isi coklat telah ditumbuhi jamur dan mengeras. Dua botol air minum hampir tandas isinya. Bocah itu masih terbaring di sana mempertahankan hidupnya semampu yang ia bisa demi memenuhi perintah lelaki itu. Sakit di perutnya terasa makin melilit perih.
Di rumah sakit, lelaki itu berjalan terbungkuk. Menahan nyeri luka jahitan sisa operasi di pinggangnya. Dokter Handoko berusaha menahannya agar tak meninggalkan tempat tidur.
“Saya harus pulang, Dokter. Dua hari saya meninggalkan bocah itu sendiri. Tak ada yang tahu ia sakit di gubuk itu. Saya harus pulang! Memastikan bahwa dia masih bertahan hidup di sana. Kita harus segera membuang usus sialan dari dalam perutnya itu.”
Dokter Handoko mengangguk. Ia berhutang budi pada lelaki itu.
“Saya antar,” jawabnya pendek sambil membimbing lelaki itu menuju mobilnya.
Lelaki itu hanya menyebutkan sebuah wilayah lingkungan kumuh terkenal di kota itu. Dokter Handoko membiarkan Lelaki Malaikat bersandar dan memejamkan mata selama perjalanan menuju gubuk tuanya. Ia melajukan mobilnya secepat yang ia mampu meskipun sesekali harus terhalang oleh gerombolan bocah yang asyik bermain atau pasar tradisional yang sedang ramai. Mobil berhenti di sebuah stasiun kereta.
“Kita sampai.”
Lelaki itu membuka matanya dan memperhatikan suasana di luar mobil mewah milik sang dokter. Ia turun dari mobil itu dan melangkah tergesa melewati para penumpang kereta yang baru saja tiba di stasiun. Dokter Handoko bermaksud mengiringi langkahnya menuju gubuk yang berada tak jauh dari stasiun kereta.
“Tidak usah. Biar saya sendiri. Dokter tunggu di sini saja, saya khawatir, selera makan dokter akan rusak selama berbulan-bulan bila melihat gubuk tua dan pekarangan rumah kami yang berada di kaki gunungan sampah terbaik di kota ini,” ujar Lelaki Malaikat yakin.
Dokter Handoko mengangguk dan membiarkan sosok tua itu berjalan tertatih memengangi luka operasi di pinggangnya. Ia tahu lelaki itu akan menghabiskan waktu cukup lama untuk menjemput dan membawa anaknya. Apalagi ia harus menggendong bocah itu sambil menahan luka dan nyeri di pinggangnya. Itu berarti akan memakan waktu ekstra.
Lima belas menit menunggu sambil menatap ramainya lalu lalang penumpang kereta yang baru tiba dan hendak berangkat dari stasiun itu adalah waktu yang cukup panjang untuk Dokter Handoko berdiri manis di samping mobilnya yang mewah. Ini pemborosan waktu yang cukup signifikan untuk seorang dokter yang biasa sibuk seperti dirinya. Namun, ia segera tersenyum saat melihat sosok lelaki tua itu dari kejauhan. Lelaki itu berjalan makin tertatih. Ia tak menggendong bocah itu di punggungnya, melainkan membekap bocah itu di dadanya. Ia berusaha meneguhkan tubuhnya yang ringkih dan masih lemah untuk menggendong bocah itu. Dokter Handoko berusaha mendekati lelaki itu sebelum tiba-tiba arus manusia merangsek ke arahnya.
“Copet!!!! Copet!!!”
Sebuah teriakan lantang entah dari mana asalnya. Seorang laki-laki berlari memotong langkah Dokter Handoko. Terdengar lagi teriakan histeris yang hampi sama dari beberapa wanita. Puluhan lelaki lainnya mengejar dengan beringas.
Lelaki Malaikat menghentikan langkah melihat hiruk pikuk di hadapannya. Ia berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Matanya mencari sosok Dokter Handoko yang tadi tampak hendak menghampiri dirinya. Namun, sosok dokter itu telah tersaput massa yang sedang memburu pencopet tengik. Bocah itu meringis dan melenguh lemah.
“Sabar, Nak…” bisiknya.
“Bapak??” bocah itu berusaha membuka mata dan menatap mata tua di hadapannya. Ia berusaha mempercayai sapaan lelaki itu untuk dirinya.
Lelaki itu tersenyum tulus. Air mata menyelinap turun dari sudut mata Bocah Matahari. Jatuh lurus ke tepian telinganya. Tiba-tiba seorang laki-laki berlari di hadapan mereka dan meletakkan sebuah dompet di atas tubuh bocah dalam gendongan Lelaki Malaikat.
“COPET!!!!”
Semua terjadi begitu tiba-tiba. Lelaki Malaikat tak punya waktu untuk menjelaskan. Sebuah dompet coklat mengkilat di gendongannya adalah bukti otentik yang tak butuh penjelasan. Pemburu brutal yang berlari beringast mengejar pencopet tengik berhenti di hadapannya. Semua terjadi begitu tiba-tiba. Lelaki itu tak sempat menghindar. Ia terjerembap begitu pukulan pertama menghantam kepalanya.
“Bapaaakkk….” Bocah Matahari menjerit lemah saat tubuh keduannya berdebam ke tanah.
“Bertahanlah! Jangan mati!” bisik Lelaki Malaikat dengan suara hampir tak terdengar.
Semuanya makin tak terkendali. Semua orang mengumpulkan seluruh energi di tubuh mereka dan mengeluarkan tendangan dan pukulan terbaik yang mereka miliki. Tubuh Lelaki Malaikat dan Bocah Matahari menjadi samsak empuk tempat kaki-kaki bersepatu mahal memdaratkan tentangan. Sasaran tangan-tangan terkepal mendaratkan pukulan. Sebuah kaki berbalut sepatu dengan merek terkenal mendarat di pinggang Lelaki Malaikat yang masih dibalut perban. Darah merembes. Perban yang membalut luka jahitan sisa operasi itu tak mampu membendung aliran darah. Cairan merah kental itu menetes ke jalan berlapis sampah busuk.
“Hentikan!!! Hentikan!!!” Dokter Handoko berusaha menguak kerumunan massa yang gelap mata, “Bukan mereka!!! Bukan mereka pencopetnya!!!” ia berusaha menjelaskan. Namun, siapa peduli dengan pahlawan kesiangan seperti dirinya. Jangankan berhenti, seorang pun tak ada yang mendengar teriakannya yang lembek. Ia bersimpuh memohon tak berdaya.
“Pencopet busuk!!!” hardir salah satu pemburu beringat itu.
“Ba… Pakkk…” bocah itu meringis. Sebuah belati tertancap di belikat kirinya, “aku boleh mati?” tanyanya lemah.
Lelaki Malaikat tak menjawab. Matanya terpejam dan bibirnya sempurna terkatup. Tangannya masih melingkar memeluk Bocah Matahari. Air mata tak sempat jatuh dari sudut mata Bocah Matahari berambut ikal karena kedua mata itu merapat perlahan. Menghentikan laju air matanya yang pedih. Darah masih menetes meninggalkan raga tempatnya mengalir selama bertahun-tahun. Membuat genangan berpola bulat di tanah becek yang baru tersiram hujan semalam. Kerumunan massa itu perlahan bubar saat tetes darah terakhir dari ujung belati itu perlahan dibekukan udara yang membusuk.
* * * *
Palembang, 13 Desember 2011

Senin, 12 Desember 2011

CADAS MAHONI


Gadis itu menatap gerimis yang mulai menderas. Hangat nafasnya membentuk bundaran embun di kaca jendela. Untuk ke sekian kali ia menghempaskan nafas berat sambil menyeka butiran bening bola kaca hangat dari sudut matanya. Udara yang kian membeku tak lantas membuat air matanya turut membeku. Tangannya masih menggenggam selembar surat dengan tulisan tangan rapi. Namun, di lebaran surat itu telah terbentuk pola-pola bundar nan abstrak yang memudarkan tinta di kertas itu. Beberapa kata tak lagi terukir rapi. Bahkan, beberapa kata sudah tak lagi dapat dibaca dengan sempurna. Tulisan tangan yang terukir rapi di selembar kertas itu basah oleh air mata.
Kau jangan menangis, Gadis…
Bahu gadis itu berguncang saat teringat sebuah kalimat yang tertulis di selembar kertas itu. Ia tertunduk sambil membekap mulutnya untuk meredam tangis agar tak merayap keluar kamar. Ia menyandarkan kepala di kaca jendela lalu tubuhnya perlahan merosot hingga terduduk di lantai kamar.
Kau jangan menangis, Gadis. Tuhan sedang mengujimu menjadi orang kuat…
Betapa pun tingginya tingkat kebenaran kalimat itu, gadis itu sangat membenci kalimat itu setinggi kebenaran kalimat itu dan sepenuh jiwanya. Bahkan berharap, ia dapat sekaligus membenci penulis kalimat itu. Namun, nihil! Kalimat itu malah terus bermain-main di kepalanya laksana sebauah screen saver di layar komputer. Ia seperti hantu yang bergentayangan dibenaknya.
* * *
Cinta itu deras mengalir di darahnya. Sederas aliran sembilan batang hari yang berlari menuju Sungai Musi. Kekuatan aliran mata air cinta itu membangkitkan energi kinestetik dalam kehidupannya. Cinta itu yang membuatnya terus bergerak, tak hendak berhenti sedetik pun, untuk segera menyelesaikan semua tugas kuliahnya. Cinta itu yang membuatnya terus bergerak untuk mengabdi sebanyak mungkin di rumah singgah tempatnya berbagi dengan anak jalanan di tengah kota. Ia bahkan tak melewatkan sehari pun tanpa menemui anak-anak kumuh berlapis debu yang seharian terpanggang matahari berpolusi di jalanan kota.
Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Semoga kau membalas cintaku. Namun, aku tak memaksamu kalaupun kau tak bersedia membalas cinta ini, aku akan tetap mencintaimu. Gadis itu terdiam. Ia tak menggeleng tak pula menganggukkan kepala. Neuron otaknya bekerja serabutan mengumpulkan serpihan-serpihan ingatan tentang sejak kapan ia memendam cinta pada lelaki itu. Ia menemukan sekeping kenangan masa kanak-kanak. Saat ia masih bertelanjang kaki keluar masuk hutan, seorang bocah lelaki berambut ikal legam merendam kakinya di air Sungai Lematang yang beku dan sebuah buku lusuh di pangkuannya. Ia selalu duduk takzim di atas cadas di bawah sebatang mahoni tua itu. Di atas cadas itu, bocah lelaki itu menekuri kata demi kata di buku lusuh itu di bawah kanopi rimba Bukit Barisan.
Cinta itu tertanam kokoh di dasar hatinya. Sekokoh Gunung Seminung di tengah Danau Ranau yang membiru dan beriak tenang airnya. Juga sekokoh Gunung Dempo yang menghijaukan daun-daun teh di kakinya. Cinta itu membuatnya mampu menyegarkan apa pun yang tersimpan di hatinya. Cinta itu yang membuatnya bersemangat untuk bangun pagi setiap hari. Menyiapkan bahan-bahan kuliah. Membuat makanan kecil sederhana lalu membungkusnya dengan rapi dalam kotak makanan lalu membiarkan makanan sederhana itu dilahap tuntas oleh puluhan anak jalanan yang jarang jajan. Cinta itu yang mendorongnya untuk selalu bergerak dan selalu hadir di tengah-tengah anak jalanan itu karena di sana ia melihat laki-laki itu juga mengobarkan cinta yang sama untuk mereka.
Cinta itu mengalun lembut di relung jiwanya. Selembut lembayung senja di tepian Sungai Musi. Selembut gemulai angin lembah yang dingin di puncak-puncak cemara Bukit Barisan. Alunan lembut cinta itu menggetarkan dawai kehidupan jiwanya. Alunan itu membuatnya mudah tersentuh dengan keindahan yang selama ini dilupakannya. Keindahan embun pagi yang menguap bersama terbitnya mentari. Keindahan tawa dan senyum anak-anak jalanan itu yang selama ini sering dicibirnya. Laki-laki bermata kejora itu memberinya terlalu banyak cinta yang baru, yang dia sendiri tersedak-sedak saat menerima cinta itu secara tiba-tiba.
Kau memberiku terlalu banyak cinta. Aku bahkan merasa tak siap dengan cinta-cinta baru yang engkau bangkitkan dengan tiba-tiba ini. Terima kasih. Bisiknya lirih pada laki-laki bermata kejora itu. Namun, bisikan itu terlalu lirih bahkan dalam imajinasinya sendiri lalu ia menutup pintu imajinasinya segera tanpa sempat mempersilakan lelaki itu memasuki alam pikirannya. Lelaki itu tak mampu mendengar kalimat itu.
* * *
Laki-laki itu tak banyak bicara dengannya. Ia lebih banyak tersenyum. Laki-laki itu juga tak pernah mengajaknya berjalan-jalan ke taman kota lalu menghabiskan senja dengan duduk berdua. Tidak! Sekali pun ia tak pernah mengajak gadis itu menikmati cinta mereka berdua saja. Ia lebih sering menyibukkan dirinya dan gadis itu untuk melayani kebutuhan anak-anak jalanan yang beraroma matahari. Ia hanya menyapa gadis itu sebentar lalu sibuk bercerita dengan anak-anak yang berkulit gosong terbakar matahari. Ia lebih senang mendengarkan celoteh anak-anak itu dan mengusap kepala mereka yang berdebu. Ia lebih senang memeluk dan mendekap tubuh anak-anak itu dibanding duduk bersisian dengannya. Lelaki itu bahkan bersedia menyeka air mata di pipi bocah-bocah jalanan itu saat mereka sedang berkeluh-kesah padanya. Ia menyeka air mata bocah-bocah itu tanpa canggung meskipun di wajahnya juga mengalir air mata yang sama.
Laki-laki itu yang membangkitkan semangatnya untuk segera menyelesaikan kuliahnya lalu kembali ke kampung halaman. Padahal selama menjalani perkuliahan belum pernah ia sesemangat ini untuk mengejar nilai-nilai terbaik di setiap mata kuliah dan menuntaskan tugas akhirnya sesegera dan sebaik-baiknya.
Aku akan menunggumu hingga studimu selesai. Jadilah yang terbaik. Kau dan aku akan menjadi contoh bagi anak-anak di kampung. Kita akan bawakan lentera ke dunia mereka. Lentera itu harus benderang. Tak boleh padam oleh apa pun. Lentera itu adalah jiwa dan ilmu yang terpendam dalam dirimu. Gadis itu hanya mengangguk dalam imajinasi saat mendengar kalimat itu. Imajinasi yang entah terbaca atau tidak oleh lelaki bermata kejora di sampingnya.
Lelaki itu juga membuatnya mencintai kampung halamannya seperti ia mencintai ibundanya sendiri. Padahal sejak dulu betapa ia sangat ingin menjelajah buana sejauh-jauhnya untuk menjauh pergi dari kampung halamannya yang kelam saat matahari mulai condong ke ufuk barat.
Tanah kelahiran kita adalah ibu kandung kita. Ke mana pun kita pergi, mau tidak mau kompas kehidupan ini akan mengarahkan kita pada titik balik ke tempat kita memulai kehidupan. Ya, tanah kelahiran kita. Segersang apa pun tanahnya, sekering apa pun sungainya, sekelam apa pun langitnya. Tanah kelahiran kita adalah ibunda. Kita harus kembali ke pangkuannya. Aku akan senang sekali bila nanti dapat kembali ke sana bersamamu.
Kalimat itu membangkitkan harapan di jiwanya. Harapan membawa dan membangun kebahagiaan baru di kampung halamannya. Kampung halaman mereka berdua. Kampung yang membesarkan mereka di bawah kanopi rimba Bukit Barisan, di tengah dinginnya air sungai Lematang, juga diantara dongeng-dongeng klasik Si Pahit Lidah. Mereka besar di bawah kebijaksanaan alam yang kampungan dan ke sanalah mereka akan kembali. Membangun kembali romantisme masa kanak-kanak mereka yang diselimuti halimun di awal pagi.
Kita akan bangun sekolah di kampung kita. Membawa banyak buku-buku baru tentang dunia untuk anak-anak desa. Menceritakan tentang gedung-gedung tinggi, kapal-kapal besar, dan burung-burung besi yang megah di luar hutan Bukit Barisan. Kita akan buatkan jalan untuk mereka menuju pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia.
Gadis itu mengangguk. Menyetujui setiap ide yang disampaikan lelaki itu. Menyepakati semua kalimat yang diucapkannya dengan anggukan kepala dan senyuman. Menyimpan baik-baik semua mimpi dan rencana mereka dalam lipatan-lipatan doa dan asa.
* * *
Gelar sarjanamu akan sangat bermanfaat untuk tanah kelahiran kita. Kita akan segera bagikan bersama ilmu yang telah kita raup di tanah ini untuk menyuburkan tanah kita. Lelaki itu memberinya ucapan selamat untuk hasil kerja kerasnya menyelesaikan studi. Ia tak memberikan apa pun sebagai hadiah. Sebaliknya, gadis itu pun tak meminta hadiah darinya. Pujian dan mimpi-mimpi yang ia sampaikan sudah cukup membuat gadis itu merasa berarti dan dibutuhkan.
Gadis melangkah anggun dalam toga wisudanya. Tersenyum puas saat berjalan meraih piagam penghargaan yang diulurkan oleh rektor universitas kemudian sedikit menundukkan kepala saat sang rektor hendak memindahkan kuncir toga di kepalanya tanda bahwa ia telah berhak menyandang gelar kesarjanaan. Tesenyum puas karena ini adalah titik kulminasi penyelesaian studinya. Prosesi wisuda ini adalah pintu ke mana saja baginya dan lelaki itu untuk bersama membawa lentera ke kaki Bukit Barisan untuk memberi jalan cahaya bagi anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktu di tengah ladang.
Tak ada yang mendampinginya dalam wisuda itu meskipun ia menerima penghargaan sebagai salah seorang lulusan terbaik di hari itu. Ia sangat berharap umaknya dapat menghadiri acara wisudanya juga lelaki itu sehingga ia bisa memperknalkan mereka berdua tanpa susah payah membuat janji. Namun, jauh hari sebelum wisuda kabar bahwa umak tak dapat menghadiri acara wisuda telah ia terima dari kakaknya. Ada urusan penting yang harus beliau selesaikan. Tiga hari sebelum wisudanya, lelaki itu berpamitan padanya untuk pulang ke kampung halaman hanya karena sebuah telepon dari ayahnya. Sempurna. Kedua orang yang ia cintai sama besarnya itu tak satu pun yang dapat menghadiri pengukuhan gelar kesarjanaannya.
Maafkan aku. Ini permintaan Bak. Aku akan pulang sebentar saja. Kau jangan bersedih, Gadis. Tak akan lama. Aku akan segera kembali untuk menjemputmu dan kita akan pulang bersama sambil membawa lentera yang akan kita bagikan di kampung kita.
Gadis itu mengangguk. Padahal ia sangat ingin menggeleng. Ingin memaksa lelaki itu agar menghadiri acara wisudanya. Namun, sekali pun ia belum pernah berhasil membantah atau menolak kata-kata lelaki itu. Sebelum ini, lelaki itu telah sering pergi untuk urusan-urusan pekerjaan dan sosialnya. Namun, kepergiannya kali ini terasa beku.
* * *
Cinta itu masih mengalir deras di darahnya. Sederas aliran sembilan batang hari yang berlari menuju Sungai Musi. Namun, dengan jemarinya yang rapuh itu ia harus memecah arusnya dan menghentikan alirannya. Ia harus menghentikan aliran sungai itu agar berhenti mencari muara meskipun itu berarti ia harus tenggelam dan mati oleh arusnya. Dengan kakinya yang gemetar, ia harus berjalan ke tengah sungai untuk membelokkan atau mematahkan arusnya.
Cinta itu tertanam kokoh di dasar hatinya. Sekokoh Gunung Seminung di tengah Danau Ranau yang membiru dan beriak tenang airnya. Juga sekokoh Gunung Dempo yang menghijaukan daun-daun teh di kakinya. Namun, dengan jemarinya yang rapuh itu harus mencerabutkan gunung dan bukit cinta itu. Ia harus mencerabutkan gunung dan bukit cinta di hatinya beserta taman kasih sayang yang selama ini disemainya. Ia harus menghancurkan gunung dan bukit cinta itu meskipun ia harus memuing tertindih oleh gunung cintanya sendiri. Ia harus mampu memporak-porandakan hamparan ketulusan yang selama ini dipupuknya.
Umak nag kawin lagi, Nak. Maaf empai enjuk tau.[1]
Gadis itu menatap ibunya tak percaya. Ia mencari kebenaran tentang apa yang baru saja di dengarnya. Ia berharap telinganya salah. Namun, wajah di hadapannya tak sedikit pun menyiratkan keraguan saat menyampaikan rencana itu. Setelah bertahun-tahun kepergian ayahnya, setelah ia besar dan menjadi seorang sarjana seperti saat ini. Mengapa baru sekarang umak berencana untuk menikah lagi? Gadis itu merasa kepalanya berat.
“Umak nak kawin ngan sape?” Gadis itu bertanya hati-hati.
“Ujang Zaini.”
PRAKKK!!! Gelas di tangan gadis itu tiba-tiba terlepas dari genggamannya. Pandangannya tiba-tiba gelap. Kali ini ia sungguh berharap semua yang didengarnya adalah kesalahan paling absolut yang pernah di tangkap oleh gendang telinganya. Ia berharap ini adalah kerusakan paling mutakhir yang pernah dialami oleh pendengarannya.
Ia beranjak dari duduknya. Membiarkan kakinya menginjak pecahan gelas tanpa sedikitpun takut terluka. Ia melihat mulut wanita yang paling ia sayangi itu bergerak. Namun, tak ada suara yang mampu ia dengar. Tiba-tiba semuanya berputar dalam gerakan lambat.
Tuhan adalah Dzat Yang Mahasempurna dalam menulis dan merancang semua hal bagi kehidupan semua mahluk di muka bumi ini. Kepulangan kita ini adalah awal dimulainya kehidupan kita yang baru setelah bertahun-tahun menjadi mahasiswa yang mungkin manja. Kita tak pernah tahu apa yang sedang Tuhan tulis untuk hidup kita. Jika nanti kau dapati kejutan-kejutan hebat di awal permulaan hidup barumu, aku berharap kau mampu untuk terus berdiri tegak. Kau tak harus menjadi cadas-cadas kaku yang bertabur di lereng Bukit Barisan. Jadilah beburung liar itu. Mereka pandai menguasai angin, bahkan badai sekalipun. Mereka terus terbang dibawah hujan gerimis atau badai salju menuju perhentian terakhirnya. Kalimat itu terucap pelan, tetapi penuh energi. Untuk pertama kali, mata lelaki itu kosong saat menyampaikan kalimatnya. Ini pun kali pertama gadis itu mengerutkan dahi saat mendengar kalimat lelaki itu. Ada banyak rahasia yang ia sampaikan di balik kata-katanya.
Gadis itu bergelung memeluk lutut mengingat perjalan pulang mereka dalam gerakan lambat hitam putih. Air mata menuruni sudut matanya membuat pola-pola sungai dangkal yang nestapa. Di luar sana kabut telah turun dan perlahan menyelimuti puncak Gunung Dempo. Angin bertiup dingin.
* * * *
Gadis itu membiarkan kakinya terendam di air sungai. Ia duduk di sebuah batu besar di bawah sebuah mahoni tua nan kekar. Bayangan tubuhnya dan rimbun daun mahoni terpantul di permukaan air. Bayangan itu meliuk dalam tempo yang konstan. Sesekali ikan-ikan kecil mendekati ujung-ujung jemarinya lalu berkecipakan melompat ke permukaan sungai. Inilah keasyikan magis yang dinikmati lelaki itu bertahun-tahun lalu. Keasyikan yang dulu dinikmatinya diam-diam saat bocah lelaki itu tak mendatangi cadas dan mahoni tua ini. Gadis itu menyeka air mata menatap kakinya yang pucat menahan dingin air. Tangannya menikmati relief nama yang terukir di batu besar itu.
“Aku tahu, akhirnya kau akan memintaku menemuimu di sini.”
Suara lelaki itu mengejutkanya. Namun, tetap terdengar merdu di telinganya.
“Aku tahu kau masih mengingat cadas ini dan kayu mahoninya. Dan… aku juga tahu, bertahun-tahun lalu kau sering mengintaiku dari atas pepohonan itu," sang lelaki menunjuk sebuah pohon besar yang condong ke sungai badannya dan semakin kekar batangnya, "aku juga tahu, kau menyukai relief nama itu."
Sang gadis tak perlu melihat kaca untuk mengetahui wajahnya yang memerah dan jemarinya yang tiba-tiba berhenti menelusuri relief nama di cadas tempatnya duduk menikmati gemerincing air.
“Namun, tahu kah kau?”
Gadis itu menggeleng.
“Saat itu, aku senang saat tahu kau yang menggantikan simpai-simpai itu meringkuk di atas pohon.”
Mereka tersenyum. Menertawakan masa kanak-kanak mereka.
"Saat kau tak bertengger di batang itu, aku habiskan waktu mengukir cadas ini dengan namamu dan namaku. Aku benci melihat simpai-simpai itu menduduki singgasanamu maka suara batu yang brisik saat aku mengukir nama kita menjadi cara ampuh membuat simpai-simpai itu pergi menjauh."
Lelaki itu menarik nafas panjang, "Tahukah kau, aku tak pernah melewatkan sehari pun tanpa ke tepian sungai ini. Namun, aku sering bersembunyi. Dan aku tahu, kau sering duduk di cadas ini saat aku tak ada di atasnya. Kau menimkati dinginnya air sungai ini di ujung jemarimu. Aku pun tahu kau menyukai ukiran itu. Aku pernah berharap suatu hari, dapat duduk berdua denganmu menikmati cadas dan kanopi mahoni tua ini. Karena alasan itulah, kubuatkan relief namaku dan namamu di atas cadas itu."
Gadis itu mengangguk. Ia mengatur nafas sebaik-baiknya demi mengendalikan emosinya dan air matanya yang siap buncah. Sesekali ia menengadah menatap langit demi menahan bendungai air matanya yang hampir jebol. Juga untuk mengendalikan sakit yang mencekik pita suaranya.
“Terima kasih kau sudah mau memenuhi permintaanku,” akhirnya kalimat kaku itulah yang keluar dari mulut gadis itu. Padahal ia sangat ingin menumpahkan semua tanya pada lelaki itu.
“Aku tak punya alasan untuk tidak datang ke tepian sungai ini. Aku tahu, cepat atau lambat kau pasti menghubungiku,” lelaki itu menarik nafas dalam lalu berdiri di atas cadas. “Gadis, tak pernah ada yang salah dengan cinta karena ia adalah anugerah terindah dari Tuhan kita. Kita tak akan menyalahkan ketololan Romeo dan Juliet atau pengorbanan Siti Fatimah untuk Tan Bun An[2] atau cinta yang tumbuh dan kita sembunyikan sejak masa kanak-kanak dulu. Begitu pula dengan cinta yang juga menyapa umakmu dan abakku. Mereka telah memberi kita semua cinta yang mereka miliki. Mengorbankan masa muda mereka. Menghabiskan berbaris-baris doa hanya untuk menyebut nama kita sebanyak-banyaknya. Memeras berember-ember keringat hanya untuk menjamin perut kita tak kelaparan. Tuhan hanya meminta kita mengikhlaskan cinta kita. Pengorbanan kita hari ini, masih tak sebesar pengorbanan mereka sepanjang hidup kita.”
Gadis itu menyeka air mata.
“Gadis, Tuhan hanya sedang menguji ketulusan kita. Menguji cinta kita untuk umak ngan abak. Kita hanya diminta untuk memberi sedikit ruang bernafas untuk cinta mereka dan ruang lengang untuk mereka menikmati masa tuanya. Mungkin, semua ini akan sangat sulit. Seperti menukar posisi tangan kanan dan kiri kita secara tiba-tiba. Akan sangat sulit mengubah perasaan dan harapan-harapan kita selama bertahun-tahun ini begitu saja. Mengubah cinta padamu sebagai seorang adik. Ah… bagaimana pula aku sanggup menatapmu sebagai seorang adik, sedangkan selama bertahun-tahun aku berdoa agar Tuhan menyatukan kita. Namun, yakinlah… ini hanya sulit di awalnya saja, waktu akan membantu kita membuatnya menjadi lebih mudah dan biasa. Kau tahu, saat aku membuat ukiran nama kita di cadas ini, aku tak mampu mendefinisikan apa pun tentang perasaanku. Biarkanlah cadas dan mahoni tua ini menjaga rahasia kita sebaik-baiknya. Suatu hari, relief di cadas ini akan hilang terkikis oleh air dan lumut. Mahoni tua ini pun mungkin akan tumbang. Cinta yang bergelung di hati kita saat ini akan terurai bersama waktu. Semuanya akan kembali biasa. Namun, aku tak akan pernah mampu mengikis jejak Abak yang mengalir deras di darahku. Begitu juga kau, ada ketulusan umak yang menjadi prasasti abadi dalam darahmu. Demi keabadian yang tak mampu kita asingkan itu, penerimaanlah jalan terbaik untuk kita.”
Suara lelaki itu sedikit tersedak. Seperti ada sesuatu yang menjepit pita suaranya. Namun, ia masih berdiri tegak di karang itu dan membiarkan gadis itu menyeka air matanya sendiri. Tangannya yang biasa menyeka air mata di wajah anak-anak jalanan di rumah singgah, ia biarkan menggantung saat wajah gadis itu makin basah. Ia biarkan saja bahu gadis itu berguncang tanpa sedikitpun tergerak untuk menenangkannya. Atau ia sedang berperang membantah kata hatinya sendiri.
“Hari akan segera senja. Lembayung di sana dan simfoni rimba ini akan membantumu menguatkan kembali langkah dan jiwamu untuk menatap matahari esok pagi. Semua akan baik-baik saja.”
Gadis itu bergeming. Sebuah surat tergeletak di sampingnya. Langkah lelaki itu makin lama makin sayup. Ia tahu laki-laki itu telah berlalu dari sisinya.
* * *
Kau tahu? Aku sama tak mampunya denganmu menerima kenyataan ini. Alangkah cerdasnya Tuhan merencanakan kisah cinta kita. Dia biarkan kita menyemai cinta ini bertahun-tahun lalu memberi waktu pada kita untuk merangkai dan merencanakan asa. Kita isi benjana harapan dan cinta kita sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun dengan kepingan-kepingan doa. Hari ini, kita harus tumpahkan isi bejana itu, tak peduli betapa pun sulitnya. Tak peduli betapa pun sakitnya. Kita harus tumpahkan isi bejana itu dan membiarkannya terbawa arus, tertimbun lumpur dan pasir, atau ditemukan oleh yang lain. Yang penting, kita harus pecahkan bejana itu dan buang semua isinya. Segera.
Gadis, kau jangan menangis. Tuhan sedang menguji kita. Mengijiku menjadi lelaki tangguh. Dan mengujimu menjadi wanita kuat. Gadis, kita sudah bersabar selama bertahun-tahun. Sekarang Tuhan sedang meminta kita untuk bersabar sekali lagi saja maka apakah kita akan menolak dan membiarkan semua kesabaran selama ini menguap begitu saja? Ah… aku tahu, kau tentu memilih untuk bersabar sekali lagi meskipun tak tahu hingga kapan kau harus terus bersabar.
Gadis itu menatap gerimis yang mulai menderas. Hangat nafasnya membentuk bundaran embun di kaca jendela. Untuk ke sekian kali ia menghempaskan nafas berat sambil menyeka butiran bening bola kaca hangat dari sudut matanya. Udara yang kian membeku tak lantas membuat air matanya turut membeku. Tangannya masih menggenggam selembar surat dengan tulisan tangan rapi. Namun, di lebaran surat itu telah terbentuk pola-pola bundar nan abstrak yang memudarkan tinta di kertas itu. Beberapa kata tak lagi terukir rapi. Bahkan, beberapa kata sudah tak lagi dapat dibaca dengan sempurna. Tulisan tangan yang terukir rapi di selembar kertas itu basah oleh air mata.
Kau jangan menangis, Gadis…
Bahu gadis itu berguncang saat teringat sebuah kalimat yang tertulis di selembar kertas itu. Ia tertunduk sambil membekap mulutnya untuk meredam tangis agar tak merayap keluar kamar. Ia belum menyelesaikan membaca tulisan tangan rapi di selembar surat itu. Ada godam yang terus menghantam dadanya.
Ia menyandarkan kepala di kaca jendela menatap kembali selembar surat yang tak lagi rapi kertanya itu.
Gadis, kau jangan menangis, lagi. Tuhan sedang mengujimu menjadi orang kuat. Aku akan membantumu sepenuh jiwaku, adik. Kau tak perlu temukan aku hingga batas yang tak mampu kuperhitungkan.
Tubuh gadis itu perlahan merosot hingga terduduk di lantai kamar. Tangisnya pecah. Air matanya tumpah.
Kau jangan menangis, Gadis. Tuhan sedang mengujimu menjadi orang kuat…
Betapa pun tingginya tingkat kebenaran kalimat itu, gadis itu sangat membenci kalimat itu setinggi kebenaran kalimat itu dan sepenuh jiwanya. Bahkan berharap, ia dapat sekaligus membenci penulis kalimat itu. Namun, nihil! Kalimat itu malah terus bermain-main di kepalanya laksana sebauah screen saver di layar komputer. Lelaki, kau hendak kemana?
* * *



[1] Ibu akan menikah lagi, Nak. Maaf, baru memberi tahumu.
[2] Tan Bun An dan Siti Fatimah adalah kisah cinta yang melatarbelakangi legenda Pulau Kemaro yang berada di tengah Sungai Musi.