Rabu, 19 September 2012

Lelakimu


di sinilah tempat terbaik menghabiskan waktu menunggumu
setelah berbaris-baris doa dirapalkan
persimpangan ini memungkinkanku melihatmu datang dari segala arah
jangan menunggu hingga senja
atau gerimis yang lebih dulu tiba
yang dapat membuatku gemetar dalam gigil rindu
karena di persimpangan ini aku ingin terus berdiri
hingga kau datang mengulurkan jemari

Gerimis


inilah alasan mengapa aku begitu mencintai gerimis
karena kau pernah datang
mengajarkan melodi tentang kasih sayang
dan cara mengeja cinta

Kala Hujan Tiba

hujan selalu menyenangkan untuk kunimati sendiri
ada siluetmu di tirai beningnya
meskipun, akhirnya
kutemukan retak membuncah saat berdenting di ujung jemariku

hujan selalu menyenangkan untuk kusesap aromanya
ada sapamu di gemericiknya
meskipu, akhirnya
kurasa semakin sayup saat kuangkat kepala untuk memastikan
adakah kau di ujung sana memanggil namaku?
untuk mengurai rindu

Menunggu



aku lupa menghitung waktu
(entah sudah berapa lama berdiri di sini) menunggumu
(menurutku) kau sudah terlalu lama menghilang dan diam
seharusnya kau datang dan bicara
ah... mungkin kau bosan memperbincangkan gemintang
mulai jemu bercerita tentang matahari
terlalu jenuh dengan rembulan yang biasabiasa itu
hm...  tahukah kau, ada segenggam cinta yang kusembunyikan
hanya menunggumu bicara
setelah itu, kuberikan padamu atau kuremukkan

Tentang Kita, Kawan


inilah kita di masa kanak-kanak dulu
membagi matahari berdua

menikmati hujan bersama
merayu rembulan berdua

Selasa, 11 September 2012

Dik...


semestinya kita selamanya seperti ini, Dik...
maaf... masa membuat keikhlasanku kian kikis
masa membuat ketulusanku kian menipis
kemesraan diantara kita semakin miris
seandainya saat itu aku sudah pandai berdoa
--biarlah selamanya kita kanak-kanak saja--

Senin, 10 September 2012

RAMANDA


Hari telah sempurna gelap. Mentari sore itu telah bergeser dari singgasananya. Dikudeta oleh rembulan gompal. Cahayanya redup ditutupi sekawanan awan kelabu. Beberapa kelelawar telah aktif mengepakkan sayap di tengah kegelapan. Bayangan hitam mereka menimbulkan aura magis di bawah cahaya rembulan gompal itu.
Seorang bocah laki-laki telah hampir satu jam duduk di muka pintu. Angin malam yang menyapa dingin permukaan kulitnya tampaknya sama sekali tak terlihat mengganggunya. Berkali-kali ia mendongakkan kepala mengecek siapa pun yang muncul di ujung jalan depan rumahnya. Namun, berkali-kali pula ia harus menghempaskan napas kecewa karena sosok ynag sejak tadi ditunggunya tak juga tampak.
Kepalanya tertunduk karena bosan menunggu. Ia tak lagi sibuk mengawasi ujung jalan itu. Tangannya kini asyik membuat pola-pola abstak di permukaan tanah berpasir di halaman rumahnya dengan sebuah ranting pendek. Pola-pola abstrak yang ia pun tak paham bentuk dan maknanya itu serumit perasaannya saat ini. Angin berkali-kali mengacaukan pola abstrak ciptaannya itu. Bersamaan itu, pagar kayu yang mengelilingi rumah kayu sederhana itu berderit. Namun, sang bocah abai. Masih asyik dengan lukisan pasirnya.
“Ahmad?” sebuah suara berat menyapanya.
Bocah itu mengangkat kepala dan segera melemparkan ranting yang sejak tadi menjadi kuas lukisan abstraknya. Ia melompat dari duduknya demi melihat sosok lima puluh tahunan di muka pagar itu. Ia berlari menyongsong lelaki yang rambutnya hampir sempurna memutih itu. Dipeluknya erat pinggang lelaki itu seolah telah bertahun-tahun tak bersua. Lelaki itu tampak lebih tua dari usia kronologisnya.
“Ayah!!” serunya sambil mempererat pelukannya.
Lelaki itu mengacak rambut hitam lebat sang bocah. Ia terkekeh menerima sambutan sehangat itu. Tidak hanya malam ini bocah itu menyambutnya dengan hangat, tetapi juga malam-malam sebelumnya. Namun, malam ini sambutan bocah itu jauh lebih hangat dari biasanya.
“Sini, kubawakan,” Ahmad meraih kantong plastik hitam dari tangan ayahnya lalu menurunkan ransel lusuh yang selalu menemani ayahnya bekerja. Kantong plastik itu terasa berat, tetapi Ahmad tidak telalu peduli.
“Ayo, cepat!” ia menyeret tangan sang ayah, “lihat apa yang telah aku siapkan untuk besok,” Ahmad mengeluarkan seluruh energi yang dimilikinya untuk menyeret langkah lelaki itu secepat mungkin untuk memasuki rumah kecil mereka.
“Aku telah melaksanakan semua yang ayah suruh,” suaranya masih sama antusiasnya seperti tadi. Tidak berubah sedikit pun. Tergesa-gesa ia menaiki dua undakan anak tangga menuju pintu rumah. Pintu itu berdebam terbuka saat ia dorong dengan kuat.
“Lihat!” serunya, “semuanya telah siap.”
Mata lelaki itu berbinar saat melihat kemeriahan di ruang tamu sempit rumah mereka. Ia menepuk pundak sang bocah dengan bangga. Di bibirnya terukir sebingkai senyuman.
“Aku menyiapkan semuanya seorang diri. Sepanjang sore ini, Ayah,” gairah itu sama sekali belum hilang dari suara sang bocah.
Sang ayah mengangguk, “Kau memang anak hebat, Ahmad!”
Cahaya rembulan gompal di atas sana kalah cemerlang dibanding cahaya wajah Ahmad malam ini. Hanya karena sepenggal pujian sang ayah, dirinya mampu memproduksi sebuah cahaya tanpa bantuan matahari. Wajahnya semakin cemerlang dengan tambahan sebuah senyuman bangga karena seberkas cahaya gemintang yang memancar dari mata sang ayah.
Mata Ahmad tidaklah salah. Cahaya gemintang itu terus berpendar di mata sang ayah. Lelaki itu sama antusiasnya dengan dirinya karena kemeriahan yang kini memenuhi ruang tamu mereka. Balon warna-warni menggantung di langit-langit ruangan. Diikat dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok berisi 6—8 balon dengan warna berbeda. Pita metalik dengan warna-warni mencolok diikatkan menjuntai dalam simpul yang sama dengan balon warna-warni itu. Sebuah kardus besar diletakkan di dekat jendela yang hanya ditutup dengan sebuah triplek bekas. Kardus itu berisi plastik-plastik transparan bermotif karakter lucu dari tokoh-tokoh film kartun yang menjadi idola anak-anak. Plastik-plastik di dalam kardus itu kembung berisi makanan dan minuman favorit anak-anak. 
“Tunggu,” ujar Ahmad sambil meninggalkan sang ayah, “ada satu lagi,” sambungnya.
Ia mengeluarkan sebuah plastik hitam dari tas sekolahnya. “Bu Marni memberikan ini tadi siang,” ia menyerahkan sebuah plastik yang berisi topi ulang tahun beraneka bentuk dan motif yang terbuat dari bahan karton.
“Besok akan menjadi pesta ulang tahun yang meriah,” puji ayahnya.
Ahmad mengangguk semangat dengan senyum tak terputus.
“Kau tak ingin membuka kantong plastik hitam bawaan ayah?”  tanya lelaki itu pura-pura merajuk.
Ahmad nyengir kuda. Ia mengambil kantong plastik besar yang tadi dibawa ayahnya. Dikeluarkannya sebuah kotak bermotif bunga dari kantong plastik tadi. Karena penasaran dengan isi kotak itu, ia segera membuka tutupnya. Terpana dengan sebuah kue tar yang diselimuti krim coklat dan vanila dengan bentuk mawar yang indah. Buah ceri merah segar mengelilingi pinggiran kue. Di permukaannya terukir sebuah kalimat Happy Birthday Ahmad. Aroma wangi kue itu memenuhi rongga hidung sang bocah.
“Ayah...” Ahmad menatap lelaki itu dengan mata berkaca-kaca. Itu kue paling indah yang pernah diterimanya, “Terima kasih,” ia memeluk sang ayah, “indah sekali,” sambungnya dengan suara tercekat. 
“Untukmu, Ahmad! Hanya untukmu.”
Hanya kalimat itu yang mampu diucapkan ayahnya sambil memeluk dan menepuk pundak Ahmad. Kebahagiaan yang dilihatnya malam ini dalam diri Ahmad sungguh luar biasa. Tak sebanding dengan semua tabungannya yang terkuras habis untuk menyiapkan pesta ulang tahun itu. Senyum di wajah putranya itu telah mengusir semua penat dan lelahnya.  Ia tahu Ahmad pantas mendapatkan pesta ulang tahun impiannya meskipun mungkin pesta ulang tahun ini akan menjadi ulang tahun pertama dan terakhir yang mampu ia rayakan dengan seloyang kue tar dan beberapa ikat balon warna-warni. Namun, ia tak peduli bahwa seluruh uang tabungannya habis terkuras. Tak peduli bahwa ia harus kembali mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk hidup mereka esok hari dan mungkin untuk ulang tahun-ulang tahun berikutnya. Ia tak peduli. Yang penting senyum dan cahaya di wajah putranya itu tak pernah usai. Yang ia peduli adalah bahwa Ahmad juga memilih kenangan merayakan sebuah pesta ulang tahun seperti teman-teman sekelasnya.
* * *
Sepertinya malam berlangsung lama sekali. Ahmad terbangun berkali-kali karena tak sabar menunggu pagi. Namun, matahari dan ayam-ayam jantan di luar sana tak dapat diajak berkompromi. Matahari tak akan pernah mau diminta bersinar lebih awal dari biasanya. Begitu pun ayam-ayam jantan itu. Mereka tak mau berkokok lebih awal. Ahasil, Ahmad harus bersabar menunggu kokok ayam pertama terdengar di rumahnya. Ayahnya pun berkali-kali mengingatkan agar ia tidur dengan tenang dan sabar menunggu matahari membangunkan mereka.
Saat kokok ayam mulai terdengar ramai, Ahmad melompat dari dipan tua tanpa kasur tempat ia tidur selama bertahun-tahun bersama sang ayah. Ia bangun dengan penuh semangat. Namun, seperti biasa, ayahnya telah lama pergi mengais rezeki dan rumah reyot itu telah sepi. Lelaki itu biasa berangkat meninggalkan rumah saat cahaya pertama di ufuk timur baru saja dilukis. Ia keluar perlahan dari rumah kayu kecil dan tua itu pelan-pelan. Berusaha tak menimbulkan suara sekecil apa pun yang dapat mengusik tidur putranya. Ia menutup pintu perlahan lalu menyelipkan kunci dari ventilasi.
Ahmad tak menyia-nyiakan waktu yang dimilikinya. Ia segera mandi, mengenakan seragam sekolah, memasukkan buku ke tas sekolah, lalu menuju meja kecil di dekat dapur untuk mengambil segelas teh yang menjadi menu sarapan satu-satunya setiap hari. Namun, hari ini berbeda. Hari ini spesial. Hari ini hari ulang tahunnya. Ulang tahunnya ke-13. Hari ini spesial! Ada segelas teh dan semangkuk bubur ayam di sana. Selembar kertas diletakkan di bawah gelas teh itu. Ditulis dengan rapi dan indah,
Sarapan spesial di hari spesial. Selamat ulang tahun, Anak Ayah.
Semua ini untukmu, selalu untukmu, dan hanya untukmu, Anak Ayah.
 Salam...
 Ayah
Ahmad mencium selembar kertas itu. Setitik air mata bundar tergenang di permukaannya. Ia memasukkan kertas itu ke saku seragamnya dan segera menyantap menu sarapan pagi spesialnya. Semua dilakukan dengan tergesa seolah takut ada bagian garis di lingkaran menit pagi itu akan dilewati oleh sang waktu. 
Pagi ini Bu Marni, wali kelas Ahmad, berbaik hati menjemput Ahmad ke sekolah. Guru berdarah Minang itu menawarkan bantuan untuk membawakan semua perlengkapan pesta ulang tahun Ahmad di kelas hari ini. Ahmad telah memberitahukan rencana itu dua minggu yang lalu. Bahkan ayahnya pun menemui Bu Marni langsung ke rumahnya untuk meminta izin merayakan ulang tahun Ahmad di kelasnya seperti keinginan Ahmad, seperti kebiasaan teman sekelasnya. Karena ini adalah tahun terakhir Ahmad bersekolah di SMP itu, Bu Marni dengan ramah memberikan izin pada Ahmad dan ayahnya. Guru hitam manis itu bahkan menyiapkan panitia kecil yang akan membantu mendekor kelas dan menyusun sebuah acara singkat untuk Ahmad di hari ulang tahunnya. Hari ini semua terasa sempurna.
Ahmad membonceng di belakang Bu Marni. Kedua tangannya repot memegang balon warna-warni yang telah disiapkan sejak sore kemarin. Kotak kardus berisi makanan ringan yang akan dibagikan ke seluruh teman sekelas di letakkan di bagian depan.  Di atas tumpukan bingkisan kecil itu, diletakan kotak kue tar dengan hati-hati. Bu Marni memacu motornya perlahan agar kardus dan kue tar itu bisa dibawa dengan aman dan balon-balon yang dipegang Ahmad tak ada yang melarikan diri ditiup angin.
“Sesuai rencana, ayah akan menyusul ke sekolah. Beliau akan datang tepat  waktu, Bu,” Ahmad meyakinkan.
Bu Marni hanya mengangguk dan berkonsentrasi pada laju motornya. Memacu motornya dengan hati-hati. Semuanya harus sempurna sesuai rencana. Ia tak boleh melakukan kesalahan.
Di sekolah, semua makin terasa meriah. Teman-teman telah menunggu kehadiran mereka di gerbang sekolah. Mereka langsung menyerbu Ahmad dan Bu Marni saat baru saja memasuki gerbang sekolah. Berebutan memberikan bantuan untuk membawa semua perlengkapan pesta ulang tahun itu ke kelas mereka. Antusias yang selalu terlihat setiap ada perayaan ulang tahun di kelas mereka. Tak seorang pun bersedia duduk diam tanpa memberikan sedikit bantuan untuk perayaan pesta kecil itu. Dini dengan suka rela membawa kamera digital ayahnya. Sukarela menawarkan diri untuk menjadi seksi dokumentasi dalam pesta kecil itu. Ia telah sibuk mengambil foto sejak dari gerbang sekolah tadi. Mengabadikan setiap momen dengan gaya laksana seorang fotografer profesional.
“Jangan khawatir Ahmad, aku akan memberikan hasil cetaknya padamu. Tak perlu membayar. Gratis untukmu. Anggap saja sebagai kado dariku. Gratis karena ayahku punya kamar gelap untuk mencetak foto-foto ini tanpa haru ke studio foto.”
Ahmad mengangguk. Ia berterima kasih lewat seulas senyum yang dibingkaikannya untuk Dini, seolah juga hendak berkata Senyum ini pun gratis untukmu. Terima kasih.
* * * *
Perayaan pesta ulang tahun selalu saja memberi kemeriahan di kelas mereka. Tidak hanya itu, tapi juga debar jantung yang aneh. Setiap orang selalu berharap ayah dan ibu teman mereka segera datang sehingga pelajaran dapat segera usai dan pesta segera dimulai. Bahkan berharap agar pesta kecil itu tak pernah usai hingga bel sekolah menjerit sehingga kelas dapat terus diisi dengan kegembiraan. Pesta ulang tahun di kelas berarti ada kemeriahan, makan siang gratis, potongan kue tar lezat, dan terbebas dari pelajaran yang membosankan.
“Ayahmu belum datang?”  Johan berbisik sambil melongokkan kepala ke jendela.
Ahmad menggeleng.
“Ayahmu pasti setampan kau, Ahmad.”
Wajah Ahmad memerah mendengar pujian Dini yang berbisik di belakangnya.
Memang tak ada lagi yang berkonsentrasi belajar di kelas itu. Semua seolah tak sabar menunggu kehadiran ayah Ahmad yang menjadi juru kunci perayaan pesta ini.  Ahmad jauh lebih tak sabar lagi. Ini adalah pesta ulang tahun pertamanya seumur hidup. Ia pun tahu ini mungkin akan jadi pesta ulang tahun terakhirnya. Ia tak mungkin membebani ayahnya hanya untuk pesta-pesta seperti ini. Setelah pesta ini, ia tak akan meminta pesta-pesta lain.
“Ahmad!” Johan menepuk pundaknya, “Itukah ayahmu?”
Ahmad melihat ke luar jendela lalu mengangguk.
“Benarkah?”
Ahmad tak peduli pada pertanyaan singkat itu. Ia beranjak dari bangkunya. Ia tersenyum menatap sosok tinggi berambut ikal yang hampir sempurna memutih itu memasuki ruang tamu sekolah. Ia meminta izin untuk segera menemui ayahnya dan memberi tahu Bu Marni. Kelas mulai gaduh. Tak sabar mencium aroma lezat sepotong kue tar coklat dibagikan.
“Ayah,” Ahmad memanggil.
Ayah berdiri menyambut kehadiran Ahmad. Lelaki itu terlihat rapi. Ia memakai kemeja krem yang telah disetrika rapi dipadu dengan sepan panjang coklat yang terlihat sama rapinya. Itu adalah pakaian terbaik yang dimiliki ayahnya yang hanya dipakai untuk acara penting dan spesial. Ahmad senang  bukan main karena pesta ulang tahun kecil ini juga termasuk acara penting yang membuat ayahnya harus memakai pakaian spesial itu. Ia juga mengenakan sepatu kulit yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Ayah tampan sekali,” pujinya tulus.
“Untuk kau, Anakku. Selalu hanya untukmu.”
Ahmad tersenyum lalu memeluk sang ayah. Ia mengajak lelaki itu menemui Bu Marni dan segera menuju kelas. Kursi dan meja di kelas telah disusun dalam formasi U yang memberi ruang lebih luas untuk bersama melingkari sebuah meja dengan sebuah kue tar dan tiga belas lilin menyala di atasnya. Ahmad menggandeng lengan ayahnya. Dengan bangga memperkenalkan ayahnya pada seisi kelas. Ayahnya tersenyum dan mengangguk setiap kali Ahmad menyebutkan nama teman sekelasnya.
“Ini Johan, Ayah. Teman sebangkuku.”
Johan mengulurkan tangan dan ayah menyambutnya dengan ramah lalu mengusap kepala bocah itu. Persis kebiasaan yang dilakukannya pada Ahmad.
“Pak Man???” Johan berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Ayah mengangguk dan tersenyum pada Johan.
“Kau kenal ayahku?” Ahmad mengerutkan dahi.
Namun, Johan masih ternganga. Tak mendengar pertanyaan itu.
“Ayo kita mulai...”  suara Bu Marni terdengar lantang mengomando seisi kelas untuk mulai menyanyikan lagu paling populer di dunia. Happy Birthday.
Kelas menjadi riuh oleh suara nyanyian dan tepuk tangan. Lagu itu semakin rancak di ujungnya. Tepuk tangan semakin keras dan suara nada lagu itu  makin meninggi. Namun, menjadi antiklimaks saat Ahmad meniup ketiga belas lilin ulang tahunnya. Tepuk tangan riuh. Tangan-tangan terulur bergantian memberi ucapan selamat. Beberapa malah sambil mengulurkan sebuah kado kecil yang dibungkus rapi.
Pesta itu nyaris sempurna. Persis seperti yang ia bayangkan dan rencanakan selama ini. Persis seperti pesta ulang tahun kawan-kawannya dulu. Kegembiraan di kelas itu dirasakan adil oleh semua orang. Semua orang bebas bernyanyi bergantian. Apalagi Dini menawarkan foto gratis untuk siapa saja yang bersedia menyumbangkan suara emas mereka. Namun, yang paling banyak menjadi objek foto adalah Ahmad dan ayahnya. Bukankah hari  ini adalah pesta mereka? Jadi, wajah merekalah yang paling berhak menghiasi album foto ulang tahun hari itu. 
Bingkisan telah dibagikan. Kue tar coklat yang bertabur ceri telah dibagi rata. Perut terasa kenyang. Balon-balon beberapa ada yang meletus. Membuat terkejut siapa saja, tetapi memancing tawa. Ayah telah meninggalkan kelas itu ditemani Bu Marni menuju ruang tamu sekolah. Sedikit berbasa-basi dengan guru baik hati itu sebelum permisi meninggalkan sekolah.
“Kau setampan ayahmu, Ahmad.” Dini memperlihatkan hasil jepretannya. Ahmad ikut asyik memperhatikn slide foto-foto itu satu per satu.
“Tapi kok beda, ya?” celetuk Dini polos.
Ahmad mengerutkan dahi mendengar kalimat Dini.
“Lihat mata ayahmu yang bulat dan hitam gelap serta hidungnya yang sedikit lebih pendek dari hidungmu?” Dini menunjukkan sebuah foto yang di-close up. “Kau sedikit lebih sipit, bola mata coklat, dan hidungmu mancung,” Dini menggerakkan kameranya, “sama sekali nggak mirip.”
Ahmad sedikit terusik dengan komentar itu. Namun, ia memilih diam dan terus memperhatikan foto-foto itu. Pikirannya melompat-lompat tak terpola.
“Aku tak menyangka kau anak Pak Sam, Ahmad,” Johan telah berdiri di samping Dini untuk ikut melihat hasil foto gadis itu, “tapi... kok nggak mirip ya???”
Johan mengamati baik-baik wajah teman sebangkunya itu. Dia orang kedua yang menggungat kemiripan antara Ahmad dan ayahnya, “Jangan-jangan.....” gumamnya menggantung.
“Kau kenal ayahku?”   Ahmad memotong.
“Tentu saja!”  jawabnya yakin, tanpa mengalihkan pandangan dari foto-foto di kamera digital Dini sambil membuka bungkus lolipop di tangannya.
Dini dan Ahmad menatap tak percaya pada Johan. Namun, sang ketua tim kelas itu tak acuh, asyik dengan lolipopnya, “Ia tukang sampah di komplek perumahan kami,” sambungnya lagi dengan santai.
Kalimat itu seperti petir dengan kekuatan jutaan volt yang menyengat Ahmad tiba-tiba. Menghantam kepalanya telak!
Dini menghentikan keasyikan jemarinya memainkan tombol kamera digitalnya, “Kau yakin?” ia menuntut penjelasan Johan.
Johan memutar-mutar lolipop di mulutnya. Merasa tak dipercayai, tanpa sadar ia meninggikan suaranya, “Tetu saja, Din. Ayah Ahmad telah bertahun-tahun membersihkan semua sampah di komplek perumahan kami. Mana mungkin aku salah orang. Semua orang di komplek kami pasti mengenal Pak Sam dengan baik.”
Beberapa kepala di kelas itu menoleh pada Johan. Dini menggeleng tak percaya. Ahmad mengangkat kepala menatap pintu ruang tamu sekolahnya. Dilihatnya ayah yang melangkah pergi setelah bersalaman dengan wali kelasnya. Pandangannya mengabur dan kepalanya terasa berputar.
“Tukang sampah???” suara Handoko tak kalah tinggi, “Oh, aku ingat. Pak Sam, yaaaa..????” pantas saja tadi aku seperti mengenali wajahnya,” ia yang tinggal satu komplek dengan Johan ikut menimpali.
Ahmad merasa dadanya sesak. Ia merasa kelas itu hening seketika. Seisi kelas menatapnya tajam. Ia balas menatap satu per satu wajah teman-temannya. Tatapan mereka terasa asing dan aneh. Mengapa? Karena status tukang sampah itukah? Lalu apa salahnya kalau ia benar anak seorang tukang sampah??
* * *
Pesta ulang tahun itu sempurna hancur. Tak menyisakan secuil kebahagiaan pun. Yang tertinggal hanyalah tatapan permohonan maaf Johan yang merasa bersalah. Juga genggaman tangan Dini di bahunya yang berusaha menyampaikan bahwa semuanya baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja seperti selama ini. Namun, gadis itu salah. Salah total. Semuanya memang telah hancur. Yang tersisa hanyalah serentetan pertayaan dan tuntutan kejujuran. Yang tersisa hanya bisik-bisik dan tatapan aneh dari teman-temannya. Tak hanya teman satu kelasnya, bahkan seisi sekolah mulai sibuk berbisik bahwa ia adalah anak tukang sampah.
Tak ada cerita yang tersisa di kepala Ahmad untuk dibagi dengan ayahnya setiap malam. Ia tak memiliki sepenggal cerita pun. Tak ada yang tersisa selain pertanyaan, pertanyaan, dan pertanyaan. Bahkan selera untuk makan pun  ia tak lagi ada. Ia tak pernah lagi menunggu kepulangan lelaki itu di muka pintu. Bahkan, dibiarkannya pintu rumah kecil itu terbuka. Membiarkan angin bebas merangsek masuk ke rumah itu. Ia menyandarkan punggung di bingkai pintu menunggu kepulangan sang ayah. Ia mendengar pagar kayu itu berderit. Namun, ia bergeming. Tak berminat sekadar mengangkat kepala apalagi menyambut kepulangan lelaki itu. 
Ayah telah duduk di hadapan Ahmad. Menatapnya dengan tatapan menggoda lalu mengusap rambutnya, “Ahmad?” ia mencoba mencari mata bocah itu,  “kau sakit?”
Bocah itu menggeleng lesu. Matanya sembab. Masih ada sisa air mata di sana.
“Mengapa menangis?”
Ahmad tak berselera menjawab. Ia beranjak meninggalkan ayahnya begitu saja menuju dipan lusuh tanpa kasur tempat mereka tidur.
“PR-mu telah selesai?”
Ahmad menarik selimut.
“Kau sudah makan?”
Ahmad menutupi kepalanya dengan selimut. Menyeka sebutir air mata yang runtuh di sudut matanya.
Lelaki itu tahu ada yang salah dengan putranya. Ia biarkan saja Ahmad yang memilih diam beberapa hari terakhir. Ia membersihkan diri dan menganti pakaian. Namun, ekor matanya terus memperhatikan perubahan gerak-gerik Ahmad meskipun berpura-pura tak peduli.  Ia menghitung dalam hati dan tepat di hitungan kesepuluh bocah itu bangkit dari tidurnya. Ahmad menatap lurus sang ayah yang mengulum senyum kemenangan.
“Ada apa?”
Ahmad tak menjawab. Ia malah beranjak dari dipan itu dan meraih ransel lusuh yang setiap hari dibawa ayahnya bekerja. Selama bertahun-tahun lelaki itu memang tak pernah mengizinkan Ahmad menyentuh ransel lusuh itu dengan alasan tak ingin repot menyusun semua perlengkapan kerjanya. Namun, kali ini Ahmad tak peduli. Telah hampir seminggu ia menunggu pertanyaannya terjawab. Malam ini semuanya harus tuntas. Dengan paksa ia membuka resleting ransel itu dan mengeluarkan semua isinya. Seragam kaus kuning tergeletak di lantai. Ahmad tak perlu bertanya lebih jauh. Ia tahu siapa pemakai seragam seperti itu.
“Mengapa ayah tidak pernah jujur tetang pekerjaan ayah?”
Lelaki itu diam. Menatap pakaian kerjanya dan wajah putranya bergantian.
“Mengapa ayah tidak berkata jujur?” Ahmad menuntut jawaban.
“Ternyata ini yang membuat sikapmu berubah beberapa hari ini.”
“Mengapa ayah tidak pernah jujur???!!!!” Ahmad berteriak.
Lelaki itu tertunduk. Menghempaskan nafas berat, “Karena aku tahu, Nak. Kau pasti malu memiliki ayah seorang tukang sampah!” suaranya lirih sambil memungut seragam kuning yang berhamburan di lantai.
“Malu???” Ahmad mencibir, “Aku malu. Bahkan aku jauh lebih malu dari yang pernah ayah perkirakan karena tahu siapa ayahku dari orang lain!! Dari orang lain Ayah!! Di hari ulang tahunku!”
Ada nyeri di dada lelaki itu saat mendengar  kalimat putra kesayanganya itu. Sungguh pun ia telah memprediksi semua itu, tetapi sama sekali tak pernah mengharapkan pengakuan sejujur itu. Rasanya sungguh menyakitkan.
“Ayah tahu? Mereka menatapku dengan aneh saat tahu bahwa ayah seorang tukang sampah.  Bahkan Dini dapat menyimpulkan bahwa aku mungkin bukan anak ayah hanya karena mata dan hidung kita yang berbeda. Hah! Alangkah bodohnya aku selama ini.”
“Lalu kenapa kalau ayah seorang tukang sampah?” suara ayah meninggi, “kau malu??? Hah!!! Kau malu???”  Ayah membentak, “Lalu mengapa kalau hidung, kulit, dan mata kita berbeda??? Kau malu??? Kau meragukan aku sebagai ayah???!!!! IYA???!!!”
“IYA!!! IYA!!! IYA AKU MALU!!!!” Ahmad berteriak frustrasi.
PLAK!!!! Tangan itu melayang dan mendarat begitu saja di pipi halus putranya. Ahmad meringis menahan perih. Segaris darah mengalir dari sudut bibirnya yang selama ini selalu mengukir senyuman terbaik sepanjang masa.
Hening. Waktu tiba-tiba berhenti berdetak. Lelaki itu ternganga. Tak mempercayai gerakan tangannya sendiri. Tegesa ia memeluk tubuh ringkih anaknya yang belia, “Maaf... maafkan ayah... maaf.... Maafkan ayah tak bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untukmu. Maafkan ayah yang tak bisa dibanggakan seperti ayah teman-temanmu. Tapi, Nak... ayah sungguh mencintaimu.”
Ahmad meronta. Berusaha melepaskan diri dari pelukan itu. Namun, ia tak kuasa melepaskan diri dari perangkap pelukan itu, “Aku malu... teman-teman mengejekku...” bisiknya lirih terisak. Membenamkan wajah di dada ayahnya.
Ayah masih memeluk dan mengusap rambut lebatnya. Selama ini pelukan dan usapan lembut di kepala bocah itu selalu berhasil menenangkannya. Menenangkanya saat hujan lebat disertai petir dan gemuntur mengusik tidurnya. Menenangkannya saat tubuhnya demam dan panas tinggi. Juga menenangkannya saat ia tak mampu membeli sebungkus nasi untuk menghalau lapar yang mendendangkan orkestra perih sepanjang hari dalam perut mereka. Pelukan itu selama ini selalu berhasil menenangkan putranya, kecuali malam ini.
“Maafkan ayah tak bisa menjadi yang terbaik dalam hidupmu,” bisik lelaki itu putus asa dihantam rasa bersalah.
Ahmad terus meronta hendak melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Ia terisak. Menangisi kebodohan dan ketidakpeduliannya. Selama ini ia percaya saja pada cerita-cerita ayah setiap ia pulang bekerja di malam hari. Bercerita bahwa ia seorang kuli bangunan yang kuat, yang tak takut matahari. Bercerita tentang teman-temannya yang selalu membeli minuman penambah energi, tentang teman-temannya yang hanya bisa berbahasa daerah. Mengapa pula ia tak pernah peduli dengan tas lusuh yang tak pernah boleh ia buka itu?
* * *
Pertengkaran hebat malam itu adalah akhir kemesraan mereka. Betapa pun lelaki itu rindu memeluk dan mengusap kepala putranya, bocah itu seperti membangun sebuah benteng  dan sebuah kehidupan baru. Dipan lusuh yang bertahun-tahun mereka tempati bersama kini lengang. Ahmad memilih tidur lebih awal melingkar di lantai kayu yang dingin sambil memeluk sebuah buku meskipun saat tengah malam tiba ayah memindahkannya ke dipan. Mengangkatnya dari lantai dan membentangkan selimut untuknya. Ia masih dapat mengingat dengan jelas tubuh mungil bocah itu bertahun-tahun lalu melingkar dalam pelukannya saat selimut tipis mereka tak mampu menghalau dingin. Ini adalah kali pertama bocah itu menolak berdampingan dengannya di dipan itu.
Tak ada lagi cerita yang mereka bagi menjelang tidur. Yang tersisa hanyalah hining. Hening yang beku dan akut. Bahkan segelas teh yang selalu disiapkannya untuk putra sematawayang itu tak pernah lagi disentuh satu mililiter pun. Berkali-kali lelaki itu harus merelakan teh-teh itu basi dan terbuang percuma.
Satu hal yang paling disesali lelaki itu. Mengapa ia bersedia memenuhi permintaan pesta ulang tahun itu? Mengapa pula harus bermanis-manis datang ke sekolah merayakan pesta itu? Tidakkah seharusnya ia sadar bahwa ia harus tahu diri. Tidakkah ia sadar bahwa semua itu hanya akan menjadi bumerang bagi dirinya. Kemarahan akut menggelegak di dadanya.
Entah apa yang menggerakkan hati dan pikirannya untuk melangkahkan kaki ke sekolah itu. Ia tak tahu setan apa yang merasuki pikirannya untuk mengungkapkan kejujuran pada putranya. Yang pasti, pagi itu untuk kedua kalinya ia melangkahkan kaki ke sekolah anaknya. Seperti orang hilang akal ia langsung saja menyusuri koridor kelas tanpa meminta izin telebih dahulu dari satpam dan petugas piket. Ia masih ingat saat datang ke sekolah itu di hari ulang tahun putranya. Ia masih ingat tatapan ramah teman-teman putranya. Ia pun masih ingat senyum keramahan semua orang untuknya. Untuknya, untuk ayah salah seorang siswa terbaik di sekolah itu.
“Seharusnya kau bisa menebak, Ahmad. Tentu kau bisa menghitung alangkah jauhnya perbedaan usia kau dengan ayah kau. Tidak mungkin kan anak seusia kita memiliki ayah yang begitu tua?” suara seorang anak perempuan terdengar melengking dari jendela yang dibiarkan terbuka.
“Sudahlah Ahmad, yang penting sekarang kau sudah tahu kebenarannya, bahwa ayah kau itu seorang pembohong. Yang penting sekarang kau sudah tahu bahwa ayah kau itu tukang sampah. Dan mungkin... dia juga bukan ayah kau. Atau... dia juga menculik kau dari ibu kandungmu. Seperti cerita di sinetron-sinetron itu.”
Lelaki itu mempercepat langkahnya mencari pintu kelas. Kemarahan menggelegak di kepalanya. Kehadirannya mengejutkan siapa pun yang ada di ruangan itu. Beberapa wajah tampak memerah dan ketakutan. Namun, lelaki itu tak peduli. Ia meraih tangan Ahmad dan menyeret bocah itu ke luar kelas. Ahmad meronta hendak melepaskan tangannya. Lelaki itu makin mempererat genggaman tangannya. Ia melangkah menuju lapangan sambil terus menyeret Ahmad.
“DENGAR!!! DENGAR SEMUA!!!! DENGAR!!!” Lelaki itu berteriak lantang. “KUPERINGATKAN KALIAN SEMUA!! TAK ADA YANG BOLEH MENGGANGGU ANAKKU! TAK ADA YANG BOLEH MENGEJEK ANAKKU! TAK ADA YANG BOLEH MENGHINA ANAKKU!!!  AKU TUKANG SAMPAH!!! YAAA!!! KUAKUI BAHWA AKU TUKANG SAMPAH!!! TIDAK SEPERTI BAPAK KALIAN YANG KAYA RAYA!!! AKU HANYA TUKANG SAMPAH!!! TAPI AKU BUKAN PEMBOHONG!!!! AKU BUKAN PENIPU!!” teriaknya menggila.
“Ayah... berhentilah...” itu adalah kalimat pertama yang didengarnya setelah hampir dua bulan bocah itu memproklamirkan perang dingin dengannya. Betapa ia rindu dengan panggilan itu.
“KALIAN LIHAT!!! AKU TUKANG SAMPAH!! TAPI LIHATLAH!!! ESOK ANAKKU, AHMAD!!  AHMAD AKAN MENJADI PRESIDEN REPUBLIK INI, IA AKAN MENJADI YANG TERBAIK DI ANTARA KALIAN!!! IA AKAN DUDUK DI PUNCAK-PUNCAK KEPEMIMPIAN DUNIA. AKU AKAN BERIKAN KEPALAKU UNTUK MENJUNJUNG DAN MENDUKUNG PUTRAKU HINGGA IA SAMPAI DI LANGIT  DI ATAS SANA!!!” ia menunjuk langit biru terang di atas mereka.
“KALIAN HITUNG BERAPA PIALA YANG TELAH DISUMBANGKAN ANAKKU UNTUK SEKOLAH INI??? KALIAN HITUNG BERAPA BANYAK LOMBA YANG IA MENANGKAN!!! KALIAN HITUNG!!!!” perintahnya, “ADAKAH DI SANA TERTULIS BAHWA AHMAD  ANAK TUKANG SAMPAH??? TIDAK!!! TIDAK PERNAH ADA!!!”
Hening. Semua siswa dan guru hanya mendengarkan teriakan lantang lelaki bertubuh tinggi itu. Ia masih memakai seragam tukang sampahnya.
“KALIAN DENGAR!!! TAK ADA YANG BOLEH MENGGANGGU ANAKKU LAGI!!! AKU YANG AKAN MEMBELANYA HINGGA NAFAS TERAKHIRKU!! TAK ADA YANG BOLEH MENGHINA ANAKKU LAGI!!!” teriaknya.
“Ayah...”  Ahmad berbisik.
Bu Marni menyeka air mata. Hening. Tak ada suara sama sekali. Semua orang seolah menahan getar pita suara masing-masing. Hanya isakan Ahmad dan ayahnya yang sesekali terdengar. “Jangan lakukan ini lagi,” ujar Ahmad lirih, “a... aku malu.”
“Pulang!!!” perintah ayahnya, “kau tak pantas berada di sekolah pengecut seperti ini.”
Ahmad tertunduk menyeret kakinya mengikuti langkah ayah. Waktu seolah kembali menjadi beku diantara mereka. Keduanya sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing.
“Maafkan aku ayah,”  Ahmad terus saja melangkah mengikuti ayahnya dan membiarkan lelaki itu terus menggandeng tangannya.
“Tunggulah. Malam ini akan kuceritakan semua yang kau mau,” tatapan lelaki itu lurus. Tak sekali pun mengecek keberadaan putranya yang sejak tadi diseretnya paksa.  “Aku tak pernah berbohong. Aku hanya menunggu waktu yang tepat.”
Ayah membuka pintu rumah, “Masuklah. Makanlah bila tiba waktunya makan. Jangan pikirkan apa pun dan jangan ke mana pun. Tunggu ayah pulang.”
Setelah memastikan putranya mematuhi perintahnya, ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Mendorong gerobak sampah besar. Mengosongkan semua kotak sampah di tiap rumah, membersihkan parit, menyortir sampah-sampah itu, menyapu daun-daun kering dan sampah di tepi jalan. Ia melakukan semua pekerjaannya sesuai dengan sistem yang selama bertahun-tahun diikutinya. Ia sudah sangat terlatih memilah-milah sampah-sampah itu. Tangannya dapat bergerak tanpa harus menyediakan pikiran khusus untuk pekerjaan itu. Kepalanya dipenuhi dengan potongan-potongan peristiwa siang tadi dan hatinya tak pernah mau berhenti dari menyebut nama putranya.
Senja mulai usai. Ia telah membersihkan diri di sebuah kamar mandi umum. Berganti pakaian dan melipat dengan rapi pakaian dinasnya. Pikirannya dipenuhi oleh nama putranya. Ia mempercepat langkah saat tiba di ujung jalan menuju rumahnya. Rumah itu tak seperti biasanya. Lampu listrik yang disambung dari tetangga sebelah tampak belum menyala. Gelap. Ia bergegas membuka pagar dan mendorong pintu.
“Ahmad????” ia memanggil sambil mencari saklar lampu.
Ruang tamu sempit tempat mereka tidur, bercerita, dan belajar  tampak berantakan. Kertas-kertas berserakan. Lelaki itu meraih beberapa lembar foto yang terserak. Foto dirinya dan Ahmad di pesta ulang tahun beberapa bulan lalu. Terlihat begitu mesra. Ia memeluk pundak putranya, memakai kemeja dan sepan terbaik miliknya, dan sepasang sepatu kulit yang dipinjamnya dari tukang semir dekat  rumahnya. Ia tahu bahwa pesta ulang tahun itu adalah hari terakhir putranya tersenyum. Pesta ulang tahun itu adalah akumulasi semua rasa bahagia yang mereka miliki. Sebab setelah semua itu, semuanya seperti tersedot habis. Tak bersisa tanpa ampun.
“Ahmad!” ia memanggil lagi. Meninggalkan foto melankolis itu menuju dapur. Dilihatya segelas teh yang disiapkannya tadi pagi tak ada lagi di atas meja itu. Hatinya sedikit lega. Berharap itu adalah tanda damai dari putranya atas perseteruan tentang kejujuran ini. Namun, ia berhenti melangkah karena kakinya tersandung sesuatu.
“AHMAD!!!” 
Lelaki itu berteriak panik mendapati putranya tergeletak di lantai dengan tangan bersimbah darah. Di dekat kaki meja air teh buatannya tumpah. Gelas yang biasa digunakannya telah pecah. Salah satu bagiannya malah menjadi pengiris nadi putranya.
“AHMAD!!!” lelaki itu mengguncangkan tubuh putranya.
Namun, bocah itu bergeming. Darah menggenang. Wajah pucat dan mata tertutup rapat. Ayahnya merapatkan telinga ke dadanya. Jantung itu masih berdetak. Lemah. Ia bergegas membuka lemari pakaian dan mengambil sesuatu dari laci di dalam lemari itu. 
“TOLOOONGGG!!!” lelaki itu berteriak menuruni undakan tangga. Tergopoh-gopoh menggendong putranya. Ia tak berniat menunggu belas kasihan para tetangga yang menatap terkejut. Tak tahu ke mana harus membawa anaknya. Yang ia tahu bahwa ia tak boleh berhenti melangkah.
“Tunggulah malam ini. Akan kuceritakan semuanya,” ia teringat janjinya tadi siang. Namun, bocah itu tak tahu bahwa ia memberikan janji.
Berat tubuh bocah itu menghambat lagkahnya. Namun, ia tak boleh berhenti melangkah. Kepalanya berdenyut hebat. Potongan peristiwa tiga belas tahun lalu seperti sebuah film pendek yang melintas di benaknya.
“Jangan pergi! Bertahanlah!” ia memberi semangat putranya.
Ia mendengar tangis bocah itu di sebuah bak sampah di subuh hari. Ia bahkan masih melihat sosok perempuan yang meletakkan bocah itu di sana. Ia menggendong bayi itu dan berusaha mengejar perempuan itu. Namun, perempuan itu telah melarikan diri dengan menumpang sebuah ojek. Berhari-hari ia menunggu dan berharap ada seseorang yang mencari dan membawa bayi itu pulang. Namun, nihil. Hingga tiga belas tahun kemudian pun tak ada yang datang mencari bocah itu.
Ia tak peduli pada keringat yang membanjir di tubuhnya. Tak peduli pada tangannya yang kebas menggendong putranya. Tak peduli pada kakinya yang letih setelah bekerja seharian lalu menggendong putranya menuju rumah sakit. Ia tak peduli pada satpam yang hendak bertanya dan memintanya berhenti. Ia menerobos pintu masuk rumah sakit dan berteriak pada siapa saja yang ada di ruangan itu.
“Tolong!!! Tolong aku!!!! Selamatkan dia!!! Selamatkan dia!!!”  Dua orang suster sigap menyambut bocah itu dari gendongan ayahnya dan meletakkannya di atas brangkar. Mereka membawa bocah itu ke UGD.
Ia menarik tangan salah seorang suster yang menangani putranya, “Ini!!!” lelaki itu mengeluarkan seuntai kalung dari saku celananya, “ambil ini. Tolong selamatkan dia!!!” pintanya sungguh-sungguh menahan air mata. Itu kalung peningalan almarhum istrinya. Harta simpanan terakhirnya. Namun, ia lebih tak rela kehilangan putra terbaiknya. Suster itu menggeleng dan menyerahkan kalung itu kembali. Ia meminta lelaki itu duduk tenang di kursi tunggu.
Dengan tangan tuanya, ia mengumpulkan sesendok demi sesendok air tajin untuk makan bocah itu karena tak sanggup memberinya susu. Dengan tangan tuanya, ia membimbing bocah itu berlatih berjalan. Meniti lantai papan rumah mereka yang berderit setiap diinjak. Ia mengendalikan tidurnya setiap malam agar dapat  cepat terjaga saat bocah itu menangis lapar. Ia berjaga agar tak seekor pun nyamuk berani menggigit putranya. Dengan ingatannya yang payah, ia menceritakan dongeng-dongeng si kancil setiap malam sebagai pengantar tidur. Dengan otak dangkalnya, ia mengajarkan bocah itu mengenal huruf pertamanya di usia empat tahun, A untuk ayah, A untuk Ahmad. Dengan tangan tuanya, ia membersihkan dan memotong lidi-lidi kelapa untuk dijadikan alat hitung mengenal kabataku. Dengan tangan tuanya juga, ia meraut bambu untuk membuat layang-layang. Dengan tangan tua itu juga, ia menggendong tubuh bocah itu ke rumah sakit saat bertarung melawan maut.
“Anak Bapak butuh tambahan darah. Ia kehabisan banyak darah”
“Ambil darahku!!! Ambil darahku!! Ambil sebanyak yang dia butuh!!!” ia menyodorkan kedua tangannya kepada dokter.
Dokter itu menggeleng dan tersenyum ramah, “Kita periksa dulu, ya. Dia membutuhkan darah B,” jawab dokter itu singkat.
Lelaki itu merosot ke lantai. Diperiksa dulu? Bagaimana mungkin ia dapat memberikan darah untuk putra kesayangannya. Bukankah bocah itu bukan darah dagingnya. Bagaimana mungkin ia akan memiliki darah yang sama dengan bocah itu. Kemana ia akan mencari darah? Siapa pula yang bersedia memberikan darah untuk seorang tukang sampah sepertinya.
“Mari, kita periksa.”
Ia tahu semua ini sia-sia. Ia tahu ia tak memiliki apa yang dibutuhkan putranya. Namun, ia berjanji memberikan semua yang dibutuhkan putranya. Ia berjanji melakukan apa saja untuk kehidupan putranya. Ia pasrah mengikuti langkah suster di depannya. Entah apa rencana Tuhan untuknya. Di tengah keputusasaan itu, dokter memberikan kabar baik. Kabar bahwa darah itu cocok untuk putranya meskipun berisiko bagi dirinya untuk dilakukan transfusi langsung. Namun, lelaki itu tak peduli. Demi putranya. Untuk putranya yang terbaik.
“Pindahkan semua darahku padanya. Aku rela. Dia harus hidup seribu tahun lagi,” pintanya saat suster menyiapkan seluruh perlengkapan transfusi, “dia harus bangun esok pagi. Melihat matahari merah yang selalu ada untuknya.”
* * *
Tubuh itu menggeliat. Napasnya teratur. Ia membuka mata perlahan. Mengerjap beberapa kali. Beradaptasi dengan cahaya terang yang terpantul dari dinding-dinding ruangan yang putih bersih. Ia mencoba mengangkat tangan kanannya yang tersambung dengan sebuah selang infus. Pergelangan tangan kanannya di bebat perban. Ia meringis mengingat penyebab mengapa perban itu harus ada di sana dengan menyisakan sedikit di bercak darah di permukaannya.  Ia mengalihkan pandangannya ke tangan kirinya. Sebuah selang lain tergantung di sana. Selang yang dialiri cairan merah kental terhubung dengan ranjang di sebelahnya. Di ranjang itu tergolek sesosok tubuh yang selama bertahun-tahun menemani tidurnya, berbagi tikar di atas sebuah dipan lusuh. Mata lelaki itu terpejam. Rambutnya semakin sempurna memutih. Di sini pun, di ruangan yang sesak oleh aroma alkohol ini, lelaki itu tetap menemaninya. Tak pernah membiarkannya sendiri. Tak pernah lepas meninggalkannya.
“Ayah...” panggilnya lirih. Ia menunggu beberapa saat. Selama ini, lelaki itu tak pernah luput dari mendengar panggilannya. Pun saat ia mengigau di tengah malam. Lelaki itu selalu siaga mendengar suaranya. Kali ini ia menunggu cukup lama, tetapi lelaki itu belum juga terbangun dari tidurnya.
“A... ayah... bangunlah,” ini pertama kali ia meminta lelaki itu bangun dari tidurnya sebab selama ini selalu ayah yang membangunkannya.
“Ayah, aku mohon bangunlah....” ia memelas meminta belas kasih. Air matanya runtuh hancur berdenting di lantar marmer putih rumah sakit. Ia berusaha bangun meraih tangan sang ayah. Namun, tiba-tiba mata itu perlahan terbuka. Menatapnya lembut, penuh kerinduan. Ayah selalu mampu mendengar panggilannya.
“Ayah...”
“Ahmad...” suara ayah parau, “kau anakku.”
Ahmad mengangguk. Ia pun ingin berteiak, “KAU PUN AYAHKU!! AYAH NOMOR SATU... AYAH JUARA SATU SEDUNIA...” namun, ternggorokannya tercekat.
Ayahnya tersenyum. Itu senyum terbaik dari ayahnya. Namun, tak lama. Mata itu kembali redup dan senyum itu pun usai.
“Ayah...  maafkan aku...” Ahmad terisak.
* * *
Palembang, 20 April 2012
Untuk ayahku tercinta.... Luv U soo much
Ayahku juara satu sedunia
Terinspirasi dari  sebuah iklan asuransi Thailand

MUDIK



“Dari stasiun Mas. Beli tiket untuk mudik lebaran nanti. Nih,” Budi menunjukkan selembar tiket kereta api untuk kelas ekonomi.
Aku menggeleng sambil menggantung dasi kerjaku. Belum juga masuk Ramdhan yang disiapkan lebih dahulu malah tiket mudik. “Mau mudik lagi lebaran ini?”
Budi menggangguk antusias, “Iya, Mas. Bukan Lebaran namanya kalo ndak mudik. Apalagi keluargaku kan di Bojonegoro semua, Mas. Ngapain aku lebaran tetep di Jakarta. Ndak ada siapa-siapa ini. Mas Fikri ndak pulang kampung lagi, yo?”
Tanganku yang hendak memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci tiba-tiba menggantung karena pertanyaannya. Sejurus kemudian aku menggeleng cepat. Aku tak peduli. “Pekerjaanku banyak, Bud. Aku mandi dulu, ya.”
Ndak rindu tho Mas dengan ibu sama bapak di kampung?”
* * *
Delapan tahun lalu aku memutuskan meninggalkan bapak, ibu, ayukku, dan kampung halamanku. Aku meninggalkan rumah dengan perasaan berdarah-darah. Aku kecewa dengan sikap bapak yang tak peduli pada cita-citaku. Tiga tahun aku bekerja keras di SMA agar dapat menjadi siswa terbaik dengan prestasi gemilang. Aku tak meminta apa pun pada bapak. Kupenuhi kebutuhan biaya sekolah dan buku-buku dengan bekerja sebagai penjaga toko dan kuli angkut di pasar pagi. Aku hanya ingin bapak mendukung cita-citaku.
Prestasi gemilangku berbuah manis. Aku diterima di fakultas hukum di universitas terbaik di Jakarta. Aku ingin menjadi pengacara terbaik. Meraih ilmu setinggi-tingginya untuk memperbaiki kualitas hidup dan kondisi ekonomi keluarga kami yang terpuruk selama bertahun-tahun. Namun, saat surat penerimaanku di universitas itu kutunjukkan pada bapak, beliau hanya melengos. “Bapak tidak punya uang untuk biaya masuk kuliah, Fik. Kau tahu kan, Ayuk Fida akan menikah bulan haji nanti.”
Saat itu aku ngotot mempertahankan cita-citaku. Aku tahu, jangankan untuk biaya kuliah, biaya sekolah pun aku berusaha memenuhi sendiri. “Fikri punya uang, Pak. Tabungan hasil nguli di pasar dan sisa beasiswa. Hanya masih kurang dua juta untuk ongkos perjalanan dan biaya masuk.” Aku melirik tiga ekor sapi yang merumput di samping rumah.
“Dua juta? Dapat dari mana kita uang sebanyak itu. Kau kan tahu ayuk kau akan menikah. Bapak juga harus menyiapkan banyak uang untuk pernikahannya.”
“Kita punya enam sapi, Pak. Jual satu untuk biaya kuliahku. Apa susahnya.”
“Ayuk kau hendak menikah, Fik. Bapak memang akan menjual sapi itu tapi bukan untuk kuliah kau, tapi untuk pernikahan ayuk kau! Kalau kau mau kuliah, tunggu tahun depan.”
Aku meradang. Kecewa berdarah-darah! Bapak lebih memilih penyambutan untuk seorang menantu! Tapi bapak melupakan masa depanku! Tidak! Tidak akan ada tahun depan! Kesempatan ini hanya datang sekali. Mengapa bukan Ayuk Fida yang menunda pernikahannya hingga tahun depan?
Aku berlari meninggalkan rumah menuju sungai di tengah hutan kampung kami. Aku berlari kesetanan tak peduli pada akar dan ranting patah yang siap menghadang kakiku. Aku memanjat pohon asam putaran yang berdahan besar dan berdaun lebat di tepi sungai. Duduk mengasingkan diri di dahan tertingginya yang menjorok ke sungai. Aku tidak menangisi ketidakpedulian bapakku. Juga tak menangisi kelemahan ibu yang tak mampu membela dan memperjuangkan cita-citaku di hadapan bapak. Aku marah pada nasib yang tidak memihak padaku. Aku berdiri dan melangkahkan kaki pelan menapaki guratan dahan pohon asam yang berbonggol. Merentangkan tanganku lebar-lebar. Menatap permukaan sungai yang lebar dan deras. Merasakan angin yang berhembus bebas menghantam dadaku yang telanjang. Aku melompat menceburkan diri ke sungai. Air kecoklatan itu melumatku. Aku membuka mata dan mengepakkan tangan. Saat muncul di permukaan air, aku telah terseret beberapa meter dari pohon asam.
Aku tak merasa kehabisan napas. Tak juga lambungku dipenuhi air. Aku adalah anak kampung yang menguasai teknik berenang dengan baik. Air sungai itu mencuci bersih otakku. Seolah memberikan cahaya baru untukku menemukan jalan merentas cita-cita.  Jangankan untuk tiba di Jakartakota yang satu butir kerikilnya pun belum pernah kulihat—ke bulan pun bukan hal mustahil asalkan kakiku tak pernah berhenti bergerak dan tanganku tak pernah malas berusaha.
Baiklah! Aku masih memiliki waktu dua bulan sebelum pendaftaran ulang di universitas.  Sejak hari itu aku menggila menjadi tenaga kerja paling produktif di kampung halamanku. Aku menjadi kuli angkut yang paling gesit berjalan dan paling banyak memanggul barang. Meskipun jika malam tiba, tulang punggungku beramai-ramai mengajukan permintaan libur. Aku berkunjug ke banyak rumah demi mendapatkan job memperbaiki pagar, kandang ayam, kandang kambing dan kerbau yang hendak diperbaiki. Bahkan, saking terkenalnya aku sebagai kuli serabutan di kampung, banyak anak kecil yang mencariku hanya untuk memperbaiki robot-robotan atau mobilan yang rusak. Hasilnya, pundi-pundi tabunganku bertambah meskipun dengan kecepatan lambat.
Bisa jadi aku adalah mahasiwa baru di universitas ternama yang datang hanya dengan modal semangat. Hingga akhir semester pertama, aku tak memiliki tempat kost. Pengurus masjid di dekat kampus berbaik hati mengizinkan aku tinggal di masjid itu untuk batas waktu yang tak ditentukan. Aku menghilang ditelan belantara Jakarta. Menenggelamkan diri pada studiku dan kerja serabutan. Tak sepucuk surat pun kukirimkan pada bapak yang melepas kepergianku dengan melemparkan puntung rokoknya saat kakiku baru saja menuruni anak tangga rumah panggung kami.
* * *
Ramadhan kali ini aku tetap melihat semangat luar biasa di wajah Budi. Mungkin karena ada janji bahagia di penghujung Ramadhan bahwa ia dapat pulang kampung tanpa harus berdesakan mengantri tiket kereta. Tiket itu disimpannya rapi di dompetnya, sesekali dipamerkannya padaku.
“Kenapa nggak naik pesawat aja, Bud? Kan lebih nyaman, cepet lagi.”
“Aduuh… gaji kita kan beda, Mas. Nantilah kalo Budi sudah dapat kasus-kasus besar kayak Mas Fikri ini lho… nanti baru Budi pulang mudik naik pesawat. Lagian, kalo pulang kampung tuh butuh banyak bawaan, Mas. Jadi pengeluaran ndak cuma buat ongkos, tapi juga buat oleh-oleh dan bagi-bagi duit ke ponakan dan anak-anak tetangga.”  Wajah Budi sumringah saat menceritakan ritual Lebaran di kampungnya.
“Ngapain aja sih kalo mudik?”
Maklum sejak lahir ke dunia hingga usiaku tujuh belas tahun aku menghabiskan Lebaran di kampung halaman tanpa pernah mendahului hari raya itu dengan rindu ingin bertemu. Toh, setiap hari kami bertemu. Jadi, mengapa pula harus ada rindu. Sejak delapan tahun lalu aku meninggalkan rumah panggung keluarga kami, sekali pun aku tidak pernah menginjakkan kaki ke kampungku. Tekadku bulat. Aku hanya akan pulang jika telah sukses di Jakarta. Aku ingin buktikan pada bapak bahwa anak bujangnya ini bukanlah lelaki manja yang tak akan bisa berdiri tanpa bantuannya. Aku akan buktikan pada bapak bahwa ketidakpeduliannya padaku tidak akan pernah menyurutkan langkahku.
“Yang pasti nyekar, Mas. Itu lho, ziarah maksudnya,” Budi segera meralat kalimatnya. “Bapakku kan sudah ndak ada. Jadi tiap Lebaran kami rame-rame ziarah ke makan bapak. Bersihin makam, tabur bunga, dan kirim doa. Lebaran tuh koyo’ ndak artinya kalo ndak ada orang tua lho, Mas.”
Aku diam. Teringat bahwa Budi pernah bercerita bahwa bapaknya meninggal saat ia masih SD. Namun, aku salut melihat semangat pada diri budi. Ah, tak terlalu jauh pula bedanya kami berdua ini. Namun, tetap saja Budi lebih beruntung. Budi bekerja keras untuk sekolahnya karena bapaknya sudah meninggal. Lalu aku? Nasibku jauh lebih menyedihkan. Bapakku masih ada, sapinya hampir setengah lusin, kebun kopi pun kami ada meskipun begitu kecil, tetapi bapakku tak pernah peduli pada sekolahku. Aku sama berkeringatnya seperti Budi demi angan-angan tentang koleksi beberapa lembar ijazah.
* * *
Lebaran tinggal menghitung hari. Budi telah berangkat ke kampung halamannya sejak kemarin sore. Aku terbangun dengan nafas tersengal dua jam sebelum azan subuh berkumandang. Masih sempat untuk qiyamul lail  dan sahur. Namun, nafsu makanku hilang. Seseorang bertangan keriput dengan rambut memutih menggandeng tanganku menyusuri jalan setapak dalam tidurku tadi. Jalan setapak itu begitu kukenal. Jalan yang licin saat hujan turun lalu aku dan anak-anak kampung beramai-ramai saling dorong bermain perosotan di atasnya. Itu jalan menuju rumahku.
Aku tak menyentuh sebutir nasi pun malam itu, malah sibuk menekan nomor telepon beberapa agen perjalanan dari ponselku. Tak satu pun panggilanku dijawab mengingat kantor itu tentu saja baru akan beraktivitas beberapa jam setelah matahari terbit.
“Penerbangan ke Palembang,” pintaku saat teleponku terangkat menjelang pukul sembilan pagi.
“Hanya tersisa pada H+1 Lebaran, Pak. Penerbangan pukul 06.00 WIB…”
Aku langsung mengiyakan. Percuma mencari penerbangan lain karena mungkin jawaban yang kuterima akan sama. Para calo dan pemburu tiket pastilah sudah menghabiskan semua tiket jauh sebelum bulan puasa tiba, seperti Budi.  Aku pun—entahlah—mengapa tiba-tiba terpikir bahwa aku harus pulang. Yang menghantui pikiranku adalah pemilik tangan keriput yang menggandeng tanganku dalam mimpiku tadi malam.  Aku pikir itu tangan emak. Aku mencoba mengingat lagi bingkai wajahnya, tetapi waktu delapan tahun pastilah telah mengubah beberapa karakter siluet wajahnya. Aku bahkan lupa seberapa tebal alis mata emakku. Bapak? Ah… aku semakin kesulitan melukis wajahnya. Yang kuingat hanyalah rokoknya yang seperti rel kereta api. Yang kuingat hanyalah tatapan ketidakpeduliannya. Yang kuingat hanyalah cemoohannya, apalah perlunya sekolah. Kau gali saja tanah kebun kita itu, pasti kau akan dapatkan emas di sana. Aku balas mencemooh kalimat itu, “Lalu, kenapa bukan bapak saja yang menggalinya? Kenapa bukan bapak saja yang temukan emasnya agar hidup kita tidak terlalu melarat seperti ini!”
* * *
Pesawat mendarat di SMB II saat matahari baru akan meninggi. Cahayanya menyilaukan. Aku menarik koperku yang hanya berisi beberapa pakaian ganti dan oleh-oleh untuk emak dan bapak. Aku masih butuh lima jam perjalanan darat menuju kampungku.  Aku tak berminat mengobrol dengan sopir yang mengantarku. Kubuang saja pandangan ke jalanan yang ramai orang hilir mudik berbaju baru keluar dari rumah satu ke rumah lainnya. Aku tak merasa lapar juga tak butuh seteguk air pun. Perjalanan tak terencana ini seperti mimpi magis yang menyeretku kembali ke masa lalu.
Aku berdiri mematung di depan sebuah rumah panggung.  Tak terlihat kemeriahan lebaran. Tangga rumah itu semakin rapuh. Kakiku seperti terpaku di halaman rumah itu. Tak berani melangkah. Semakin kaku saat seorang wanita kurus yang kulitnya bergelambir karena keriput dan menyampirkan kerudung coklat di kepalanya menatapku lekat. Mataku mengabut. Seorang lagi wanita bertubuh tinggi yang (kurasa) kulitnya lebih legam dari terakhir aku melihatnya berdiri di samping wanita tua itu sambil menggandeng seorang bocah laki-laki. Dadaku bergemuru seiring kabut yang siap runtuh dari mataku. Aku masih mencari seorang lagi. Laki-laki yang kusimpan kesumat untuknya. Namun, hingga dua orang wanita itu perlahan menuruni tangga laki-laki itu—bapakku—tak kulihat juga bayangannya. 
Aku dapat membaca dengan jelas bibir wanita itu bergetar mengeja namaku, “Fi…kri…” Aku menghambur meninggalkan koperku tersungkur di kaki emak. Emak terduduk di tangga. Ia menyambut kepalaku yang terbenam di kakinya lulu mencium wajahku. Ia memperlakukanku seperti bayi yang baru ditemukan dari seorang penculik amatiran. Air matanya tumpah. Aku dapat lagi mencium aroma tubuhnya.
“Mana Bapak?” aku seperti berbisik menayakan laki-laki yang darahnya mengalir deras di tubuhku.
Emak tak menjawab. Ayuk Fida menepuk pundakku dan menunjuk sebuah gundukan tanah di halaman rumah. “Bapak sudah lama pergi. Dia berpesan agar dimakamkan di halaman rumah kita. Dia ingin menjadi orang pertama yang melihat dan menyambut kepulanganmu.”
Tubuhku lemas. Bapak yang kubenci dan kuhapus dia dari kepalaku masih mengharapkan aku pulang? Bahkan saat tahu tak dapat bertemu nyawa denganku, dia masih meninggalkan jejak raganya untuk menyambutku.
“Bapak kau, pernah ke Jakarta untuk menyerahkan uang kuliahmu, Fik. Tapi Jakarta terlalu luas bagi bapak kau yang bodoh itu. Dia menjual semua sapinya untuk kuliah kau, tapi sayang kau berangkat ke Jakarta sebelum orang melunasi pembayaran sapi itu, Fik.”
Aku diam. Membiarkan air mata runtuh tanpa menunggu izinku. Menatap beku gundukan tanah bernisan papan di halaman rumah kami. Lebaran kali ini aku pun nyekar, Bud. Seperti rutinitasmu saat lebaran. Namun, terlalu menyedihkan karena ini adalah mudik pertamaku.
* * *