Hari telah sempurna gelap. Mentari sore itu telah
bergeser dari singgasananya. Dikudeta oleh rembulan gompal. Cahayanya redup
ditutupi sekawanan awan kelabu. Beberapa kelelawar telah aktif mengepakkan
sayap di tengah kegelapan. Bayangan hitam mereka menimbulkan aura magis di
bawah cahaya rembulan gompal itu.
Seorang bocah laki-laki telah hampir satu jam
duduk di muka pintu. Angin malam yang menyapa dingin permukaan kulitnya
tampaknya sama sekali tak terlihat mengganggunya. Berkali-kali ia mendongakkan
kepala mengecek siapa pun yang muncul di ujung jalan depan rumahnya. Namun,
berkali-kali pula ia harus menghempaskan napas kecewa karena sosok ynag sejak
tadi ditunggunya tak juga tampak.
Kepalanya tertunduk karena bosan menunggu. Ia tak
lagi sibuk mengawasi ujung jalan itu. Tangannya kini asyik membuat pola-pola
abstak di permukaan tanah berpasir di halaman rumahnya dengan sebuah ranting
pendek. Pola-pola abstrak yang ia pun tak paham bentuk dan maknanya itu serumit
perasaannya saat ini. Angin berkali-kali mengacaukan pola abstrak ciptaannya
itu. Bersamaan itu, pagar kayu yang mengelilingi rumah kayu sederhana itu
berderit. Namun, sang bocah abai. Masih asyik dengan lukisan pasirnya.
“Ahmad?” sebuah suara berat menyapanya.
Bocah itu mengangkat kepala dan segera melemparkan
ranting yang sejak tadi menjadi kuas lukisan abstraknya. Ia melompat dari
duduknya demi melihat sosok lima
puluh tahunan di muka pagar itu. Ia berlari menyongsong lelaki yang rambutnya
hampir sempurna memutih itu. Dipeluknya erat pinggang lelaki itu seolah telah
bertahun-tahun tak bersua. Lelaki itu tampak lebih tua dari usia kronologisnya.
“Ayah!!” serunya sambil mempererat pelukannya.
Lelaki itu mengacak rambut hitam lebat sang bocah.
Ia terkekeh menerima sambutan sehangat itu. Tidak hanya malam ini bocah itu
menyambutnya dengan hangat, tetapi juga malam-malam sebelumnya. Namun, malam
ini sambutan bocah itu jauh lebih hangat dari biasanya.
“Sini, kubawakan,” Ahmad meraih kantong plastik
hitam dari tangan ayahnya lalu menurunkan ransel lusuh yang selalu menemani
ayahnya bekerja. Kantong plastik itu terasa berat, tetapi Ahmad tidak telalu
peduli.
“Ayo, cepat!” ia menyeret tangan sang ayah, “lihat
apa yang telah aku siapkan untuk besok,” Ahmad mengeluarkan seluruh energi yang
dimilikinya untuk menyeret langkah lelaki itu secepat mungkin untuk memasuki
rumah kecil mereka.
“Aku telah melaksanakan semua yang ayah suruh,”
suaranya masih sama antusiasnya seperti tadi. Tidak berubah sedikit pun.
Tergesa-gesa ia menaiki dua undakan anak tangga menuju pintu rumah. Pintu itu
berdebam terbuka saat ia dorong dengan kuat.
“Lihat!” serunya, “semuanya telah siap.”
Mata lelaki itu berbinar saat melihat kemeriahan
di ruang tamu sempit rumah mereka. Ia menepuk pundak sang bocah dengan bangga.
Di bibirnya terukir sebingkai senyuman.
“Aku menyiapkan semuanya seorang diri. Sepanjang
sore ini, Ayah,” gairah itu sama sekali belum hilang dari suara sang bocah.
Sang ayah mengangguk, “Kau memang anak hebat,
Ahmad!”
Cahaya rembulan gompal di atas sana kalah cemerlang dibanding cahaya wajah
Ahmad malam ini. Hanya karena sepenggal pujian sang ayah, dirinya mampu
memproduksi sebuah cahaya tanpa bantuan matahari. Wajahnya semakin cemerlang
dengan tambahan sebuah senyuman bangga karena seberkas cahaya gemintang yang
memancar dari mata sang ayah.
Mata Ahmad tidaklah salah. Cahaya gemintang itu
terus berpendar di mata sang ayah. Lelaki itu sama antusiasnya dengan dirinya
karena kemeriahan yang kini memenuhi ruang tamu mereka. Balon warna-warni menggantung
di langit-langit ruangan. Diikat dalam beberapa kelompok. Masing-masing
kelompok berisi 6—8 balon dengan warna berbeda. Pita metalik dengan warna-warni
mencolok diikatkan menjuntai dalam simpul yang sama dengan balon warna-warni
itu. Sebuah kardus besar diletakkan di dekat jendela yang hanya ditutup dengan
sebuah triplek bekas. Kardus itu berisi plastik-plastik transparan bermotif
karakter lucu dari tokoh-tokoh film kartun yang menjadi idola anak-anak.
Plastik-plastik di dalam kardus itu kembung berisi makanan dan minuman favorit
anak-anak.
“Tunggu,” ujar Ahmad sambil meninggalkan sang
ayah, “ada satu lagi,” sambungnya.
Ia mengeluarkan sebuah plastik hitam dari tas
sekolahnya. “Bu Marni memberikan ini tadi siang,” ia menyerahkan sebuah plastik
yang berisi topi ulang tahun beraneka bentuk dan motif yang terbuat dari bahan
karton.
“Besok akan menjadi pesta ulang tahun yang
meriah,” puji ayahnya.
Ahmad mengangguk semangat dengan senyum tak
terputus.
“Kau tak ingin membuka kantong plastik hitam bawaan
ayah?” tanya lelaki itu pura-pura
merajuk.
Ahmad nyengir kuda. Ia mengambil kantong plastik
besar yang tadi dibawa ayahnya. Dikeluarkannya sebuah kotak bermotif bunga dari
kantong plastik tadi. Karena penasaran dengan isi kotak itu, ia segera membuka
tutupnya. Terpana dengan sebuah kue tar yang diselimuti krim coklat dan vanila
dengan bentuk mawar yang indah. Buah ceri merah segar mengelilingi pinggiran
kue. Di permukaannya terukir sebuah kalimat Happy Birthday Ahmad. Aroma
wangi kue itu memenuhi rongga hidung sang bocah.
“Ayah...” Ahmad menatap lelaki itu dengan mata
berkaca-kaca. Itu kue paling indah yang pernah diterimanya, “Terima kasih,” ia
memeluk sang ayah, “indah sekali,” sambungnya dengan suara tercekat.
“Untukmu, Ahmad! Hanya untukmu.”
Hanya kalimat itu yang mampu diucapkan ayahnya
sambil memeluk dan menepuk pundak Ahmad. Kebahagiaan yang dilihatnya malam ini
dalam diri Ahmad sungguh luar biasa. Tak sebanding dengan semua tabungannya
yang terkuras habis untuk menyiapkan pesta ulang tahun itu. Senyum di wajah
putranya itu telah mengusir semua penat dan lelahnya. Ia tahu Ahmad pantas mendapatkan pesta ulang
tahun impiannya meskipun mungkin pesta ulang tahun ini akan menjadi ulang tahun
pertama dan terakhir yang mampu ia rayakan dengan seloyang kue tar dan beberapa
ikat balon warna-warni. Namun, ia tak peduli bahwa seluruh uang tabungannya
habis terkuras. Tak peduli bahwa ia harus kembali mengumpulkan rupiah demi
rupiah untuk hidup mereka esok hari dan mungkin untuk ulang tahun-ulang tahun
berikutnya. Ia tak peduli. Yang penting senyum dan cahaya di wajah putranya itu
tak pernah usai. Yang ia peduli adalah bahwa Ahmad juga memilih kenangan
merayakan sebuah pesta ulang tahun seperti teman-teman sekelasnya.
* * *
Sepertinya malam berlangsung lama sekali. Ahmad
terbangun berkali-kali karena tak sabar menunggu pagi. Namun, matahari dan
ayam-ayam jantan di luar sana
tak dapat diajak berkompromi. Matahari tak akan pernah mau diminta bersinar
lebih awal dari biasanya. Begitu pun ayam-ayam jantan itu. Mereka tak mau
berkokok lebih awal. Ahasil, Ahmad harus bersabar menunggu kokok ayam pertama
terdengar di rumahnya. Ayahnya pun berkali-kali mengingatkan agar ia tidur
dengan tenang dan sabar menunggu matahari membangunkan mereka.
Saat kokok ayam mulai terdengar ramai, Ahmad
melompat dari dipan tua tanpa kasur tempat ia tidur selama bertahun-tahun
bersama sang ayah. Ia bangun dengan penuh semangat. Namun, seperti biasa,
ayahnya telah lama pergi mengais rezeki dan rumah reyot itu telah sepi. Lelaki
itu biasa berangkat meninggalkan rumah saat cahaya pertama di ufuk timur baru
saja dilukis. Ia keluar perlahan dari rumah kayu kecil dan tua itu pelan-pelan.
Berusaha tak menimbulkan suara sekecil apa pun yang dapat mengusik tidur
putranya. Ia menutup pintu perlahan lalu menyelipkan kunci dari ventilasi.
Ahmad tak menyia-nyiakan waktu yang dimilikinya.
Ia segera mandi, mengenakan seragam sekolah, memasukkan buku ke tas sekolah,
lalu menuju meja kecil di dekat dapur untuk mengambil segelas teh yang menjadi
menu sarapan satu-satunya setiap hari. Namun, hari ini berbeda. Hari ini
spesial. Hari ini hari ulang tahunnya. Ulang tahunnya ke-13. Hari ini spesial! Ada segelas teh dan semangkuk bubur ayam di sana. Selembar kertas
diletakkan di bawah gelas teh itu. Ditulis dengan rapi dan indah,
Sarapan spesial di hari spesial. Selamat ulang
tahun, Anak Ayah.
Semua ini untukmu, selalu untukmu, dan hanya
untukmu, Anak Ayah.
Salam...
Ayah
Ahmad mencium selembar kertas itu. Setitik air
mata bundar tergenang di permukaannya. Ia memasukkan kertas itu ke saku
seragamnya dan segera menyantap menu sarapan pagi spesialnya. Semua dilakukan
dengan tergesa seolah takut ada bagian garis di lingkaran menit pagi itu akan
dilewati oleh sang waktu.
Pagi ini Bu Marni, wali kelas Ahmad, berbaik hati
menjemput Ahmad ke sekolah. Guru berdarah Minang itu menawarkan bantuan untuk
membawakan semua perlengkapan pesta ulang tahun Ahmad di kelas hari ini. Ahmad
telah memberitahukan rencana itu dua minggu yang lalu. Bahkan ayahnya pun
menemui Bu Marni langsung ke rumahnya untuk meminta izin merayakan ulang tahun
Ahmad di kelasnya seperti keinginan Ahmad, seperti kebiasaan teman sekelasnya.
Karena ini adalah tahun terakhir Ahmad bersekolah di SMP itu, Bu Marni dengan
ramah memberikan izin pada Ahmad dan ayahnya. Guru hitam manis itu bahkan
menyiapkan panitia kecil yang akan membantu mendekor kelas dan menyusun sebuah
acara singkat untuk Ahmad di hari ulang tahunnya. Hari ini semua terasa
sempurna.
Ahmad membonceng di belakang Bu Marni. Kedua
tangannya repot memegang balon warna-warni yang telah disiapkan sejak sore
kemarin. Kotak kardus berisi makanan ringan yang akan dibagikan ke seluruh
teman sekelas di letakkan di bagian depan.
Di atas tumpukan bingkisan kecil itu, diletakan kotak kue tar dengan
hati-hati. Bu Marni memacu motornya perlahan agar kardus dan kue tar itu bisa
dibawa dengan aman dan balon-balon yang dipegang Ahmad tak ada yang melarikan
diri ditiup angin.
“Sesuai rencana, ayah akan menyusul ke sekolah.
Beliau akan datang tepat waktu, Bu,” Ahmad
meyakinkan.
Bu Marni hanya mengangguk dan berkonsentrasi pada
laju motornya. Memacu motornya dengan hati-hati. Semuanya harus sempurna sesuai
rencana. Ia tak boleh melakukan kesalahan.
Di sekolah, semua makin terasa meriah. Teman-teman
telah menunggu kehadiran mereka di gerbang sekolah. Mereka langsung menyerbu
Ahmad dan Bu Marni saat baru saja memasuki gerbang sekolah. Berebutan
memberikan bantuan untuk membawa semua perlengkapan pesta ulang tahun itu ke
kelas mereka. Antusias yang selalu terlihat setiap ada perayaan ulang tahun di
kelas mereka. Tak seorang pun bersedia duduk diam tanpa memberikan sedikit
bantuan untuk perayaan pesta kecil itu. Dini dengan suka rela membawa kamera
digital ayahnya. Sukarela menawarkan diri untuk menjadi seksi dokumentasi dalam
pesta kecil itu. Ia telah sibuk mengambil foto sejak dari gerbang sekolah tadi.
Mengabadikan setiap momen dengan gaya
laksana seorang fotografer profesional.
“Jangan khawatir Ahmad, aku akan memberikan hasil
cetaknya padamu. Tak perlu membayar. Gratis untukmu. Anggap saja sebagai kado
dariku. Gratis karena ayahku punya kamar gelap untuk mencetak foto-foto ini
tanpa haru ke studio foto.”
Ahmad mengangguk. Ia berterima kasih lewat seulas
senyum yang dibingkaikannya untuk Dini, seolah juga hendak berkata Senyum
ini pun gratis untukmu. Terima kasih.
* * * *
Perayaan pesta ulang tahun selalu saja memberi
kemeriahan di kelas mereka. Tidak hanya itu, tapi juga debar jantung yang aneh.
Setiap orang selalu berharap ayah dan ibu teman mereka segera datang sehingga
pelajaran dapat segera usai dan pesta segera dimulai. Bahkan berharap agar
pesta kecil itu tak pernah usai hingga bel sekolah menjerit sehingga kelas
dapat terus diisi dengan kegembiraan. Pesta ulang tahun di kelas berarti ada
kemeriahan, makan siang gratis, potongan kue tar lezat, dan terbebas dari
pelajaran yang membosankan.
“Ayahmu belum datang?” Johan berbisik sambil melongokkan kepala ke
jendela.
Ahmad menggeleng.
“Ayahmu pasti setampan kau, Ahmad.”
Wajah Ahmad memerah mendengar pujian Dini yang
berbisik di belakangnya.
Memang tak ada lagi yang berkonsentrasi belajar di
kelas itu. Semua seolah tak sabar menunggu kehadiran ayah Ahmad yang menjadi
juru kunci perayaan pesta ini. Ahmad
jauh lebih tak sabar lagi. Ini adalah pesta ulang tahun pertamanya seumur
hidup. Ia pun tahu ini mungkin akan jadi pesta ulang tahun terakhirnya. Ia tak
mungkin membebani ayahnya hanya untuk pesta-pesta seperti ini. Setelah pesta
ini, ia tak akan meminta pesta-pesta lain.
“Ahmad!” Johan menepuk pundaknya, “Itukah ayahmu?”
Ahmad melihat ke luar jendela lalu mengangguk.
“Benarkah?”
Ahmad tak peduli pada pertanyaan singkat itu. Ia
beranjak dari bangkunya. Ia tersenyum menatap sosok tinggi berambut ikal yang
hampir sempurna memutih itu memasuki ruang tamu sekolah. Ia meminta izin untuk
segera menemui ayahnya dan memberi tahu Bu Marni. Kelas mulai gaduh. Tak sabar
mencium aroma lezat sepotong kue tar coklat dibagikan.
“Ayah,” Ahmad memanggil.
Ayah berdiri menyambut kehadiran Ahmad. Lelaki itu
terlihat rapi. Ia memakai kemeja krem yang telah disetrika rapi dipadu dengan
sepan panjang coklat yang terlihat sama rapinya. Itu adalah pakaian terbaik
yang dimiliki ayahnya yang hanya dipakai untuk acara penting dan spesial. Ahmad
senang bukan main karena pesta ulang
tahun kecil ini juga termasuk acara penting yang membuat ayahnya harus memakai
pakaian spesial itu. Ia juga mengenakan sepatu kulit yang belum pernah ia lihat
sebelumnya.
“Ayah tampan sekali,” pujinya tulus.
“Untuk kau, Anakku. Selalu hanya untukmu.”
Ahmad tersenyum lalu memeluk sang ayah. Ia
mengajak lelaki itu menemui Bu Marni dan segera menuju kelas. Kursi dan meja di
kelas telah disusun dalam formasi U yang memberi ruang lebih luas untuk bersama
melingkari sebuah meja dengan sebuah kue tar dan tiga belas lilin menyala di
atasnya. Ahmad menggandeng lengan ayahnya. Dengan bangga memperkenalkan ayahnya
pada seisi kelas. Ayahnya tersenyum dan mengangguk setiap kali Ahmad
menyebutkan nama teman sekelasnya.
“Ini Johan, Ayah. Teman sebangkuku.”
Johan mengulurkan tangan dan ayah menyambutnya
dengan ramah lalu mengusap kepala bocah itu. Persis kebiasaan yang dilakukannya
pada Ahmad.
“Pak Man???” Johan berusaha meyakinkan dirinya
sendiri.
Ayah mengangguk dan tersenyum pada Johan.
“Kau kenal ayahku?” Ahmad mengerutkan dahi.
Namun, Johan masih ternganga. Tak mendengar
pertanyaan itu.
“Ayo kita mulai...” suara Bu Marni terdengar lantang mengomando
seisi kelas untuk mulai menyanyikan lagu paling populer di dunia. Happy
Birthday.
Kelas menjadi riuh oleh suara nyanyian dan tepuk
tangan. Lagu itu semakin rancak di ujungnya. Tepuk tangan semakin keras dan
suara nada lagu itu makin meninggi.
Namun, menjadi antiklimaks saat Ahmad meniup ketiga belas lilin ulang tahunnya.
Tepuk tangan riuh. Tangan-tangan terulur bergantian memberi ucapan selamat.
Beberapa malah sambil mengulurkan sebuah kado kecil yang dibungkus rapi.
Pesta itu nyaris sempurna. Persis seperti yang ia
bayangkan dan rencanakan selama ini. Persis seperti pesta ulang tahun
kawan-kawannya dulu. Kegembiraan di kelas itu dirasakan adil oleh semua orang.
Semua orang bebas bernyanyi bergantian. Apalagi Dini menawarkan foto gratis
untuk siapa saja yang bersedia menyumbangkan suara emas mereka. Namun, yang
paling banyak menjadi objek foto adalah Ahmad dan ayahnya. Bukankah hari ini adalah pesta mereka? Jadi, wajah
merekalah yang paling berhak menghiasi album foto ulang tahun hari itu.
Bingkisan telah dibagikan. Kue tar coklat yang
bertabur ceri telah dibagi rata. Perut terasa kenyang. Balon-balon beberapa ada
yang meletus. Membuat terkejut siapa saja, tetapi memancing tawa. Ayah telah
meninggalkan kelas itu ditemani Bu Marni menuju ruang tamu sekolah. Sedikit
berbasa-basi dengan guru baik hati itu sebelum permisi meninggalkan sekolah.
“Kau setampan ayahmu, Ahmad.” Dini memperlihatkan
hasil jepretannya. Ahmad ikut asyik memperhatikn slide foto-foto itu satu per
satu.
“Tapi kok beda, ya?” celetuk Dini polos.
Ahmad mengerutkan dahi mendengar kalimat Dini.
“Lihat mata ayahmu yang bulat dan hitam gelap
serta hidungnya yang sedikit lebih pendek dari hidungmu?” Dini menunjukkan
sebuah foto yang di-close up. “Kau sedikit lebih sipit, bola mata
coklat, dan hidungmu mancung,” Dini menggerakkan kameranya, “sama sekali nggak
mirip.”
Ahmad sedikit terusik dengan komentar itu. Namun,
ia memilih diam dan terus memperhatikan foto-foto itu. Pikirannya
melompat-lompat tak terpola.
“Aku tak menyangka kau anak Pak Sam, Ahmad,” Johan
telah berdiri di samping Dini untuk ikut melihat hasil foto gadis itu, “tapi...
kok nggak mirip ya???”
Johan mengamati baik-baik wajah teman sebangkunya
itu. Dia orang kedua yang menggungat kemiripan antara Ahmad dan ayahnya,
“Jangan-jangan.....” gumamnya menggantung.
“Kau kenal ayahku?” Ahmad memotong.
“Tentu saja!”
jawabnya yakin, tanpa mengalihkan pandangan dari foto-foto di kamera
digital Dini sambil membuka bungkus lolipop di tangannya.
Dini dan Ahmad menatap tak percaya pada Johan.
Namun, sang ketua tim kelas itu tak acuh, asyik dengan lolipopnya, “Ia tukang
sampah di komplek perumahan kami,” sambungnya lagi dengan santai.
Kalimat itu seperti petir dengan kekuatan jutaan
volt yang menyengat Ahmad tiba-tiba. Menghantam kepalanya telak!
Dini menghentikan keasyikan jemarinya memainkan
tombol kamera digitalnya, “Kau yakin?” ia menuntut penjelasan Johan.
Johan memutar-mutar lolipop di mulutnya. Merasa
tak dipercayai, tanpa sadar ia meninggikan suaranya, “Tetu saja, Din. Ayah
Ahmad telah bertahun-tahun membersihkan semua sampah di komplek perumahan kami.
Mana mungkin aku salah orang. Semua orang di komplek kami pasti mengenal Pak
Sam dengan baik.”
Beberapa kepala di kelas itu menoleh pada Johan.
Dini menggeleng tak percaya. Ahmad mengangkat kepala menatap pintu ruang tamu
sekolahnya. Dilihatnya ayah yang melangkah pergi setelah bersalaman dengan wali
kelasnya. Pandangannya mengabur dan kepalanya terasa berputar.
“Tukang sampah???” suara Handoko tak kalah tinggi,
“Oh, aku ingat. Pak Sam, yaaaa..????” pantas saja tadi aku seperti mengenali
wajahnya,” ia yang tinggal satu komplek dengan Johan ikut menimpali.
Ahmad merasa dadanya sesak. Ia merasa kelas itu
hening seketika. Seisi kelas menatapnya tajam. Ia balas menatap satu per satu
wajah teman-temannya. Tatapan mereka terasa asing dan aneh. Mengapa? Karena
status tukang sampah itukah? Lalu apa salahnya kalau ia benar anak seorang
tukang sampah??
* * *
Pesta ulang tahun itu sempurna hancur. Tak
menyisakan secuil kebahagiaan pun. Yang tertinggal hanyalah tatapan permohonan
maaf Johan yang merasa bersalah. Juga genggaman tangan Dini di bahunya yang
berusaha menyampaikan bahwa semuanya baik-baik saja dan akan selalu baik-baik
saja seperti selama ini. Namun, gadis itu salah. Salah total. Semuanya memang
telah hancur. Yang tersisa hanyalah serentetan pertayaan dan tuntutan
kejujuran. Yang tersisa hanya bisik-bisik dan tatapan aneh dari teman-temannya.
Tak hanya teman satu kelasnya, bahkan seisi sekolah mulai sibuk berbisik bahwa
ia adalah anak tukang sampah.
Tak ada cerita yang tersisa di kepala Ahmad untuk
dibagi dengan ayahnya setiap malam. Ia tak memiliki sepenggal cerita pun. Tak
ada yang tersisa selain pertanyaan, pertanyaan, dan pertanyaan. Bahkan selera
untuk makan pun ia tak lagi ada. Ia tak
pernah lagi menunggu kepulangan lelaki itu di muka pintu. Bahkan, dibiarkannya
pintu rumah kecil itu terbuka. Membiarkan angin bebas merangsek masuk ke rumah
itu. Ia menyandarkan punggung di bingkai pintu menunggu kepulangan sang ayah.
Ia mendengar pagar kayu itu berderit. Namun, ia bergeming. Tak berminat sekadar
mengangkat kepala apalagi menyambut kepulangan lelaki itu.
Ayah telah duduk di hadapan Ahmad. Menatapnya
dengan tatapan menggoda lalu mengusap rambutnya, “Ahmad?” ia mencoba mencari
mata bocah itu, “kau sakit?”
Bocah itu menggeleng lesu. Matanya sembab. Masih
ada sisa air mata di sana.
“Mengapa menangis?”
Ahmad tak berselera menjawab. Ia beranjak
meninggalkan ayahnya begitu saja menuju dipan lusuh tanpa kasur tempat mereka
tidur.
“PR-mu telah selesai?”
Ahmad menarik selimut.
“Kau sudah makan?”
Ahmad menutupi kepalanya dengan selimut. Menyeka
sebutir air mata yang runtuh di sudut matanya.
Lelaki itu tahu ada yang salah dengan putranya. Ia
biarkan saja Ahmad yang memilih diam beberapa hari terakhir. Ia membersihkan
diri dan menganti pakaian. Namun, ekor matanya terus memperhatikan perubahan
gerak-gerik Ahmad meskipun berpura-pura tak peduli. Ia menghitung dalam hati dan tepat di
hitungan kesepuluh bocah itu bangkit dari tidurnya. Ahmad menatap lurus sang
ayah yang mengulum senyum kemenangan.
“Ada apa?”
Ahmad tak menjawab. Ia malah beranjak dari dipan
itu dan meraih ransel lusuh yang setiap hari dibawa ayahnya bekerja. Selama
bertahun-tahun lelaki itu memang tak pernah mengizinkan Ahmad menyentuh ransel
lusuh itu dengan alasan tak ingin repot menyusun semua perlengkapan kerjanya.
Namun, kali ini Ahmad tak peduli. Telah hampir seminggu ia menunggu
pertanyaannya terjawab. Malam ini semuanya harus tuntas. Dengan paksa ia
membuka resleting ransel itu dan mengeluarkan semua isinya. Seragam kaus kuning
tergeletak di lantai. Ahmad tak perlu bertanya lebih jauh. Ia tahu siapa
pemakai seragam seperti itu.
“Mengapa ayah tidak pernah jujur tetang pekerjaan
ayah?”
Lelaki itu diam. Menatap pakaian kerjanya dan
wajah putranya bergantian.
“Mengapa ayah tidak berkata jujur?” Ahmad menuntut
jawaban.
“Ternyata ini yang membuat sikapmu berubah
beberapa hari ini.”
“Mengapa ayah tidak pernah jujur???!!!!”
Ahmad berteriak.
Lelaki itu tertunduk. Menghempaskan nafas berat,
“Karena aku tahu, Nak. Kau pasti malu memiliki ayah seorang tukang sampah!”
suaranya lirih sambil memungut seragam kuning yang berhamburan di lantai.
“Malu???” Ahmad mencibir, “Aku malu. Bahkan aku
jauh lebih malu dari yang pernah ayah perkirakan karena tahu siapa ayahku dari
orang lain!! Dari orang lain Ayah!! Di hari ulang tahunku!”
Ada nyeri di dada lelaki itu saat mendengar kalimat putra kesayanganya itu. Sungguh pun
ia telah memprediksi semua itu, tetapi sama sekali tak pernah mengharapkan
pengakuan sejujur itu. Rasanya sungguh menyakitkan.
“Ayah tahu? Mereka menatapku dengan aneh saat tahu
bahwa ayah seorang tukang sampah. Bahkan
Dini dapat menyimpulkan bahwa aku mungkin bukan anak ayah hanya karena mata dan
hidung kita yang berbeda. Hah! Alangkah bodohnya aku selama ini.”
“Lalu kenapa kalau ayah seorang tukang sampah?”
suara ayah meninggi, “kau malu??? Hah!!! Kau malu???” Ayah membentak, “Lalu mengapa kalau hidung,
kulit, dan mata kita berbeda??? Kau malu??? Kau meragukan aku sebagai
ayah???!!!! IYA???!!!”
“IYA!!! IYA!!! IYA AKU MALU!!!!” Ahmad berteriak
frustrasi.
PLAK!!!! Tangan itu melayang dan mendarat begitu
saja di pipi halus putranya. Ahmad meringis menahan perih. Segaris darah
mengalir dari sudut bibirnya yang selama ini selalu mengukir senyuman terbaik
sepanjang masa.
Hening. Waktu tiba-tiba berhenti berdetak. Lelaki
itu ternganga. Tak mempercayai gerakan tangannya sendiri. Tegesa ia memeluk
tubuh ringkih anaknya yang belia, “Maaf... maafkan ayah... maaf.... Maafkan
ayah tak bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untukmu. Maafkan ayah yang
tak bisa dibanggakan seperti ayah teman-temanmu. Tapi, Nak... ayah sungguh
mencintaimu.”
Ahmad meronta. Berusaha melepaskan diri dari
pelukan itu. Namun, ia tak kuasa melepaskan diri dari perangkap pelukan itu,
“Aku malu... teman-teman mengejekku...” bisiknya lirih terisak. Membenamkan
wajah di dada ayahnya.
Ayah masih memeluk dan mengusap rambut lebatnya.
Selama ini pelukan dan usapan lembut di kepala bocah itu selalu berhasil
menenangkannya. Menenangkanya saat hujan lebat disertai petir dan gemuntur
mengusik tidurnya. Menenangkannya saat tubuhnya demam dan panas tinggi. Juga
menenangkannya saat ia tak mampu membeli sebungkus nasi untuk menghalau lapar
yang mendendangkan orkestra perih sepanjang hari dalam perut mereka. Pelukan
itu selama ini selalu berhasil menenangkan putranya, kecuali malam ini.
“Maafkan ayah tak bisa menjadi yang terbaik dalam
hidupmu,” bisik lelaki itu putus asa dihantam rasa bersalah.
Ahmad terus meronta hendak melepaskan diri dari
pelukan ayahnya. Ia terisak. Menangisi kebodohan dan ketidakpeduliannya. Selama
ini ia percaya saja pada cerita-cerita ayah setiap ia pulang bekerja di malam
hari. Bercerita bahwa ia seorang kuli bangunan yang kuat, yang tak takut
matahari. Bercerita tentang teman-temannya yang selalu membeli minuman penambah
energi, tentang teman-temannya yang hanya bisa berbahasa daerah. Mengapa pula
ia tak pernah peduli dengan tas lusuh yang tak pernah boleh ia buka itu?
* * *
Pertengkaran hebat malam itu adalah akhir
kemesraan mereka. Betapa pun lelaki itu rindu memeluk dan mengusap kepala
putranya, bocah itu seperti membangun sebuah benteng dan sebuah kehidupan baru. Dipan lusuh yang
bertahun-tahun mereka tempati bersama kini lengang. Ahmad memilih tidur lebih
awal melingkar di lantai kayu yang dingin sambil memeluk sebuah buku meskipun
saat tengah malam tiba ayah memindahkannya ke dipan. Mengangkatnya dari lantai
dan membentangkan selimut untuknya. Ia masih dapat mengingat dengan jelas tubuh
mungil bocah itu bertahun-tahun lalu melingkar dalam pelukannya saat selimut
tipis mereka tak mampu menghalau dingin. Ini adalah kali pertama bocah itu
menolak berdampingan dengannya di dipan itu.
Tak ada lagi cerita yang mereka bagi menjelang
tidur. Yang tersisa hanyalah hining. Hening yang beku dan akut. Bahkan segelas
teh yang selalu disiapkannya untuk putra sematawayang itu tak pernah lagi
disentuh satu mililiter pun. Berkali-kali lelaki itu harus merelakan teh-teh
itu basi dan terbuang percuma.
Satu hal yang paling disesali lelaki itu. Mengapa
ia bersedia memenuhi permintaan pesta ulang tahun itu? Mengapa pula harus
bermanis-manis datang ke sekolah merayakan pesta itu? Tidakkah seharusnya ia
sadar bahwa ia harus tahu diri. Tidakkah ia sadar bahwa semua itu hanya akan
menjadi bumerang bagi dirinya. Kemarahan akut menggelegak di dadanya.
Entah apa yang menggerakkan hati dan pikirannya
untuk melangkahkan kaki ke sekolah itu. Ia tak tahu setan apa yang merasuki
pikirannya untuk mengungkapkan kejujuran pada putranya. Yang pasti, pagi itu
untuk kedua kalinya ia melangkahkan kaki ke sekolah anaknya. Seperti orang
hilang akal ia langsung saja menyusuri koridor kelas tanpa meminta izin telebih
dahulu dari satpam dan petugas piket. Ia masih ingat saat datang ke sekolah itu
di hari ulang tahun putranya. Ia masih ingat tatapan ramah teman-teman
putranya. Ia pun masih ingat senyum keramahan semua orang untuknya. Untuknya,
untuk ayah salah seorang siswa terbaik di sekolah itu.
“Seharusnya kau bisa menebak, Ahmad. Tentu kau
bisa menghitung alangkah jauhnya perbedaan usia kau dengan ayah kau. Tidak
mungkin kan anak seusia kita memiliki ayah yang begitu tua?” suara seorang anak
perempuan terdengar melengking dari jendela yang dibiarkan terbuka.
“Sudahlah Ahmad, yang penting sekarang kau sudah
tahu kebenarannya, bahwa ayah kau itu seorang pembohong. Yang penting sekarang
kau sudah tahu bahwa ayah kau itu tukang sampah. Dan mungkin... dia juga bukan
ayah kau. Atau... dia juga menculik kau dari ibu kandungmu. Seperti cerita di
sinetron-sinetron itu.”
Lelaki itu mempercepat langkahnya mencari pintu
kelas. Kemarahan menggelegak di kepalanya. Kehadirannya mengejutkan siapa pun
yang ada di ruangan itu. Beberapa wajah tampak memerah dan ketakutan. Namun,
lelaki itu tak peduli. Ia meraih tangan Ahmad dan menyeret bocah itu ke luar
kelas. Ahmad meronta hendak melepaskan tangannya. Lelaki itu makin mempererat
genggaman tangannya. Ia melangkah menuju lapangan sambil terus menyeret Ahmad.
“DENGAR!!! DENGAR SEMUA!!!! DENGAR!!!” Lelaki itu
berteriak lantang. “KUPERINGATKAN KALIAN SEMUA!! TAK ADA YANG BOLEH MENGGANGGU
ANAKKU! TAK ADA YANG BOLEH MENGEJEK ANAKKU! TAK ADA YANG BOLEH MENGHINA
ANAKKU!!! AKU TUKANG SAMPAH!!! YAAA!!!
KUAKUI BAHWA AKU TUKANG SAMPAH!!! TIDAK SEPERTI BAPAK KALIAN YANG KAYA RAYA!!!
AKU HANYA TUKANG SAMPAH!!! TAPI AKU BUKAN PEMBOHONG!!!! AKU BUKAN PENIPU!!”
teriaknya menggila.
“Ayah... berhentilah...” itu adalah kalimat
pertama yang didengarnya setelah hampir dua bulan bocah itu memproklamirkan
perang dingin dengannya. Betapa ia rindu dengan panggilan itu.
“KALIAN LIHAT!!! AKU TUKANG SAMPAH!! TAPI
LIHATLAH!!! ESOK ANAKKU, AHMAD!! AHMAD
AKAN MENJADI PRESIDEN REPUBLIK INI, IA AKAN MENJADI YANG TERBAIK DI ANTARA
KALIAN!!! IA AKAN DUDUK DI PUNCAK-PUNCAK KEPEMIMPIAN DUNIA. AKU AKAN BERIKAN
KEPALAKU UNTUK MENJUNJUNG DAN MENDUKUNG PUTRAKU HINGGA IA SAMPAI DI LANGIT DI ATAS SANA!!!” ia menunjuk langit biru
terang di atas mereka.
“KALIAN HITUNG BERAPA PIALA YANG TELAH
DISUMBANGKAN ANAKKU UNTUK SEKOLAH INI??? KALIAN HITUNG BERAPA BANYAK LOMBA YANG
IA MENANGKAN!!! KALIAN HITUNG!!!!” perintahnya, “ADAKAH DI SANA TERTULIS BAHWA
AHMAD ANAK TUKANG SAMPAH??? TIDAK!!!
TIDAK PERNAH ADA!!!”
Hening. Semua siswa dan guru hanya mendengarkan
teriakan lantang lelaki bertubuh tinggi itu. Ia masih memakai seragam tukang
sampahnya.
“KALIAN DENGAR!!! TAK ADA YANG BOLEH MENGGANGGU
ANAKKU LAGI!!! AKU YANG AKAN MEMBELANYA HINGGA NAFAS TERAKHIRKU!! TAK ADA YANG
BOLEH MENGHINA ANAKKU LAGI!!!” teriaknya.
“Ayah...”
Ahmad berbisik.
Bu Marni menyeka air mata. Hening. Tak ada suara
sama sekali. Semua orang seolah menahan getar pita suara masing-masing. Hanya
isakan Ahmad dan ayahnya yang sesekali terdengar. “Jangan lakukan ini lagi,”
ujar Ahmad lirih, “a... aku malu.”
“Pulang!!!” perintah ayahnya, “kau tak pantas
berada di sekolah pengecut seperti ini.”
Ahmad tertunduk menyeret kakinya mengikuti langkah
ayah. Waktu seolah kembali menjadi beku diantara mereka. Keduanya sibuk dengan
hati dan pikiran masing-masing.
“Maafkan aku ayah,” Ahmad
terus saja melangkah mengikuti ayahnya dan membiarkan lelaki itu terus
menggandeng tangannya.
“Tunggulah. Malam ini akan kuceritakan semua yang
kau mau,” tatapan lelaki
itu lurus. Tak sekali pun mengecek keberadaan putranya yang sejak tadi
diseretnya paksa. “Aku tak pernah
berbohong. Aku hanya menunggu waktu yang tepat.”
Ayah membuka pintu rumah, “Masuklah. Makanlah bila
tiba waktunya makan. Jangan pikirkan apa pun dan jangan ke mana pun. Tunggu
ayah pulang.”
Setelah memastikan putranya mematuhi perintahnya,
ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Mendorong gerobak sampah besar.
Mengosongkan semua kotak sampah di tiap rumah, membersihkan parit, menyortir
sampah-sampah itu, menyapu daun-daun kering dan sampah di tepi jalan. Ia
melakukan semua pekerjaannya sesuai dengan sistem yang selama bertahun-tahun
diikutinya. Ia sudah sangat terlatih memilah-milah sampah-sampah itu. Tangannya
dapat bergerak tanpa harus menyediakan pikiran khusus untuk pekerjaan itu.
Kepalanya dipenuhi dengan potongan-potongan peristiwa siang tadi dan hatinya
tak pernah mau berhenti dari menyebut nama putranya.
Senja mulai usai. Ia telah membersihkan diri di
sebuah kamar mandi umum. Berganti pakaian dan melipat dengan rapi pakaian
dinasnya. Pikirannya dipenuhi oleh nama putranya. Ia mempercepat langkah saat
tiba di ujung jalan menuju rumahnya. Rumah itu tak seperti biasanya. Lampu
listrik yang disambung dari tetangga sebelah tampak belum menyala. Gelap. Ia
bergegas membuka pagar dan mendorong pintu.
“Ahmad????” ia memanggil sambil mencari saklar
lampu.
Ruang tamu sempit tempat mereka tidur, bercerita,
dan belajar tampak berantakan.
Kertas-kertas berserakan. Lelaki itu meraih beberapa lembar foto yang terserak.
Foto dirinya dan Ahmad di pesta ulang tahun beberapa bulan lalu. Terlihat
begitu mesra. Ia memeluk pundak putranya, memakai kemeja dan sepan terbaik
miliknya, dan sepasang sepatu kulit yang dipinjamnya dari tukang semir
dekat rumahnya. Ia tahu bahwa pesta ulang
tahun itu adalah hari terakhir putranya tersenyum. Pesta ulang tahun itu adalah
akumulasi semua rasa bahagia yang mereka miliki. Sebab setelah semua itu,
semuanya seperti tersedot habis. Tak bersisa tanpa ampun.
“Ahmad!” ia memanggil lagi. Meninggalkan foto
melankolis itu menuju dapur. Dilihatya segelas teh yang disiapkannya tadi pagi
tak ada lagi di atas meja itu. Hatinya sedikit lega. Berharap itu adalah tanda
damai dari putranya atas perseteruan tentang kejujuran ini. Namun, ia berhenti
melangkah karena kakinya tersandung sesuatu.
“AHMAD!!!”
Lelaki itu berteriak panik mendapati putranya
tergeletak di lantai dengan tangan bersimbah darah. Di dekat kaki meja air teh
buatannya tumpah. Gelas yang biasa digunakannya telah pecah. Salah satu
bagiannya malah menjadi pengiris nadi putranya.
“AHMAD!!!” lelaki itu mengguncangkan tubuh
putranya.
Namun, bocah itu bergeming. Darah menggenang.
Wajah pucat dan mata tertutup rapat. Ayahnya merapatkan telinga ke dadanya.
Jantung itu masih berdetak. Lemah. Ia bergegas membuka lemari pakaian dan
mengambil sesuatu dari laci di dalam lemari itu.
“TOLOOONGGG!!!” lelaki itu berteriak menuruni
undakan tangga. Tergopoh-gopoh menggendong putranya. Ia tak berniat menunggu
belas kasihan para tetangga yang menatap terkejut. Tak tahu ke mana harus
membawa anaknya. Yang ia tahu bahwa ia tak boleh berhenti melangkah.
“Tunggulah malam ini. Akan kuceritakan semuanya,” ia teringat janjinya tadi siang. Namun,
bocah itu tak tahu bahwa ia memberikan janji.
Berat tubuh bocah itu menghambat lagkahnya. Namun,
ia tak boleh berhenti melangkah. Kepalanya berdenyut hebat. Potongan peristiwa
tiga belas tahun lalu seperti sebuah film pendek yang melintas di benaknya.
“Jangan pergi! Bertahanlah!” ia memberi semangat
putranya.
Ia mendengar tangis bocah itu di sebuah bak sampah
di subuh hari. Ia bahkan masih melihat sosok perempuan yang meletakkan bocah
itu di sana. Ia menggendong bayi itu dan berusaha mengejar perempuan itu.
Namun, perempuan itu telah melarikan diri dengan menumpang sebuah ojek. Berhari-hari
ia menunggu dan berharap ada seseorang yang mencari dan membawa bayi itu
pulang. Namun, nihil. Hingga tiga belas tahun kemudian pun tak ada yang datang
mencari bocah itu.
Ia tak peduli pada keringat yang membanjir di
tubuhnya. Tak peduli pada tangannya yang kebas menggendong putranya. Tak peduli
pada kakinya yang letih setelah bekerja seharian lalu menggendong putranya
menuju rumah sakit. Ia tak peduli pada satpam yang hendak bertanya dan
memintanya berhenti. Ia menerobos pintu masuk rumah sakit dan berteriak pada
siapa saja yang ada di ruangan itu.
“Tolong!!! Tolong aku!!!! Selamatkan dia!!!
Selamatkan dia!!!” Dua orang suster
sigap menyambut bocah itu dari gendongan ayahnya dan meletakkannya di atas
brangkar. Mereka membawa bocah itu ke UGD.
Ia menarik tangan salah seorang suster yang
menangani putranya, “Ini!!!” lelaki itu mengeluarkan seuntai kalung dari saku
celananya, “ambil ini. Tolong selamatkan dia!!!” pintanya sungguh-sungguh
menahan air mata. Itu kalung peningalan almarhum istrinya. Harta simpanan
terakhirnya. Namun, ia lebih tak rela kehilangan putra terbaiknya. Suster itu
menggeleng dan menyerahkan kalung itu kembali. Ia meminta lelaki itu duduk
tenang di kursi tunggu.
Dengan tangan tuanya, ia mengumpulkan sesendok
demi sesendok air tajin untuk makan bocah itu karena tak sanggup memberinya
susu. Dengan tangan tuanya, ia membimbing bocah itu berlatih berjalan. Meniti
lantai papan rumah mereka yang berderit setiap diinjak. Ia mengendalikan
tidurnya setiap malam agar dapat cepat
terjaga saat bocah itu menangis lapar. Ia berjaga agar tak seekor pun nyamuk
berani menggigit putranya. Dengan ingatannya yang payah, ia menceritakan
dongeng-dongeng si kancil setiap malam sebagai pengantar tidur. Dengan otak
dangkalnya, ia mengajarkan bocah itu mengenal huruf pertamanya di usia empat
tahun, A untuk ayah, A untuk Ahmad. Dengan tangan tuanya, ia membersihkan dan
memotong lidi-lidi kelapa untuk dijadikan alat hitung mengenal kabataku. Dengan
tangan tuanya juga, ia meraut bambu untuk membuat layang-layang. Dengan tangan
tua itu juga, ia menggendong tubuh bocah itu ke rumah sakit saat bertarung
melawan maut.
“Anak Bapak butuh tambahan darah. Ia kehabisan
banyak darah”
“Ambil darahku!!! Ambil darahku!! Ambil sebanyak
yang dia butuh!!!” ia menyodorkan kedua tangannya kepada dokter.
Dokter itu menggeleng dan tersenyum ramah, “Kita
periksa dulu, ya. Dia membutuhkan darah B,” jawab dokter itu singkat.
Lelaki itu merosot ke lantai. Diperiksa dulu?
Bagaimana mungkin ia dapat memberikan darah untuk putra kesayangannya. Bukankah
bocah itu bukan darah dagingnya. Bagaimana mungkin ia akan memiliki darah yang
sama dengan bocah itu. Kemana ia akan mencari darah? Siapa pula yang bersedia
memberikan darah untuk seorang tukang sampah sepertinya.
“Mari, kita periksa.”
Ia tahu semua ini sia-sia. Ia tahu ia tak memiliki
apa yang dibutuhkan putranya. Namun, ia berjanji memberikan semua yang
dibutuhkan putranya. Ia berjanji melakukan apa saja untuk kehidupan putranya.
Ia pasrah mengikuti langkah suster di depannya. Entah apa rencana Tuhan
untuknya. Di tengah keputusasaan itu, dokter memberikan kabar baik. Kabar bahwa
darah itu cocok untuk putranya meskipun berisiko bagi dirinya untuk dilakukan
transfusi langsung. Namun, lelaki itu tak peduli. Demi putranya. Untuk putranya
yang terbaik.
“Pindahkan semua darahku padanya. Aku rela. Dia
harus hidup seribu tahun lagi,” pintanya saat suster menyiapkan seluruh
perlengkapan transfusi, “dia harus bangun esok pagi. Melihat matahari merah
yang selalu ada untuknya.”
* * *
Tubuh itu menggeliat. Napasnya teratur. Ia membuka
mata perlahan. Mengerjap beberapa kali. Beradaptasi dengan cahaya terang yang
terpantul dari dinding-dinding ruangan yang putih bersih. Ia mencoba mengangkat
tangan kanannya yang tersambung dengan sebuah selang infus. Pergelangan tangan
kanannya di bebat perban. Ia meringis mengingat penyebab mengapa perban itu
harus ada di sana dengan menyisakan sedikit di bercak darah di
permukaannya. Ia mengalihkan
pandangannya ke tangan kirinya. Sebuah selang lain tergantung di sana. Selang
yang dialiri cairan merah kental terhubung dengan ranjang di sebelahnya. Di
ranjang itu tergolek sesosok tubuh yang selama bertahun-tahun menemani
tidurnya, berbagi tikar di atas sebuah dipan lusuh. Mata lelaki itu terpejam.
Rambutnya semakin sempurna memutih. Di sini pun, di ruangan yang sesak oleh
aroma alkohol ini, lelaki itu tetap menemaninya. Tak pernah membiarkannya
sendiri. Tak pernah lepas meninggalkannya.
“Ayah...” panggilnya lirih. Ia menunggu beberapa
saat. Selama ini, lelaki itu tak pernah luput dari mendengar panggilannya. Pun
saat ia mengigau di tengah malam. Lelaki itu selalu siaga mendengar suaranya.
Kali ini ia menunggu cukup lama, tetapi lelaki itu belum juga terbangun dari
tidurnya.
“A... ayah... bangunlah,” ini pertama kali ia meminta
lelaki itu bangun dari tidurnya sebab selama ini selalu ayah yang
membangunkannya.
“Ayah, aku mohon bangunlah....” ia memelas meminta
belas kasih. Air matanya runtuh hancur berdenting di lantar marmer putih rumah
sakit. Ia berusaha bangun meraih tangan sang ayah. Namun, tiba-tiba mata itu
perlahan terbuka. Menatapnya lembut, penuh kerinduan. Ayah selalu mampu
mendengar panggilannya.
“Ayah...”
“Ahmad...” suara ayah parau, “kau anakku.”
Ahmad mengangguk. Ia pun ingin berteiak, “KAU
PUN AYAHKU!! AYAH NOMOR SATU... AYAH JUARA SATU SEDUNIA...” namun,
ternggorokannya tercekat.
Ayahnya tersenyum. Itu senyum terbaik dari
ayahnya. Namun, tak lama. Mata itu kembali redup dan senyum itu pun usai.
“Ayah...
maafkan aku...” Ahmad terisak.
* * *
Palembang, 20 April 2012
Untuk ayahku tercinta.... Luv U soo much
Ayahku juara satu sedunia
Terinspirasi dari sebuah iklan
asuransi Thailand.