Rabu, 01 Mei 2013

TIKUS


“Nanti kau jangan bekerja dengan para tikus, Bujang,”  emak memasangkan topi segi lima di kepala Burhan. Kuncir dari benang wol dirapikan di sebelah kiri. Beberapa jam lagi rektor akan memindahkan kuncir itu ke sebelah kanan dan Burhan akan resmi menyandang gelar sebagai seorang sarjana hukum. “Kau bukan hanya akan bau tikus,  tetapi juga akan menjadi seperti mereka,” lanjut emak sambil menepuk-nepuk pundak Burhan.
“Ah, Emak, mana ada pula tikus mau membuka lowongan kerja. Kalaupun ada, tak akanlah dia sanggup membayar gaji untuk seorang sarjana hukum seperti anak bujang mamak ni,” Burhan tersenyum menggoda. Emak merengut marah sambil mencubit pipi anak bujangnya. Ia memastikan sekali lagi bahwa toga wisuda putra sulungnya itu dalam keadaan sempurna. Rona wajahnya tak mampu menyembunyikan kebanggaan pada putranya itu.
“Kau tahu, Bujang? Lubang tikus itu tersembunyi dibalik rumput. Kecil, tetapi dalam. Hitam dan gelap, tak peduli siang atau malam. Seorang ahli agama, ahli ibadah, bahkan seorang profesor pun dapat terperosok ke dalamnya. Sekali kau terperosok, kau tak akan sanggup keluar lagi karena kakimu akan  patah terjepit di lubang sempit mereka. Kalaupun kau sanggup keluar, pastilah kau akan berjalan pincang dan tubuhmu itu akan tercemar aroma busuk mereka.”
Burhan hanya tesenyum dan menggelengkan kepala mendengar petuah emak. Ia mematut dirinya sekali lagi di depan cermin meskipun tahu bahwa hal itu tak perlu ia lakukan karena emak sudah memastikan sejak tadi bahwa ia telah tampil sempurna. Meskipun hanya menanggapi kalimat emaknya dengan senyuman, mau tidak mau ia harus mengakui bahwa kata-kata tadi mengendap di kepalanya. Emaknya yang hanya lulusan SD itu memang senang berfilosofi.  Mak… anak bujang kau ini seorang sarjana hukum. Tak ‘kan lah aku menghinakan diri melupakan hukum yang bertahun-tahun jadi santapan di bangku kuliahku itu, Burhan membatin saat menatap punggung emaknya yang menghilang di balik pintu kamar.
* * *
Puluhan spanduk, ribuan stiker, kartu nama, pamflet, kaos partai, dan berbagai atribut kampanye lainnya berserakan di kamar Burhan. Emak menatap prihatin kamar anak bujangnya yang berantakan. Burhan tekun menatap monitor komputer tuanya. Ia berkonsentrasi penuh pada teks pidato yang akan disampaikannya dalam kampanye yang harus dilakukannya.
“Sibuk sekali kau sekarang, Bujang.”  Burhan menghentikan keasyikannya mengetik  teks pidato yang dipenuhi janji yang akan diumbar saat kampanye nanti. Ia mencoba tersenyum pada emak yang duduk di tepi dipan sambil menatap atribut kampenye yang berserakan di kamarnya. “Ah, Emak. Tidak sibuk sekali, hanya sedikit sibuk saja.”
“Tak sayangkah kau pada uang yang cuma dijadikan kertas-kertas begini, Bujang? Emak rasa lebih bermanfaat kalau uang untuk kertas-kertas ini kau tambahkan untuk toko bapak kau yang selama bertahun-tahun mengisi periuk nasi dapur kita itu.”
Burhan berpindah ke samping emak, “Mak… ini bukan soal uang. Ini tentang kepedulian kita pada negara. Burhan peduli hendak memperbaiki bangsa kita yang bobrok ini, Mak. Bujang anak mamak ni, nak jadi wakil rakyat. Duduk di parlemen bisa memudahkan untuk kita memperjuangkan hak-hak masayarakat.”
Emak meremas jemari Burhan sambil tersenyum dalam dan pekat. “Banyak yang sudah duduk di sana, malah lupa berdiri, Bujang. Tak hanya lupa berdiri, mereka pun lupa pada dunia. Emak lebih suka melihat kau membersihkan gorong-gorong di depan rumah kita ni atau mencebur di sungai seberang tu untuk membersihkan sampah. Lebih jelas terlihat bahwa kau peduli dan berguna. Ingat Bujang, bekerja tu dimulai dengan karya dan tenaga kau yang laki-laki ini. Bukan mengumbar janji-janji. Jangankan berjanji untuk ratusan orang di luar rumah kita ni, janji kau dengan mamak pun banyak yang belum sempat kau penuhi. Alangkah tak eloknya harus mati terhimpit janji oleh lidah kita yang tak terpelajar ni.
Burhan merasa pipinya memerah dan pedas karena tamparan emak. Tidak dengan telapak tangannya yang berkasih sayang itu, tetapi lewat kata-katanya. Emaknya yang hanya tamatan SD itu berpikir begitu sederhana, tetapi sikapnya cukup untuk mengerdilkan Burhan yang menghabiskan separuh usianya di bangaku sekolah untuk membaca ratusan buku dari pakar ilmu pengetahuan dunia.
* * *
“Kau sudah besar, Bujang. Tak perlu lagi rupanya emak membantu merapikan pakaianmu.”
Burhan tersenyum pendek sambil meminum dengan cepat segelas teh yang terhidang di meja makan tanpa sempat mencicipi sesendok pun nasi goreng yang sudah tersedia di sana. Emak hanya pernah sekali membantunya merapikan jas kerjanya—saat pelantikannya sebagai anggota dewan. Hari berikutnya, emak lebih banyak diam menunggu di meja makan, tetapi hanya beberapa kali saja Burhan sempat menghabiskan pagi di meja makan bersamanya.
Suara emak perlahan menghilang dan senyap dari kehidupan Burhan. Tergantikan oleh hiruk-pikuk program kerja, rapat, audiensi, dan sidang-sidang yang harus dihadirinya. Kunjungan rutin mereka setiap Jum’at sore ke makam bapak sempurna tergantikan oleh padatnya program kunjungan kerja dan studi banding yang harus Burhan ikuti. Dunia Burhan dan emak perlahan berjarak oleh sekat imajiner yang terbentuk oleh statusnya sebagai anggota dewan dan wakil rakyat.
“Bukankah, emak ni juga rakyat yang kau wakili di gedung parlemen itu, Bujang? Kenapa jarang pula kau ajak emak kau ini bicara, bagaimana kau bisa tau keinginan emak sebagai rakyat kalau kau sendiri tak pernah sempat mengajak emak kau ini bicara. Jangan-jangan… kau pun tak punya waktu bicara dengan ratusan rakyat yang kau wakili di kursi empuk kau itu, Bujang.”
Untuk ke sekian kali, kata-kata emak berhasil bersarang di ulu hati Burhan. Telak! Emak memang tak perlu menamparnya dengan tangan atau menikamnya dengan belati, tetapi kata-kata beliau selalu berhasil membuat waktu berhenti sejenak. Namun, sayang, saat itu Burhan sedang sibuk menyeret koper besarnya menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah. Satu jam lagi Burhan harus berangkat ke Venesia untuk studi banding.
“Kau berendam saja di sungai seberang rumah kita ni. Nanti kepala bebal kau itu akan menemukan sendiri masalah sungai-sungai dangkal itu. Setelah badan kau hampir beku berendam berhari-hari di sana, kau pun akan temukan jalan keluar untuk sungai-sungai kita yang bau dan kotor itu. Kau tak perlu melancong ke negeri orang hanya untuk belajar tentang sungai. Sungai di negeri kita ni jauh lebih banyak daripada negeri-negeri di benua seberang itu. Bodoh kali kau dan kawan-kawan kau—para anggota dewan itu—membuang banyak uang cuma untuk belajar tentang sungai. Sibuk mengorek sungai di negeri orang, sungai di depan rumah malah tak pernah diperhatikan.”
Burhan tahu emak mulai kesal karena tak mendapat perhatiannya. Namun, ia terikat pada jadwal kerja yang harus dipatuhi bersama. Ia mencium singkat punggung tangan emaknya, “Mak… di meja kamar, ada Burhan tinggalkan amplop untuk kebutuhan sehari-hari. Emak simpan saja sisanya. Kalau pun mau, emak boleh habiskan sesuka hati.” Burhan tersenyum penuh kemenangan karena merasa kemarahan emak akan reda dengan amplop tebal yang ditinggalkannya. Di dalam amplop itu juga ia selipkan sebuah cincin berlian yang dulu pernah dijanjikan oleh lidah bengalnya, “Nanti, kalau Burhan dah jadi orang sukses, Emak akan Burhan belikan cincin berlian. Biar tangan emak yang mulai keriput ni, jadi indah lagi.”
“Kau ambil saja amplop duit kau itu, Bujang. Aku tak sudi…” kalimat emak berhenti karena Burhan telah melaju dengan mobil mewahnya yang mengilat.
* * *
“Nah, ini proyek besar Burhan. Menggunakan dana APBN ratusan milyar. Kami cuma butuh tambahan tanda tangan kau untuk meloloskan proyek ini. Kau tenang saja, tanda tangan kau itu mahal harganya. Kau cukup menghitung tiga jam dari sekarang dan rekening kau otomatis akan terisi penuh.”
Burhan mengerutkan dahi mendengar tawaran Handoko, rekan satu partainya.
“Cepat! Bus yang akan mengantar wisata malam sudah nunggu dari tadi.” Bu Win yang bersanggul dan berdandan menor mengingatkan mereka berdua yang sedang menikmati secangkir kopi. Handoko dan Bu Win sudah menjabat sebagai anggota dewan untuk dua periode. Burhan hanya menatap heran. Mereka baru mendarat dua jam yang lalu. Alih-alih melakukan observasi dan studi banding, hal pertama yang mereka lakukan malah berwisata malam. Burhan melangkah tak berselera.
Hampir tiga jam mereka habiskan untuk berkeliling kota. Berfoto di taman-taman kota yang dihiasi lampu warna-warni. Makan di restoran mewah. Menyaksikan konser musik yang menghadirkan seorang penyanyi sopran terkenal. Untuk semua kesenangan di hari pertama itu Burhan tak mengeluarkan uang sepeser pun. Semua sudah termasuk dalam akomodasi perjalanannya. Saat perjalanan pulang menuju hotel, Handoko kembali menyodorkan map yang berisi berkas-berkas yang membutuhkan tanda tangan Burhan. Lelaki itu seperti sales obat yang begitu getol membujuk Burhan. Demi menghentikan ocehan lelaki bertubuh gempal itu, Burhan mencoretkan sebuah tanda tangan di berkas yang disodorkan padanya. Lubang tikus itu tersembunyi dibalik rumput. Kecil, tetapi dalam. Hitam dan pekat, tak peduli siang atau malam. Seorang ahli agama, ahli ibadah, bahkan seorang profesor pun dapat terperosok ke dalamnya, suara emak menggema jelas di telinga Burhan.
* * *
“…Sekali kau terperosok, kau tak akan sanggup keluar lagi karena kakimu akan  patah terjepit di lubang sempit mereka. Kalaupun kau sanggup keluar, pastilah kau akan berjalan pincang dan tubuhmu itu akan tercemar aroma busuk mereka.”
Burhan terbangun dari tidurnya. Kalimat emaknya tiga tahun lalu beberapa jam sebelum mereka berangkat menghadiri prosesi wisuda pengukuhan dirinya sebagai sarjana hukum kembali terngiang di telinganya. Ia sudah mencoba memejamkan mata. Namun, tak sepicing pun ia dapat tertidur. Diam-diam merapal doa agar suara emak berhenti menggema.
Telepon genggamnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan singkat dari operator bank ternama tertera di layar teleponnya. Burhan membaca cepat pesan singkat itu. Ia terbelalak saat melihat deretan angka yang telah masuk ke rekening pribadinya. 
“Mak…” Burhan memanggil emaknya, lupa bahwa ia sedang berada ribuan kilometer dari kamar emaknya. Tangannya gemetar memegang telepon genggamnya. “Nanti kau jangan bekerja dengan para tikus, Bujang.” suara emak begitu lantang di kepalanya.
Telepon genggam di tangan Burhan terlepas. Ia melihat bulu-bulu halus dan hitam tumbuh perlahan merayap di seluruh permukaan tubuhnya. Kulitnya perlahan menikus. Kukunya berubah tajam, menikus. Matanya perih dan memerah—menikus. Bahkan ia dapat mencium bau tubuhnya sendiri yang begitu memuakkan. Itu jelas bau seekor tikus yang tak tau malu. Bau yang amat laknat bagi emaknya. Burhan melompat kaget saat sebuah buntut panjang dan runcing menyembul dari balik punggungnya. Ia sempurna menikus. Tikus paling menjijikkan. Hal yang paling dibenci emaknya.
“Kau bukan hanya akan bau tikus,  tetapi juga akan menjadi seperti mereka.”
“Mak….” Burhan mencicit. Malu memandang dirinya sendiri.
* * *

Diam


suatu hari unsur sadisme akan menyelinap dalam hidup kita
itu adalah saat kau dan aku bersepakat untuk saling melupakan
itu adalah saat kau dan aku bersepakat untuk diam
padahal kerinduan hingar-bingar menabuh genderang di rongga dada

SUARA


Sebentar lagi masa kampanye calon presiden akan berakhir. Kampanye yang gelar di lapangan-lapangan kampung makin ramai. Tim sukses para calon presiden menggelar acara besar yang mendatangkan artis dangdut dari ibu kota untuk menggoyang masyarakat hingga ke pelosok negeri. Janji manis dengan kadar gula tinggi berhamburan dari bibir para calon pemimmpin negeri. Tiba-tiba semua orang begitu pandai mengarang janji. Padahal dulu saat duduk di bangku sekolah, kepala mereka bebalnya minta ampun saat diminta membuat sebait pantun.
“Aku ndak bakal mau dateng ke acara kampanye kampungan seperti itu!” Mbah Suryo—veteran perang—bersikeras. “Jangankan ikut kampanye yang isinya cuma goyang dangdut sambil dengerin mereka obral janji murahan, ikut pemilu pun aku ndak mau!” tegas Mbah Suryo sambil menyesap pipa rokoknya.
Ndak boleh gitu tho, Mbah. Suara si Mbah di pemilu itu penting, lho, Mbah.”
“Karena tahu suaraku itu penting, aku ndak mau memakai hak pilihku untuk milih para pembohong dan calon koruptor sebagai pemimpin!”
Handoko, salah seorang tim sukses dari Partai Beras Ketan, mengerutkan dahi mendengar jawaban Mbah Suryo. “Waduuhh… Mbah jangan berburuk sangka gitu dong, Mbah.”
“Berburuk sangka bagaimana? Yang aku bilang, bener tho? Coba kamu inget-inget, partai mana yang ndak pernah tersangkut kasus korupsi? Ndak ada, tho. Nah, partai  yang calon presidennya terpilih di pemilu, korupsinya bakal makin huebat!!! Termasuk kamu itu, Ko!!”
Wajah Handoko memerah seketika saat mendengar pembelaan Mbah Suryo. Ia langsung meninggalkan lelaki delapan puluh tahun itu tanpa terlebih dahulu mengucapkan permisi. Mbah Suryo hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Handoko.
* * * *
Empat hari lagi pemilu presiden akan digelar. TPS-TPS mulai disiapkan. Tenda-tenda besar mulai didirikan dan kursi-kursi disiapkan agar semua warga bersemangat menggunakan hak pilih mereka. Mbah Suryo hanya mengamati kesibukan menjelang pesta demokrasi itu. Ia memilih menyibukkan dirinya merawat sepeda ontel tua yang usianya hampir sama persis dengan usia kemerdekaan bangsa ini. 
Dua orang lelaki berpakaian rapi dengan sepatu mengilat datang bertamu ke rumah Mbah Suryo. Setelah mempersilakan kedua tamu itu duduk dan menyediakan dua gelas air putih dingin dari kendi di meja, Mbah Suryo kembali sibuk dengan sepeda ontelnya. Tanpa sedikit pun niat menanyakan maksud kedua tamu itu. “Aku beli sepeda ini dari warisan ladang jagung almarhum bapakku. Sepeda ini pernah kupakai saat perang kemerdekaan. Pernah juga untuk membonceng almarhum ibu untuk berobat. Sayang waktu itu aku ndak punya cukup uang untuk membawa ibu ke puskesmas, di tangan dukun kampung penyakit ibu tidak bisa ditangani dengan baik. Aku bahkan terlalu sayang untuk menggadaikan sepeda ini,” air mata menggenang di wajah Mbah Suryo saat ia bercerita tentang kisah panjang sepeda ontel tua itu. “Sepeda ini juga yang mengikat banyak kenanganku dengan Diajeng Retno. Sepeda ini jauh lebih berharga dari sepetak sawah di belakang itu.” Mbah Suryo bercerita pada kedua tamunya, tanpa peduli apakah didengarkan atau tidak oleh kedua tamu parlente itu.
Mbah Suryo terus mengusap setiap inchi batangan besi sepeda ontel yang asli produksi Belanda tahun 1942. Ia menambahkan pelumas di stang, gear, dan rantai sepeda sambil mendendangkan tembang kinanthi.
“Kami ke sini…”
“Aku sudah tahu,” potong Mbah Suryo tanpa mengalihkan sedikit pun perhatian dari sepeda tuanya. “Kalian mau memintaku memilih calon presiden dari partai kalian, tho?
Lelaki yang berambut ikal tebal mengangguk sambil tersenyum. “Iya, betul, Mbah. Kalau Mbah memilih kandidat presiden dari partai kami, orang-orang kampung sini pasti ngikutin pilihan, Mbah Suryo. Mereka lebih mendengar suara Mbah Suryo daripada kampanye yang kamarin-kemarin. Kalau Mbah bersedia memilih presiden dari partai kami, apa pun yang Mbah pinta, akan kami beri Mbah.”
Mbah Suryo terkekeh. “Semprul!!!” ujarnya sambil menoyor dahi kedua orang itu bergantian. “Belum terpilih jadi presiden aja, kerja kalian sudah ndak bener!!! Apalagi kalo sudah kepilih, makin ndablek otak kalian!”
“Mbah… ayolah… Bantu kami, Mbah…”
Mbah Suryo menggeleng. “Aku baru mau milih presiden kalo mereka bersedia nerima gaji sebesar gaji pensiunku yang setiap bulan cuma empat ratus ribu! Diambil ngantri di kantor pos. Pas diterima, duitne lecek dan busuk! Ada yang mau? Itu gajiku selama puluhan tahun setelah bertaruh nyawa di bawah hujan peluru tentara Belanda. Ada calon presiden kalian mau hidup kere kayak aku iki?
Kedua tamu dari sebuah partai besar itu hanya saling pandang.  Mbah Suryo terkekeh melotot menatap mereka yang tampak kikuk.
Ndak bakal ada yang mau! Mau presiden dari partai mana pun, ndak ada yang mau cuma digaji segitu. Maunya gaji besaarrr… mobilne muahaalll… makanne uenak… korupsine segudaang… habis menjabat namane dicatat sebagai pahlawan di buku sejarah! Gitu tho? Ndak ada seorang pun calon presiden dan politikus koyo sampeyan-sampeyan iki yang bener-bener tulus mau berjuang membangun negoro iki seperti kami dulu yang cuma bermodal bambu runcing dan senjata rampasan.”
Akhirnya kedua tamu itu menyerah. Meskipun Mbah Suryo sudah menawari mereka agar meminum air kendi dingin itu terlebih dahulu, keduanya malah ngelonyor pergi. Gagal menjalankan misi membujuk Mbah Suryo.
* * * *
Di kampung Suka Bersama tak pernah ada teori pemilu berasaskan luber—langsung, umum, bebas, rahasia. Tidak ada yang rahasia di kampung ini. Yang ada adalah pilihan bersama berdasarkan pilihan Mbah Suryo. Kalau saja Mbah Suryo memilih Partai Cabe Bawang, seisi kampung akan memilih partai itu, tanpa terkecuali. Partai lain, silakan gigit jari. Sayangnya, sudah tiga kali pemilu, Mbah Suryo hanya menggelengkan kepala. Tak melangkahkan kaki sejengkal pun ke TPS. Pernah suatu waktu, kepala desa harus mendatangkan pimpinan KPUD untuk meminta warga segera memilih calon bupati pilihan mereka sebab hingga akhir masa pencoblosan tak ada satu pun warga yang mencoblos. Alasannya karena Mbah Suryo tidak menentukan pilihan.
Pemilu kali ini pun sangat merisaukan Kepala Desa Suka Bersama. Seandainya Mbah Suryo tidak ikut pemilu lagi, pemilihan presiden di Desa Suka Bersama akan kembali mencatat sejarah yang sama seperti saat pemilihan bupati lalu.
* * * *
Ayam belum ramai berkokok. Fajar baru akan merekah dua jam lagi. Namun, Mbah Suryo telah terbangun. Menghabiskan dua gelas air kendi lalu duduk di kursi goyang sambil menyesap tembakau dari pipa rokoknya. Di pangkuannya sebuah buku berbahasa Inggris terbuka begitu saja. Hari ini pesta demokrasi akbar empat tahunan akan digelar. Penduduk kampung akan berbondong-bondong datang ke TPS untuk mencoblos sepasang foto wajah pasangan calon presiden yang akan memimpin bangsa ini empat tahun ke depan. Bukan siapa yang akan menang dalam perhitungan suara nanti yang saat ini dipikirkan Mbah Suryo, melainkan setelah matahari terbit penduduk desa akan berbondong menemuinya. Bertanya tentang calon presiden pilihannya. Mereka menunggu Mbah Suryo menentukan pilihan untuk mereka ikuti secara massal. Bagi penduduk desa, Mbah Suryo memiliki mata batin yang tajam dan pertimbangan yang baik. Pilihan Mbah Suryo adalah pilihan bersama.
Suara pintu diketuk. Mbah Suryo tak menaruh curiga sedikit pun. Ia berjalan pelan untuk membukakan pintu. Dua orang laki-laki membawa dua kantong plastik putih bergambar Partai Bunga Matahari memasang wajah paling manis yang mereka miliki.
“Mau apa?”
“Ini untuk Mbah Suryo,” mereka menyerahkan dua bungkusan itu, “jangan lupa coblos presiden dari partai kami, ya, Mbah,” ujar mereka sambil menunjukkan foto wajah calon presiden yang mereka maksud.
Mbah Suryo menyambut dua kantong plastik yang diulurkan padanya. Ia duduk di muka pintu sambil membuka salah satu bungkusan. Aroma wangi beras kualitas terbaik menguar dari dalam kantong plastik tsb.. Mbah Suryo langsung mengikat lagi bungkusan itu baik-baik dan menyodorkan kembali bungkusan itu pada dua orang di hadapannya.
“Ambil! Berikan untuk calon presiden kalian itu!  Aku mau pilih dia kalau selama dia menjabat sebagai presiden, dia mau makan beras seperti ransum pensiunan yang kuterima setiap bulan. Ransum apek yang kadang sudah ulatan. Kalau dia mau makan beras seperti yang aku makan selama ini, aku pilih dia!” ujar Mbah Suryo tegas.
Mbah Suryo menutup pintu rumahnya. Air matanya menggenang. Teringat ransum pensiunannya yang selalu apek dan terkadang ulatan. Bahkan pernah, selama satu bulan penuh istrinya harus memasak ransum itu menjadi bubur asin agar cukup untuk dimakan sebulan penuh.  Ia bahkan pernah harus berpuasa di akhir bulan karena ransum dan uang pensiun sudah habis sebelum waktunya. Ada sakit di rongga dadanya saat calon pemimpin negara ini malah menyodorkan satu kilogram beras wangi hanya untuk dipilih menjadi seorang presiden. Dulu Mbah Suryo juga ingin membangun bangsa ini, ia tak meminta gaji. Malah menyerahkan nyawa demi nama dan bendera bangsa. Bagaimana dengan calon presiden kali ini? Mbah Suryo kesal. Menghisap rokoknya lebih dalam untuk meracuni kesal yang menggumpal di rongga dadanya.
* * * *
Selepas subuh, beberapa orang mendatangi rumah Mbah Suryo. Mengetuk pintu dan menunggu beberapa saat. Namun, Mbah Suryo sama sekali tak berniat membukakan pintu seperti yang selama ini ia lakukan untuk para tamunya. Mbah Suryo malah berdiri terpekur di depan lemari pakaian. Di sana masih tersimpan rapi baju yang dulu pernah dipakainya berjuang dan sobek jahitan di bagian bahu. Dulu, ada sebuah peluru yang menembus baju itu  dan hingga kini peluru itu masih bersarang di bahu Mbah Suryo. Tak ada rumah sakit yang bersedia membantunya mengelurkan peluru itu karena Mbah Suryo tak mampu membayar biaya operasi. Peluru  itu membuat tangan kiri Mbah Suryo tampak cacat. Itu adalah prasasti sejarah di dirinya.
Pukul tujuh pagi TPS mulai ramai. Pemilu telah resmi dimulai. Namun, tak satu pun warga bergerak ke bilik suara untuk mencoblos salah satu foto pasangan calon presiden. Membuat bingung para petugas TPS, saksi-saksi, dan pemantau pelaksanaan pemilu. Namun, tiba-tiba warga yang sudah mendatangi TPS berdiri dan menatap ke ujung jalan.
“Mbah Suryo datang,” seru salah seorang petugas keamanan.
Mbah Suryo berjalan tertatih dengan sandal jepit tipis, sepan tua yang telah memudar warnanya, dan kemeja tipis yang berlubang di bahu kiri. Kali ini ia tak ditemani sepeda ontelnya yang setia. Namun, ada sesuatu yang lain di tangan kanannya. Sebuah bambu kuning yang diruncingkan ujungnya.
Ketua TPS menyambut kedatangan Mbah Suryo dengan wajah sumringah. “Mbah Suryo sudah mau ikutan mencoblos?” tanyanya dengan suara riang.
Mbah Suryo menatap satu persatu wajah yang ada di TPS itu. Ia mengenal sebagian besar pemilik wajah yang berada di sana. Ia juga menatap tajam wajah tim sukses dari beberapa pasangan calon presiden. Mereka menundukkan kepala saat beradu tatap dengan Mbah Suryo.  Ia masih mengingat dengan jelas wajah beberapa orang yang pernah menemuinya secara langsung.
“Aku mau mencoblos,” Ujar Mbah Suryo dengan suara bergetar. “Tapi… aku mau mencoblos jantung dan hati nurani mereka…”  Mbah Suryo menunjuk foto pasangan calon presiden dengan bambu runcingnya.
Ketua TPS tertunduk. Tampaknya pemilu kali ini harus tertunda (lagi).
* * * *

Surat buat Alisha


Seperti biasa, setiap pagi Alisha telah duduk di atas batu besar yang mencuat di tengah-tengah kebun teh yang menghijau di kaki Dempo. Ia tak butuh senter atau lentera untuk menerangi langkahnya menyusuri jalan setapak menuju batu hitam besar itu karena ia sudah terbiasa dengan gelap. Ia pun tak butuh teman untuk menuntun langkahnya karena sudah begitu terbiasa sendiri. Ia bahkan tak butuh tangga untuk memanjat batu bulat besar setinggi kepalanya itu. Kaki-kakinya sudah sangat terlatih mencari pijakan untuk memanjat batu besar itu. Di atas batu besar itu, berbalut sweater tebal dan syal yang melingkar di leher, ia menyaksikan langit perlahan merekah dengan cahaya keemasan. Di atas batu besar itu, ia selalu menunggu matahari menghangatkan wajahnya dan membiarkan angin menerbangkan helai-helai rambutnya.
“Ah… aku kalah lagi.”
Alisha terkejut saat tiba-tiba ada suara laki-laki di dekatnya. Hari tentu masih gelap sebab Alisha belum merasakan sengatan cahaya di wajahnya. Tak ada pula cicit pipit di sekitarnya. Ia menebak-nebak, siapa pula yang pagi-pagi begini berniat menyabotase kemesraannya dengan matahari. Ia menoleh mencari sumber suara, tetapi tak berniat bertanya sepatah kata pun.
“Padahal aku sudah merencanakan hendak menyaksikan sunrise dari batu besar ini. Tampaknya aku bangun kalah pagi darimu.” Laki-laki itu terkekeh.
Alisha hanya tersenyum singkat padanya. Lalu kembali memalingkan wajahnya, seolah tak hendak kehilangan momen sedetik pun untuk menyaksikan matahari memanjat kaki langit dari balik Bukit Barisan yang berjajar di depannya. Meskipun setiap hari menyaksikan matahari merayap naik, Alisha tak juga bosan menatap rekahan cakrawala kuning keemasan di seberang sana. Meskipun yang dilihatnya adalah matahari yang sama seperti ribuan tahun lalu, Alisha tak pernah bosan menanti kedatangannya.
Alisha tahu, lak-laki itu ada di dekatnya. Ia bersandar di batu besar hitam yang di atasnya Alisha duduk mematung. “Kau tidak bangun kesiangan. Hanya saja, matahari itu tidak pernah tidur sehingga sering kali sepertinya ia terlalu cepat datang. Lihat saja, belum ada seorang pun pemetik teh yang datang ke sini.”
“Bagaimana kau tahu?” 
Alisha tersenyum. “Aku kenal suara mesin pemetik teh mereka,” Alisha merapatkan sweaternya, “dan sedikit membayangkan garis wajah mereka,” lanjutnya pelan seiring memudarnya senyum di bibirnya.
“Aku Rahardian.”
Alisa mengangguk sambil tersenyum. Mengabaikan uluran tangan lelaki itu, “Alisha,” jawabnya singkat.
* * * *
Sejak pagi itu ada yang sedikit berubah. Alisha harus berbaik hati menggeser duduknya karena ada seseorang yang juga ingin menyaksikan matahari di atas batu hitam besar itu.  Ada harmoni lain yang didengarnya selain desau angin, cericit pipit, dan daun-daun teh yang berdansa, yakni detak jantung lelaki itu. Mereka jarang bicara. Menyaksikan matahari terbit adalah sebuah ritual magis bagi keduanya. Mereka seolah telah menyepakati sebuah perjanjian untuk menjemput matahari dengan cara masing-masing. Anehnya, diam adalah cara yang sama-sama mereka pilih hingga matahari menghangatkan wajah. Itu artinya sudah waktunya untuk meninggalkan batu hitam besar itu.
“Jangan lakukan itu,” Alisha menepiskan tangan Rahardian saat lelaki itu melambaikan tangannya tepat di depan wajah Alisha.
“Bagaimana kau tahu?” Alis lelaki itu berkerut. Ia merangkul kedua tungkainya.
Alisha terkekeh. “Aku tahu. Ada yang menghalangi cahaya matahari di pipiku.”
Rahardian mengangguk. “Apalagi yang kau suka dari tempat ini?”
“Ini kampungku. Aku mengenal setiap jengkal tempat ini. Aku mengenal mataharinya, bukit-bukit yang memagarinya, cemaranya, daun-daun tehnya, gemericik air yang mengalir deras dari Gunung Dempo dan bersatu di Sungai Lematang. Aku mengenal semua tempat ini sebaik aku mengenal diriku sendiri.
Rahardian mengangguk. “Tahukah kau warna mentari?”
Alisa menggeleng sambil tersenyum. Wajahnya bertatapan lurus dengan Rahardian. “Aku tahu. Matahari di sana orange kemerahaan saat langit mulai retak, perlahan-lahan ia akan kuning keemasan lalu membulat. Ia muncul dari bukit di depan sana,” Alisha menunjuk sebuah bukit di depan mereka, “seolah-olah ia bersembunyi di sana semalaman.”
Rahardian terpesona. Ada yang berteriak BINGO di kepalanya. Apa yang diuraikan Alisha sama persis seperti apa yang mereka nikmati selama sebulan terakhir—bersama-sama di atas batu besar hitam.
* * * *
“Kau sakit?” Alisha langsung menodongkan pertanyaannya saat ia mendengar jejak kaki di dekatnya.
“Bagaimana kau tahu bahwa aku yang ada di dekat batu ini?”
Alisha tersenyum. “Kau lupa bahwa kau memiliki teman yang memiliki radar di telinganya?”
Keduanya terkekeh.
Seminggu penuh Rahardian tak muncul untuk menyaksikan matahari terbit. Namun, Alisha tak pernah absen. Ia selalu datang dan memanjat batu hitam besar itu untuk menyaksikan matahari. Sebagian hatinya pernah bertanya tentang kepergian Rahardian. Namun, Alisha tak tahu harus mencari jawaban ke mana. Satu hal yang ia yakini, cepat atau lambat Rahardian akan kembali memanjat batu hitam besar itu dan duduk bersamanya untuk menjemput matahari. Ia yakin bahwa setiap orang akan jatuh cinta dengan matahari yang terbit dari balik Bukit Barisan. Tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta pada kolaborasi antara langit, kabut, dan matahari kuning emas di kaki Gunung Dempo.
“Ada yang aneh,” ujar Alisha saat matahari sudah terasa hangat di pipinya—saatnya mereka beranjak dari batu hitam besar itu.
“Apa?”  Rahardian mengulurkan tangan untuk membantu Alisha turun.
“Detak jantungmu.”
“Benarkah?” Rahardian menautkan alisnya.
Alisha mengangguk. Aku merasa ritme jantungmu sedikit berbeda juga tarikan napasmu.”
“Kau pernah memeriksaku dengan stetoskop tanpa sepengetahuanku?”
Alisha menggeleng. Ia tersenyum dan melangkah mendahului Rahardian. Mereka menyusuri jalan setapak di antara rumpun-rumpun teh. “Telingaku lebih sensitif daripada stetoskop canggih milik para dokter dari kota itu.”
Rahardian mengangguk. Mau tidak mau ia harus mengakui kelebihan gadis itu.
“Boleh aku bertanya sesuatu?”
Alisha mengangguk. Mereka berjalan bersisian.
“Sejak kapan kau..em… um…  buta, Alisha?” Rahardian bertanya ragu.
“Sejak usiaku empat tahun,” jawab Alisha lugas tanpa merasa tersinggung sedikit pun atas pertanyaan itu. “Ada virus yang menyerang mataku dan terlambat untuk diobati secara medis.”
“Kau ingin dapat melihat lagi?”
Alisha berhenti melangkah. Ia menoleh dan menatap lurus wajah Rahardian. “Dulu… dulu sekali. Namun, sekarang dengan atau tanpa memiliki mata, aku tetap dapat menikmati keindahan alam. Bahkan, tanpa kedua mata ini, aku lebih peka pada keindahan yang sering kali terabaikan dan dianggap tidak penting.”
Rahardian mengangguk.  “Maafkan aku, Alisha,” bisiknya lirih.
Alisha tersenyum, “Tak perlu minta maaf. Aku tidak merasa ada yang salah dengan pertanyaanmu itu. Bukankah kita teman?”
Rahardian mengangguk. Ia tersenyum lalu meraih jemari Alisha. Ia memerangkap jemari lentik itu dalam genggamannya. Mereka berjalan bersisian.
“Kau baik-baik saja?”
Rahardian mengangguk. Namun, ada nyeri di dadanya yang ia coba kendalikan. “Ada yang ingin kuberi tahu padamu.”
“Apa?” tanya Alisha tanpa menghentikan langkahnya.
“Kau cantik!”
Pipi Alisha memerah. “Aku tidak tahu,” jawabnya singkat.
“Kau bahagia?”
Alisha mengangguk. “Apa yang kau rasakan?”
Rahardian menatap jemari mereka yang bergenggaman. “Sepi.”
“Mengapa?”
“Ya, sepi. Sepi itu seperti saat ini. Sepi itu adalah kau bercerita dan tertawa sambil menggenggam jemariku, tapi tak kutemukan rindu di matamu.”
Alisha tertunduk sesaat kemudian ia mencoba tersenyum. “Kau tahu aku punya keterbatasan. Biarkan aku yang menemukan kerinduan di matamu. Rinduku kusimpan di sini,” Alisha menunjuk dada Rahardian dengan telunjuknya.
* * * *
Mamak memeluk Alisha dengan erat. Ia menangis terisak. “Cepatlah Alisha, sudah ada donor mata untukmu. Kita ke rumah sakit sekarang.”
Alisha tak sempat bertanya apa pun sebab mamak dan beberapa kerabatnya yang lain telah menyeretnya memasuki mobil carteran menuju rumah sakit. Penumpang mobil itu terlalu riuh oleh rasa gembira yang membuncah karena akhirnya setelah menunggu bertahun-tahun mereka menemukan pendonor untuk mata Alisha. Gadis itu ingin bertanya, tetapi semua orang lebih ingin merayakan kegembiraan ini daripada meladeni pertanyaannya yang pasti butuh penjelasan panjang.
Tiba-tiba, penantian selama bertahun-tahun tentang seorang pendonor mata untuknya usai dalam waktu lebih singkat dari sebuah mimpi. Mereka ke rumah sakit, observasi singkat, lalu operasi dilaksanakan. Singkat sekali. Setelah seminggu masa pemulihan, kamar Alisha dipenuhi kerabatnya dan tim medis. Mereka harap-harap cemas menantikan hasil operasi Alisha. Perban di mata Alisha akan di buka. Ia sungguh cemas. Namun, diam-diam ia telah menguatkan hatinya jika ternyata operasi itu gagal. Ia berjanji tak akan marah atau menangis. Bukankah selama bertahun-tahun ia sudah terbiasa dengan gelap. Tak jadi soal jika Tuhan masih memintanya untuk tetap tenang menikmati kegelapan sekali lagi.
Alisha membuka matanya perlahan. Awalnya, semua tampak samar dan menyilaukan. Dokter mengingatkannya untuk mengerjapkan matanya pelan-pelan. Lama kelamaan bayangan di depannya semakin jelas. Namun, ia tak mengenali seorang pun. Barulah ia bisa mengenal satu persatu orang-orang yang berkumpul itu setelah mereka bicara sebab selama bertahun-tahun Alisha hanya mengenal suara mereka. Ini adalah kali pertama ia melihat wajah para kerabatnya.
* * * *
Ini minggu ke tiga setelah operasi matanya. Alisha duduk sendiri setiap pagi di batu hitam besar yang terdapat di tengah-tengah kebun teh. Tiga minggu terakhir ini, ia menatap matahari kuning emas yang muncul malu-malu dari balik Bukit Barisan dengan kedua matanya. Ia bisa melihat burung-burung yang selama ini hanya ia kenali suaranya. Namun, sungguh, ia teramat ingin melihat wajah seseorang yang biasa duduk bersamanya di batu besar itu. Sudah tiga minggu berlalu, Rahardian belum juga menampakkan batang hidungnya.
Di akhir minggu ketiga itu, seseorang datang menemuinya di batu hitam besar itu. Namun, sayang, saat Alisha mendengar suaranya, ia yakin lelaki itu bukanlah Rahardian. Tebakannya benar karena lelaki itu tidak datang untuk menyaksikan matahari merayapi kaki langit bersamanya. Lelaki itu datang hanya untuk mengantarkan sebuah surat untuk Alisha.
Kaki Gunung Dempo, Penghujung 2012
Sungguh, menghabiskan waktu di kaki Gunung Dempo yang dikelilingi Bukit Barisan adalah hal terindah dalam hidupku. Sungguh indah karena di sana aku mengenalmu. Semakin indah karena aku semakin semangat menjemput matahari bersamamu. Namun, apalah artinya semangat yang kumiliki untuk menatap matahari setiap pagi jika ada sesuatu yang menggerogoti jantungku dan siap mematahkan langkahku menuju batu hitam besar itu.
Alisha… saat ini kuharap kau akan menyetujui kata-kataku dulu—Kau cantik. Kini kau pasti sudah bisa melihat bayanganmu sendiri di cermin dan di beningnya air Sungai Lematang. Kau sama cantiknya dengan matahari yang biasa kita jemput itu. Melihatmu dan melihat matahari kuning keemasan itu adalah alasan terbesarku datang ke batu hitam besar itu setiap pagi.
Alisha… kini kau tak perlu membaca dengan jemarimu. Kau sudah bisa membaca seperti gadis normal lainnya, dengan matamu. Semoga suratku adalah tulisan tangan pertama yang kau baca. Saat kau baca surat ini, aku yakin aku sudah tak ada lagi, Alisha. Surat ini adalah pertemuan terakhir kita. Aku tak akan pernah lagi menyaksikan matahari memanjat Bukit Barisan. Aku tak bisa memberimu kenangan apa pun sebagai tanda perpisahan kita. Kuberikan kedua bola mataku untukmu Alisha…

Sampai di sini, Alisha meremas surat itu. Air matanya runtuh.

Aku sangat ingin kau dapat melihat matahari merah seperti yang pernah kulihat. Aku sangat ingin kau dapat melihat hijaunya permadani hamparan daun teh di kaki Gunung Dempo seperti yang selalu kunikmati setiap pagi bersamamu dulu. Satu lagi, aku ingin kau dapat melihat prasasti namamu dan namaku di batu besar hitam yang biasa kita duduki.

Alisha tergugu.
“Bodoh! Kau selamanya melihat matahari merah, Rahardian. Kau selamanya selalu menyaksikan hamparan daun teh itu. Kau juga selamanya akan membaca berbagai tulisan tangan lainnya karena hari ini tetap yang bekerja untukku adalah mata pemberianmu. Bodoh! Kau bodoh, Rahardian!”
Air mata Alisha runtuh. Ia meraba permukaan batu besar yang biasa mereka duduki. Ia membaca dengan jemarinya ukiran nama yang dibuat Rahardian. Entah kapan ia membuatnya.
“Matahari… kau tahu, aku akan dipenuhi bongkahan kerinduan. Mata ini dipenuhi kerinduan untuk menatapnya. Mata ini juga yang dulu dipenuhi kerinduannya untuk menatapku. Kini, akan ada bongkahan keriduan baru di hatiku. Rindu untuk mendengar detak jantungnya. Lagi.”
* * * *

Ada namamu di setiap jejakku
kuharap ombak bersedia membantuku menghapusnya

Kamis, 24 Januari 2013

THE WAR OF ARIES


(Episode 2)

Septi urung melanjutkan langkah saat melewati koridor tempat toilet laki-laki berjajar. Di koridor itu seorang cowok dengan rambut acak-acakan duduk bersandar di dinging toilet. Di dahinya mengalir darah merah segar yang tampak lengket dan bercampur dengan keringat. Mata cowok itu terpejam. Ujung bibirnya tertarik ke atas, meringis, menahan (entahlah) mungkin nyeri di mata kirinya yang lebam atau rusuk yang kini dipeluknya dengan tangan kanan.
“Sakit?”
Mata cowok beralis hitam lebat itu tiba-tiba terbuka. Ia sontak menggeser tubuhnya saat mendapati wajah seorang gadis tepat berada dalam satu garis lurus dengan tatapannya. Ia mencoba menepis tangan Septi yang mengulurkan selembar wettissue untuk menyeka luka di dahinya. Namun, Septi tak peduli.
“Hm… aku mengenal begitu banyak dewa perang dalam berbagai mitologi. Kupikir, Aries—Putra Zeus—memilih menyendiri setelah mengantongi begitu banyak kekalahan dalam perang yang dipimpinnya. Atau Lucifer memilih untuk bertaubat dari mengobarkan peperangan agar dapat kembali ke surga—tempat abadi untuknya. Hm… bahkan setelah diagungkan oleh begitu banyak umat Hindu, Dewa Indra tak bersedia mengalirkan darah perangnya kepada manusia…”
Luka di dahi cowok berkulit putih itu terasa perih saat terkena air dari tissue basah yang digunakan cewek di hadapnnya. Ia bungkam. Meskipun tampak tak peduli, ia memperhatikan baik-baik celoteh gadis di hadapannya.
“Hm… kupikir aku salah.” Cewek berambut hitam lebat itu melanjutkan celotehnya. “Sepertinya Zeus lupa memenjarakan putranya agar tak melarikan diri dan kembali ke bumi. Atau jangan-jangan… Phopos dan Deimos telah membantunya melarikan diri. Karena ternyata…”
Gadis itu menggantung kalimatnya. Ia menatap lulus mata cowok yang sejak tadi mengamatinya. Untuk beberapa saat waktu berhenti berderak. Gravitasi bumi hanya perpusat pada mereka. Suara siswa dan guru yang sedang belajar di kelas tiba-tiba lenyap. Semuanya terperangkap dalam sebuah ruang hampa. Mereka hanya mendengar detak jantung masing-masing.
“Ternyata apa?” suara cowok itu terdengar berat.
Wajah mereka hanya terpaut beberapa senti. Septi dapat mendengar dengan jelas deru jantung mereka berdua.
“Ternyata… Zeus membiarkan Aries tersesat di sekolah ini.” Bisiknya pelan. Padangan mereka bertaut tajam. Aries tiba-tiba lupa cara bernafas saat bibir Septi dengan lembut mengecup bibirnya. Hangat. Saat itu semua nyeri yang dirasanya tiba-tiba lenyap.
“Ini masih terlalu pagi untuk berperang, Aries.” Septi mengecup pipi cowok itu perlahan lalu beranjak dari duduknya.
Aries ingin mengucapkan terima kasih. Namun, Septi segera berlalu dengan langkah ringan. Ia melangkah lincah dengan tungkainya yang panjang. Tak peduli pada Aries yang masih terpaku bersandar di dinding toilet. Nyeri itu kembali menjalar di tubuhnya.
* * * *
“Elo kasih tau siapa yang ngelakuin ini semua? Kita harus bales, Ries! Pengecut-pengecut itu harus tau sopan-santun. Mereka nyerang Lo saat nggak ada kita. Pagi-pagi lagi. Kasih tau kita, Ries. Biar tuh anak kapok! Biar mereka tahu siapa kita dan siapa elo, Ries.”
Aries menggeleng. “Ini masih terlalu pagi untuk memulai sebuah peperangan.”
“Maksud lo?”
“Bukan berarti lo milih diem aja kan?”
Aries menggeleng cepat mendengar pertanyaan teman-teman gengnya. Ia tidak benar-benar ingin mengonfirmasi pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi lebih untuk menetralisasi otaknya yang tiba-tiba memberontak karena mengulang sebuah kalimat dari orang yang baru pertama di kenalnya.
“Kita bakal bales, tapi setelah ada waktu yang tepat. Minimal, setelah luka-luka gue sembuh.” Aries menyeka luka di dahinya. Masih terasa nyeri. Namun, di sana tertinggal jejak jemari lentik Septi yang menyeka darah dan peluhnya yang asin dan perih.
* * * *
“Berantem lagi?” Papa memegang dagu Aries dan memutar wajah putra bungsunya itu dengan seenaknya.
Aries menepiskan tangan papa dengan sebal, “Nggak, Pa! Mereka yang nyerang Aries!!”
“Mereka nyerang kamu karena kamu yang duluan nyerang mereka. Iya kan?” suara papa meninggi. Memenuhi semua atmosfer rumah. “Sekolah tu buat belajar, Ries! Bukan berantem! Mau jadi apa kamu nanti kalau sibuk berantem gini?”
“Papa denger nggak sih?? Bukan Aries yang mulai!!! Mereka yang nyerang!!” Aries meraung marah. “Sekolah.. sekolah…sekolah! Aries sudah sekolah, Pa! Hampir dua belas tahun penuh! Tapi apa yang didapet??? Nggak ada! Cuma predikat bintang kelas tanpa sinar! Tanpa pilihan!”
“Dan sekali-sekali surat panggilan dan peringatan!” potong papa.
“Ya! Bener!” Sambut Aries. “Cuma itu yang bisa sekolah berikan untuk Aries dan papa! Tidak lebih! Papa sama aja kayak guru-guru di sekolah, cuma bisa berteriak dan marah, tetapi tuli! Mana pernah mau mendengar!”
“Aries!!” bentak papa.
Aries mengepalkan tangan. Mengumpulkan amarah dan kesalnya di sana. Sarung tangan perak dengan ukiran rumit perlahan menutupi jemarinya hingga pergelangan tangan. Dalam waktu bersamaan, sebuah perisai perak juga melingkari lengannya perlahan. Cahaya merah berpendar mengelilingi tubuhnya. “Aku, Aries, Pa! Berhentilah menyudutkanku seperti ini!” desisnya perlahan. Ia benar-benar tak terima disalahkan untuk sesuatu yang tidak dilakukannya. Jelas-jelas dia dikeroyok, bukan berkelehi. Namun, tetap saja selalu dia yang disalahkan.
Aries melompati dua anak tangga terakhir. Ingin segera tiba di kamarnya. Napasnya tersengal karena kemarahannya. Tiba di kamar ia segera menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dan menekan remote control. Sedetik kemudian Linkin Park langsung menjerit hebat dari CD player pojok kamar. Ia mencoba mengingat-ngingat gadis yang tadi pagi ditemuinya di toilet. Mencoba mencari sosok gadis itu dalam ingatannya. Namun, gagal! Ia merasa tak mengenal gadis itu dan tak pernah melihatnya di sekolah sebelum peristiwa tadi pagi. Atau… ini juga berarti bawa ia mengidap autisme ringan karena Aries gagal mengenali orang-orang di sekolahnya dengan baik meskipun waktu yang ia habiskan di sekolah itu hampir tiga tahun penuh.
* * * *
Lebam di mata kiri Aries hanya menyisakan lingkaran hitam samar. Luka di dahinya hanya membutuhkan beberapa hari lagi untuk sembuh sempurna. Beberapa siswa yang melintas di hadapan Aries menyempatkan diri menyapanya atau sekadar tersenyum—mencoba beramah-tamah. Semua siswa di sekolah tahu tentang reputasi ganda yang disandang Aries, siswa terbaik sekaligus terburuk. Tiga tahun berturut-turut ia memegang posisi puncak sebagai juara umum di sekolah. Lalu, dua tahun terakhir secara sukarela dia menjadi organisator semua peristiwa tawuran yang melibatkan sekolahnya. Aries yang jarang bicara dan lebih sering bermuka masam itu tak pernah kehilangan pengikut. Ia dipuja dan dibenci dalam satu waktu bersamaan.
“Tumben duduk manis di sini? Mau tobat Lo?”
Aries mencoba tersenyum mendengar pertanyaan Indra yang sudah duduk di sebelahnya. Namun, ia merasa wajahnya pastilah terlihat begitu aneh dengan senyum itu.  Ia tak menjawab pertanyaan itu. Hanya menepuk ringan pundak Indra—rekan setianya di medan tempur tawuran. Sebenarnya, hari ini adalah genap satu minggu Ares sengaja duduk manis di kursi panjang di depan perpustakaan karena ini adalah sudut paling signifikan untuk mengamati seluruh aktivitas penghuni sekolah. Ia memperhatikan baik-baik siswa yang sedang asyik bermain basket di lapangan dan beberapa cewek yang duduk bergerombol tebar pesona di tepi lapangan. Lalu beralih pada cewek-cewek yang lalu-lalang di koridor sekolah. Namun, tak ada sosok yang dicarinya. Hingga bel masuk meraung pun, cewek berambut pajang sebahu itu tak tampak di antara ratusan penghuni sekolah.
“Masuk, Ries.”
“Elo duluan gih, gue mau telat. Ke toilet dulu aja ah.”
“Kayak cewek, ya, Elo sekarag. Suka ke toilet!”
Aries tak peduli pada komentar Indra. Ia melangkah pelan—mengulur-ulur waktu—menuju toilet pria. Mau tak mau ia membenarkan kata-kata Indra. Entahlah, sebenarnya ia tak benar-benar membutuhkan toilet itu. Namun, ada jejak yang selalu ingin ia ingat di sana. Jejak darah di dinding koridor toilet, jejak jemari gadis berambut hitam berkilau di dahinya, dan… kecupan itu.  Ada kerinduan absurd yang menghentak-hentak di rongga dadanya. Berdiri di koridor toilet dan menghadirkan lagi peristiwa itu dari ingatannya meskipun dalam slide hitam putih adalah salah satu cara manis yang dapat dilakukannya untuk mengingat semuanya.
“Hai! Kau tidak sedang terluka kan?”
Aries segera berbalik. Mencari sosok pemilik aksen ceria itu. Septi berdiri di ujung koridor. Aries mencoba tersenyum meskipun selalu merasa bahwa wajahnya tak pantas memproduksi sebuah senyuman.
“Kau ke mana saja?” ah… bodoh! Bodoh! Bodoh! Mengapa bertanya seperti itu!  rutuknya dalam hati.
Septi tersenyum. Manis sekali. Ia berjalan mendekat ke arah Aries. Matanya bergerak jenaka memandang luka di dahi Aries yang dulu disentuhnya lembut. “Sudah sembuh,” ujarnya ringan.
Aries mengangguk. Matanya tak lepas dari menikmati pahatan wajah cewek di hadapannya. Sempurna! Wajah itu tidak berlapis bedak, tetapi begitu halus bak pualam. Bibirnya tak seperti milik ratusan cewek di sekolah yang berebut antre jadi anggota cheerleaders sekolah. Bibir itu tetap terlihat merah segar meskipun tanpa berlapis lipglos yang berkilat dan menggoda.
Septi masih asyik memeriksa luka di dahi Aries. Entah sadar atau tidak bahwa mata Aries sedang melumat habis wajah manisnya. “Kamu cantik,” bisik Aries nyaris tak terdengar.
“Kau lebih tampan tanpa luka ini,” jawabnya tak acuh. “Jangan berperang Aries. Berikan saja pedang Zeus itu pada Phobos atau Deimos. Biarkan mereka yang menyelesaikan semua pertarungan.”
Aries tak mengerti dengan ucapan Septi. Gadis itu sepertinya begitu fasih dengan mitologi Aries sang dewa perang dari Yunani. Ia bahkan mengenal Phobos dan Deimos dengan sangat baik sebagai pengawal setia Aries.
“Perang akan membunuhmu, Aries. Pedang Zeus dan pegasusmu tak banyak membantu untuk memenangkan perang yang kau ciptakan. Aries, aku benci melihat Lucifer di wajahmu.”
Aries merasakan tangan Septi yang dingin menggenggam erat jemarinya. Ia menatap genggaman itu sesaat lalu kembali menatap cahaya di kedua mata Septi. Wajahnya terlihat pucat. Ada kesedihan di lorong matanya.
Maaf…  Aries ingin mengucapkan kata itu sambil berlutut. Ia tertunduk merasakan genggaman Septi yang makin erat. Di kepalanya terbayang wajah-wajah yang akan menunggunya siang ini.
“Anak-anak sudah tau?”
Indra mengangguk. “Rendi bahkan sudah membawa gear andalannya. Tajam, terasah, dan sudah dibiarkan berkarat!”
Aries mengangguk, “Jangan ada anak kelas satu yang ikut. Gue nggak mau tanggung jawab dengan orang-orang bego! Nyali mereka nggak pasti!”
“Tenang. Emang ada orang baru, tapi bukan anak bawang. Dia punya nyali singa lapar.”
Aries mengangguk. Dipandangnya Indra yang tersenyum penuh kemenangan. Ia memang tidak pernah salah menilai Indra. Anak seorang perwira polisi itu memiliki insting kuat untuk menilai anak-anak di sekolah mereka. Sejauh ini, insting cowok berkulit hitam itu belum pernah salah.
“Aries?”
Aries terkejut mendengar Septi memanggil namanya. Lamunannya buyar. Ia menghindari tatapan gadis itu. Tak bersedia membohonginya.
“Aries, Zeus bisa saja marah dan mengutukmu dengan kematian atas peperangan yang kau ciptakan dan kerusakan yang kau sisakan. Dapatkah kau menjadi Aries yang tak lagi mengenakan baju zirahmu? Dapatkah kau tak lagi melangkahkan kaki ke arena perang itu?”
“Aku, Aries. Aries yang biasa. Bukan dewa perang dalam cerita-cerita tua yang sering elo baca, Sep. Nggak ada Zeus, nggak ada Pegasus, apalagi baju zirah!” sampai di sini, Aries seperti menelan sebuah pil pahit sepuluh biji sekaligus. Ia berbohong! Karena sesungguhnya, ia sering berimajinasi tentang baju zirah yang melingkupi tubuhnya saat kemarahannya tak terkendali. “Aku juga nggak pernah perang, Sep.”
Septi menggeleng. Ia memeluk tubuh Aries erat. “Zeus memperlakukanmu terlalu keji. Tega sekali membiarkan kau tersesat di sini.”
Aries mencoba melepaskan pelukan Septi yang membuatnya sulit bernapas. Belum lagi kepalanya yang berputar karena kalimat-kalimat langit yang digunakan Septi. Ditambah lagi, dari kejauhan tampak Pak Wanto—penjaga sekolah mereka—berjalan mendekat ke arah mereka. Aries tidak mau dituduh melakukan tindakan amoral di sekolah. Ia berusaha melepaskan pelukan Septi seiring langkah Pak Wanto yang semakin dekat. Namun, gagal.
Pak Wanto mengulurkan tangan untuk membantu Aries melepaskan pelukan Septi yang begitu erat. “Maaf, Nak.. Maaf..”
“Saya mestinya yang berterima kasih, Pak,” jawab Aries saat terlepas dari pelukan Septi.
“Ini anak bapak. Tadi pintu rumah tidak terkunci rapat, jadinya dia masuk ke sekolah. Ingatannya agak kurang baik, Nak…” Pak Wanto menggandeng tangan Septi dan menyeret gadis itu pergi.
Kalimat Pak Wanto menggema jauh di dasar ingatan Aries. Kalimat itu seperti magnet yang menyedot energi dan euforia yang tadi dimilikinya saat menatap gadis itu. Benarkah? Pertanyaannya turut menggema di lorong ingatan dan rongga hatinya. Terkurung pengap di sana.
* * * *
Jangan berperang Aries. Berikan saja pedang Zeus itu pada Phobos atau Deimos. Biarkan mereka yang menyelesaikan semua pertarungan. Suara Septi menggema jauh.
“Gue sudah nggak sabar, Ries. Ini saatnya nunjukin ke mereka bahwa gue bukan pengecut.”  Hendro memasang sarung tangan kulit di kedua tangannya. Selanjutnya ia mengeluarkan tali pinggang berkepala besar dari dalam tasnya. Untuk pertarungan jarak dekat, satu pukulan gesper itu saja sudah cukup untuk meretakkan tengkorak kepala musuh.
Aries mengukir senyum. Wajahnya terlihat bercahaya dengan senyum sinis yang khas. “Jangan ada yang nyerang sebelum mereka menyerang. Biarkan mereka yang menabuh genderang dan kita yang akan memenangkan battle kali ini.”
Aries berjalan di paling depan. Di tangan kanannya, sebuah batu besar tergenggam erat. Tangan kirinya memegang stick softball kualitas terbaik. Cukup untuk meretakkan tulang kering lawannya. Di sampingnya Indra melangkah dengan tangan kosong, tetapi Aries tahu bahwa cowok satu itu pastilah menyelipkan sesuatu di pinggangnya atau bahkan ia membawa celurit berkarat di tas sandangnya. Tak jauh dari mereka, dilihatnya Rendi memutar-mutar gear besi yang diikatkan di sebuah sabuk bekas. Ia seperti pemain akrobat yang sedang bermain-main dengan sebuah medali. Kroco-kroco lain sengaja diminta berjalan dalam jarak yang cukup signifikan untuk mengantisipasi serangan yang tak diperkirakan.
Ada rasa hangat yang menjalar perlahan di tubuh Aries. Ia tersenyum lugas. Perisai-perisai perak itu terbentuk satu persatu seiring langkahnya yang kian dekat berhadapan dengan musuh bebuyutan mereka dari SMANSA. Perisai itu melingkupi setiap inci tubuhnya. Yang terakhir dirasakannya adalah sebuah helm yang hanya menyisakan lubang untuk mata dan hidungnya.
Pedang Zeus dan Pegasus tak akan mampu membantumu, Aries…
Ah… lagi-lagi suara Septi menggema di kepalanya. Aries menatap tongkat kayu di tangan kirinya. Perlahan tongkat itu mengeras dan berubah menjadi pedang baja panjang yang mengilat dan tajam. Aku punya pedang, Sep… Aries menatap lurus kelompok massa berseragam abu-abu di depannya. Para pengendara sepeda motor dan pejalan kaki menyingkir dengan sukarela dari jalanan. Ibu-ibu menjerit histeris.
“Seraaangg!!!”
Entah komando untuk siapa. Suara itu menggerakkan dengan massif semua tangan yang menggenggam batu-batu besar. Dalam hitungan detik, batu beterbangan tak tentu arah. Perhitungan langkah harus akurat. Semua orang harus berjudi dengan waktu, menentukan kapan harus menyerang maju memberangus siapa pun tanpa ampun atau mundur agar tak terlepas dari kelompok.  Adrenalin mereka memuncak puas. Lucifer menjelma dalam semua wajah dan menguasai pikiran mereka.
Aries tertawa terbahak. Ini adalah dunianya. Ia melihat ketakutan di wajah musuh-musuhnya. Ketakutan yang menjadi sumber energinya. Ia mengayunkan tongkat pemukulnya pada siapa pun yang mendekat. Tiga orang jatuh tersungkur saat tongkat softball itu mementung keras kepala mereka. Dari kejauhan dilihatnya seseorang yang hanya berdiri tegak sambil memutar gear besar yang telah diikat dengan tali. Itu adalah sosok yang membuat matanya lebam dan rusuknya retak satu minggu lalu. Sosok itu terlihat hanya menikmati battle yang ia ciptakan ini. Sesekali ia tertawa puas.
Aries tahu siapa yang harus dihabisinya siang itu. Ia merangsek maju, tak peduli pada Indra yang memintanya mundur. Ia tahu siapa lawan yang harus dirobohkannya. Kakinya melangkah tegap. Aku tidak memerlukan Pegasus, Sep… bisiknya dalam hati. Senyumnya magis.
Kedatangan Aries disambut tawa penuh ejekan. Aries tak peduli. Ini peperangannya dan ia tidak ingin kalah. Namun, tanpa disadari, rupanya mereka membawa begitu banyak orang. Entah memang siswa SMANSA atau sebagiannya orang-orang bayaran.  Ada banyak yang melangkah mendekat ke arah Aries. Indra sendiri tak mematuhi kata-katanya. Ia malah maju untuk memperkecil jarak dengan Aries. Kayu, tongkat, dan batu beterbangan dan menyerang silih berganti. Aries mengandalkan instingnya untuk menghindar dari hujan batu yang bisa saja meretakkan tengkoraknya. Ia mencari Indra, tetapi matanya malah menemukan sosok berseragam abu-abu berlari ke arahnya. Rambut panjang hitamnya berkibar dimainkan angin.
“Septi??”
Apa yang dilakukannya di sini?? Aries tak pernah ingin menjadi pengecut. Namun, kali ini ada yang mendorongnya begitu kuat untuk meninggalkan Indra dan tempat itu. Ada Septi di seberang sana yang membutuhkan pertolongannya. Gadis itu tak layak mati konyol karena cerita klasik yang hidup di kepalanya.
“Ariieeeesss!!!” Septi melambaikan tangan. Ia terus melangkah memasuki arena tawuran. Orang-orang berteriak mengingatkannya. Beberapa di antara mereka berusaha meraih tangannya untuk mencegah gadis itu melangkah. Namun, Septi tak peduli. Entah tidak menyadari bahwa sedang ada tawuran hebat di depannya atau matanya hanya mampu melihat Aries.
Aries melangkah menjauh. Musuhnya tertawa mengejek. Sisa yang lain berusaha mengejarnya. Namun, Aries tak peduli. Ia bukan ingin melarikan diri, hanya hendak menyingkirkan Septi.
“Menyingkir dari sini!” Aries menarik tangan Septi. Tak peduli pada senyum sumringah gadis itu karena mendapati kedatangannya.
“Aries akan ada perang yang nanti paling kau benci. Berhentilah Aries, kau tak harus selalu berada di tengah peperangan. Kau punya pilihan Aries, kau tak harus selalu memicu kebencian dan amarah. Aries…”
“Ariiieeess!!!” ada suara lain yang meneriakkan namanya. Aries mengandalkan instingnya langsung menarik Septi untuk menunduk. Sebuah batu besar mendarat tepat di samping mereka.
“Ayo! Pergi dari sini!”
Suara sirine mobil polisi meraung semakin dekat dan jelas. Aries menarik tangan gadis itu. namun, telinganya dapat menangkap dengan jelas langkah besar penuh amarah di belakangnya.
“Kau sudah menjadi pengecut rupanya.”
Darah Aries mendidih mendengar ejekan itu. Ia berhenti melangkah dan menarik Septi untuk bersembunyi di balik punggungnya. Lawan di hadapannya menatapnya penuh nafsu sambil memutar-mutar gear besar di tangannya. Mereka telah menjadi musuh bebuyutan hampir dua tahun terakhir. Namun, Aries selalu berhasil melukainya.
“Aku Aries! Tak pernah membiarkan ketakutan mengendap di kepalaku lebih dari satu detik saja, Roni Pesek!” Aries merasa menang mengejek lawanannya dengan sebutan memalukan itu.
Septi memeluknya dari belakang. “Aries, kumohon. Berhentilah untuk kali ini saja,” bisiknya.
Aries berusaha melepaskan tangan Septi yang melingkar di pinggangnya. Rusuknya masih terasa nyeri. Roni yang benci dengan julukan itu tak lagi membuang banyak waktu. Ia melangkah maju sambil memutar-mutar gear karatan yang siap menghabisi lawannya. Aries berusaha menghindar dan melindungi Septi yang tak bersedia menjauh. Beberapa kali gear karatan itu menghantam aspal jalan atau ruang kosong di samping mereka. Sampai detik ini, Aries bersyukur bahwa Septi masih bisa mengikuti komandonya. Namun, keberuntungan ini pastilah tidak berlangsung lama. Aries memutuskan untuk menyeret Septi menjauh dari tempat itu. Ia tak peduli apakah Septi dapat mengikuti langkahnya atau tidak, yang pasti Aries berlari dalam langkah lebar dan cepat.
“Inilah perang yang kumaksudkan Aries. Zeus tak benar-benar menyayangimu dengan membiarkan kau memakai pedang itu. Kau mencuri pedang itu darinya  dan dia ingin kau menerima hukuman dari pedang yang kau curi itu.”
Septi berceloteh lagi. Aries tak peduli. Ia tak mengendurkan sedikit pun genggamannya di pergelangan tangan Septi. Matanya awas terhadap lemparan batu yang mungkin nyasar ke arah mereka. Telinganya mengawasi langkah Roni yang membuntuti mereka. “Aries!” Septi berusaha menahan langkah Aries. BRUKK!! Detik berikutnya ia tersungkur. Kakinya tersandung trotorar yang tadi dilompati Aries. Sepatunya terlepas. Aries mengumpat dalam hati. Namun, mau tak mau ia menghentikan langkah untuk menolong gadis bermata zaitun itu berdiri dan membersihkan rok dan kerikil yang melukai lututnya.
“Kau baik-baik saja?” 
Septi mengangguk. Aries masih berusaha membersihkan debu yang mengotori rok abu-abu Septi. Ia melihat Roni yang kian mendekat, tetapi Aries merasa masih memiliki setidaknya satu menit untuk membangun jarak dengan mahluk satu itu. Aries berusaha meraih sepatu Septi yang tergeletak tak jauh dari mereka.
“Ariieeeessss!!!” Ini kali ke sekian Septi meneriakkan namanya. Namun, Aries yang sedang merangkak untuk meraih sepatunya tak sempat tahu alasan Septi meneriakkan namanya karena gadis itu langsung menubruk tubuhnya hingga mereka terguling di tanah.
Wajah mereka sedekat dahulu—saat pertama kali gadis itu muncul. Namun, kali ini Septi terpejam. Kulitnya lebih pucat daripada terakhir ia menatapnya. Ada butiran peluh bening berkilau di dahinya. Perlahan kepala gadis itu rebah di dada Aries.
“Sep???” Aries berusaha mengguncangkan tubuh gadis itu. Ingin bertanya untuk memahami apa yang sedang dilakukannya. Ia bisa merasakan nafas Septi yang hangat, tetapi berat.  Aries mengangkat tangan kirinya yang sejak tadi melingkari tubuh Septi. Ia ingin berteriak, tetapi pita suaranya menolak bergetar. Air mata yang dibencinya mengalir perlahan dari sudut matanya saat menatap tangannya yang basah oleh darah.  “Septi!!! Banguuuuunnnn!!!!”  Aries mengguncangkan tubuh gadis itu sekali lagi. Namun, nihil.
Aries berusaha bangkit, tetapi pelukannya masih begitu erat. Kemarahannya semakin mendidih saat melihat gear karatan yang sejak tadi diproyeksikan Roni untuk menghabisinya kini malah tertancap lurus di punggung Septi. Hampir sempurna tenggelam di tubuh ringkih gadis itu. Entah kekuatan apa yang digunakan Roni sehingga dapat melukai Septi begitu dalam. Tidak!!! Luka ini jauh lebih menyakitkan untuknya. Roni berbalik dan melarikan diri dari hadapan Ares.
“Bangsaaatttt!!!” Aries bersuaha bangkit. Ia harus menuntaskan dendam ini. Cengkraman lemah di seragam putihnya yang telah ternoda merah mengurungkan langkahnya.
“Jangan!” Suara Septi terdengar lemah. Ia berusaha membuka mata zaitunnya yang cemerlang. Namun, Aries tak menemukan cahaya di sana. Gadis itu berusaha mengukir sebuah senyuman, tetapi tak sempurna simetris. “Aries, setelah ini tinggalkan semua peperangan. Zeus pun merasa terluka dan bersalah atas kematianku. Kau punya pilihan Aries!”
Ah… dalam situasi seperti ini pun gadis itu masih berceloteh tentang Zeus. Namun, Aries tak dapat membantah. Sekuat apapun gadis itu berusaha tersenyum dan membuka matanya, tetapi energinya susut sudah. Tangannya yang mencengkram seragam putih Ares perlahan jatuh tanpa energi.
Zeus memperlakukanmu terlalu keji. Tega sekali membiarkan kau tersesat di sini.
* * * *