“Nanti kau jangan
bekerja dengan para tikus, Bujang,” emak
memasangkan topi segi lima di kepala Burhan. Kuncir dari benang wol dirapikan
di sebelah kiri. Beberapa jam lagi rektor akan memindahkan kuncir itu ke
sebelah kanan dan Burhan akan resmi menyandang gelar sebagai seorang sarjana
hukum. “Kau bukan hanya akan bau tikus,
tetapi juga akan menjadi seperti mereka,” lanjut emak sambil
menepuk-nepuk pundak Burhan.
“Ah, Emak, mana ada pula
tikus mau membuka lowongan kerja. Kalaupun ada, tak akanlah dia sanggup
membayar gaji untuk seorang sarjana hukum seperti anak bujang mamak ni,” Burhan tersenyum menggoda. Emak
merengut marah sambil mencubit pipi anak bujangnya. Ia memastikan sekali lagi
bahwa toga wisuda putra sulungnya itu dalam keadaan sempurna. Rona wajahnya tak
mampu menyembunyikan kebanggaan pada putranya itu.
“Kau tahu, Bujang?
Lubang tikus itu tersembunyi dibalik rumput. Kecil, tetapi dalam. Hitam dan
gelap, tak peduli siang atau malam. Seorang ahli agama, ahli ibadah, bahkan
seorang profesor pun dapat terperosok ke dalamnya. Sekali kau terperosok, kau
tak akan sanggup keluar lagi karena kakimu akan
patah terjepit di lubang sempit mereka. Kalaupun kau sanggup keluar,
pastilah kau akan berjalan pincang dan tubuhmu itu akan tercemar aroma busuk
mereka.”
Burhan hanya tesenyum
dan menggelengkan kepala mendengar petuah emak. Ia mematut dirinya sekali lagi
di depan cermin meskipun tahu bahwa hal itu tak perlu ia lakukan karena emak
sudah memastikan sejak tadi bahwa ia telah tampil sempurna. Meskipun hanya
menanggapi kalimat emaknya dengan senyuman, mau tidak mau ia harus mengakui
bahwa kata-kata tadi mengendap di kepalanya. Emaknya yang hanya lulusan SD itu
memang senang berfilosofi. Mak… anak bujang kau ini seorang sarjana
hukum. Tak ‘kan lah aku menghinakan diri melupakan hukum yang bertahun-tahun
jadi santapan di bangku kuliahku itu, Burhan membatin saat menatap punggung
emaknya yang menghilang di balik pintu kamar.
* * *
Puluhan spanduk, ribuan
stiker, kartu nama, pamflet, kaos partai, dan berbagai atribut kampanye lainnya
berserakan di kamar Burhan. Emak menatap prihatin kamar anak bujangnya yang
berantakan. Burhan tekun menatap monitor komputer tuanya. Ia berkonsentrasi
penuh pada teks pidato yang akan disampaikannya dalam kampanye yang harus
dilakukannya.
“Sibuk sekali kau
sekarang, Bujang.” Burhan menghentikan
keasyikannya mengetik teks pidato yang
dipenuhi janji yang akan diumbar saat kampanye nanti. Ia mencoba tersenyum pada
emak yang duduk di tepi dipan sambil menatap atribut kampenye yang berserakan
di kamarnya. “Ah, Emak. Tidak sibuk sekali,
hanya sedikit sibuk saja.”
“Tak sayangkah kau pada
uang yang cuma dijadikan kertas-kertas begini, Bujang? Emak rasa lebih
bermanfaat kalau uang untuk kertas-kertas ini kau tambahkan untuk toko bapak
kau yang selama bertahun-tahun mengisi periuk nasi dapur kita itu.”
Burhan berpindah ke
samping emak, “Mak… ini bukan soal uang. Ini tentang kepedulian kita pada
negara. Burhan peduli hendak memperbaiki bangsa kita yang bobrok ini, Mak.
Bujang anak mamak ni, nak jadi wakil
rakyat. Duduk di parlemen bisa memudahkan untuk kita memperjuangkan hak-hak
masayarakat.”
Emak meremas jemari
Burhan sambil tersenyum dalam dan pekat. “Banyak yang sudah duduk di sana,
malah lupa berdiri, Bujang. Tak hanya lupa berdiri, mereka pun lupa pada dunia.
Emak lebih suka melihat kau membersihkan gorong-gorong di depan rumah kita ni atau mencebur di sungai seberang tu untuk membersihkan sampah. Lebih
jelas terlihat bahwa kau peduli dan berguna. Ingat Bujang, bekerja tu dimulai dengan karya dan tenaga kau
yang laki-laki ini. Bukan mengumbar janji-janji. Jangankan berjanji untuk
ratusan orang di luar rumah kita ni,
janji kau dengan mamak pun banyak yang belum sempat kau penuhi. Alangkah tak
eloknya harus mati terhimpit janji oleh lidah kita yang tak terpelajar ni.”
Burhan merasa pipinya
memerah dan pedas karena tamparan emak. Tidak dengan telapak tangannya yang
berkasih sayang itu, tetapi lewat kata-katanya. Emaknya yang hanya tamatan SD
itu berpikir begitu sederhana, tetapi sikapnya cukup untuk mengerdilkan Burhan
yang menghabiskan separuh usianya di bangaku sekolah untuk membaca ratusan buku
dari pakar ilmu pengetahuan dunia.
* * *
“Kau sudah besar,
Bujang. Tak perlu lagi rupanya emak membantu merapikan pakaianmu.”
Burhan tersenyum pendek
sambil meminum dengan cepat segelas teh yang terhidang di meja makan tanpa
sempat mencicipi sesendok pun nasi goreng yang sudah tersedia di sana. Emak
hanya pernah sekali membantunya merapikan jas kerjanya—saat pelantikannya
sebagai anggota dewan. Hari berikutnya, emak lebih banyak diam menunggu di meja
makan, tetapi hanya beberapa kali saja Burhan sempat menghabiskan pagi di meja
makan bersamanya.
Suara emak perlahan
menghilang dan senyap dari kehidupan Burhan. Tergantikan oleh hiruk-pikuk
program kerja, rapat, audiensi, dan sidang-sidang yang harus dihadirinya.
Kunjungan rutin mereka setiap Jum’at sore ke makam bapak sempurna tergantikan
oleh padatnya program kunjungan kerja dan studi banding yang harus Burhan
ikuti. Dunia Burhan dan emak perlahan berjarak oleh sekat imajiner yang
terbentuk oleh statusnya sebagai anggota dewan dan wakil rakyat.
“Bukankah, emak ni juga rakyat yang kau wakili di gedung
parlemen itu, Bujang? Kenapa jarang pula kau ajak emak kau ini bicara,
bagaimana kau bisa tau keinginan emak sebagai rakyat kalau kau sendiri tak
pernah sempat mengajak emak kau ini bicara. Jangan-jangan… kau pun tak punya
waktu bicara dengan ratusan rakyat yang kau wakili di kursi empuk kau itu,
Bujang.”
Untuk ke sekian kali,
kata-kata emak berhasil bersarang di ulu hati Burhan. Telak! Emak memang tak
perlu menamparnya dengan tangan atau menikamnya dengan belati, tetapi kata-kata
beliau selalu berhasil membuat waktu berhenti sejenak. Namun, sayang, saat itu
Burhan sedang sibuk menyeret koper besarnya menuju mobil mewah yang terparkir
di depan rumah. Satu jam lagi Burhan harus berangkat ke Venesia untuk studi
banding.
“Kau berendam saja di
sungai seberang rumah kita ni. Nanti
kepala bebal kau itu akan menemukan sendiri masalah sungai-sungai dangkal itu.
Setelah badan kau hampir beku berendam berhari-hari di sana, kau pun akan
temukan jalan keluar untuk sungai-sungai kita yang bau dan kotor itu. Kau tak
perlu melancong ke negeri orang hanya untuk belajar tentang sungai. Sungai di
negeri kita ni jauh lebih banyak
daripada negeri-negeri di benua seberang itu. Bodoh kali kau dan kawan-kawan kau—para anggota dewan itu—membuang banyak
uang cuma untuk belajar tentang sungai. Sibuk mengorek sungai di negeri orang,
sungai di depan rumah malah tak pernah diperhatikan.”
Burhan tahu emak mulai
kesal karena tak mendapat perhatiannya. Namun, ia terikat pada jadwal kerja
yang harus dipatuhi bersama. Ia mencium singkat punggung tangan emaknya, “Mak…
di meja kamar, ada Burhan tinggalkan amplop untuk kebutuhan sehari-hari. Emak
simpan saja sisanya. Kalau pun mau, emak boleh habiskan sesuka hati.” Burhan
tersenyum penuh kemenangan karena merasa kemarahan emak akan reda dengan amplop
tebal yang ditinggalkannya. Di dalam amplop itu juga ia selipkan sebuah cincin
berlian yang dulu pernah dijanjikan oleh lidah bengalnya, “Nanti, kalau Burhan dah jadi orang sukses, Emak akan Burhan belikan
cincin berlian. Biar tangan emak yang mulai keriput ni, jadi indah lagi.”
“Kau ambil saja amplop
duit kau itu, Bujang. Aku tak sudi…” kalimat emak berhenti karena Burhan telah
melaju dengan mobil mewahnya yang mengilat.
* * *
“Nah, ini proyek besar
Burhan. Menggunakan dana APBN ratusan milyar. Kami cuma butuh tambahan tanda
tangan kau untuk meloloskan proyek ini. Kau tenang saja, tanda tangan kau itu
mahal harganya. Kau cukup menghitung tiga jam dari sekarang dan rekening kau
otomatis akan terisi penuh.”
Burhan mengerutkan dahi
mendengar tawaran Handoko, rekan satu partainya.
“Cepat! Bus yang akan
mengantar wisata malam sudah nunggu dari tadi.” Bu Win yang bersanggul dan
berdandan menor mengingatkan mereka berdua yang sedang menikmati secangkir
kopi. Handoko dan Bu Win sudah menjabat sebagai anggota dewan untuk dua
periode. Burhan hanya menatap heran. Mereka baru mendarat dua jam yang lalu.
Alih-alih melakukan observasi dan studi banding, hal pertama yang mereka
lakukan malah berwisata malam. Burhan melangkah tak berselera.
Hampir tiga jam mereka
habiskan untuk berkeliling kota. Berfoto di taman-taman kota yang dihiasi lampu
warna-warni. Makan di restoran mewah. Menyaksikan konser musik yang
menghadirkan seorang penyanyi sopran terkenal. Untuk semua kesenangan di hari
pertama itu Burhan tak mengeluarkan uang sepeser pun. Semua sudah termasuk
dalam akomodasi perjalanannya. Saat perjalanan pulang menuju hotel, Handoko
kembali menyodorkan map yang berisi berkas-berkas yang membutuhkan tanda tangan
Burhan. Lelaki itu seperti sales obat yang begitu getol membujuk Burhan. Demi
menghentikan ocehan lelaki bertubuh gempal itu, Burhan mencoretkan sebuah tanda
tangan di berkas yang disodorkan padanya. Lubang
tikus itu tersembunyi dibalik rumput. Kecil, tetapi dalam. Hitam dan pekat, tak
peduli siang atau malam. Seorang ahli agama, ahli ibadah, bahkan seorang
profesor pun dapat terperosok ke dalamnya, suara emak menggema jelas di
telinga Burhan.
* * *
“…Sekali
kau terperosok, kau tak akan sanggup keluar lagi karena kakimu akan patah terjepit di lubang sempit mereka.
Kalaupun kau sanggup keluar, pastilah kau akan berjalan pincang dan tubuhmu itu
akan tercemar aroma busuk mereka.”
Burhan terbangun dari tidurnya.
Kalimat emaknya tiga tahun lalu beberapa jam sebelum mereka berangkat
menghadiri prosesi wisuda pengukuhan dirinya sebagai sarjana hukum kembali
terngiang di telinganya. Ia sudah mencoba memejamkan mata. Namun, tak sepicing
pun ia dapat tertidur. Diam-diam merapal doa agar suara emak berhenti menggema.
Telepon genggamnya tiba-tiba
bergetar. Sebuah pesan singkat dari operator bank ternama tertera di layar
teleponnya. Burhan membaca cepat pesan singkat itu. Ia terbelalak saat melihat
deretan angka yang telah masuk ke rekening pribadinya.
“Mak…” Burhan memanggil
emaknya, lupa bahwa ia sedang berada ribuan kilometer dari kamar emaknya.
Tangannya gemetar memegang telepon genggamnya. “Nanti kau jangan bekerja dengan para tikus, Bujang.” suara emak
begitu lantang di kepalanya.
Telepon genggam di
tangan Burhan terlepas. Ia melihat bulu-bulu halus dan hitam tumbuh perlahan
merayap di seluruh permukaan tubuhnya. Kulitnya perlahan menikus. Kukunya berubah tajam, menikus.
Matanya perih dan memerah—menikus.
Bahkan ia dapat mencium bau tubuhnya sendiri yang begitu memuakkan. Itu jelas
bau seekor tikus yang tak tau malu. Bau yang amat laknat bagi emaknya. Burhan
melompat kaget saat sebuah buntut panjang dan runcing menyembul dari balik
punggungnya. Ia sempurna menikus.
Tikus paling menjijikkan. Hal yang paling dibenci emaknya.
“Kau
bukan hanya akan bau tikus, tetapi juga
akan menjadi seperti mereka.”
“Mak….” Burhan
mencicit. Malu memandang dirinya sendiri.
* * *