Rabu, 01 Mei 2013

TIKUS


“Nanti kau jangan bekerja dengan para tikus, Bujang,”  emak memasangkan topi segi lima di kepala Burhan. Kuncir dari benang wol dirapikan di sebelah kiri. Beberapa jam lagi rektor akan memindahkan kuncir itu ke sebelah kanan dan Burhan akan resmi menyandang gelar sebagai seorang sarjana hukum. “Kau bukan hanya akan bau tikus,  tetapi juga akan menjadi seperti mereka,” lanjut emak sambil menepuk-nepuk pundak Burhan.
“Ah, Emak, mana ada pula tikus mau membuka lowongan kerja. Kalaupun ada, tak akanlah dia sanggup membayar gaji untuk seorang sarjana hukum seperti anak bujang mamak ni,” Burhan tersenyum menggoda. Emak merengut marah sambil mencubit pipi anak bujangnya. Ia memastikan sekali lagi bahwa toga wisuda putra sulungnya itu dalam keadaan sempurna. Rona wajahnya tak mampu menyembunyikan kebanggaan pada putranya itu.
“Kau tahu, Bujang? Lubang tikus itu tersembunyi dibalik rumput. Kecil, tetapi dalam. Hitam dan gelap, tak peduli siang atau malam. Seorang ahli agama, ahli ibadah, bahkan seorang profesor pun dapat terperosok ke dalamnya. Sekali kau terperosok, kau tak akan sanggup keluar lagi karena kakimu akan  patah terjepit di lubang sempit mereka. Kalaupun kau sanggup keluar, pastilah kau akan berjalan pincang dan tubuhmu itu akan tercemar aroma busuk mereka.”
Burhan hanya tesenyum dan menggelengkan kepala mendengar petuah emak. Ia mematut dirinya sekali lagi di depan cermin meskipun tahu bahwa hal itu tak perlu ia lakukan karena emak sudah memastikan sejak tadi bahwa ia telah tampil sempurna. Meskipun hanya menanggapi kalimat emaknya dengan senyuman, mau tidak mau ia harus mengakui bahwa kata-kata tadi mengendap di kepalanya. Emaknya yang hanya lulusan SD itu memang senang berfilosofi.  Mak… anak bujang kau ini seorang sarjana hukum. Tak ‘kan lah aku menghinakan diri melupakan hukum yang bertahun-tahun jadi santapan di bangku kuliahku itu, Burhan membatin saat menatap punggung emaknya yang menghilang di balik pintu kamar.
* * *
Puluhan spanduk, ribuan stiker, kartu nama, pamflet, kaos partai, dan berbagai atribut kampanye lainnya berserakan di kamar Burhan. Emak menatap prihatin kamar anak bujangnya yang berantakan. Burhan tekun menatap monitor komputer tuanya. Ia berkonsentrasi penuh pada teks pidato yang akan disampaikannya dalam kampanye yang harus dilakukannya.
“Sibuk sekali kau sekarang, Bujang.”  Burhan menghentikan keasyikannya mengetik  teks pidato yang dipenuhi janji yang akan diumbar saat kampanye nanti. Ia mencoba tersenyum pada emak yang duduk di tepi dipan sambil menatap atribut kampenye yang berserakan di kamarnya. “Ah, Emak. Tidak sibuk sekali, hanya sedikit sibuk saja.”
“Tak sayangkah kau pada uang yang cuma dijadikan kertas-kertas begini, Bujang? Emak rasa lebih bermanfaat kalau uang untuk kertas-kertas ini kau tambahkan untuk toko bapak kau yang selama bertahun-tahun mengisi periuk nasi dapur kita itu.”
Burhan berpindah ke samping emak, “Mak… ini bukan soal uang. Ini tentang kepedulian kita pada negara. Burhan peduli hendak memperbaiki bangsa kita yang bobrok ini, Mak. Bujang anak mamak ni, nak jadi wakil rakyat. Duduk di parlemen bisa memudahkan untuk kita memperjuangkan hak-hak masayarakat.”
Emak meremas jemari Burhan sambil tersenyum dalam dan pekat. “Banyak yang sudah duduk di sana, malah lupa berdiri, Bujang. Tak hanya lupa berdiri, mereka pun lupa pada dunia. Emak lebih suka melihat kau membersihkan gorong-gorong di depan rumah kita ni atau mencebur di sungai seberang tu untuk membersihkan sampah. Lebih jelas terlihat bahwa kau peduli dan berguna. Ingat Bujang, bekerja tu dimulai dengan karya dan tenaga kau yang laki-laki ini. Bukan mengumbar janji-janji. Jangankan berjanji untuk ratusan orang di luar rumah kita ni, janji kau dengan mamak pun banyak yang belum sempat kau penuhi. Alangkah tak eloknya harus mati terhimpit janji oleh lidah kita yang tak terpelajar ni.
Burhan merasa pipinya memerah dan pedas karena tamparan emak. Tidak dengan telapak tangannya yang berkasih sayang itu, tetapi lewat kata-katanya. Emaknya yang hanya tamatan SD itu berpikir begitu sederhana, tetapi sikapnya cukup untuk mengerdilkan Burhan yang menghabiskan separuh usianya di bangaku sekolah untuk membaca ratusan buku dari pakar ilmu pengetahuan dunia.
* * *
“Kau sudah besar, Bujang. Tak perlu lagi rupanya emak membantu merapikan pakaianmu.”
Burhan tersenyum pendek sambil meminum dengan cepat segelas teh yang terhidang di meja makan tanpa sempat mencicipi sesendok pun nasi goreng yang sudah tersedia di sana. Emak hanya pernah sekali membantunya merapikan jas kerjanya—saat pelantikannya sebagai anggota dewan. Hari berikutnya, emak lebih banyak diam menunggu di meja makan, tetapi hanya beberapa kali saja Burhan sempat menghabiskan pagi di meja makan bersamanya.
Suara emak perlahan menghilang dan senyap dari kehidupan Burhan. Tergantikan oleh hiruk-pikuk program kerja, rapat, audiensi, dan sidang-sidang yang harus dihadirinya. Kunjungan rutin mereka setiap Jum’at sore ke makam bapak sempurna tergantikan oleh padatnya program kunjungan kerja dan studi banding yang harus Burhan ikuti. Dunia Burhan dan emak perlahan berjarak oleh sekat imajiner yang terbentuk oleh statusnya sebagai anggota dewan dan wakil rakyat.
“Bukankah, emak ni juga rakyat yang kau wakili di gedung parlemen itu, Bujang? Kenapa jarang pula kau ajak emak kau ini bicara, bagaimana kau bisa tau keinginan emak sebagai rakyat kalau kau sendiri tak pernah sempat mengajak emak kau ini bicara. Jangan-jangan… kau pun tak punya waktu bicara dengan ratusan rakyat yang kau wakili di kursi empuk kau itu, Bujang.”
Untuk ke sekian kali, kata-kata emak berhasil bersarang di ulu hati Burhan. Telak! Emak memang tak perlu menamparnya dengan tangan atau menikamnya dengan belati, tetapi kata-kata beliau selalu berhasil membuat waktu berhenti sejenak. Namun, sayang, saat itu Burhan sedang sibuk menyeret koper besarnya menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah. Satu jam lagi Burhan harus berangkat ke Venesia untuk studi banding.
“Kau berendam saja di sungai seberang rumah kita ni. Nanti kepala bebal kau itu akan menemukan sendiri masalah sungai-sungai dangkal itu. Setelah badan kau hampir beku berendam berhari-hari di sana, kau pun akan temukan jalan keluar untuk sungai-sungai kita yang bau dan kotor itu. Kau tak perlu melancong ke negeri orang hanya untuk belajar tentang sungai. Sungai di negeri kita ni jauh lebih banyak daripada negeri-negeri di benua seberang itu. Bodoh kali kau dan kawan-kawan kau—para anggota dewan itu—membuang banyak uang cuma untuk belajar tentang sungai. Sibuk mengorek sungai di negeri orang, sungai di depan rumah malah tak pernah diperhatikan.”
Burhan tahu emak mulai kesal karena tak mendapat perhatiannya. Namun, ia terikat pada jadwal kerja yang harus dipatuhi bersama. Ia mencium singkat punggung tangan emaknya, “Mak… di meja kamar, ada Burhan tinggalkan amplop untuk kebutuhan sehari-hari. Emak simpan saja sisanya. Kalau pun mau, emak boleh habiskan sesuka hati.” Burhan tersenyum penuh kemenangan karena merasa kemarahan emak akan reda dengan amplop tebal yang ditinggalkannya. Di dalam amplop itu juga ia selipkan sebuah cincin berlian yang dulu pernah dijanjikan oleh lidah bengalnya, “Nanti, kalau Burhan dah jadi orang sukses, Emak akan Burhan belikan cincin berlian. Biar tangan emak yang mulai keriput ni, jadi indah lagi.”
“Kau ambil saja amplop duit kau itu, Bujang. Aku tak sudi…” kalimat emak berhenti karena Burhan telah melaju dengan mobil mewahnya yang mengilat.
* * *
“Nah, ini proyek besar Burhan. Menggunakan dana APBN ratusan milyar. Kami cuma butuh tambahan tanda tangan kau untuk meloloskan proyek ini. Kau tenang saja, tanda tangan kau itu mahal harganya. Kau cukup menghitung tiga jam dari sekarang dan rekening kau otomatis akan terisi penuh.”
Burhan mengerutkan dahi mendengar tawaran Handoko, rekan satu partainya.
“Cepat! Bus yang akan mengantar wisata malam sudah nunggu dari tadi.” Bu Win yang bersanggul dan berdandan menor mengingatkan mereka berdua yang sedang menikmati secangkir kopi. Handoko dan Bu Win sudah menjabat sebagai anggota dewan untuk dua periode. Burhan hanya menatap heran. Mereka baru mendarat dua jam yang lalu. Alih-alih melakukan observasi dan studi banding, hal pertama yang mereka lakukan malah berwisata malam. Burhan melangkah tak berselera.
Hampir tiga jam mereka habiskan untuk berkeliling kota. Berfoto di taman-taman kota yang dihiasi lampu warna-warni. Makan di restoran mewah. Menyaksikan konser musik yang menghadirkan seorang penyanyi sopran terkenal. Untuk semua kesenangan di hari pertama itu Burhan tak mengeluarkan uang sepeser pun. Semua sudah termasuk dalam akomodasi perjalanannya. Saat perjalanan pulang menuju hotel, Handoko kembali menyodorkan map yang berisi berkas-berkas yang membutuhkan tanda tangan Burhan. Lelaki itu seperti sales obat yang begitu getol membujuk Burhan. Demi menghentikan ocehan lelaki bertubuh gempal itu, Burhan mencoretkan sebuah tanda tangan di berkas yang disodorkan padanya. Lubang tikus itu tersembunyi dibalik rumput. Kecil, tetapi dalam. Hitam dan pekat, tak peduli siang atau malam. Seorang ahli agama, ahli ibadah, bahkan seorang profesor pun dapat terperosok ke dalamnya, suara emak menggema jelas di telinga Burhan.
* * *
“…Sekali kau terperosok, kau tak akan sanggup keluar lagi karena kakimu akan  patah terjepit di lubang sempit mereka. Kalaupun kau sanggup keluar, pastilah kau akan berjalan pincang dan tubuhmu itu akan tercemar aroma busuk mereka.”
Burhan terbangun dari tidurnya. Kalimat emaknya tiga tahun lalu beberapa jam sebelum mereka berangkat menghadiri prosesi wisuda pengukuhan dirinya sebagai sarjana hukum kembali terngiang di telinganya. Ia sudah mencoba memejamkan mata. Namun, tak sepicing pun ia dapat tertidur. Diam-diam merapal doa agar suara emak berhenti menggema.
Telepon genggamnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan singkat dari operator bank ternama tertera di layar teleponnya. Burhan membaca cepat pesan singkat itu. Ia terbelalak saat melihat deretan angka yang telah masuk ke rekening pribadinya. 
“Mak…” Burhan memanggil emaknya, lupa bahwa ia sedang berada ribuan kilometer dari kamar emaknya. Tangannya gemetar memegang telepon genggamnya. “Nanti kau jangan bekerja dengan para tikus, Bujang.” suara emak begitu lantang di kepalanya.
Telepon genggam di tangan Burhan terlepas. Ia melihat bulu-bulu halus dan hitam tumbuh perlahan merayap di seluruh permukaan tubuhnya. Kulitnya perlahan menikus. Kukunya berubah tajam, menikus. Matanya perih dan memerah—menikus. Bahkan ia dapat mencium bau tubuhnya sendiri yang begitu memuakkan. Itu jelas bau seekor tikus yang tak tau malu. Bau yang amat laknat bagi emaknya. Burhan melompat kaget saat sebuah buntut panjang dan runcing menyembul dari balik punggungnya. Ia sempurna menikus. Tikus paling menjijikkan. Hal yang paling dibenci emaknya.
“Kau bukan hanya akan bau tikus,  tetapi juga akan menjadi seperti mereka.”
“Mak….” Burhan mencicit. Malu memandang dirinya sendiri.
* * *

Diam


suatu hari unsur sadisme akan menyelinap dalam hidup kita
itu adalah saat kau dan aku bersepakat untuk saling melupakan
itu adalah saat kau dan aku bersepakat untuk diam
padahal kerinduan hingar-bingar menabuh genderang di rongga dada

SUARA


Sebentar lagi masa kampanye calon presiden akan berakhir. Kampanye yang gelar di lapangan-lapangan kampung makin ramai. Tim sukses para calon presiden menggelar acara besar yang mendatangkan artis dangdut dari ibu kota untuk menggoyang masyarakat hingga ke pelosok negeri. Janji manis dengan kadar gula tinggi berhamburan dari bibir para calon pemimmpin negeri. Tiba-tiba semua orang begitu pandai mengarang janji. Padahal dulu saat duduk di bangku sekolah, kepala mereka bebalnya minta ampun saat diminta membuat sebait pantun.
“Aku ndak bakal mau dateng ke acara kampanye kampungan seperti itu!” Mbah Suryo—veteran perang—bersikeras. “Jangankan ikut kampanye yang isinya cuma goyang dangdut sambil dengerin mereka obral janji murahan, ikut pemilu pun aku ndak mau!” tegas Mbah Suryo sambil menyesap pipa rokoknya.
Ndak boleh gitu tho, Mbah. Suara si Mbah di pemilu itu penting, lho, Mbah.”
“Karena tahu suaraku itu penting, aku ndak mau memakai hak pilihku untuk milih para pembohong dan calon koruptor sebagai pemimpin!”
Handoko, salah seorang tim sukses dari Partai Beras Ketan, mengerutkan dahi mendengar jawaban Mbah Suryo. “Waduuhh… Mbah jangan berburuk sangka gitu dong, Mbah.”
“Berburuk sangka bagaimana? Yang aku bilang, bener tho? Coba kamu inget-inget, partai mana yang ndak pernah tersangkut kasus korupsi? Ndak ada, tho. Nah, partai  yang calon presidennya terpilih di pemilu, korupsinya bakal makin huebat!!! Termasuk kamu itu, Ko!!”
Wajah Handoko memerah seketika saat mendengar pembelaan Mbah Suryo. Ia langsung meninggalkan lelaki delapan puluh tahun itu tanpa terlebih dahulu mengucapkan permisi. Mbah Suryo hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Handoko.
* * * *
Empat hari lagi pemilu presiden akan digelar. TPS-TPS mulai disiapkan. Tenda-tenda besar mulai didirikan dan kursi-kursi disiapkan agar semua warga bersemangat menggunakan hak pilih mereka. Mbah Suryo hanya mengamati kesibukan menjelang pesta demokrasi itu. Ia memilih menyibukkan dirinya merawat sepeda ontel tua yang usianya hampir sama persis dengan usia kemerdekaan bangsa ini. 
Dua orang lelaki berpakaian rapi dengan sepatu mengilat datang bertamu ke rumah Mbah Suryo. Setelah mempersilakan kedua tamu itu duduk dan menyediakan dua gelas air putih dingin dari kendi di meja, Mbah Suryo kembali sibuk dengan sepeda ontelnya. Tanpa sedikit pun niat menanyakan maksud kedua tamu itu. “Aku beli sepeda ini dari warisan ladang jagung almarhum bapakku. Sepeda ini pernah kupakai saat perang kemerdekaan. Pernah juga untuk membonceng almarhum ibu untuk berobat. Sayang waktu itu aku ndak punya cukup uang untuk membawa ibu ke puskesmas, di tangan dukun kampung penyakit ibu tidak bisa ditangani dengan baik. Aku bahkan terlalu sayang untuk menggadaikan sepeda ini,” air mata menggenang di wajah Mbah Suryo saat ia bercerita tentang kisah panjang sepeda ontel tua itu. “Sepeda ini juga yang mengikat banyak kenanganku dengan Diajeng Retno. Sepeda ini jauh lebih berharga dari sepetak sawah di belakang itu.” Mbah Suryo bercerita pada kedua tamunya, tanpa peduli apakah didengarkan atau tidak oleh kedua tamu parlente itu.
Mbah Suryo terus mengusap setiap inchi batangan besi sepeda ontel yang asli produksi Belanda tahun 1942. Ia menambahkan pelumas di stang, gear, dan rantai sepeda sambil mendendangkan tembang kinanthi.
“Kami ke sini…”
“Aku sudah tahu,” potong Mbah Suryo tanpa mengalihkan sedikit pun perhatian dari sepeda tuanya. “Kalian mau memintaku memilih calon presiden dari partai kalian, tho?
Lelaki yang berambut ikal tebal mengangguk sambil tersenyum. “Iya, betul, Mbah. Kalau Mbah memilih kandidat presiden dari partai kami, orang-orang kampung sini pasti ngikutin pilihan, Mbah Suryo. Mereka lebih mendengar suara Mbah Suryo daripada kampanye yang kamarin-kemarin. Kalau Mbah bersedia memilih presiden dari partai kami, apa pun yang Mbah pinta, akan kami beri Mbah.”
Mbah Suryo terkekeh. “Semprul!!!” ujarnya sambil menoyor dahi kedua orang itu bergantian. “Belum terpilih jadi presiden aja, kerja kalian sudah ndak bener!!! Apalagi kalo sudah kepilih, makin ndablek otak kalian!”
“Mbah… ayolah… Bantu kami, Mbah…”
Mbah Suryo menggeleng. “Aku baru mau milih presiden kalo mereka bersedia nerima gaji sebesar gaji pensiunku yang setiap bulan cuma empat ratus ribu! Diambil ngantri di kantor pos. Pas diterima, duitne lecek dan busuk! Ada yang mau? Itu gajiku selama puluhan tahun setelah bertaruh nyawa di bawah hujan peluru tentara Belanda. Ada calon presiden kalian mau hidup kere kayak aku iki?
Kedua tamu dari sebuah partai besar itu hanya saling pandang.  Mbah Suryo terkekeh melotot menatap mereka yang tampak kikuk.
Ndak bakal ada yang mau! Mau presiden dari partai mana pun, ndak ada yang mau cuma digaji segitu. Maunya gaji besaarrr… mobilne muahaalll… makanne uenak… korupsine segudaang… habis menjabat namane dicatat sebagai pahlawan di buku sejarah! Gitu tho? Ndak ada seorang pun calon presiden dan politikus koyo sampeyan-sampeyan iki yang bener-bener tulus mau berjuang membangun negoro iki seperti kami dulu yang cuma bermodal bambu runcing dan senjata rampasan.”
Akhirnya kedua tamu itu menyerah. Meskipun Mbah Suryo sudah menawari mereka agar meminum air kendi dingin itu terlebih dahulu, keduanya malah ngelonyor pergi. Gagal menjalankan misi membujuk Mbah Suryo.
* * * *
Di kampung Suka Bersama tak pernah ada teori pemilu berasaskan luber—langsung, umum, bebas, rahasia. Tidak ada yang rahasia di kampung ini. Yang ada adalah pilihan bersama berdasarkan pilihan Mbah Suryo. Kalau saja Mbah Suryo memilih Partai Cabe Bawang, seisi kampung akan memilih partai itu, tanpa terkecuali. Partai lain, silakan gigit jari. Sayangnya, sudah tiga kali pemilu, Mbah Suryo hanya menggelengkan kepala. Tak melangkahkan kaki sejengkal pun ke TPS. Pernah suatu waktu, kepala desa harus mendatangkan pimpinan KPUD untuk meminta warga segera memilih calon bupati pilihan mereka sebab hingga akhir masa pencoblosan tak ada satu pun warga yang mencoblos. Alasannya karena Mbah Suryo tidak menentukan pilihan.
Pemilu kali ini pun sangat merisaukan Kepala Desa Suka Bersama. Seandainya Mbah Suryo tidak ikut pemilu lagi, pemilihan presiden di Desa Suka Bersama akan kembali mencatat sejarah yang sama seperti saat pemilihan bupati lalu.
* * * *
Ayam belum ramai berkokok. Fajar baru akan merekah dua jam lagi. Namun, Mbah Suryo telah terbangun. Menghabiskan dua gelas air kendi lalu duduk di kursi goyang sambil menyesap tembakau dari pipa rokoknya. Di pangkuannya sebuah buku berbahasa Inggris terbuka begitu saja. Hari ini pesta demokrasi akbar empat tahunan akan digelar. Penduduk kampung akan berbondong-bondong datang ke TPS untuk mencoblos sepasang foto wajah pasangan calon presiden yang akan memimpin bangsa ini empat tahun ke depan. Bukan siapa yang akan menang dalam perhitungan suara nanti yang saat ini dipikirkan Mbah Suryo, melainkan setelah matahari terbit penduduk desa akan berbondong menemuinya. Bertanya tentang calon presiden pilihannya. Mereka menunggu Mbah Suryo menentukan pilihan untuk mereka ikuti secara massal. Bagi penduduk desa, Mbah Suryo memiliki mata batin yang tajam dan pertimbangan yang baik. Pilihan Mbah Suryo adalah pilihan bersama.
Suara pintu diketuk. Mbah Suryo tak menaruh curiga sedikit pun. Ia berjalan pelan untuk membukakan pintu. Dua orang laki-laki membawa dua kantong plastik putih bergambar Partai Bunga Matahari memasang wajah paling manis yang mereka miliki.
“Mau apa?”
“Ini untuk Mbah Suryo,” mereka menyerahkan dua bungkusan itu, “jangan lupa coblos presiden dari partai kami, ya, Mbah,” ujar mereka sambil menunjukkan foto wajah calon presiden yang mereka maksud.
Mbah Suryo menyambut dua kantong plastik yang diulurkan padanya. Ia duduk di muka pintu sambil membuka salah satu bungkusan. Aroma wangi beras kualitas terbaik menguar dari dalam kantong plastik tsb.. Mbah Suryo langsung mengikat lagi bungkusan itu baik-baik dan menyodorkan kembali bungkusan itu pada dua orang di hadapannya.
“Ambil! Berikan untuk calon presiden kalian itu!  Aku mau pilih dia kalau selama dia menjabat sebagai presiden, dia mau makan beras seperti ransum pensiunan yang kuterima setiap bulan. Ransum apek yang kadang sudah ulatan. Kalau dia mau makan beras seperti yang aku makan selama ini, aku pilih dia!” ujar Mbah Suryo tegas.
Mbah Suryo menutup pintu rumahnya. Air matanya menggenang. Teringat ransum pensiunannya yang selalu apek dan terkadang ulatan. Bahkan pernah, selama satu bulan penuh istrinya harus memasak ransum itu menjadi bubur asin agar cukup untuk dimakan sebulan penuh.  Ia bahkan pernah harus berpuasa di akhir bulan karena ransum dan uang pensiun sudah habis sebelum waktunya. Ada sakit di rongga dadanya saat calon pemimpin negara ini malah menyodorkan satu kilogram beras wangi hanya untuk dipilih menjadi seorang presiden. Dulu Mbah Suryo juga ingin membangun bangsa ini, ia tak meminta gaji. Malah menyerahkan nyawa demi nama dan bendera bangsa. Bagaimana dengan calon presiden kali ini? Mbah Suryo kesal. Menghisap rokoknya lebih dalam untuk meracuni kesal yang menggumpal di rongga dadanya.
* * * *
Selepas subuh, beberapa orang mendatangi rumah Mbah Suryo. Mengetuk pintu dan menunggu beberapa saat. Namun, Mbah Suryo sama sekali tak berniat membukakan pintu seperti yang selama ini ia lakukan untuk para tamunya. Mbah Suryo malah berdiri terpekur di depan lemari pakaian. Di sana masih tersimpan rapi baju yang dulu pernah dipakainya berjuang dan sobek jahitan di bagian bahu. Dulu, ada sebuah peluru yang menembus baju itu  dan hingga kini peluru itu masih bersarang di bahu Mbah Suryo. Tak ada rumah sakit yang bersedia membantunya mengelurkan peluru itu karena Mbah Suryo tak mampu membayar biaya operasi. Peluru  itu membuat tangan kiri Mbah Suryo tampak cacat. Itu adalah prasasti sejarah di dirinya.
Pukul tujuh pagi TPS mulai ramai. Pemilu telah resmi dimulai. Namun, tak satu pun warga bergerak ke bilik suara untuk mencoblos salah satu foto pasangan calon presiden. Membuat bingung para petugas TPS, saksi-saksi, dan pemantau pelaksanaan pemilu. Namun, tiba-tiba warga yang sudah mendatangi TPS berdiri dan menatap ke ujung jalan.
“Mbah Suryo datang,” seru salah seorang petugas keamanan.
Mbah Suryo berjalan tertatih dengan sandal jepit tipis, sepan tua yang telah memudar warnanya, dan kemeja tipis yang berlubang di bahu kiri. Kali ini ia tak ditemani sepeda ontelnya yang setia. Namun, ada sesuatu yang lain di tangan kanannya. Sebuah bambu kuning yang diruncingkan ujungnya.
Ketua TPS menyambut kedatangan Mbah Suryo dengan wajah sumringah. “Mbah Suryo sudah mau ikutan mencoblos?” tanyanya dengan suara riang.
Mbah Suryo menatap satu persatu wajah yang ada di TPS itu. Ia mengenal sebagian besar pemilik wajah yang berada di sana. Ia juga menatap tajam wajah tim sukses dari beberapa pasangan calon presiden. Mereka menundukkan kepala saat beradu tatap dengan Mbah Suryo.  Ia masih mengingat dengan jelas wajah beberapa orang yang pernah menemuinya secara langsung.
“Aku mau mencoblos,” Ujar Mbah Suryo dengan suara bergetar. “Tapi… aku mau mencoblos jantung dan hati nurani mereka…”  Mbah Suryo menunjuk foto pasangan calon presiden dengan bambu runcingnya.
Ketua TPS tertunduk. Tampaknya pemilu kali ini harus tertunda (lagi).
* * * *

Surat buat Alisha


Seperti biasa, setiap pagi Alisha telah duduk di atas batu besar yang mencuat di tengah-tengah kebun teh yang menghijau di kaki Dempo. Ia tak butuh senter atau lentera untuk menerangi langkahnya menyusuri jalan setapak menuju batu hitam besar itu karena ia sudah terbiasa dengan gelap. Ia pun tak butuh teman untuk menuntun langkahnya karena sudah begitu terbiasa sendiri. Ia bahkan tak butuh tangga untuk memanjat batu bulat besar setinggi kepalanya itu. Kaki-kakinya sudah sangat terlatih mencari pijakan untuk memanjat batu besar itu. Di atas batu besar itu, berbalut sweater tebal dan syal yang melingkar di leher, ia menyaksikan langit perlahan merekah dengan cahaya keemasan. Di atas batu besar itu, ia selalu menunggu matahari menghangatkan wajahnya dan membiarkan angin menerbangkan helai-helai rambutnya.
“Ah… aku kalah lagi.”
Alisha terkejut saat tiba-tiba ada suara laki-laki di dekatnya. Hari tentu masih gelap sebab Alisha belum merasakan sengatan cahaya di wajahnya. Tak ada pula cicit pipit di sekitarnya. Ia menebak-nebak, siapa pula yang pagi-pagi begini berniat menyabotase kemesraannya dengan matahari. Ia menoleh mencari sumber suara, tetapi tak berniat bertanya sepatah kata pun.
“Padahal aku sudah merencanakan hendak menyaksikan sunrise dari batu besar ini. Tampaknya aku bangun kalah pagi darimu.” Laki-laki itu terkekeh.
Alisha hanya tersenyum singkat padanya. Lalu kembali memalingkan wajahnya, seolah tak hendak kehilangan momen sedetik pun untuk menyaksikan matahari memanjat kaki langit dari balik Bukit Barisan yang berjajar di depannya. Meskipun setiap hari menyaksikan matahari merayap naik, Alisha tak juga bosan menatap rekahan cakrawala kuning keemasan di seberang sana. Meskipun yang dilihatnya adalah matahari yang sama seperti ribuan tahun lalu, Alisha tak pernah bosan menanti kedatangannya.
Alisha tahu, lak-laki itu ada di dekatnya. Ia bersandar di batu besar hitam yang di atasnya Alisha duduk mematung. “Kau tidak bangun kesiangan. Hanya saja, matahari itu tidak pernah tidur sehingga sering kali sepertinya ia terlalu cepat datang. Lihat saja, belum ada seorang pun pemetik teh yang datang ke sini.”
“Bagaimana kau tahu?” 
Alisha tersenyum. “Aku kenal suara mesin pemetik teh mereka,” Alisha merapatkan sweaternya, “dan sedikit membayangkan garis wajah mereka,” lanjutnya pelan seiring memudarnya senyum di bibirnya.
“Aku Rahardian.”
Alisa mengangguk sambil tersenyum. Mengabaikan uluran tangan lelaki itu, “Alisha,” jawabnya singkat.
* * * *
Sejak pagi itu ada yang sedikit berubah. Alisha harus berbaik hati menggeser duduknya karena ada seseorang yang juga ingin menyaksikan matahari di atas batu hitam besar itu.  Ada harmoni lain yang didengarnya selain desau angin, cericit pipit, dan daun-daun teh yang berdansa, yakni detak jantung lelaki itu. Mereka jarang bicara. Menyaksikan matahari terbit adalah sebuah ritual magis bagi keduanya. Mereka seolah telah menyepakati sebuah perjanjian untuk menjemput matahari dengan cara masing-masing. Anehnya, diam adalah cara yang sama-sama mereka pilih hingga matahari menghangatkan wajah. Itu artinya sudah waktunya untuk meninggalkan batu hitam besar itu.
“Jangan lakukan itu,” Alisha menepiskan tangan Rahardian saat lelaki itu melambaikan tangannya tepat di depan wajah Alisha.
“Bagaimana kau tahu?” Alis lelaki itu berkerut. Ia merangkul kedua tungkainya.
Alisha terkekeh. “Aku tahu. Ada yang menghalangi cahaya matahari di pipiku.”
Rahardian mengangguk. “Apalagi yang kau suka dari tempat ini?”
“Ini kampungku. Aku mengenal setiap jengkal tempat ini. Aku mengenal mataharinya, bukit-bukit yang memagarinya, cemaranya, daun-daun tehnya, gemericik air yang mengalir deras dari Gunung Dempo dan bersatu di Sungai Lematang. Aku mengenal semua tempat ini sebaik aku mengenal diriku sendiri.
Rahardian mengangguk. “Tahukah kau warna mentari?”
Alisa menggeleng sambil tersenyum. Wajahnya bertatapan lurus dengan Rahardian. “Aku tahu. Matahari di sana orange kemerahaan saat langit mulai retak, perlahan-lahan ia akan kuning keemasan lalu membulat. Ia muncul dari bukit di depan sana,” Alisha menunjuk sebuah bukit di depan mereka, “seolah-olah ia bersembunyi di sana semalaman.”
Rahardian terpesona. Ada yang berteriak BINGO di kepalanya. Apa yang diuraikan Alisha sama persis seperti apa yang mereka nikmati selama sebulan terakhir—bersama-sama di atas batu besar hitam.
* * * *
“Kau sakit?” Alisha langsung menodongkan pertanyaannya saat ia mendengar jejak kaki di dekatnya.
“Bagaimana kau tahu bahwa aku yang ada di dekat batu ini?”
Alisha tersenyum. “Kau lupa bahwa kau memiliki teman yang memiliki radar di telinganya?”
Keduanya terkekeh.
Seminggu penuh Rahardian tak muncul untuk menyaksikan matahari terbit. Namun, Alisha tak pernah absen. Ia selalu datang dan memanjat batu hitam besar itu untuk menyaksikan matahari. Sebagian hatinya pernah bertanya tentang kepergian Rahardian. Namun, Alisha tak tahu harus mencari jawaban ke mana. Satu hal yang ia yakini, cepat atau lambat Rahardian akan kembali memanjat batu hitam besar itu dan duduk bersamanya untuk menjemput matahari. Ia yakin bahwa setiap orang akan jatuh cinta dengan matahari yang terbit dari balik Bukit Barisan. Tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta pada kolaborasi antara langit, kabut, dan matahari kuning emas di kaki Gunung Dempo.
“Ada yang aneh,” ujar Alisha saat matahari sudah terasa hangat di pipinya—saatnya mereka beranjak dari batu hitam besar itu.
“Apa?”  Rahardian mengulurkan tangan untuk membantu Alisha turun.
“Detak jantungmu.”
“Benarkah?” Rahardian menautkan alisnya.
Alisha mengangguk. Aku merasa ritme jantungmu sedikit berbeda juga tarikan napasmu.”
“Kau pernah memeriksaku dengan stetoskop tanpa sepengetahuanku?”
Alisha menggeleng. Ia tersenyum dan melangkah mendahului Rahardian. Mereka menyusuri jalan setapak di antara rumpun-rumpun teh. “Telingaku lebih sensitif daripada stetoskop canggih milik para dokter dari kota itu.”
Rahardian mengangguk. Mau tidak mau ia harus mengakui kelebihan gadis itu.
“Boleh aku bertanya sesuatu?”
Alisha mengangguk. Mereka berjalan bersisian.
“Sejak kapan kau..em… um…  buta, Alisha?” Rahardian bertanya ragu.
“Sejak usiaku empat tahun,” jawab Alisha lugas tanpa merasa tersinggung sedikit pun atas pertanyaan itu. “Ada virus yang menyerang mataku dan terlambat untuk diobati secara medis.”
“Kau ingin dapat melihat lagi?”
Alisha berhenti melangkah. Ia menoleh dan menatap lurus wajah Rahardian. “Dulu… dulu sekali. Namun, sekarang dengan atau tanpa memiliki mata, aku tetap dapat menikmati keindahan alam. Bahkan, tanpa kedua mata ini, aku lebih peka pada keindahan yang sering kali terabaikan dan dianggap tidak penting.”
Rahardian mengangguk.  “Maafkan aku, Alisha,” bisiknya lirih.
Alisha tersenyum, “Tak perlu minta maaf. Aku tidak merasa ada yang salah dengan pertanyaanmu itu. Bukankah kita teman?”
Rahardian mengangguk. Ia tersenyum lalu meraih jemari Alisha. Ia memerangkap jemari lentik itu dalam genggamannya. Mereka berjalan bersisian.
“Kau baik-baik saja?”
Rahardian mengangguk. Namun, ada nyeri di dadanya yang ia coba kendalikan. “Ada yang ingin kuberi tahu padamu.”
“Apa?” tanya Alisha tanpa menghentikan langkahnya.
“Kau cantik!”
Pipi Alisha memerah. “Aku tidak tahu,” jawabnya singkat.
“Kau bahagia?”
Alisha mengangguk. “Apa yang kau rasakan?”
Rahardian menatap jemari mereka yang bergenggaman. “Sepi.”
“Mengapa?”
“Ya, sepi. Sepi itu seperti saat ini. Sepi itu adalah kau bercerita dan tertawa sambil menggenggam jemariku, tapi tak kutemukan rindu di matamu.”
Alisha tertunduk sesaat kemudian ia mencoba tersenyum. “Kau tahu aku punya keterbatasan. Biarkan aku yang menemukan kerinduan di matamu. Rinduku kusimpan di sini,” Alisha menunjuk dada Rahardian dengan telunjuknya.
* * * *
Mamak memeluk Alisha dengan erat. Ia menangis terisak. “Cepatlah Alisha, sudah ada donor mata untukmu. Kita ke rumah sakit sekarang.”
Alisha tak sempat bertanya apa pun sebab mamak dan beberapa kerabatnya yang lain telah menyeretnya memasuki mobil carteran menuju rumah sakit. Penumpang mobil itu terlalu riuh oleh rasa gembira yang membuncah karena akhirnya setelah menunggu bertahun-tahun mereka menemukan pendonor untuk mata Alisha. Gadis itu ingin bertanya, tetapi semua orang lebih ingin merayakan kegembiraan ini daripada meladeni pertanyaannya yang pasti butuh penjelasan panjang.
Tiba-tiba, penantian selama bertahun-tahun tentang seorang pendonor mata untuknya usai dalam waktu lebih singkat dari sebuah mimpi. Mereka ke rumah sakit, observasi singkat, lalu operasi dilaksanakan. Singkat sekali. Setelah seminggu masa pemulihan, kamar Alisha dipenuhi kerabatnya dan tim medis. Mereka harap-harap cemas menantikan hasil operasi Alisha. Perban di mata Alisha akan di buka. Ia sungguh cemas. Namun, diam-diam ia telah menguatkan hatinya jika ternyata operasi itu gagal. Ia berjanji tak akan marah atau menangis. Bukankah selama bertahun-tahun ia sudah terbiasa dengan gelap. Tak jadi soal jika Tuhan masih memintanya untuk tetap tenang menikmati kegelapan sekali lagi.
Alisha membuka matanya perlahan. Awalnya, semua tampak samar dan menyilaukan. Dokter mengingatkannya untuk mengerjapkan matanya pelan-pelan. Lama kelamaan bayangan di depannya semakin jelas. Namun, ia tak mengenali seorang pun. Barulah ia bisa mengenal satu persatu orang-orang yang berkumpul itu setelah mereka bicara sebab selama bertahun-tahun Alisha hanya mengenal suara mereka. Ini adalah kali pertama ia melihat wajah para kerabatnya.
* * * *
Ini minggu ke tiga setelah operasi matanya. Alisha duduk sendiri setiap pagi di batu hitam besar yang terdapat di tengah-tengah kebun teh. Tiga minggu terakhir ini, ia menatap matahari kuning emas yang muncul malu-malu dari balik Bukit Barisan dengan kedua matanya. Ia bisa melihat burung-burung yang selama ini hanya ia kenali suaranya. Namun, sungguh, ia teramat ingin melihat wajah seseorang yang biasa duduk bersamanya di batu besar itu. Sudah tiga minggu berlalu, Rahardian belum juga menampakkan batang hidungnya.
Di akhir minggu ketiga itu, seseorang datang menemuinya di batu hitam besar itu. Namun, sayang, saat Alisha mendengar suaranya, ia yakin lelaki itu bukanlah Rahardian. Tebakannya benar karena lelaki itu tidak datang untuk menyaksikan matahari merayapi kaki langit bersamanya. Lelaki itu datang hanya untuk mengantarkan sebuah surat untuk Alisha.
Kaki Gunung Dempo, Penghujung 2012
Sungguh, menghabiskan waktu di kaki Gunung Dempo yang dikelilingi Bukit Barisan adalah hal terindah dalam hidupku. Sungguh indah karena di sana aku mengenalmu. Semakin indah karena aku semakin semangat menjemput matahari bersamamu. Namun, apalah artinya semangat yang kumiliki untuk menatap matahari setiap pagi jika ada sesuatu yang menggerogoti jantungku dan siap mematahkan langkahku menuju batu hitam besar itu.
Alisha… saat ini kuharap kau akan menyetujui kata-kataku dulu—Kau cantik. Kini kau pasti sudah bisa melihat bayanganmu sendiri di cermin dan di beningnya air Sungai Lematang. Kau sama cantiknya dengan matahari yang biasa kita jemput itu. Melihatmu dan melihat matahari kuning keemasan itu adalah alasan terbesarku datang ke batu hitam besar itu setiap pagi.
Alisha… kini kau tak perlu membaca dengan jemarimu. Kau sudah bisa membaca seperti gadis normal lainnya, dengan matamu. Semoga suratku adalah tulisan tangan pertama yang kau baca. Saat kau baca surat ini, aku yakin aku sudah tak ada lagi, Alisha. Surat ini adalah pertemuan terakhir kita. Aku tak akan pernah lagi menyaksikan matahari memanjat Bukit Barisan. Aku tak bisa memberimu kenangan apa pun sebagai tanda perpisahan kita. Kuberikan kedua bola mataku untukmu Alisha…

Sampai di sini, Alisha meremas surat itu. Air matanya runtuh.

Aku sangat ingin kau dapat melihat matahari merah seperti yang pernah kulihat. Aku sangat ingin kau dapat melihat hijaunya permadani hamparan daun teh di kaki Gunung Dempo seperti yang selalu kunikmati setiap pagi bersamamu dulu. Satu lagi, aku ingin kau dapat melihat prasasti namamu dan namaku di batu besar hitam yang biasa kita duduki.

Alisha tergugu.
“Bodoh! Kau selamanya melihat matahari merah, Rahardian. Kau selamanya selalu menyaksikan hamparan daun teh itu. Kau juga selamanya akan membaca berbagai tulisan tangan lainnya karena hari ini tetap yang bekerja untukku adalah mata pemberianmu. Bodoh! Kau bodoh, Rahardian!”
Air mata Alisha runtuh. Ia meraba permukaan batu besar yang biasa mereka duduki. Ia membaca dengan jemarinya ukiran nama yang dibuat Rahardian. Entah kapan ia membuatnya.
“Matahari… kau tahu, aku akan dipenuhi bongkahan kerinduan. Mata ini dipenuhi kerinduan untuk menatapnya. Mata ini juga yang dulu dipenuhi kerinduannya untuk menatapku. Kini, akan ada bongkahan keriduan baru di hatiku. Rindu untuk mendengar detak jantungnya. Lagi.”
* * * *

Ada namamu di setiap jejakku
kuharap ombak bersedia membantuku menghapusnya