Rabu, 06 Juli 2011

SERDADU KUMBANG: Film Sederhana yang Luar Biasa


Setelah sukses dengan film Denias: Senandung di Atas Awan, Liburan Seru, King, dan Tanah Air Beta (2010) Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale kembali menunjukkan duet maut mereka dalam film Serdadu Kumbang (2011). Film yang dirilis pada 16 Juni 2011 lalu ini berkisah tentang mimpi seorang anak berbibir sumbing di tanah Sumbawa. Sama seperti film-film garapan Alenia Production terdahulu, Serdadu Kumbang pun sarat dengan pesan-pesan moral dan pendidikan. Sepertinya, duet suami istri ini dalam dunia perfilman nasional memang spesialis dunia anak-anak dan pendidikan.
Film berdurasi 105 menit ini berkisah tentang tiga sahabat, yakni Amek (Yudi Miftahudin), Umbe (Aji Santosa), dan Acan (Fachri Azhari). Mereka bertiga adalah siswa sekolah dasar di Desa Mantar. Sebagai ketiganya tumbuh dengan kepolosan, kejahilan, dan kekritisan khas anak-anak. Mereka bertiga adalah biang kenakalan di kelas, tetapi juga sumber inspirasi yang mengajarkan kepedulian, rela bekorban, dan kejujuran. Tak jarang ketiganya harus menjalani hukuman dari seorang guru killer, Pak Halim (Lukman Sardi), yang terkenal tak pandang bulu dan tak kenal ampun dalam memberikan hukuman kepada para siswa yang melanggar aturan kedisiplinan yang diterapkannya. Namun, dibalik bayang-bayang kekerasan Pak Halim, ada Ibu Guru Imbok (Ririn Ekawati) dan Pak Openg (Leroy Osmani) yang selalu siap sedia membela Amek dan kawan-kawan. Amek adalah seorang anak yang menderita bibir sumbing. Kekurangannya ini membuat dia minder dari teman-temannya. Hal ini membuatnya menjadi satu-satunya anak yang tidak pernah berani memiliki cita-cita. Ia tak pernah menuliskan harapannya lalu memasukkannya ke sebuah botol dan menggantungkannya dengan sebuah tali ke pohon harapan. Pohon Harapan adalah sebuah pohon beringin tua yang berada di puncak bukit dan langsung menghadap ke laut lepas. Pohon itu memiliki akar yang kokoh dan dahan yang bercabang-cabang. Namun, tak memiliki sehelai daun pun. Di dahan pohon itu tergantung banyak botol yang berisi berbagai harapan dan cita-cita seluruh penduduk Desa Mantar.
Serdadu Kumbang begitu kental dengan pesan moral. Dalam film ini, Nia dan Ari berhasil mengangkat religiusitas masyarakat Sumba. Tokoh agama begitu dihormati dan diteladani. Papin yang diperankan oleh Putu Wijaya memiliki peran besar dan membentuk karakter masyarakat Desa Mantar. Gaya bicaranya yang halus selalu berhasil menyentuh anak-anak tanpa mereka pernah merasa dihakimi. Misalnya, pada saat Amek berbohong bahwa ia telah melaksanakan sholat Isya’, Papin dengan mudah dapat mengetahui kebohongan itu dengan bertanya tentang berita terbaru saat ini sebab beliau tahu bahwa Amek sangat senang menonton berita. Menyadari bahwa kebohongannya diketahui Papin, Amek tidak harus merasa tersudut, ia malah dengan berani mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
Ada banyak kritik-kritik pedas yang berhasil dirangkum dalam film ini. Tentang menyontek, kejujuran, persaudaraan, dan kasih-sayang. Semua itu disampaikan dengan cerdas kepada para penonton melalui dialog-dialog para tokohnya. Misalnya, pada saat Acan mengajak Amek dan Umbe memancing. Umbek sambil berkedip kepada Amek mengatakan bahwa lebih baik memancing saat purnama karena ikan akan lebih banyak. Pada hari yang ditentukan ketiganya membolos, Umbe merancang kebohongan apabila nanti mereka ditanya tentang ketidakhadiran mereka di sekolah. Umbe mengusulkan agar mereka membuat alasan sakit, tetapi Amek malah meminta mereka untuk berkata apa adanya. Mengatakan bahwa mereka bolos karena sebuah kebohongan pasti akan diikuti oleh kebohongan lainnya.
Film ini sangat bernas untuk dinikmati para guru, orang tua, anak-anak, menteri, hingga politikus, atau bahkan Presiden Indonesia. Dialog-dialog cerdas para tokoh dalam film ini berhasil menggelitik kesadaran kita tentang apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat grass root. Ternyata selama ini, sebagai orang tua, guru, teman sebaya, atau mungkin pengambil kebijakan, kita telah lalai memperhatikan hal-hal kecil yang merupakan kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh anak-anak Indonesia. Kita lalai melaksanakan peran seperti Papin (Putu Wijaya) yang menyampaikan nasihat kejujuran berdasarkan logika dan pemahaman anak-anak. Seperti ketika Amek dan kawan-kawan mencuri jeruk bali dari kebun warga yang terkenal pelit. Papin tidak memarahi mereka, tetapi juga tidak membenarkan perbuatan itu. Menurut Papin, mencuri sekecil apa pun adalah sebuah kesalahan sebab jika hari ini Amek berhasil mencuri jeruk, besok mungkin akan mencuri kambing, lusa akan mencuri kerbau, dan seterusnya mungkin akan mencuri tanah dan semua harta di Desa Mantar.
Produser, penulis skenario, hingga sutradara film ini tidak bermaksud memasukkan film ini dalam genre film religius seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, atau Dalam Mihrab Cinta, tetapi nilai religius dalam Serdadu Kumbang jauh melampaui semua pesan keagamaan yang sempat diusung oleh film-film religus sebelumnya meskipun tak ada satu pun dialog dalam film ini menukil ayat-ayat Al Qur’an. Jika saja tidak mengenal produser film ini sebelumnya, kita tidak akan pernah menyangka bahwa film ini diproduseri oleh seorang kristiani. Jika film Islami yang selama ini diproduksi selalu berkutat tentang cinta, kesalehan, dan ketuhanan, dalam film ini kesabaran yang lebih hakiki begitu kuat terlihat dari tokoh Amek. Ia adalah seorang anak kecil yang menderita bibir sumbing, ditinggalkan ayahnya yang menjadi TKI ke Malaysia, harus menempuh perjalanan puluhan kilometer ke kota demi membelikan es batu untuk ibunya yang berjualan es, menangis karena kuda kesayangannya disita orang, dan menanggung sedih karena kematian kakak tersayangnya. Kesabaran yang dicontohkan Amek dan film ini sungguh luar biasa.
Inilah, film sederhana, tetapi memiliki daya gugah luar biasa.

Jumat, 22 April 2011

ELEGI TEPIAN OGAN


Kabut asap di musim kemarau masih mengambang di atas perairan Sungai Ogan. Dingin suhu udara pagi hanya akan bertahan hingga pukul enam saja, selanjutnya perlahan-lahan akan terasa garang, seperti halnya karakter suhu di awal musim kemarau. Mentari di ufuk memancarkan cahaya kemerahan karena tertutup kabut asap hingga ke pangkal-pangkal cakrawala.
Badriah mendayung perahu jukungnya. Perlahan ia kendalikan laju perahu tua itu menuju patok-patok di pingir sungai. Setelah mendekat, ia letakkan dayung di geladak perahu dan mulai menarik jaring yang telah dipasangnya sejak sore kemarin. Beberapa ikan betok, sepat siam, patin, dan dua ekor ikan gabus yang besar tersangkut di jaringnya. Ia tersenyum girang melihat hasil tangkapannya pagi ini. Ikan-ikan itu diambilnya dan diletakkan di dalam sebuah ember yang telah disiapkannya. Reranting dan rumput yang turut tersangkut di jaring itu dibuangnya dengan telaten. Kemudian, ia mengatur letak jaring itu kembali. Ia kembali mendayung menuju jaring ikannya di tepian sungai yang lain. Beberapa kali ia lakukan hal serupa tadi, menarik jaring, mengumpulkan ikan-ikan, membuang sampah dan reranting, lalu memasang kembali jaring itu di tepi sungai.
Air sungai yang kuning itu beriak pelan saat perahu jukungnya bergerak di permukaan sungia itu.
"Tuhan… Kau dimani? Trime kaseh, ari ini banyak nia ikan kudapat…" ia bersyukur memantulkan sepenggal doa dari permukaan sungai sambil menengadah menatap langit yang berselimut kabut asap.
Matahari makin tinggi. Angkutan desa, mobil-mobil pribadi, motor, bentor, dan sepeda mulai lalu lalang menyemut di atas Jembatan Sakatiga. Badriah melintas di bawah jembatan sambil mendongakkan kepala. Tangannya sangat teratur memecah arus sungai dengan dayungnya, ia dapat merasakan getaran roda kendaraan dari atas jembatan itu. Dulu, kakeknya sering bercerita tentang jembatan tua itu. Saat jembatan itu belum di bangun, para tukang perahu sangat dibutuhkan untuk membantu menyeberang. Begitu pun mendiang kakeknya, beliau adalah salah seorang tukang perahu andalan di Desa Sakatiga. Kini hanya beberapa saja penduduk yang menggantungkan hidup dari mendayung perahu untuk menyebarangkan orang menuju Pasar Inderalaya. Lagi pula, tak banyak lagi orang mau bersusah-susah pergi ke pasar melalui sungai. Becak, bentor, motor, dan angkutan desa kini telah banyak dan menggantikan peran perahu-perahu tua itu. Jumlah mereka semakin melesat seiring tingginya minat masyarakat untuk berganti ke gaya hidup modern dan berklas. Perahu-perahu itu akhirnya tenggelam di tengah Sungai Sakatiga yang kian dangkal. Romantisme antara perahu jukung dengan Desa Sakatiga yang bersahaja akhirnya tertelan zaman.
"Badriaaaaaaaah……. Dapat ikannya????" Romlah berteriak dari atas jembatan.
Badriah mendongakkan kepala mencari pemilik suara yang sudah sangat dikenalnya. Ia menjawab pertanyaan Romlah dengan senyuman dan lambaian tangannya. Giginya yang rapi dan putih membuat senyumnya makin mempesona.
"Jangan lupaaa…. Tahun depan sekolah ya…..!!!" Teriak Romlah sambil melambaikan tangan. Gadis itu memakai putih biru dan tas hitam yang disandang di punggungnya, "aku pergi, ya…" teriaknya lagi sambil berlalu.
Badriah kembali melambaikan tangan dan melepaskan senyumnya.
“Yaaaaa. Hati-hati, Romlah. Petang gi bagi cerite lagi ngan aku.yeee” teriaknya.
Romlah menganggukkan kepala dan melangkah sambil berpegangan pada pagar pembatas jembatan yang dicat kuning dengan strip hitam sebagai variasinya.
Badriah melukis bayangannya di riak air Sungai Ogan. Lukisan sosoknya yang ringkih dengan seragam sekolah. Ya… hanya dengan seragam sekolah, lukisan dirinya itu hanya memakai seragam sekolah tanpa ada tas yang disandang di bahu atau di punggunnya, tidak juga sebuah buku yang didekap di dada. Umaknya hanya berjanji membayar uang sekolahnya bila tabungannya cukup, tanpa diembel-embeli janji membelikan buku dan tas sekolah. Ia sudah sangat bersyukur mamaknya yang telah renta menjalani hidup itu masih mau berjanji menyekolahkannya.
Badriah menepikan perahunya di tangga batu menuju Pasar Indralaya. Ini hari pertama kalangan di pekan ini. Dalam sepekan Pasar Inderalaya menggelar dua kali hari kalangan, Selasa dan Kamis. Walaupun setiap hari kegiatan di pasar itu berlangsung seperti halnya pasar-pasar lain, pada hari Selasa dan Kamis jumlah pedagang akan jauh lebih banyak dan pembeli juga lebih berlipat ganda. Mereka biasanya datang dari berbagai daerah di sekitar Palembang, Kabupaten Ogan Ilir, dan Kayu Agung.
Hari ini Badriah dengan semangat memulai harinya berjualan di pasar. Ia menurunkan ember dari atas perahu dan mengambil sebuah terpal plastik yang sudah disiapkannya dari rumah. Ikan-ikan hasil jaringnya akan dijual, kemudian dikumpulkan uangnya sebagai modal mendaftar sekolah.
"Aku mau masuk madrasah saja, Romlah. Biar aku tahu pasti Tuhan kite dimani?"
Romlah mengeluarkan ikan-ikannya yang segar dan menyusunnya dalam kelompok-kelompok ikan yang sejenis.
"Sekolah SMP lebih enak, Badriah. Nanti kupinjamkan buku-bukuku."
Badriah tersenyum. Dirapikannya dua puluh ekor ikan gabus segar dalam satu kelompok khusus.
"Idak, terime kaseh. Aku cuma nak tahu Tuhan ade dimani? Kate Nyai, Tuhan ade di ayek, di darat, di langit, juge di kepalak segale urang di dunie ni… Aku nak sekolah untuk belajar tentang Tuhan, Romlah."
Badriah membentang terpal plastik yang dibawanya sebagai alas duduk untuk berjualan. Ia tersenyum membayangkan harapannya selama ini akan segera menjadi kenyataan. Ia akan seperti semua anak gadis di kampungnya, juga anak gadis para guru dan dokter yang datang dari Palembang itu. Ia akan mengisi waktu paginya dengan mandi di sungai lalu memakai seragam sekolah, berjalan berombongan menuju sekolah mereka. Memakai baju lengan panjang dan rok panjang menuju madrasah. Menghafal surat-surat pendek dan hadist Arbain setiap hari lalu menyetorkannya kepada ustadz dan ustadzah di madrasah. Wow, Badriah dibakar kerinduan pada bangku madrasah yang makin tua karena terlalu lama menunggunya.
"Badriah! Umakmu nitipke duit cicilan utang dio dak?"
Badriah mendongakkan kepala mendengar sebuah suara berat dengan logat Palembang yang sangat kental menyebut namanya. Ia menatap sosok laki-laki yang berdiri di atas gelaran jualanannya. Tubuhnya bergetar saat memantang sosok tinggi besar di hadapannya.
Ini adalah kali ke sekian laki-laki itu menagih hutang umaknya pada dirinya. Untuk ke sekian kalinya pula ia hanya menggeleng dan menatap ketakutan pada laki-laki itu untuk menjawab pertanyaannya.
"Idak, Wak. Mamak belum ade duit…" jawabnya dengan suara bergetar.
Mata laki-laki itu berkilat mendengar jawaban Badriah. Ia melumat tubuh ringkih Badriah dengan matanya. Badriah gemetar merasakan pandangan lelaki kekar itu. Ia melantunkan segenggam doa. Lidahnya kelu dan tulang-belulangnya melemah, tak sanggup menopang tubuhnya yang berat dibebani ketakutan menatap laki-laki itu.
Seorang wanita paruh baya dengan kerudung coklat mendekat padanya. Ia bersyukur mendapati kedatangan wanita itu. Lelaki berkulit gelap di hadapannya menyingkir saat wanita itu berjongkok di hadapannya untuk memilih ikan yang ditawarkan Badriah.
“Banyak, i… ikanmu ari, ni. Aku ambek gabus due kilo.”
Ayek lagi besak, Bik. Alhamdulillah banyak juge aku dapat pagi, ni.”
Wanita itu mengangguk mendengar jawaban Badriah yang mulai memilih-milihkan ikan dan memasukkan ke dalam kantong plastik hitam. Ia berusaha melayani pelanggan pertamanya itu. Hanya beberapa menit wanita gemuk itu membeli ikan-ikannya yang masih segar itu. Badriah kembali tersenyum dan mengucapkan syukur meskipun ia merasakan getaran hebat sebab laki-laki itu masih berdiri di belakangnya.
Matahari telah hampir tinggi. Pasar itu makin ramai, telah banyak pula yang singgah pada lapak sederhana yang dibentang Badriah. Beberapa orang hanya melihat, menawar sedikit, lalu pergi begitu saja. Sebagian pelanggannya adalah orang-orang Kampung Sakatiga yang telah mengenal Badriah kecil yang mimpi melanjutkan sekolah ke madrasah. Mereka sengaja membeli ikan dari gadis kecil itu untuk membantu gadis itu mewujudkan mimpinya dan melanjutkan hidupnya dengan umaknya yang renta.
Jauh sebelum azan Zuhur, ikan yang dimiliki Badriah telah habis terjual. Ia menghitung uang hasil dagangannya, menyusunnya dengan rapi secara berkelompok, dan memasukkan lembaran-lembaran uang itu ke dalam kantong plastik sambil menggumamkan hamdalah. Ia melipat terpal plastik yang digunakannya sebagai alas untuk memajang ikan-ikannya dan alas duduknya. Ia masukkan terpal plastik tadi ke dalam ember.
Pasar semakin ramai, tetapi di sungguh sepi dan menakutkan bagi Badriah. Ia bergegas hendak kembali ke perahunya yang telah tua. Namun, ada perasaan berat bergantung di rongga dadanya, ditatapnya pasar itu lekat-lekat. Menikmati semua keramaian yang selama dua tahun ini telah sangat akrab dengan dirinya. Ia membalikkan badan lalu menatap hamparan Sungai Sakatiga yang tenang di tengah hari. Beberapa perahu bersandar di tepiannya, jukung Badriah terlihat amat kecil di antara perahu-perahu nelayan yang bersandar di sana. Di tatapnya perahu tua peninggalan almarhum ayahnya itu. Dihirupnya udara puas-puas mencari aroma keringat bapaknya yang memeras keringat hanya untuk sebuah perahu kecil itu.
Ia melangkah tergesa saat menuruni tangga menuju sungai tempat perahunya terikat. Namun, tiba-tiba tubuhnya terhuyung saat sebuah tangan kukuh menarik lengannya. Badriah tersentak. Tenaganya kalah kuat untuk menarik tangannya dan melepaskan cengkraman di tangannya. Bola matanya membulat besar saat menatap sosok gelap itu. Nafasnya tersengal, dadanya tiba-tiba terasa sesak dipenuhi aroma tubuh pemilik tangan itu. Pemilik tangan itu menyergapnya dan menyeretnya menuju jajaran WC umum yang terletak tak jauh dari tangga itu.
"Umak kau la lamo nian berutang dengan aku!! Ari ini aku nak nagih bayarannyo. Idak dengan duit kutageh dengan kau…!!!"
Laki-laki itu??? Badriah merasakan dunianya gelap. Ia mencari bumi untuk menapakkan kaki. Ia mencari langit untuk bertemu matahari. Ia mencari sungai untuk mewujudkan mimpi. Nihil. Ia tak menemukan apa-apa. Tiba-tiba semua terasa gelap dan menyesakkan. Udara tak bersisa untuknya, laki-laki itu menyesap semuanya. Diantara musholla yang sepi dan ditepian sungai yang membisu dan dingin. Laki-laki itu menyedot semua energi dan mimpi yang pernah ia miliki. Badriah tergagap mencari dirinya.
"Jangan lupaaa…. Tahun depan sekolah ya…..!!!"
Romlah… tunggu aku.
Angin terasa panas.
"Aku mau masuk madrasah saja, Romlah. Biar aku tahu pasti Tuhan kite dimani?"
Matahari? Matahari? Matahari mengapa berhenti bersinar?
"Sekolah SMP lebih enak, Badriah. Nanti kupinjamkan buku-bukuku."
Tidak! Aku tak perlu buku. Aku….
"Tidak, terime kaseh. Aku cuma nak tahu Tuhan ade dimani?"
Sungai kemana? Kering?
Tuhan… ada dimana? Tolong… tolong aku.
"Ria… Tuhan kete ade dimani-mani. Tuhan ade di ayek, di darat, juge di atas kepale segale urang di dunie ni…"
Nyai…. Katakan pada Tuhan aku mencari-Nya. Tuhan… mana tangan-Mu??? Tuhan… ayo tolong aku… Tuhan, kemana sungaiku, tolong basahi aku.
“Agek, kite beli baju seragam. Kau kumpulkelah duit dari bejualan. Kite sekolah taun depan.”
Umak… dimane madrasah kite?
Badriah diam. Ia mencari-cari mimpinya. Tiba-tiba semua hal retak. Porak poranda di tangga tepian Sungai Ogan, Pasar Inderalaya. Menyakitkan… Ia tersedu tanpa air mata. Didayungnya perahu ke persimpangan. Dayungnya beku. Air sungai itu segar menyambut tangan dan kakinya yang dahaga. Sungai itu merangkulnya, ia merasakan kenyamanan yang mistik di dalamnya. Damai air sungai itu sungguh bening dan diterimanya tanpa sepatah kata.
“BADRIAHHH!!!!!” teriak beberapa orang ditepian sungai yang melihat tubuh gadis itu berkecipakan di air sungai. Beberapa laki-laki langsung melompat dan menceburkan diri untuk menolong gadis itu.
Sungai itu beriak pelan.
“BADRIAHHH!!!!”
Suara teriakan makin ramai. Namun, Badriah tak peduli.
Aku nyari Tuhan ade dimani?
* * *
Sakatiga, 27 Mei 2008

Rabu, 23 Maret 2011

UNDIAN


“Naik haji sama seperti kematian. Keduanya mutlak kehendak Allah. Sebanyak apa pun harta kita jika Allah tak memanggil kita untuk menginjakkan kaki ke rumah-Nya, tak akan sampai juga langkah kita ke sana. Begitu pula kematian, sekuat apa pun kita menghindarinya jika Allah telah memanggil kita, tak ada satu pun yang dapat menghalangi kepergian kita. Tak ada yang harus disesali, Ilham…”
Kalimat lelaki tujuh puluh tahun yang baru dikenal Ilham satu bulan ini kembali terngiang di telinganya. Tak seperti imajinasi. Suara itu benar-benar nyata. Menggema setiap kali penyesalan yang sama menghantam dadanya.
* * *
Lobi bank syariah itu ramai oleh para nasabah. Tiga baris kursi yang berada di sisi kanan pintu masuk penuh oleh para nasabah yang ingin menyetor atau mengambil uang. Mereka menunggu monitor 21 inchi yang tergantung di atas meja teller memanggil nomor antrean mereka. Beberapa nasabah lainnya duduk di tiga baris kursi di sebelah kiri pintu masuk. Kursi-kursi itu disediakan untuk para nasabah yang ingin berhubungan dengan customer service. Mereka juga menunggu monitor yang terdapat di depan meja customer sevice itu menyebutkan nomor urut antrean mereka.
Setelah memastikan tak ada orang yang berdiri karena tak kebagian kursi, Ilham duduk di kursi pojok di barisan paling belakang. Ia menunggu antrean untuk berurusan dengan customer service. Ia mengeluarkan The Last Emperor dari tasnya. Namun, ia tidak benar-benar menikmati novel itu. Matanya malah sibuk memperhatikan layar televisi yang menampilkan gambar-gambar tanpa suara dari sebuah stasiun berita. Perhatiannya beralih dari layar televise saat seorang satpam melangkah mengiri seorang lelaki tua.
Ilham memperhatikan gerak-gerik satpam bertubuh atletis itu. Dilihatnya satpam bertanya dengan sabar kepada lelaki tua dengan pakaian lusuh di sampingnya. Ilham memperhatikan baik-baik sang pengunjung baru itu. Lelaki itu berjalan tertatih. Tampaknya usia telah merenggut kegagahan dan kelincahan kakinya. Sebuah tas lusuh terselempang di dadanya. Beberapa tambalan dengan jahitan yang tak rapi menghias punggung kemejanya yang telah tipis dan kusam.
Dalam hati, Ilham mulai menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan satpam itu untuk mengusir sang pengemis tua dengan sopan dari bank elite seperti ini. Akan sangat memalukan bila satpam itu gagal mengusir pengemis itu dari gedung yang semua orang di dalamnya berurusan dengan lembaran-lembaran rupiah dan berbagai transaksi yang menyertainya. Mungkin, pengemis itu memiliki rencana lain? Berpura-pura menjadi seorang pengemis lalu mengeluarkan sebuah pistol dari dalam tas lusuhnya itu untuk mendapatkan berbal-bal uang dari brankas di bank ini? Ah… Ilham segera menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran buruknya yang terpengaruh berbagai film produksi Hollywood yang sering ditontonnya.
Setelah beberapa menit berlalu, satpam itu malah membimbing lelaki tua yang berjalan tertatih menuju meja tempat berbagai slip transaksi disusun secara rapi. Ia memberikan selembar kertas berwarna hijau kepada lelaki itu untuk diisi. Pena digenggaman lelaki itu bergetar. Ia mengerahkan seluruh energinya untuk mengisi kolom-kolom dalam slip hijau itu.
“Permisi, Nak,” Ilham gelagapan saat lelaki tua itu menyapanya dengan santun, “bisa bapak minta tolong?”
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Ilham hanya mengangguk.
“Pinjam jaketnya, Nak,” sambung lelaki itu.
Ilham mengerutkan dahinya. Heran. Namun, beberapa saat kemudian ia lepaskan juga jaket kulit yang dipakainya dan mengulurkan jaket itu kepada lelaki yang bahunya mulai membungkuk dan berdiri di hadapannya.
Lelaki itu menyambut jaket yang diulurkan padanya lalu membentangkan jaket itu di pangkuan Ilham. Keheranan Ilham makin menjadi, tetapi ia diam saja. Ia menyingkirkan ransel dari pangkuannya agar jaket itu dapat terbentang tanpa gangguan apa pun. Lelaki yang rambutnya hampir sempurna memutih itu melepaskan tas yang melingkar di lehernya lalu menumpahkan semua isinya ke pangkuan Ilham.
“Masya Allah…” gumam Ilham pelan.
Ia terpana melihat recehan yang memenuhi pangkuannya dan terasa berat di pahanya.
“Bantu bapak menghitungnya ya…” pinta lelaki itu.
Lagi-lagi Ilham hanya mampu menganggukkan kepalanya. Ia ingin bertanya sesuatu, tetapi ada yang terasa mengganjal tenggorongkannya. Kepingan recehan itu menyita konsentrasinya.
Ilham membantu lelaki itu menghitung rupiah demi rupiah yang terhampar di pangkuannya. Saking asyiknya ia membantu lelaki itu menghitung kepingan-kepingan rupiah itu Ilham melupakan urutan antreannya. Saat azan zuhur berkumandang, barulah mereka selesai menghitung semua rupiah itu. Hanya dua ratus ribu rupiah. Tak kurang juga tak lebih. Sebuah pertanyaan menggelitik hatinya. Namun, ia urung bertanya saat melihat lelaki itu mengeluarkan buku tabungannya yang sama lusuhnya dengan dirinya. Kini Ilham merasa lidahnya makin kelu saat melihat gambar buku tabungan itu. Gambar itu mencekik pita suaranya. Buku tabungan itu bergambar Ka’bah. Arah kiblat muslim sedunia. Itu adalah buku tabungan haji.
“Masya Allah….”
Ada haru yang memenuhi rongga dadanya melihat lelaki tua yang mengumpulkan kepingan rupiah itu dan menghabiskan hampir satu jam untuk menghitung semua rupiah itu lalu menyimpannya dalam sebuah tabungan haji. Entah sudah berapa lama ia mengumpulkan rupiah-rupiah itu.
Tak ada lagi antrean nasabah di lobi bank syariah ternama itu. Ilham membiarkan lelaki itu menuju meja teller terlebih dahulu untuk menyetorkan recehannya itu. Diam-diam Ilham mengambil Nikon D5000-nya dan mengabadikan lelaki itu lewat lensa kameranya.
* * *
Ilham membuntuti lelaki bungkuk yang berpeluh itu. Ia berjalan lambat-lambat di belakangnya. Nikon D5000 dengan lensa tambahan tergantung di lehernya laksana AK47 yang dipanggul para tentara dan tampak siap membidik sasaran. Ia berjalan lambat-lambat seperti seorang pemburu yang takut kehilangan kijang buruannya. Ilham berhenti melangkah saat dilihatnya laki-laki itu berhenti melangkah di depan sebuah toko alat olahraga tepat di bawah jembatan penyebrangan di depan Masjid Agung Palembang. Ia menyapa seorang wanita yang hampir sama tua dengan dirinya.
“Sudah?” tanya wanita itu.
Sang lelaki tua itu mengangguk.
Mugo-mugo cepet tekumpul, ye, duitnyo,[1]ujar wanita itu penuh harap.
Lelaki itu lagi-lagi hanya mengangguk. Tangannya merapikan kacang goreng yang dibungkus dalam kantong plastik kecil dan dijalin dalam satu ikatan. Kacang-kacang itu diletakkan berkelompok dalam sebuah tampa[2] yang juga terlihat usang. Sepertinya, segala sesuatu yang berhubungan dengan lelaki itu selalu saja usang.
“Pak Harun, semir!”
Seorang petugas Pol-PP yang biasa patroli di daerah itu menyerahkan dua pasang sepatu kepada lelaki yang dipanggil Pak Harun itu. Lelaki itu adalah Pak Tua yang dikenal Ilham di bank dan dibuntutinya diam-diam. Ilham membodoh-bodohkan dirinya karena tak sempat menanyakan nama lelaki itu. Menyesali diri bahwa ia harus mengetahui nama lelaki itu lewat lidah seorang Pol-PP yang sering dicacinya dalam beberapa tulisannya.
Pak Harun menerima sepatu hitam dari kulit sintetis itu dengan senyum sumringah di wajahnya. Ia mengeluarkan lap, sikat, dan sekaleng semir dari dalam tas yang melingkar di lehernya sejak tadi. Tangan tuanya begitu lincah memoleskan semir, meratakannya dengan sikat, lalu menggosokkan lap agar sepatu itu terlihat lebih mengilap.
Ilham telah mengabadikan beberapa foto tentang lelaki tua bernama Harun saat ia men-service sepatu milik petugas yang berseragam coklat kusam tadi. Ia terus memperhatikan Pak Harun baik-baik hingga telepon genggamnya bergetar dan menampilkan sebuah pesan. Setelah membaca pesan itu, ia segera meninggalkan pelataran toko tempatnya berdiri sejak beberapa menit lalu. Sebuah ide terlintas di benaknya.
* * *
“Tapi itu penipuan, Ham! Pembohongan publik! Melanggar kode etik!” suara Bang Anton meninggi saat memimpin rapat redaksi.
“Tapi ini demi kemanusiaan, Bang. Tak dapatkah kita sedikit saja membantunya.”
“Ya, tapi tidak dengan cara seperti ini,” jawab lelaki itu.
Ilham tertunduk. Ia pikir idenya untuk meminta staf redaksi Sriwijaya Pagi merekayasa pemenang undian haji yang dilaksanakan oleh harian itu adalah ide cemerlang yang dapat membantu Pak Harun untuk segera mewujudkan impiannya. Namun, ide cerdas itu malah dianggap sebagai kebohongan publik.
“Aku…” Ilham ragu, “hanya ingin membantunya.”
“Tapi tidak dengan cara seperti idemu itu,” tegas Bang Anton.
“Menurutku ini lebih manusiawi, memberikan hadiah itu pada orang yang memang berhak dan layak. Atau… kita ingin membiarkan uang puluhan juta ongkos naik haji itu terbuang percuma karena nanti dimenangkan oleh orang yang mungkin dapat melaksanakan haji dengan jentikan jarinya saja!” suara Ilham meninggi.
“Kau pikir pesulap, naik haji dengan menjentikkan jari! Siapa pun yang nanti memenangkan undian ini tentu dia adalah orang yang dipilih Allah dan diundang-Nya untuk menginjakkan kaki ke Baitullah,” bela Bang Anton.
“Tapi kali ini aku menemukan orang yang benar-benar berhak dan layak menerima hadiah itu!”
“Tapi tidak dengan kebohongan seperti rencanamu itu. Sudah terlalu banyak pembohong di negeri ini, kuharap kau tak ikut menjadi salah satu dari mereka!” sindir Bang Anton.
“Aku bukan pembohong! Aku hanya ingin membantunya, TITIK!!”
Ilham kehabisan akal. Ia tak tahu bagaimana lagi mencari jalan untuk mengurai mimpi Pak Harun menjadi kenyataan. Membawa mimpi itu keluar dari kepala suami istri renta itu lalu membiarkan mereka terbang mewujudkan asanya. Wajah Pak Harun yang bergelambir dan keriput melintas di benak Ilham.
Ia meninggalkan ruang rapat itu. Menyandang ranselnya dan menyambar kamera yang diletakkannya di meja. Ia keluar tanpa permisi. Bang Anton memanggilnya, tetapi Ilham tak berniat berbalik. Kecewa. Bukan karena usulnya ditolak mentah-mentah, melainkan karena merasa jalan untuk membantu lelaki itu mewujudkan mimpinya tertutup sudah.
* * *
“Abimu mana, Is?”
Istianah mengedikkan bahunya, sedangkan Ilham melongokkan kepalanya ke ruang tamu rumah besar itu untuk mencari seorang lelaki berperut buncit yang selalu membiarkan sebuah peci putih nangkring di kepalanya yang plontos.
“Lagi ngurus paspor?”
“Mau naik haji lagi?” tebak Ilham penasaran.
“Umroh. Minggu depan berangkatnya,” jawab Istianah singkat, jelas, dan padat.
Ilham menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengerucutkan bibirnya. Ayah temannya satu ini memang luar biasa. Tiap tahun tidak pernah absen untuk umroh. Selain itu, beliau juga telah empat kali melaksanakan ibadah haji. Untuk orang sekaliber Haji Mat Tjik, semua itu tidaklah luar biasa. Ayah teman karibnya itu adalah pemilik 20ha kebun karet yang masih sangat produktif. Tentu saja melaksanakan ibadah haji dan umroh baginya hal yang tak begitu menyulitkan bahkan jika berniat memberangkan 20 orang anggota keluarganya sekaligus pun uangnya tak akan kehabisan. Aset kebun dan usaha perdagangannya jauh dari cukup.
Tiba-tiba Ilham teringat lelaki yang ditemuinya di bank beberapa hari lalu. Seandainya ada yang membantu Pak Harun untuk segera mencukupkan biaya hajinya gumam Ilham dalam hati sambil memainkan telunjuknya di bibir gelas.
Istianah tak tega melihat wajah kusut Ilham. Sahabat karibnya sejak SMA itu jarang sekali terlihat murung apalagi berputus asa. Kemurungan itu bukan tanpa alasan. Pak Harun yang tak sengaja dikenal Ilham itu benar-benar telah mengusik pikiran pemuda itu. Di tengah keputusasaan itu ia harus pula mendengar cerita rencana ayahnya melaksanakan umroh untuk ke sekian kalinya.
“Masih memikirkan Pak Harun?”
Ilham mengukir senyum kecut di wajahnya. Ia mengangguk pelan sambil menarik nafas dalam dan menghempaskannya seketika.
“Kita ikutan saja undiannya, Ham. Kita kirim banyak-banyak kupon, siapa tahu menang. Kan, semakin banyak kita mengirim kuponnya, peluang menangnya pun semakin besar? Betul kan? Di rumah sama di kantor kan langganan koranmu, biar nanti aku gunting ambil semua kupon undian hajinya. Gimana?”
Wajah Ilham berubah cerah. Senyumnya pun seindah mentari pagi. Dalam hati dia membodoh-bodohkan dirinya karena tak sempat memikirkan ide seperti itu. Ia ingin memberikan sebuah medali istimewa pada Istianah atas ide cemerlangnya itu. Ia ingin berteriak Istianah kamulah juaranya!!!! Sebagai hadiah atas kecerdasan temannya itu.
“Kapan kita mulai?” tanya Ilham bersemangat.
“Tahun depan!!” jawab Istianah asal-asalan sambil memoyongkan bibirnya.
Hari itu perburuan mereka dimulai. Setiap hari mereka memborong Sriwijaya Pagi dari anak-anak loper koran di lampu merah Simpang Veteran. Sengaja mereka membeli koran dari anak-anak itu selain berniat untuk membantu mewujudkan mimpi Pak Harun juga membantu meningkatkan omset penjualan anak-anak itu. Jadi, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Mereka mengumpulkan dan menggunting kupon-kupon undian dari koran yang mereka beli itu. Ditambahi pula dengan kupon undian yang berasal dari koran yang ada di kantor dan rumah. Jadilah mereka berdua peserta illegal dalam undian memperebutkan tiket naik haji gratis dari koran lokal terkenal itu. Dalam sehari mereka mengirimkan paling sedikit 25 lembar kupon yang telah dilengkapi identitas palsu ke kantor redaksi Sriwijaya Pagi. Hingga hari terakhir pengiriman kupon undian itu Ilham dan Istianah selalu mengirimkan kupon dalam jumlah yang sama, hanya satu hari saja mereka mengirimkan kupon dua belas lembar karena Istianah tak menemukan koran yang menjadi incarannya setiap pagi di teras rumahnya.
Ilham terus menjaga kedekatannya dengan Pak Harun. Menemaninya menanti pejalan kaki yang tergiur dengan kacang goreng yang ditawarkannya atau berniat memoles sepatu mereka sebentar. Ia memperhatikan rupiah demi rupiah yang terkumpul dari butiran-butiran kacang goreng yang dijual lima ratus rupiah per bungkus oleh suami istri itu. Ia belajar bersyukur atas kehadiran debu jalanan yang menebal sehingga ada banyak sepatu yang berdatangan kepadanya untuk disemir dan dipoles hingga mengilat. Di sela-sela penantian tak pasti itu, suami istri yang tergerus usia dan zaman itu mengisi detik-detik mereka sambil bergantian mendengarkan hafalan Al Qur’an mereka. Dari kejauhan keduanya terlihat begitu rapat dan berbisik-bisik satu dengan yang lain. Namun, tak ada perbincangan antara keduanya, hanya desisan hafalan yang diulang keduanya secara bergantian.
“Kenapa bapak dan emak harus bekerja sekeras ini?” tanyanya suatu hari saat melihat suami istri itu sedang membereskan dagangannya menjelang magrib.
Kereno kami dag galak ngemis, Nak. Biar susah cag ini kami idag nyusahke uwong laen,” jawab Mak Leha diiringi senyum suaminya.
Ilham manggut-manggut mendengar jawaban itu.
“Kapan bapak mau ke bank lagi?” tanya Ilham mengalihkan pembicaraan.
Kagek la, Ham. Belum ado duit yang tekumpul. Yang kemaren tu bae, kumpulan hasil jualan dengen nyemir selamo enam bulan,” urainya tenang dibarengi dengan senyum tulus dan ditingkahi batuk yang berat. Akhir-akhir ini dada dan bahu lelaki 70 tahun itu memang lebih sering berguncang karena batuk yang setiap hari terdengar makin berat.
Ilham menelan ludah mendengar jawaban itu. Kapan biaya haji itu akan cukup kalau selama enam bulan Pak Harun hanya mampu menabung dua ratus ribu rupiah itu pun dengan kepingan-kepingan uang logam. Dalam hati Ilham berharap makin dalam agar undian naik haji itu akan dimenangkan Pak Harun. Bukankah mereka telah mengirimkan kupon begitu banyak. Allah… perkenanlah dia… bisiknya dalam hati.
* * *
Ruangan itu dipadati para awak berita Sriwijaya Pagi. Ribuan kupon di tumpuk di tengah-tengah ruangan. Pimpinan redaksi, aparat kepolisian, dan notaris telah siap menyaksikan pengundian kupon berhadiah itu. Ilham dan Istianah berdiri agak jauh dari kerumunan orang-orang yang memiliki harapan serupa dengan mereka. Namun, keduanya jauh lebih optimis daripada siapa pun yang ada di ruangan itu sebab mereka telah mengirimkan hampir tiga ratus lembar kupon undian. Artinya, mereka memiliki peluang lebih besar dibandingkan orang-orang yang hanya mengirimkan satu atau dua kupon undian. Ilham telah membayangkan senyum Pak Harun yang tulus dan bersahaja bila nanti menerima kado dari mereka.
Tiga nama pemenang yang mendapatkan hadiah umroh telah diumumkan. Ilham dan Istianah membisikkan doa agar Allah mendengar harapan mereka. Seorang tamu kehormatan dipersilahkan mengaduk kupon yang terhampar di lantai dan mengambil satu kupon secara acak. Setelah perwakilan pihak kepolisian dan notaris mengecek dan menyatakan sah pada kupon yang terpilih, panita mengumkan nama pemenang yang berhak melaksanakan ibadah haji gratis dari Sriwijaya Pagi.
“BADARUDDIN MAT TJIK!” ujar MC lantang.
Istianah terngaga. Ilham tertunduk kecewa.
“A… Ayah???” ujarnya tak percaya sambil menggelengkan kepala.
Istianah memejamkan matanya karena berharap apa yang didengarnya hanyalah halusinasi dan setelah matanya terbuka nanti ia dapat mendengar satu nama lain yang mengisi doa-doa panjangnya bersama Ilham. Namun, saat nama itu disebutkan sekali lagi diiringi tepuk tangan meriah, tak ada perubahan sama sekali. Ayahnyalah yang menjadi pemenang.
Ia menatap Ilham mencari kebenaran atas apa yang baru saja di dengarnya. Namun, pemuda itu melangkah perlahan meninggalkannya. Istianah merasakan matanya memanas dan siap melebur kekecewanya.
“Ayah???” ulangnya lagi.
Air matanya runtuh. Jadi, inilah jawaban atas hilangnya kupon dari koran di rumahnya selama beberapa hari lalu. Ayahnya? Ayahnya juga memperebutkan undian naik haji itu????
* * *
Hampir sebulan Ilham tak menghubungi sahabatnya, Istianah. Entahlah, ia merasakan kekecewaan yang akut. Pak Harun dan istrinya yang biasa berjualan di bawah jembatan di depan Masjid Agung pun tak lagi ditemuinya. Entah kemana suami istri itu. Di minggu ke tiga baru diketahuinya bahwa Pak Harun dirawat di rumah sakit. Ia mengetahui kabar itu lagi-lagi dari petugas Pol-PP yang sering dihujatnya.
Ilham mendapati lelaki itu tergolek lemah di tempat tidur bangsal kelas tiga. Bangsal khusus bagi pengguna kartu berobat gratis. Istrinya melantunkan Surah Al Ahzab di tepi telinganya. Ilham makin tak tega melihat pemandangan itu. Suara Mak Leha terdengar letih.
Sekantong jeruk di genggam Ilham erat sambil membaca papan identitas di ujung tempat tidur. Paru-paru. Penyakit umum untuk mereka yang menghabiskan hari menghisap asap kendaraan.
“Apa kabar, Pak?” sapa Ilham pada lelaki itu meski tak yakin bahwa lelaki renta itu mendengar suaranya.
Mak Leha membuang muka untuk menyembunyikan air mata dari tatapan Ilham.
“Maafkan Ilham, Pak. Ilham gagal memenangkan undian naik haji itu.”
Suaranya berat penuh sesal.
Tak ada suara. Mak Leha terisak.
“Nanti, Ilham akan carikan jalan untuk Bapak dan Emak agar bisa segera berkunjung ke baitullah…”
Mak Leha menyusut air matanya. Wanita itu berusaha tegar sambil kembali berusaha melantuntan Al Ahzab untuk suami tercintanya. Ia mendekatkan kepalanya ke tepian telinga lelaki yang lebih dari setengah abad berbagi hidup dengannya. Persis seperti kebiasaan mereka berdua saat bergantian mengulang hafalan. Namun, kali ini hanya Mak Leha yang membacakan Al Quran dan entah telah berapa lama Pak Harun hanya menjadi pendengar setia.
Tiba-tiba Ilham merasa lelaki itu meremas tangannya, ia membuka matanya perlahan, menatap Ilham, dan mengukir sebuah senyuman untuknya. Pemuda itu membalas senyum tulus dari lelaki yang makin renta yang tergolek di hadapannya. Bukan hanya usia yang menyedot semangat hidupnya, melainkan juga penyakit yang kini menggerogoti paru-parunya.
“Naik haji sama seperti kematian, Ham. Keduanya mutlak kehendak Allah. Sebanyak apa pun harta kita jika Allah tak memanggil kita untuk menginjakkan kaki ke rumah-Nya, tak akan sampai juga langkah kita ke sana. Begitu pula kematian, sekuat apa pun kita menghindarinya jika Allah telah memanggil kita, tak ada satu pun yang dapat menghalangi kepergian kita. Tak ada yang harus disesali, Ilham…” ujarnya lemah.
Ilham mengangguk, “Iya, Pak, Ilham mengerti,” jawabnya pendek.
Ilham merapikan kacamatanya sambil menarik nafas panjang. Ada sesak yang menghimpitnya. Ada sesuatu yang hendak tumpah dari matanya saat mendengar kalimat itu.
“Tapi…”
Ilham tak sempat melanjutkan kata-katanya saat matanya melihat genggaman tangan di lengannya itu perlahan melemah. Ilham menatap wajah renta itu ia tampak seperti sedang bersiap untuk tidur. Ilham kembali beralih pada tangan yang masih berusaha menggenggam lengan Ilham. Tangan keriput itu makin tak memiliki energi, perlahan kelima jemarinya terlepas satu persatu dari lengan Ilham.
Tangis wanita disampingnya pecah tertahan. Ilham geram menggenggam jemarinya. “Allah, Kau undang dia langsung menemui-Mu, meskipun dia begitu ingin berkunjung ke rumah-Mu terlebih dahulu? Begitu cinta-Nya kah Kau padanya?” Ilham merapatkan gerahamnya.
Telepon genggam di kantongnya berdering.
“Ham, dapet, Ham… Pak Harun berhasil jadi pemenang undian umroh di kantorku. Aku mengirimkan nama beliau diam-diam…”
Suara Istianah terdengar bahagia di ujung telepon.
Ilham diam. Mutiara bening merayap perlahan menyusuri pori-pori wajahnya.
* * *




[1] Semoga cepat terkumpul, ya, uangnya.
[2] Alat untuk menampi beras yang terbuat dari anyaman bambu

Sabtu, 19 Maret 2011

TEMANI AKU

malam ini
temani aku memandang bulan
di kedalaman danau yang memantulkan
wajahku wajahmu bersama rembulan

temani aku menikmati rembulan
dari balik riak danau
yang menenggelamku benih mawar
yang sempat kutawarkan padamu

Minggu, 13 Maret 2011

SEPATU ARINI


“Kalau Arini minta pesta ulang tahun juga, boleh nggak, Mak?”
Wanita itu tak menjawab. Ia terus melipat pakaian yang menumpuk di depannya. Anak perempuannya yang baru kelas 5SD itu mengharap-harapkan sebuah jawaban terbaik dari emaknya. Beberapa detik telah berlalu, tetapi tidak tampak tanda-tanda wanita itu akan memberikan jawaban. Ia bergeming dengan diamnya. Dalam diam itu neuron-neuron otaknya berdenyut-denyut mengumpulkan serpihan-serpihan kata untuk disusunnya menjadi kalimat terbaik untuk menjawab pertanyaan putrinya.
Arini tertunduk lesu dengan wajah cemberut. Ia masih berharap emaknya memberikan jawaban meskipun hanya sekadar anggukan kepala.
“Mak, kenapa diam?” tanya Arini, “Nggak boleh, ya, Mak?” suara bocah itu bernada kecewa.
Wanita tiga puluh tahun di samping bocah itu masih diam saja. Ia masih teguh merapatkan bibirnya dan meneguh-neguhkan hati untuk tak menjawab pertanyaan putri sulungnya. Ia tahu, permintaan Arini adalah hal wajar bagi anak seusianya. Namun, apa mau dikata, hidup tak berpihak pada mereka. Jangankan melaksanakan sebuah pesta ulang tahun, untuk dapat terus mempertahankan dapurnya agar berasap tiap hari pun, ia harus memutar otak. Ia makin tak tega saat membayangkan suaminya yang berpeluh-peluh mengayuh becaknya hanya untuk mempertahankan nyala api di dapur mereka. Namun, menolak keinginan Arini pun sama pahitnya. Seperti mimpi memeluk bulan. Tak akan pernah menjadi kenyataan.
“Mak, kalau tak bisa, tak apa-apa. Hm……” bocah itu menggantung kalimatnya sebentar, “emmmm…. Kalau Arini minta hadiahnya saja, gimana? Boleh nggak?”
Bocah perempuan berambut ikal itu bertanya hati-hati.
Emaknya masih diam dan terus melipat tumpukan pakaian di hadapan mereka.
“Arini mau sepatu, Mak. Tidak usah yang mahal, yang biasa saja. Sekarang lagi musim itu, lho, Mak… sepatu karet. Kata teman-teman, sih, sepatu Crocs. Bagus lho, Mak, bisa dipake buat jalan-jalan, buat maen, dan kalo jalanan rumah kita lagi becek juga nggak apa-apa, Mak. Kata temen-temen, tinggal dicuci aja, nggak bakalan cepet mangap sepatunya.”
Ah… kepala wanita itu berdenyut-denyut. Ia merasakan pusing yang begitu tiba-tiba menyerang kepalanya dengan bertubi-tubi. Cerocosan putrinya itu membuatnya semakin pusing. Namun, ia masih bungkam dan terus menyelesaikan pekerjaannya. Bagaimana ia menjelaskan pada anaknya bahwa semua permintaannya itu adalah barang mewah yang ia dan suaminya tak akan sanggup memenuhi permintaan itu. Dapatkah kau ganti mimpimu itu dengan hal yang lebih sederhana lagi, Nak… rintihnya dalam hati.
“Mak, kenapa diam?”
Arini tak sabar lagi dengan sikap diam emaknya. Ia menggoyangkan bahu emaknya menuntut jawaban. Jawaban lengkap atau sekadar anggukan kepala pun tak apalah. Yang penting, emaknya memberikan jawaban. Jawaban terbaik untuknya. Untuk mimpi kanak-kanaknya.
Wanita itu menghentikan kesibukannya dan menatap wajah putri sulungnya itu. Dirayapinya baik-baik pahatan wajah kecil di depannya. Mata bulat, hidung, dan senyuman gadis cilik itu adalah kombinasi sempurna. Ia melihat duplikat wajah suaminya dalam wajah anak perempuannya. Ia tahu bahwa ia mencintai pemilik wajah hitam manis itu dengan sempurna, seperti ia mencintai suaminya yang menitiskan wajah indah itu pada putrinya.
Wanita itu menarik nafas dalam lalu menarik ujung-ujung bibirnya membentuk senyuman. Putrinya membalas senyum hangat itu sambil kepalanya menebak-nebak jawaban terbaik yang akan diberikan ibunya.
“Rin….” Ujarnya hati-hati sambil memikirkan kalimat tebaik untuk putrinya.
Tiba-tiba, terdengar ketukan tergesa di pintu depan rumah mereka. Ia tak sempat menyelesaikan kata-katanya. Tergesa ia menuju pintu untuk melihat tamunya. Arini mengekor langkah ibunya dengan sebal karena batal mendengar jawaban sang ibu.
Terdengar ketukan keras sekali lagi. Pintu segera dibuka. Seorang pria dengan topi lusuh berdiri di ambang pintu.
“Bi Cik, Mang Rozak kecelakaan. Becaknya hancur ditabrak truk. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit,” tanpa basa-basi lagi lelaki itu menyampaikan kabar.
“Maaaak…..” suara Arini terbata.
Wanita berambut ikal itu menguatkan pegangannya di tepian pintu. Pusing di kepalanya makin menjadi.
Mak Cik, Mang Rozak kecelakaan suara itu menggema. Tiba-tiba pintu itu terasa berputar.
Mak, kalau Arini minta pesta…. “Ah, kemana matahari????” Wanita itu meraba mencari cahaya yang perlahan menghilang.
Sepatu saja, Mak. Arini minta hadiahnya saja, sepatu, Mak…. “Ah, Oksigen. Bagi aku Oksigen,” wanita itu memohon karena merasakan nafasnya tiba-tiba sesak.
“Maaakkk…..” jerit Arini.
Bocah itu menahan tubuh ibunya yang limbung.
Wanita itu masih mendengar jerit putrinya. Samar.
Ulang tahun, Mak…. Crocs, sepatu Crocs, Mak….
Mang Rozak kecelakaan…. Becaknya hancur….
…..
Gelap
* * *