Senin, 12 Desember 2011

CADAS MAHONI


Gadis itu menatap gerimis yang mulai menderas. Hangat nafasnya membentuk bundaran embun di kaca jendela. Untuk ke sekian kali ia menghempaskan nafas berat sambil menyeka butiran bening bola kaca hangat dari sudut matanya. Udara yang kian membeku tak lantas membuat air matanya turut membeku. Tangannya masih menggenggam selembar surat dengan tulisan tangan rapi. Namun, di lebaran surat itu telah terbentuk pola-pola bundar nan abstrak yang memudarkan tinta di kertas itu. Beberapa kata tak lagi terukir rapi. Bahkan, beberapa kata sudah tak lagi dapat dibaca dengan sempurna. Tulisan tangan yang terukir rapi di selembar kertas itu basah oleh air mata.
Kau jangan menangis, Gadis…
Bahu gadis itu berguncang saat teringat sebuah kalimat yang tertulis di selembar kertas itu. Ia tertunduk sambil membekap mulutnya untuk meredam tangis agar tak merayap keluar kamar. Ia menyandarkan kepala di kaca jendela lalu tubuhnya perlahan merosot hingga terduduk di lantai kamar.
Kau jangan menangis, Gadis. Tuhan sedang mengujimu menjadi orang kuat…
Betapa pun tingginya tingkat kebenaran kalimat itu, gadis itu sangat membenci kalimat itu setinggi kebenaran kalimat itu dan sepenuh jiwanya. Bahkan berharap, ia dapat sekaligus membenci penulis kalimat itu. Namun, nihil! Kalimat itu malah terus bermain-main di kepalanya laksana sebauah screen saver di layar komputer. Ia seperti hantu yang bergentayangan dibenaknya.
* * *
Cinta itu deras mengalir di darahnya. Sederas aliran sembilan batang hari yang berlari menuju Sungai Musi. Kekuatan aliran mata air cinta itu membangkitkan energi kinestetik dalam kehidupannya. Cinta itu yang membuatnya terus bergerak, tak hendak berhenti sedetik pun, untuk segera menyelesaikan semua tugas kuliahnya. Cinta itu yang membuatnya terus bergerak untuk mengabdi sebanyak mungkin di rumah singgah tempatnya berbagi dengan anak jalanan di tengah kota. Ia bahkan tak melewatkan sehari pun tanpa menemui anak-anak kumuh berlapis debu yang seharian terpanggang matahari berpolusi di jalanan kota.
Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Semoga kau membalas cintaku. Namun, aku tak memaksamu kalaupun kau tak bersedia membalas cinta ini, aku akan tetap mencintaimu. Gadis itu terdiam. Ia tak menggeleng tak pula menganggukkan kepala. Neuron otaknya bekerja serabutan mengumpulkan serpihan-serpihan ingatan tentang sejak kapan ia memendam cinta pada lelaki itu. Ia menemukan sekeping kenangan masa kanak-kanak. Saat ia masih bertelanjang kaki keluar masuk hutan, seorang bocah lelaki berambut ikal legam merendam kakinya di air Sungai Lematang yang beku dan sebuah buku lusuh di pangkuannya. Ia selalu duduk takzim di atas cadas di bawah sebatang mahoni tua itu. Di atas cadas itu, bocah lelaki itu menekuri kata demi kata di buku lusuh itu di bawah kanopi rimba Bukit Barisan.
Cinta itu tertanam kokoh di dasar hatinya. Sekokoh Gunung Seminung di tengah Danau Ranau yang membiru dan beriak tenang airnya. Juga sekokoh Gunung Dempo yang menghijaukan daun-daun teh di kakinya. Cinta itu membuatnya mampu menyegarkan apa pun yang tersimpan di hatinya. Cinta itu yang membuatnya bersemangat untuk bangun pagi setiap hari. Menyiapkan bahan-bahan kuliah. Membuat makanan kecil sederhana lalu membungkusnya dengan rapi dalam kotak makanan lalu membiarkan makanan sederhana itu dilahap tuntas oleh puluhan anak jalanan yang jarang jajan. Cinta itu yang mendorongnya untuk selalu bergerak dan selalu hadir di tengah-tengah anak jalanan itu karena di sana ia melihat laki-laki itu juga mengobarkan cinta yang sama untuk mereka.
Cinta itu mengalun lembut di relung jiwanya. Selembut lembayung senja di tepian Sungai Musi. Selembut gemulai angin lembah yang dingin di puncak-puncak cemara Bukit Barisan. Alunan lembut cinta itu menggetarkan dawai kehidupan jiwanya. Alunan itu membuatnya mudah tersentuh dengan keindahan yang selama ini dilupakannya. Keindahan embun pagi yang menguap bersama terbitnya mentari. Keindahan tawa dan senyum anak-anak jalanan itu yang selama ini sering dicibirnya. Laki-laki bermata kejora itu memberinya terlalu banyak cinta yang baru, yang dia sendiri tersedak-sedak saat menerima cinta itu secara tiba-tiba.
Kau memberiku terlalu banyak cinta. Aku bahkan merasa tak siap dengan cinta-cinta baru yang engkau bangkitkan dengan tiba-tiba ini. Terima kasih. Bisiknya lirih pada laki-laki bermata kejora itu. Namun, bisikan itu terlalu lirih bahkan dalam imajinasinya sendiri lalu ia menutup pintu imajinasinya segera tanpa sempat mempersilakan lelaki itu memasuki alam pikirannya. Lelaki itu tak mampu mendengar kalimat itu.
* * *
Laki-laki itu tak banyak bicara dengannya. Ia lebih banyak tersenyum. Laki-laki itu juga tak pernah mengajaknya berjalan-jalan ke taman kota lalu menghabiskan senja dengan duduk berdua. Tidak! Sekali pun ia tak pernah mengajak gadis itu menikmati cinta mereka berdua saja. Ia lebih sering menyibukkan dirinya dan gadis itu untuk melayani kebutuhan anak-anak jalanan yang beraroma matahari. Ia hanya menyapa gadis itu sebentar lalu sibuk bercerita dengan anak-anak yang berkulit gosong terbakar matahari. Ia lebih senang mendengarkan celoteh anak-anak itu dan mengusap kepala mereka yang berdebu. Ia lebih senang memeluk dan mendekap tubuh anak-anak itu dibanding duduk bersisian dengannya. Lelaki itu bahkan bersedia menyeka air mata di pipi bocah-bocah jalanan itu saat mereka sedang berkeluh-kesah padanya. Ia menyeka air mata bocah-bocah itu tanpa canggung meskipun di wajahnya juga mengalir air mata yang sama.
Laki-laki itu yang membangkitkan semangatnya untuk segera menyelesaikan kuliahnya lalu kembali ke kampung halaman. Padahal selama menjalani perkuliahan belum pernah ia sesemangat ini untuk mengejar nilai-nilai terbaik di setiap mata kuliah dan menuntaskan tugas akhirnya sesegera dan sebaik-baiknya.
Aku akan menunggumu hingga studimu selesai. Jadilah yang terbaik. Kau dan aku akan menjadi contoh bagi anak-anak di kampung. Kita akan bawakan lentera ke dunia mereka. Lentera itu harus benderang. Tak boleh padam oleh apa pun. Lentera itu adalah jiwa dan ilmu yang terpendam dalam dirimu. Gadis itu hanya mengangguk dalam imajinasi saat mendengar kalimat itu. Imajinasi yang entah terbaca atau tidak oleh lelaki bermata kejora di sampingnya.
Lelaki itu juga membuatnya mencintai kampung halamannya seperti ia mencintai ibundanya sendiri. Padahal sejak dulu betapa ia sangat ingin menjelajah buana sejauh-jauhnya untuk menjauh pergi dari kampung halamannya yang kelam saat matahari mulai condong ke ufuk barat.
Tanah kelahiran kita adalah ibu kandung kita. Ke mana pun kita pergi, mau tidak mau kompas kehidupan ini akan mengarahkan kita pada titik balik ke tempat kita memulai kehidupan. Ya, tanah kelahiran kita. Segersang apa pun tanahnya, sekering apa pun sungainya, sekelam apa pun langitnya. Tanah kelahiran kita adalah ibunda. Kita harus kembali ke pangkuannya. Aku akan senang sekali bila nanti dapat kembali ke sana bersamamu.
Kalimat itu membangkitkan harapan di jiwanya. Harapan membawa dan membangun kebahagiaan baru di kampung halamannya. Kampung halaman mereka berdua. Kampung yang membesarkan mereka di bawah kanopi rimba Bukit Barisan, di tengah dinginnya air sungai Lematang, juga diantara dongeng-dongeng klasik Si Pahit Lidah. Mereka besar di bawah kebijaksanaan alam yang kampungan dan ke sanalah mereka akan kembali. Membangun kembali romantisme masa kanak-kanak mereka yang diselimuti halimun di awal pagi.
Kita akan bangun sekolah di kampung kita. Membawa banyak buku-buku baru tentang dunia untuk anak-anak desa. Menceritakan tentang gedung-gedung tinggi, kapal-kapal besar, dan burung-burung besi yang megah di luar hutan Bukit Barisan. Kita akan buatkan jalan untuk mereka menuju pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia.
Gadis itu mengangguk. Menyetujui setiap ide yang disampaikan lelaki itu. Menyepakati semua kalimat yang diucapkannya dengan anggukan kepala dan senyuman. Menyimpan baik-baik semua mimpi dan rencana mereka dalam lipatan-lipatan doa dan asa.
* * *
Gelar sarjanamu akan sangat bermanfaat untuk tanah kelahiran kita. Kita akan segera bagikan bersama ilmu yang telah kita raup di tanah ini untuk menyuburkan tanah kita. Lelaki itu memberinya ucapan selamat untuk hasil kerja kerasnya menyelesaikan studi. Ia tak memberikan apa pun sebagai hadiah. Sebaliknya, gadis itu pun tak meminta hadiah darinya. Pujian dan mimpi-mimpi yang ia sampaikan sudah cukup membuat gadis itu merasa berarti dan dibutuhkan.
Gadis melangkah anggun dalam toga wisudanya. Tersenyum puas saat berjalan meraih piagam penghargaan yang diulurkan oleh rektor universitas kemudian sedikit menundukkan kepala saat sang rektor hendak memindahkan kuncir toga di kepalanya tanda bahwa ia telah berhak menyandang gelar kesarjanaan. Tesenyum puas karena ini adalah titik kulminasi penyelesaian studinya. Prosesi wisuda ini adalah pintu ke mana saja baginya dan lelaki itu untuk bersama membawa lentera ke kaki Bukit Barisan untuk memberi jalan cahaya bagi anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktu di tengah ladang.
Tak ada yang mendampinginya dalam wisuda itu meskipun ia menerima penghargaan sebagai salah seorang lulusan terbaik di hari itu. Ia sangat berharap umaknya dapat menghadiri acara wisudanya juga lelaki itu sehingga ia bisa memperknalkan mereka berdua tanpa susah payah membuat janji. Namun, jauh hari sebelum wisuda kabar bahwa umak tak dapat menghadiri acara wisuda telah ia terima dari kakaknya. Ada urusan penting yang harus beliau selesaikan. Tiga hari sebelum wisudanya, lelaki itu berpamitan padanya untuk pulang ke kampung halaman hanya karena sebuah telepon dari ayahnya. Sempurna. Kedua orang yang ia cintai sama besarnya itu tak satu pun yang dapat menghadiri pengukuhan gelar kesarjanaannya.
Maafkan aku. Ini permintaan Bak. Aku akan pulang sebentar saja. Kau jangan bersedih, Gadis. Tak akan lama. Aku akan segera kembali untuk menjemputmu dan kita akan pulang bersama sambil membawa lentera yang akan kita bagikan di kampung kita.
Gadis itu mengangguk. Padahal ia sangat ingin menggeleng. Ingin memaksa lelaki itu agar menghadiri acara wisudanya. Namun, sekali pun ia belum pernah berhasil membantah atau menolak kata-kata lelaki itu. Sebelum ini, lelaki itu telah sering pergi untuk urusan-urusan pekerjaan dan sosialnya. Namun, kepergiannya kali ini terasa beku.
* * *
Cinta itu masih mengalir deras di darahnya. Sederas aliran sembilan batang hari yang berlari menuju Sungai Musi. Namun, dengan jemarinya yang rapuh itu ia harus memecah arusnya dan menghentikan alirannya. Ia harus menghentikan aliran sungai itu agar berhenti mencari muara meskipun itu berarti ia harus tenggelam dan mati oleh arusnya. Dengan kakinya yang gemetar, ia harus berjalan ke tengah sungai untuk membelokkan atau mematahkan arusnya.
Cinta itu tertanam kokoh di dasar hatinya. Sekokoh Gunung Seminung di tengah Danau Ranau yang membiru dan beriak tenang airnya. Juga sekokoh Gunung Dempo yang menghijaukan daun-daun teh di kakinya. Namun, dengan jemarinya yang rapuh itu harus mencerabutkan gunung dan bukit cinta itu. Ia harus mencerabutkan gunung dan bukit cinta di hatinya beserta taman kasih sayang yang selama ini disemainya. Ia harus menghancurkan gunung dan bukit cinta itu meskipun ia harus memuing tertindih oleh gunung cintanya sendiri. Ia harus mampu memporak-porandakan hamparan ketulusan yang selama ini dipupuknya.
Umak nag kawin lagi, Nak. Maaf empai enjuk tau.[1]
Gadis itu menatap ibunya tak percaya. Ia mencari kebenaran tentang apa yang baru saja di dengarnya. Ia berharap telinganya salah. Namun, wajah di hadapannya tak sedikit pun menyiratkan keraguan saat menyampaikan rencana itu. Setelah bertahun-tahun kepergian ayahnya, setelah ia besar dan menjadi seorang sarjana seperti saat ini. Mengapa baru sekarang umak berencana untuk menikah lagi? Gadis itu merasa kepalanya berat.
“Umak nak kawin ngan sape?” Gadis itu bertanya hati-hati.
“Ujang Zaini.”
PRAKKK!!! Gelas di tangan gadis itu tiba-tiba terlepas dari genggamannya. Pandangannya tiba-tiba gelap. Kali ini ia sungguh berharap semua yang didengarnya adalah kesalahan paling absolut yang pernah di tangkap oleh gendang telinganya. Ia berharap ini adalah kerusakan paling mutakhir yang pernah dialami oleh pendengarannya.
Ia beranjak dari duduknya. Membiarkan kakinya menginjak pecahan gelas tanpa sedikitpun takut terluka. Ia melihat mulut wanita yang paling ia sayangi itu bergerak. Namun, tak ada suara yang mampu ia dengar. Tiba-tiba semuanya berputar dalam gerakan lambat.
Tuhan adalah Dzat Yang Mahasempurna dalam menulis dan merancang semua hal bagi kehidupan semua mahluk di muka bumi ini. Kepulangan kita ini adalah awal dimulainya kehidupan kita yang baru setelah bertahun-tahun menjadi mahasiswa yang mungkin manja. Kita tak pernah tahu apa yang sedang Tuhan tulis untuk hidup kita. Jika nanti kau dapati kejutan-kejutan hebat di awal permulaan hidup barumu, aku berharap kau mampu untuk terus berdiri tegak. Kau tak harus menjadi cadas-cadas kaku yang bertabur di lereng Bukit Barisan. Jadilah beburung liar itu. Mereka pandai menguasai angin, bahkan badai sekalipun. Mereka terus terbang dibawah hujan gerimis atau badai salju menuju perhentian terakhirnya. Kalimat itu terucap pelan, tetapi penuh energi. Untuk pertama kali, mata lelaki itu kosong saat menyampaikan kalimatnya. Ini pun kali pertama gadis itu mengerutkan dahi saat mendengar kalimat lelaki itu. Ada banyak rahasia yang ia sampaikan di balik kata-katanya.
Gadis itu bergelung memeluk lutut mengingat perjalan pulang mereka dalam gerakan lambat hitam putih. Air mata menuruni sudut matanya membuat pola-pola sungai dangkal yang nestapa. Di luar sana kabut telah turun dan perlahan menyelimuti puncak Gunung Dempo. Angin bertiup dingin.
* * * *
Gadis itu membiarkan kakinya terendam di air sungai. Ia duduk di sebuah batu besar di bawah sebuah mahoni tua nan kekar. Bayangan tubuhnya dan rimbun daun mahoni terpantul di permukaan air. Bayangan itu meliuk dalam tempo yang konstan. Sesekali ikan-ikan kecil mendekati ujung-ujung jemarinya lalu berkecipakan melompat ke permukaan sungai. Inilah keasyikan magis yang dinikmati lelaki itu bertahun-tahun lalu. Keasyikan yang dulu dinikmatinya diam-diam saat bocah lelaki itu tak mendatangi cadas dan mahoni tua ini. Gadis itu menyeka air mata menatap kakinya yang pucat menahan dingin air. Tangannya menikmati relief nama yang terukir di batu besar itu.
“Aku tahu, akhirnya kau akan memintaku menemuimu di sini.”
Suara lelaki itu mengejutkanya. Namun, tetap terdengar merdu di telinganya.
“Aku tahu kau masih mengingat cadas ini dan kayu mahoninya. Dan… aku juga tahu, bertahun-tahun lalu kau sering mengintaiku dari atas pepohonan itu," sang lelaki menunjuk sebuah pohon besar yang condong ke sungai badannya dan semakin kekar batangnya, "aku juga tahu, kau menyukai relief nama itu."
Sang gadis tak perlu melihat kaca untuk mengetahui wajahnya yang memerah dan jemarinya yang tiba-tiba berhenti menelusuri relief nama di cadas tempatnya duduk menikmati gemerincing air.
“Namun, tahu kah kau?”
Gadis itu menggeleng.
“Saat itu, aku senang saat tahu kau yang menggantikan simpai-simpai itu meringkuk di atas pohon.”
Mereka tersenyum. Menertawakan masa kanak-kanak mereka.
"Saat kau tak bertengger di batang itu, aku habiskan waktu mengukir cadas ini dengan namamu dan namaku. Aku benci melihat simpai-simpai itu menduduki singgasanamu maka suara batu yang brisik saat aku mengukir nama kita menjadi cara ampuh membuat simpai-simpai itu pergi menjauh."
Lelaki itu menarik nafas panjang, "Tahukah kau, aku tak pernah melewatkan sehari pun tanpa ke tepian sungai ini. Namun, aku sering bersembunyi. Dan aku tahu, kau sering duduk di cadas ini saat aku tak ada di atasnya. Kau menimkati dinginnya air sungai ini di ujung jemarimu. Aku pun tahu kau menyukai ukiran itu. Aku pernah berharap suatu hari, dapat duduk berdua denganmu menikmati cadas dan kanopi mahoni tua ini. Karena alasan itulah, kubuatkan relief namaku dan namamu di atas cadas itu."
Gadis itu mengangguk. Ia mengatur nafas sebaik-baiknya demi mengendalikan emosinya dan air matanya yang siap buncah. Sesekali ia menengadah menatap langit demi menahan bendungai air matanya yang hampir jebol. Juga untuk mengendalikan sakit yang mencekik pita suaranya.
“Terima kasih kau sudah mau memenuhi permintaanku,” akhirnya kalimat kaku itulah yang keluar dari mulut gadis itu. Padahal ia sangat ingin menumpahkan semua tanya pada lelaki itu.
“Aku tak punya alasan untuk tidak datang ke tepian sungai ini. Aku tahu, cepat atau lambat kau pasti menghubungiku,” lelaki itu menarik nafas dalam lalu berdiri di atas cadas. “Gadis, tak pernah ada yang salah dengan cinta karena ia adalah anugerah terindah dari Tuhan kita. Kita tak akan menyalahkan ketololan Romeo dan Juliet atau pengorbanan Siti Fatimah untuk Tan Bun An[2] atau cinta yang tumbuh dan kita sembunyikan sejak masa kanak-kanak dulu. Begitu pula dengan cinta yang juga menyapa umakmu dan abakku. Mereka telah memberi kita semua cinta yang mereka miliki. Mengorbankan masa muda mereka. Menghabiskan berbaris-baris doa hanya untuk menyebut nama kita sebanyak-banyaknya. Memeras berember-ember keringat hanya untuk menjamin perut kita tak kelaparan. Tuhan hanya meminta kita mengikhlaskan cinta kita. Pengorbanan kita hari ini, masih tak sebesar pengorbanan mereka sepanjang hidup kita.”
Gadis itu menyeka air mata.
“Gadis, Tuhan hanya sedang menguji ketulusan kita. Menguji cinta kita untuk umak ngan abak. Kita hanya diminta untuk memberi sedikit ruang bernafas untuk cinta mereka dan ruang lengang untuk mereka menikmati masa tuanya. Mungkin, semua ini akan sangat sulit. Seperti menukar posisi tangan kanan dan kiri kita secara tiba-tiba. Akan sangat sulit mengubah perasaan dan harapan-harapan kita selama bertahun-tahun ini begitu saja. Mengubah cinta padamu sebagai seorang adik. Ah… bagaimana pula aku sanggup menatapmu sebagai seorang adik, sedangkan selama bertahun-tahun aku berdoa agar Tuhan menyatukan kita. Namun, yakinlah… ini hanya sulit di awalnya saja, waktu akan membantu kita membuatnya menjadi lebih mudah dan biasa. Kau tahu, saat aku membuat ukiran nama kita di cadas ini, aku tak mampu mendefinisikan apa pun tentang perasaanku. Biarkanlah cadas dan mahoni tua ini menjaga rahasia kita sebaik-baiknya. Suatu hari, relief di cadas ini akan hilang terkikis oleh air dan lumut. Mahoni tua ini pun mungkin akan tumbang. Cinta yang bergelung di hati kita saat ini akan terurai bersama waktu. Semuanya akan kembali biasa. Namun, aku tak akan pernah mampu mengikis jejak Abak yang mengalir deras di darahku. Begitu juga kau, ada ketulusan umak yang menjadi prasasti abadi dalam darahmu. Demi keabadian yang tak mampu kita asingkan itu, penerimaanlah jalan terbaik untuk kita.”
Suara lelaki itu sedikit tersedak. Seperti ada sesuatu yang menjepit pita suaranya. Namun, ia masih berdiri tegak di karang itu dan membiarkan gadis itu menyeka air matanya sendiri. Tangannya yang biasa menyeka air mata di wajah anak-anak jalanan di rumah singgah, ia biarkan menggantung saat wajah gadis itu makin basah. Ia biarkan saja bahu gadis itu berguncang tanpa sedikitpun tergerak untuk menenangkannya. Atau ia sedang berperang membantah kata hatinya sendiri.
“Hari akan segera senja. Lembayung di sana dan simfoni rimba ini akan membantumu menguatkan kembali langkah dan jiwamu untuk menatap matahari esok pagi. Semua akan baik-baik saja.”
Gadis itu bergeming. Sebuah surat tergeletak di sampingnya. Langkah lelaki itu makin lama makin sayup. Ia tahu laki-laki itu telah berlalu dari sisinya.
* * *
Kau tahu? Aku sama tak mampunya denganmu menerima kenyataan ini. Alangkah cerdasnya Tuhan merencanakan kisah cinta kita. Dia biarkan kita menyemai cinta ini bertahun-tahun lalu memberi waktu pada kita untuk merangkai dan merencanakan asa. Kita isi benjana harapan dan cinta kita sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun dengan kepingan-kepingan doa. Hari ini, kita harus tumpahkan isi bejana itu, tak peduli betapa pun sulitnya. Tak peduli betapa pun sakitnya. Kita harus tumpahkan isi bejana itu dan membiarkannya terbawa arus, tertimbun lumpur dan pasir, atau ditemukan oleh yang lain. Yang penting, kita harus pecahkan bejana itu dan buang semua isinya. Segera.
Gadis, kau jangan menangis. Tuhan sedang menguji kita. Mengijiku menjadi lelaki tangguh. Dan mengujimu menjadi wanita kuat. Gadis, kita sudah bersabar selama bertahun-tahun. Sekarang Tuhan sedang meminta kita untuk bersabar sekali lagi saja maka apakah kita akan menolak dan membiarkan semua kesabaran selama ini menguap begitu saja? Ah… aku tahu, kau tentu memilih untuk bersabar sekali lagi meskipun tak tahu hingga kapan kau harus terus bersabar.
Gadis itu menatap gerimis yang mulai menderas. Hangat nafasnya membentuk bundaran embun di kaca jendela. Untuk ke sekian kali ia menghempaskan nafas berat sambil menyeka butiran bening bola kaca hangat dari sudut matanya. Udara yang kian membeku tak lantas membuat air matanya turut membeku. Tangannya masih menggenggam selembar surat dengan tulisan tangan rapi. Namun, di lebaran surat itu telah terbentuk pola-pola bundar nan abstrak yang memudarkan tinta di kertas itu. Beberapa kata tak lagi terukir rapi. Bahkan, beberapa kata sudah tak lagi dapat dibaca dengan sempurna. Tulisan tangan yang terukir rapi di selembar kertas itu basah oleh air mata.
Kau jangan menangis, Gadis…
Bahu gadis itu berguncang saat teringat sebuah kalimat yang tertulis di selembar kertas itu. Ia tertunduk sambil membekap mulutnya untuk meredam tangis agar tak merayap keluar kamar. Ia belum menyelesaikan membaca tulisan tangan rapi di selembar surat itu. Ada godam yang terus menghantam dadanya.
Ia menyandarkan kepala di kaca jendela menatap kembali selembar surat yang tak lagi rapi kertanya itu.
Gadis, kau jangan menangis, lagi. Tuhan sedang mengujimu menjadi orang kuat. Aku akan membantumu sepenuh jiwaku, adik. Kau tak perlu temukan aku hingga batas yang tak mampu kuperhitungkan.
Tubuh gadis itu perlahan merosot hingga terduduk di lantai kamar. Tangisnya pecah. Air matanya tumpah.
Kau jangan menangis, Gadis. Tuhan sedang mengujimu menjadi orang kuat…
Betapa pun tingginya tingkat kebenaran kalimat itu, gadis itu sangat membenci kalimat itu setinggi kebenaran kalimat itu dan sepenuh jiwanya. Bahkan berharap, ia dapat sekaligus membenci penulis kalimat itu. Namun, nihil! Kalimat itu malah terus bermain-main di kepalanya laksana sebauah screen saver di layar komputer. Lelaki, kau hendak kemana?
* * *



[1] Ibu akan menikah lagi, Nak. Maaf, baru memberi tahumu.
[2] Tan Bun An dan Siti Fatimah adalah kisah cinta yang melatarbelakangi legenda Pulau Kemaro yang berada di tengah Sungai Musi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar