Senin, 03 September 2012

RINDU UNTUK ADINDA


Sudah sebulan berlalu sejak peristiwa itu, Adinda. Kau masih memunggungiku. Menatap jendela di luar sana sepanjang hari. Aku tahu kau sedang meredam air mata. Rasanya aku ingin memaksamu membuka mata, Dinda. Menatapku lekat-lekat seperti dahulu. Lihatlah, aku selalu datang kepadamu untuk berbagai cahaya. Tak lama lagi Ramadhan tiba. Aku bukan mimpi atau segala hal yang memberimu sepi. Akulah tempat yang rindumu selalu kujaga, lukamu kurawat sabar. 
* * *
Aku memaksakan kaki tetap teguh membopongmu menembus malam dingin. Aku tahu tubuhku tak kokoh untuk menggendongmu. Namun, hati dan jiwaku memiliki kekuatan yang tak pernah kau bayangkan. Tetap saja, harus kuakui saat ini aku begitu lemah dan hampir menangis meraung. Aku merangkulmu dalam dekapan. Menatap wajahmu yang sepucat rembulan, tubuh lunglai, dan darah berderai dari rahimmu. Rasanya aku ingin memaksa malaikat agar membawaku menemui Tuhan. Di sana aku akan menyembah menyerahkan separuh usia dan seluruh amalku, “Biarkan aku yang merasakan sakit itu. Jangan dia. Tidak pula anak kami. Allah, aku mohon biarkan aku yang menanggung sakit itu. Dia dan anakku terlalu lemah, sudah terlalu lama berbagi nyawa—nafas—asa berdua.”
Aku terduduk lemas di pintu ruang operasi. Kubiarkan suster dan dokter memberikan pertolongan pertama padamu. Aku tak tahu harus melakukan apa. Memohon pada Tuhan agar sedikit berbaik hati padaku, padamu, juga pada anak kita. Aku meminta pada-Nya, jangan biarkan Izrail mendekati ruanganmu malam ini.
* * *
Sudah sebulan sejak peristiwa itu, Adinda. Kau masih memunggungiku. Padahal aku sungguh rindu merapatkan jemari kita berdua. Dinda, remahan rinduku masih tersisa segenggam di tangan. Sebagian telah kutebar di tengah gerimis siang ini. Kuharap ia ceritakan itu padamu, betapa aku sungguh merindukan sekuntum senyummu.
Adinda, aku minta maaf  telah membawa mimpi buruk dalam hidupmu. Maafkan aku. Pilihan yang ditawarkan padaku malam itu begitu sulitnya. Aku harus memilih. Memilih cinta mana yang harus kupertahankan walaupun aku mencintai kalian berdua sepenuh jiwaku, sama besarnya.
“Kondisinya labil, kita harus memilih.”
Ah… saat itu, aku kehabisan cahaya berikut oksigen yang biasanya memenuhi dunia kita. Alangkah pelitnya dokter itu memberikan pilihan. Kau atau anak kita? Saat kutanyakan, bolehkan aku memilih keduanya?? Dokter menggeleng. Kuputuskan untuk memilihmu. Dinda, jika semesta membutuhkan malam dan pagi untuk menemani hari, aku membutuhkanmu untuk menemani hidupku.
Adinda, maafkan aku. Malam itu aku juga mencerabutkan mimpimu untuk menimang anak kita. Bukan aku pemilik kehidupan di dunia ini, aku hanya memilih. Jundi kecil kita sempat menangis, tetapi amat lemah suaranya. Kau mungkin mendengarnya. Dia  memanggilmu umi dalam tangisnya, tapi saat itu kau pun selemah tangisnya. Aku mempertahankan eksistensi jiwaku saat menggendongnya pulang—tanpa sempat mengumandangnkan azan ditelinganya—lalu memandikannya. Dibantu ayah, aku membungkusnya dengan kafan dan mengantarnya ke pelukan paling hangat pemilik kehidupan. Adinda janganlah bersedih meskipun kau tak sempat menatap wajah tampannya. Saat ini ia sedang tertawa, bermain, dan menghafal Al Quran di raudhatul jannah. Kelak, dia akan menjemputmu saat semua orang kesepian di yaumil akhir. Dia akan menemanimu, Adinda, menghapus sepi dan dukamu di hari semua orang merasa bersedih. Dia hanya menginginkanmu untuk menemaninya bermain di tepian salsabila.  Adinda jangan menangis. Andai dapat kurapal mantera yang bisa menghapus duka, mungkin tak akan susah aku merinduimu seperti ini. Saat jermari kita tak lagi bersentuhan, kenangan hanyalah penghibur saat kesepian menggila seperti ini.
* * *
“Kita harus mengangkat rahimnya.”
Aku  terbelalak. Cobaan apa lagi ini? Belum cukupkah duka untukmu? “Apa yang tidak beres dengan rahimnya?”
“Kita harus menghentikan pendarahannya. Hanya itu satu-satunya jalan jika tetap ingin mempertahankan nyawanya.”
Ya Rabb… bagaimana nanti aku bercerita padanya saat harus menyampaikan semua kenyataan pahit ini. Bagaimana nanti dia tetap bertahan sebagai istriku dengan semua yang sudah tercerabut dari kebanggaannya sebagai ibu. Pertama anak, lalu kini hartanya paling berharga harus pula ia langsaikan.  Namun, aku mengangguk juga. “Selamatkan dia, bagaimanapun caranya.”
* * *
Sudah sebulan berlalu sejak peristiwa itu. Kau tetap memunggungiku. Menghabiskan waktu sepanjang hari dengan menatap taman rumah sakit. Mungkinkah kau melihat pangeran kecilmu berlarian di taman itu? Aku tak berhak marah padamu. Malah seharusnya aku bersujud simpuh memohon maaf padamu karena anggukan kepalaku malam itu. Jika tidak? Entahlah. Mungkin aku hanya akan berjudi dengan waktu. Kalau saja malam itu aku tidak menganggukkan kepala, mungkin saat ini dengan kuasa Tuhan kau tetap hidup dengan rahimmu. Atau bisa jadi, kau telah berpeluk dengan pangeran kecilmu. Aku memohon maaf atas keegoisanku mempertahankanmu hanya untuk hidupku. Adinda, aku hanya ingin kau pahami  bahwa sudah kuadukkan namamu dalam bejana rindu di tungku kalbuku. Merah bara kasih sayangku padamu. Di sana, terdidih tirta kasih yang kureguk agar dirimu merasuk selamanya menjadi penggenap tulang rusukku.
Adinda, sudah sebulan berlalu sejak peristiwa itu. Kau masih saja memunggungiku. Menghabiskan ribuan detik milikmu hanya untuk menatap cemara tua di luar sana. Aku ingin mendengarmu bertanya padaku, “Mengapa kau selalu datang?” Tahukah kau, jawabannya? Karena rindu selalu mengantarku pada sebuah rumah bernama ‘KAMU’ tanpa kenal waktu.
* * *
Wanita itu tersenyum dalam tidurnya. Cahaya mentari di luar sana menerobos masuk celah jendela memberi rona di wajahnya. Nafasnya bergerak teratur.  Ia sedang berlari mengejar bocah laki-laki berambut ikal dan bermata bulat. Tawa bocah itu renyah jenaka laksana gemerick air gunung di sudut rimba cinta. “Tunggu Umi, Nak…” ia mengulurkan tangan saat bocah itu mendaki sebuah cadas besar.  Ia hanya sempat melihat sesaat sebelum bocah gempal berkulit putih itu kehilangan pegaman.
Wanita itu terbelalak. Namun, tak ada cadas hitam besar dan tinggi yang menggelincirkan putranya. Di hadapannya hanya sebuah jendela bening bertirai putih yang memantul cahaya matahari pagi. Sebatang cemara masih berdiri kokoh menatapnya.
“Mana anak kita?”
“Allah mengasuhnya.”
Ia meremas air mata mengingat kalimat itu.
“Aku kenapa?”
“Maafkan aku, Dinda,” ia melihat lelaki terbaik itu menangis. Mencium puncak kepalanya. Nafasnya terdengar berat.
“Mereka mengangkat rahimmu.”
Wanita itu bergeming. Air matanya runtuh. Pelukan laki-laki itu terasa hampa. Laksana daun yang berguguran saat kemarau datang, ia merasakan jiwanya hilang. Perlahan. Dialah ranting kesedihan yang ditinggalkan masa.
* * *
Adinda, aku telah mengizinkanmu tataplah ragu selama kau mau. Sebersikeras cahaya matamu, tapi jangan cegah cintaku memandang tulus hatimu. Hari ini, sebulan telah berlalu. Biarkan kuseka air matamu. Sebentar lagi Ramadhan tiba. Aku rindu Ramadhan seperti dulu bersamamu. Di sepenjang sudut jalan Ramadhan nanti, aku menyusuri kenangan kita. Berharap dapat memungut kembali serpihan hati yang tercecerkan. 
Adinda, sebulan telah berlalu sejak peristiwa itu. Semoga kau masih ingat kataku dulu, aku adalah kereta pembawa gerbong penuh terisi rindu, berpacu dengan jarak dan waktu untuk menuju stasiun bertulis namamu. Hingga hari ini, hampir dua tahun pernikahan kita, aku tetaplah kereta itu. Kumohon jangan lagi memunggungiku, tataplah aku, Dinda. Aku rindu senyum dan indah mata zaitunmu. Janganlah kau biarkan aku berteman hampa. Berilah isyarat apa pun yang kau bisa agar aku tahu koordinatku di ruang hatimu.
Adinda, sebulan telah berlalu sejak peristiwa itu. Lihatlah di terang malam di luar sana. Bulan sabit itu umpama dirimu, Adinda. Umpama kau yang sedang menimang anakku. Entah sedang merayu meminta senyumnya atau merajuk karena tangisnya. Semua itu kudamba dalam benakku, Dinda. Mendamba menatapmu berkasih-kasihan dengan kekasih baru kita.
 “Alhamdulillah...”
Aku hampir menangis saat kau membalikkan badan dan berusaha menegakkan punggungmu. Kau menatapku untuk  pertama kali sejak satu bulan terakhir. Senyummu masih seindah kamboja di tengah belukar rinduku. Matamu adalah sihir yang mengajakku melabuhkan rindu. Aku memelukmu erat sekali. “Maafkan aku,” bisikku.
“Aku ibu,” bisikmu parau. Tanganmu mencengkram erat punggungku. “Anakku?” bisikmu tepat di telingaku.
Sebutir mutiara bening berdenting hangat di bahuku. Aku tahu itu dari bendungan patah hatimu. Sesak di dadaku kian menjadi. Aku tahu bahumu terguncang oleh sedan. Detik berikutnya, aku tak tahu kau dapat kekuatan dari mana. Tubuhku terlempar ke lantai kamar rumah sakit. Kudengar kau meraung histeris. Kulihat kau lemparkan semua yang dapat kau raih dengan jemari lentik yang biasa kugenggam hampir dua tahun ini. Setelah itu, teriakmu lenyap. Kau malah menertawakan aku yang merana melihat tatapan hampamu.
Adindaku sedalam itukah luka oleh cinta? Aku kehilangan kata. Tak bisakah rinduku menjadi penenangmu?  Mungkin inilah saat aku akan terlupakan atau bahkan tersisih dari ingatan dan hatimu. Saat kau pilu, terpukul, dan terluka seperti ini, yakinkah hatimu, Dinda. Yakinlah aku selalu ada untukmu, Adinda. Andai dapat kuulang waktu, aku tak akan menyesal membiarkanmu tetap bersama cinta barumu yang kau semai sembilan bulan lamanya di rahimmu. Andai dapat kuputar waktu, aku tak akan menyesal membiarkan kau melanjutkan hidup bersama cinta yang kita semai di alam baru yang di tepian salsabila. Namun, maafkan aku, Adinda. Maafkan keegoisanku membuatmu kehilangan semuanya. Tahukah kau, Dinda? Rindu inilah semakin menjadi candu. Membuatku terhuyung-huyung dalam menjajari langkahmu yang seolah hendak pergi jauh dariku.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar