Sudah sebulan berlalu sejak
peristiwa itu, Adinda. Kau masih memunggungiku. Menatap jendela di luar sana sepanjang hari. Aku
tahu kau sedang meredam air mata. Rasanya aku ingin memaksamu membuka mata,
Dinda. Menatapku lekat-lekat seperti dahulu. Lihatlah, aku selalu datang
kepadamu untuk berbagai cahaya. Tak lama lagi Ramadhan tiba. Aku bukan mimpi
atau segala hal yang memberimu sepi. Akulah tempat yang rindumu selalu kujaga,
lukamu kurawat sabar.
* * *
Aku memaksakan kaki tetap teguh membopongmu menembus malam dingin. Aku
tahu tubuhku tak kokoh untuk menggendongmu. Namun, hati dan jiwaku memiliki
kekuatan yang tak pernah kau bayangkan. Tetap saja, harus kuakui saat ini aku
begitu lemah dan hampir menangis meraung. Aku merangkulmu dalam dekapan.
Menatap wajahmu yang sepucat rembulan, tubuh lunglai, dan darah berderai dari
rahimmu. Rasanya aku ingin memaksa malaikat agar membawaku menemui Tuhan. Di sana aku akan menyembah
menyerahkan separuh usia dan seluruh amalku, “Biarkan aku yang merasakan sakit itu. Jangan dia. Tidak pula anak kami.
Allah, aku mohon biarkan aku yang menanggung sakit itu. Dia dan anakku terlalu
lemah, sudah terlalu lama berbagi nyawa—nafas—asa berdua.”
Aku terduduk lemas di pintu ruang operasi. Kubiarkan suster dan dokter
memberikan pertolongan pertama padamu. Aku tak tahu harus melakukan apa.
Memohon pada Tuhan agar sedikit berbaik hati padaku, padamu, juga pada anak
kita. Aku meminta pada-Nya, jangan biarkan Izrail mendekati ruanganmu malam
ini.
* * *
Sudah sebulan sejak peristiwa itu,
Adinda. Kau masih memunggungiku. Padahal aku sungguh rindu merapatkan jemari
kita berdua. Dinda, remahan rinduku masih tersisa segenggam di tangan. Sebagian
telah kutebar di tengah gerimis siang ini. Kuharap ia ceritakan itu padamu,
betapa aku sungguh merindukan sekuntum senyummu.
Adinda,
aku minta maaf telah membawa mimpi buruk
dalam hidupmu. Maafkan aku. Pilihan yang ditawarkan padaku malam itu begitu
sulitnya. Aku harus memilih. Memilih cinta mana yang harus kupertahankan
walaupun aku mencintai kalian berdua sepenuh jiwaku, sama besarnya.
“Kondisinya labil, kita harus memilih.”
Ah… saat itu, aku kehabisan cahaya
berikut oksigen yang biasanya memenuhi dunia kita. Alangkah pelitnya dokter itu
memberikan pilihan. Kau atau anak kita? Saat kutanyakan, bolehkan aku memilih
keduanya?? Dokter menggeleng. Kuputuskan untuk memilihmu. Dinda, jika semesta
membutuhkan malam dan pagi untuk menemani hari, aku membutuhkanmu untuk
menemani hidupku.
Adinda, maafkan aku. Malam itu aku
juga mencerabutkan mimpimu untuk menimang anak kita. Bukan aku pemilik
kehidupan di dunia ini, aku hanya memilih. Jundi kecil kita sempat menangis,
tetapi amat lemah suaranya. Kau mungkin mendengarnya. Dia memanggilmu umi dalam tangisnya, tapi saat itu kau pun selemah tangisnya. Aku
mempertahankan eksistensi jiwaku saat menggendongnya pulang—tanpa sempat
mengumandangnkan azan ditelinganya—lalu memandikannya. Dibantu ayah, aku
membungkusnya dengan kafan dan mengantarnya ke pelukan paling hangat pemilik kehidupan.
Adinda janganlah bersedih meskipun kau tak sempat menatap wajah tampannya. Saat
ini ia sedang tertawa, bermain, dan menghafal Al Quran di raudhatul jannah. Kelak, dia akan menjemputmu saat semua orang
kesepian di yaumil akhir. Dia akan
menemanimu, Adinda, menghapus sepi dan dukamu di hari semua orang merasa
bersedih. Dia hanya menginginkanmu untuk menemaninya bermain di tepian salsabila. Adinda jangan menangis. Andai dapat kurapal
mantera yang bisa menghapus duka, mungkin tak akan susah aku merinduimu seperti
ini. Saat jermari kita tak lagi bersentuhan, kenangan hanyalah penghibur saat
kesepian menggila seperti ini.
* * *
“Kita harus mengangkat rahimnya.”
Aku terbelalak. Cobaan apa lagi
ini? Belum cukupkah duka untukmu? “Apa yang tidak beres dengan rahimnya?”
“Kita harus menghentikan pendarahannya. Hanya itu satu-satunya jalan
jika tetap ingin mempertahankan nyawanya.”
Ya Rabb… bagaimana nanti aku bercerita padanya saat harus menyampaikan
semua kenyataan pahit ini. Bagaimana nanti dia tetap bertahan sebagai istriku
dengan semua yang sudah tercerabut dari kebanggaannya sebagai ibu. Pertama
anak, lalu kini hartanya paling berharga harus pula ia langsaikan. Namun, aku mengangguk juga. “Selamatkan dia,
bagaimanapun caranya.”
* * *
Sudah sebulan berlalu sejak
peristiwa itu. Kau tetap memunggungiku. Menghabiskan waktu sepanjang hari
dengan menatap taman rumah sakit. Mungkinkah kau melihat pangeran kecilmu
berlarian di taman itu? Aku tak berhak marah padamu. Malah seharusnya aku
bersujud simpuh memohon maaf padamu karena anggukan kepalaku malam itu. Jika
tidak? Entahlah. Mungkin aku hanya akan berjudi dengan waktu. Kalau saja malam
itu aku tidak menganggukkan kepala, mungkin saat ini dengan kuasa Tuhan kau
tetap hidup dengan rahimmu. Atau bisa jadi, kau telah berpeluk dengan pangeran
kecilmu. Aku memohon maaf atas keegoisanku mempertahankanmu hanya untuk
hidupku. Adinda, aku hanya ingin kau pahami
bahwa sudah kuadukkan namamu dalam bejana rindu di tungku kalbuku. Merah
bara kasih sayangku padamu. Di sana ,
terdidih tirta kasih yang kureguk agar dirimu merasuk selamanya menjadi
penggenap tulang rusukku.
Adinda, sudah sebulan berlalu sejak
peristiwa itu. Kau masih saja memunggungiku. Menghabiskan ribuan detik milikmu
hanya untuk menatap cemara tua di luar sana .
Aku ingin mendengarmu bertanya padaku, “Mengapa
kau selalu datang?” Tahukah kau, jawabannya? Karena rindu selalu
mengantarku pada sebuah rumah bernama ‘KAMU’ tanpa kenal waktu.
* * *
Wanita itu tersenyum dalam
tidurnya. Cahaya mentari di luar sana
menerobos masuk celah jendela memberi rona di wajahnya. Nafasnya bergerak
teratur. Ia sedang berlari mengejar
bocah laki-laki berambut ikal dan bermata bulat. Tawa bocah itu renyah jenaka
laksana gemerick air gunung di sudut rimba cinta. “Tunggu Umi, Nak…” ia mengulurkan tangan saat bocah itu mendaki
sebuah cadas besar. Ia hanya sempat
melihat sesaat sebelum bocah gempal berkulit putih itu kehilangan pegaman.
Wanita itu terbelalak. Namun, tak
ada cadas hitam besar dan tinggi yang menggelincirkan putranya. Di hadapannya
hanya sebuah jendela bening bertirai putih yang memantul cahaya matahari pagi.
Sebatang cemara masih berdiri kokoh menatapnya.
“Mana anak kita?”
“Allah mengasuhnya.”
Ia meremas air mata mengingat
kalimat itu.
“Aku kenapa?”
“Maafkan aku, Dinda,” ia
melihat lelaki terbaik itu menangis. Mencium puncak kepalanya. Nafasnya
terdengar berat.
“Mereka mengangkat rahimmu.”
Wanita itu bergeming. Air matanya
runtuh. Pelukan laki-laki itu terasa hampa. Laksana daun yang berguguran saat
kemarau datang, ia merasakan jiwanya hilang. Perlahan. Dialah ranting kesedihan
yang ditinggalkan masa.
* * *
Adinda, aku telah mengizinkanmu tataplah ragu selama kau mau. Sebersikeras
cahaya matamu, tapi jangan cegah cintaku memandang tulus hatimu. Hari ini,
sebulan telah berlalu. Biarkan kuseka air matamu. Sebentar lagi Ramadhan tiba.
Aku rindu Ramadhan seperti dulu bersamamu. Di sepenjang sudut jalan Ramadhan
nanti, aku menyusuri kenangan kita. Berharap dapat memungut kembali serpihan
hati yang tercecerkan.
Adinda, sebulan telah berlalu
sejak peristiwa itu. Semoga kau masih ingat kataku dulu, aku adalah kereta pembawa gerbong penuh terisi rindu, berpacu dengan
jarak dan waktu untuk menuju stasiun bertulis namamu. Hingga hari ini,
hampir dua tahun pernikahan kita, aku tetaplah kereta itu. Kumohon jangan lagi
memunggungiku, tataplah aku, Dinda. Aku rindu senyum dan indah mata zaitunmu. Janganlah
kau biarkan aku berteman hampa. Berilah isyarat apa pun yang kau bisa agar aku
tahu koordinatku di ruang hatimu.
Adinda, sebulan telah berlalu
sejak peristiwa itu. Lihatlah di terang malam di luar sana. Bulan sabit itu
umpama dirimu, Adinda. Umpama kau yang sedang menimang anakku. Entah sedang
merayu meminta senyumnya atau merajuk karena tangisnya. Semua itu kudamba dalam
benakku, Dinda. Mendamba menatapmu berkasih-kasihan dengan kekasih baru kita.
“Alhamdulillah...”
Aku hampir menangis saat kau
membalikkan badan dan berusaha menegakkan punggungmu. Kau menatapku untuk pertama kali sejak satu bulan terakhir. Senyummu
masih seindah kamboja di tengah belukar rinduku. Matamu adalah sihir yang
mengajakku melabuhkan rindu. Aku memelukmu erat sekali. “Maafkan aku,” bisikku.
“Aku ibu,” bisikmu parau. Tanganmu
mencengkram erat punggungku. “Anakku?” bisikmu tepat di telingaku.
Sebutir mutiara bening berdenting
hangat di bahuku. Aku tahu itu dari bendungan patah hatimu. Sesak di dadaku
kian menjadi. Aku tahu bahumu terguncang oleh sedan. Detik berikutnya, aku tak
tahu kau dapat kekuatan dari mana. Tubuhku terlempar ke lantai kamar rumah
sakit. Kudengar kau meraung histeris. Kulihat kau lemparkan semua yang dapat
kau raih dengan jemari lentik yang biasa kugenggam hampir dua tahun ini. Setelah
itu, teriakmu lenyap. Kau malah menertawakan aku yang merana melihat tatapan
hampamu.
Adindaku sedalam itukah luka oleh
cinta? Aku kehilangan kata. Tak bisakah rinduku menjadi penenangmu? Mungkin inilah saat aku akan terlupakan atau
bahkan tersisih dari ingatan dan hatimu. Saat kau pilu, terpukul, dan terluka
seperti ini, yakinkah hatimu, Dinda. Yakinlah aku selalu ada untukmu, Adinda.
Andai dapat kuulang waktu, aku tak akan menyesal membiarkanmu tetap bersama
cinta barumu yang kau semai sembilan bulan lamanya di rahimmu. Andai dapat
kuputar waktu, aku tak akan menyesal membiarkan kau melanjutkan hidup bersama
cinta yang kita semai di alam baru yang di tepian salsabila. Namun, maafkan aku, Adinda. Maafkan keegoisanku
membuatmu kehilangan semuanya. Tahukah kau, Dinda? Rindu inilah semakin menjadi
candu. Membuatku terhuyung-huyung dalam menjajari langkahmu yang seolah hendak
pergi jauh dariku.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar