“Dari stasiun Mas. Beli tiket untuk
mudik lebaran nanti. Nih,” Budi menunjukkan selembar tiket kereta api untuk
kelas ekonomi.
Aku menggeleng sambil menggantung
dasi kerjaku. Belum juga masuk Ramdhan yang disiapkan lebih dahulu malah tiket
mudik. “Mau mudik lagi lebaran ini?”
Budi menggangguk antusias, “Iya,
Mas. Bukan Lebaran namanya kalo ndak mudik.
Apalagi keluargaku kan
di Bojonegoro semua, Mas. Ngapain aku
lebaran tetep di Jakarta .
Ndak ada siapa-siapa ini. Mas Fikri ndak pulang kampung lagi, yo?”
Tanganku yang hendak memasukkan
pakaian kotor ke mesin cuci tiba-tiba menggantung karena pertanyaannya. Sejurus
kemudian aku menggeleng cepat. Aku tak peduli. “Pekerjaanku banyak, Bud. Aku
mandi dulu, ya.”
“Ndak rindu tho Mas dengan
ibu sama bapak di kampung?”
* * *
Delapan tahun lalu aku memutuskan
meninggalkan bapak, ibu, ayukku, dan
kampung halamanku. Aku meninggalkan rumah dengan perasaan berdarah-darah. Aku
kecewa dengan sikap bapak yang tak peduli pada cita-citaku. Tiga tahun aku
bekerja keras di SMA agar dapat menjadi siswa terbaik dengan prestasi gemilang.
Aku tak meminta apa pun pada bapak. Kupenuhi kebutuhan biaya sekolah dan
buku-buku dengan bekerja sebagai penjaga toko dan kuli angkut di pasar pagi.
Aku hanya ingin bapak mendukung cita-citaku.
Prestasi gemilangku berbuah manis.
Aku diterima di fakultas hukum di universitas terbaik di Jakarta . Aku ingin menjadi pengacara terbaik.
Meraih ilmu setinggi-tingginya untuk memperbaiki kualitas hidup dan kondisi
ekonomi keluarga kami yang terpuruk selama bertahun-tahun. Namun, saat surat penerimaanku di
universitas itu kutunjukkan pada bapak, beliau hanya melengos. “Bapak tidak
punya uang untuk biaya masuk kuliah, Fik. Kau tahu kan , Ayuk Fida akan menikah bulan haji
nanti.”
Saat itu aku ngotot mempertahankan cita-citaku. Aku tahu, jangankan untuk biaya
kuliah, biaya sekolah pun aku berusaha memenuhi sendiri. “Fikri punya uang,
Pak. Tabungan hasil nguli di pasar
dan sisa beasiswa. Hanya masih kurang dua juta untuk ongkos perjalanan dan
biaya masuk.” Aku melirik tiga ekor sapi yang merumput di samping rumah.
“Dua juta? Dapat dari mana kita
uang sebanyak itu. Kau kan
tahu ayuk kau akan menikah. Bapak juga harus menyiapkan banyak uang untuk
pernikahannya.”
“Kita punya enam sapi, Pak. Jual
satu untuk biaya kuliahku. Apa susahnya.”
“Ayuk kau hendak menikah, Fik.
Bapak memang akan menjual sapi itu tapi bukan untuk kuliah kau, tapi untuk
pernikahan ayuk kau! Kalau kau mau kuliah, tunggu tahun depan.”
Aku meradang. Kecewa
berdarah-darah! Bapak lebih memilih penyambutan untuk seorang menantu! Tapi
bapak melupakan masa depanku! Tidak! Tidak akan ada tahun depan! Kesempatan ini
hanya datang sekali. Mengapa bukan Ayuk Fida yang menunda pernikahannya hingga
tahun depan?
Aku berlari meninggalkan rumah
menuju sungai di tengah hutan kampung kami. Aku berlari kesetanan tak peduli
pada akar dan ranting patah yang siap menghadang kakiku. Aku memanjat pohon
asam putaran yang berdahan besar dan berdaun lebat di tepi sungai. Duduk
mengasingkan diri di dahan tertingginya yang menjorok ke sungai. Aku tidak
menangisi ketidakpedulian bapakku. Juga tak menangisi kelemahan ibu yang tak
mampu membela dan memperjuangkan cita-citaku di hadapan bapak. Aku marah pada
nasib yang tidak memihak padaku. Aku berdiri dan melangkahkan kaki pelan
menapaki guratan dahan pohon asam yang berbonggol. Merentangkan tanganku
lebar-lebar. Menatap permukaan sungai yang lebar dan deras. Merasakan angin yang
berhembus bebas menghantam dadaku yang telanjang. Aku melompat menceburkan diri
ke sungai. Air kecoklatan itu melumatku. Aku membuka mata dan mengepakkan
tangan. Saat muncul di permukaan air, aku telah terseret beberapa meter dari
pohon asam.
Aku tak merasa kehabisan napas. Tak
juga lambungku dipenuhi air. Aku adalah anak kampung yang menguasai teknik
berenang dengan baik. Air sungai itu mencuci bersih otakku. Seolah memberikan
cahaya baru untukku menemukan jalan merentas cita-cita. Jangankan untuk tiba di Jakarta —kota yang satu butir
kerikilnya pun belum pernah kulihat—ke bulan pun bukan hal mustahil asalkan
kakiku tak pernah berhenti bergerak dan tanganku tak pernah malas berusaha.
Baiklah! Aku masih memiliki waktu
dua bulan sebelum pendaftaran ulang di universitas. Sejak hari itu aku menggila menjadi tenaga
kerja paling produktif di kampung halamanku. Aku menjadi kuli angkut yang
paling gesit berjalan dan paling banyak memanggul barang. Meskipun jika malam
tiba, tulang punggungku beramai-ramai mengajukan permintaan libur. Aku
berkunjug ke banyak rumah demi mendapatkan job
memperbaiki pagar, kandang ayam, kandang kambing dan kerbau yang hendak
diperbaiki. Bahkan, saking terkenalnya aku sebagai kuli serabutan di kampung,
banyak anak kecil yang mencariku hanya untuk memperbaiki robot-robotan atau
mobilan yang rusak. Hasilnya, pundi-pundi tabunganku bertambah meskipun dengan
kecepatan lambat.
Bisa jadi aku adalah mahasiwa baru
di universitas ternama yang datang hanya dengan modal semangat. Hingga akhir
semester pertama, aku tak memiliki tempat kost. Pengurus masjid di dekat kampus
berbaik hati mengizinkan aku tinggal di masjid itu untuk batas waktu yang tak
ditentukan. Aku menghilang ditelan belantara Jakarta . Menenggelamkan diri pada studiku dan
kerja serabutan. Tak sepucuk surat
pun kukirimkan pada bapak yang melepas kepergianku dengan melemparkan puntung
rokoknya saat kakiku baru saja menuruni anak tangga rumah panggung kami.
* * *
Ramadhan kali ini aku tetap melihat
semangat luar biasa di wajah Budi. Mungkin karena ada janji bahagia di
penghujung Ramadhan bahwa ia dapat pulang kampung tanpa harus berdesakan
mengantri tiket kereta. Tiket itu disimpannya rapi di dompetnya, sesekali
dipamerkannya padaku.
“Kenapa nggak naik pesawat aja, Bud? Kan
lebih nyaman, cepet lagi.”
“Aduuh… gaji kita kan beda, Mas. Nantilah kalo Budi sudah
dapat kasus-kasus besar kayak Mas Fikri ini lho… nanti baru Budi pulang mudik
naik pesawat. Lagian, kalo pulang kampung tuh butuh banyak bawaan, Mas. Jadi
pengeluaran ndak cuma buat ongkos,
tapi juga buat oleh-oleh dan bagi-bagi duit ke ponakan dan anak-anak
tetangga.” Wajah Budi sumringah saat
menceritakan ritual Lebaran di kampungnya.
“Ngapain aja sih kalo mudik?”
Maklum sejak lahir ke dunia hingga
usiaku tujuh belas tahun aku menghabiskan Lebaran di kampung halaman tanpa
pernah mendahului hari raya itu dengan rindu ingin bertemu. Toh, setiap hari kami bertemu. Jadi,
mengapa pula harus ada rindu. Sejak delapan tahun lalu aku meninggalkan rumah
panggung keluarga kami, sekali pun aku tidak pernah menginjakkan kaki ke
kampungku. Tekadku bulat. Aku hanya akan pulang jika telah sukses di Jakarta. Aku
ingin buktikan pada bapak bahwa anak bujangnya ini bukanlah lelaki manja yang
tak akan bisa berdiri tanpa bantuannya. Aku akan buktikan pada bapak bahwa
ketidakpeduliannya padaku tidak akan pernah menyurutkan langkahku.
“Yang pasti nyekar, Mas. Itu lho, ziarah maksudnya,” Budi segera meralat
kalimatnya. “Bapakku kan
sudah ndak ada. Jadi tiap Lebaran
kami rame-rame ziarah ke makan bapak. Bersihin makam, tabur bunga, dan kirim
doa. Lebaran tuh koyo’ ndak artinya
kalo ndak ada orang tua lho, Mas.”
Aku diam. Teringat bahwa Budi
pernah bercerita bahwa bapaknya meninggal saat ia masih SD. Namun, aku salut
melihat semangat pada diri budi. Ah, tak terlalu jauh pula bedanya kami berdua
ini. Namun, tetap saja Budi lebih beruntung. Budi bekerja keras untuk
sekolahnya karena bapaknya sudah meninggal. Lalu aku? Nasibku jauh lebih
menyedihkan. Bapakku masih ada, sapinya hampir setengah lusin, kebun kopi pun
kami ada meskipun begitu kecil, tetapi bapakku tak pernah peduli pada
sekolahku. Aku sama berkeringatnya seperti Budi demi angan-angan tentang
koleksi beberapa lembar ijazah.
* * *
Lebaran tinggal menghitung hari.
Budi telah berangkat ke kampung halamannya sejak kemarin sore. Aku terbangun
dengan nafas tersengal dua jam sebelum azan subuh berkumandang. Masih sempat
untuk qiyamul lail dan sahur. Namun, nafsu makanku hilang.
Seseorang bertangan keriput dengan rambut memutih menggandeng tanganku
menyusuri jalan setapak dalam tidurku tadi. Jalan setapak itu begitu kukenal.
Jalan yang licin saat hujan turun lalu aku dan anak-anak kampung beramai-ramai
saling dorong bermain perosotan di atasnya. Itu jalan menuju rumahku.
Aku tak menyentuh sebutir nasi pun
malam itu, malah sibuk menekan nomor telepon beberapa agen perjalanan dari
ponselku. Tak satu pun panggilanku dijawab mengingat kantor itu tentu saja baru
akan beraktivitas beberapa jam setelah matahari terbit.
“Penerbangan ke Palembang ,” pintaku saat teleponku terangkat
menjelang pukul sembilan pagi.
“Hanya tersisa pada H+1 Lebaran,
Pak. Penerbangan pukul 06.00 WIB…”
Aku langsung mengiyakan. Percuma
mencari penerbangan lain karena mungkin jawaban yang kuterima akan sama. Para calo dan pemburu tiket pastilah sudah menghabiskan
semua tiket jauh sebelum bulan puasa tiba, seperti Budi. Aku pun—entahlah—mengapa tiba-tiba terpikir
bahwa aku harus pulang. Yang menghantui pikiranku adalah pemilik tangan keriput
yang menggandeng tanganku dalam mimpiku tadi malam. Aku pikir itu tangan emak. Aku mencoba
mengingat lagi bingkai wajahnya, tetapi waktu delapan tahun pastilah telah
mengubah beberapa karakter siluet wajahnya. Aku bahkan lupa seberapa tebal alis
mata emakku. Bapak? Ah… aku semakin kesulitan melukis wajahnya. Yang kuingat
hanyalah rokoknya yang seperti rel kereta api. Yang kuingat hanyalah tatapan
ketidakpeduliannya. Yang kuingat hanyalah cemoohannya, apalah perlunya sekolah. Kau gali saja tanah kebun kita itu, pasti kau
akan dapatkan emas di sana .
Aku balas mencemooh kalimat itu, “Lalu, kenapa bukan bapak saja yang
menggalinya? Kenapa bukan bapak saja yang temukan emasnya agar hidup kita tidak
terlalu melarat seperti ini!”
* * *
Pesawat mendarat di SMB II saat
matahari baru akan meninggi. Cahayanya menyilaukan. Aku menarik koperku yang
hanya berisi beberapa pakaian ganti dan oleh-oleh untuk emak dan bapak. Aku
masih butuh lima
jam perjalanan darat menuju kampungku.
Aku tak berminat mengobrol dengan sopir yang mengantarku. Kubuang saja
pandangan ke jalanan yang ramai orang hilir mudik berbaju baru keluar dari
rumah satu ke rumah lainnya. Aku tak merasa lapar juga tak butuh seteguk air
pun. Perjalanan tak terencana ini seperti mimpi magis yang menyeretku kembali
ke masa lalu.
Aku berdiri mematung di depan
sebuah rumah panggung. Tak terlihat
kemeriahan lebaran. Tangga rumah itu semakin rapuh. Kakiku seperti terpaku di
halaman rumah itu. Tak berani melangkah. Semakin kaku saat seorang wanita kurus
yang kulitnya bergelambir karena keriput dan menyampirkan kerudung coklat di
kepalanya menatapku lekat. Mataku mengabut. Seorang lagi wanita bertubuh tinggi
yang (kurasa) kulitnya lebih legam dari terakhir aku melihatnya berdiri di
samping wanita tua itu sambil menggandeng seorang bocah laki-laki. Dadaku
bergemuru seiring kabut yang siap runtuh dari mataku. Aku masih mencari seorang
lagi. Laki-laki yang kusimpan kesumat untuknya. Namun, hingga dua orang wanita
itu perlahan menuruni tangga laki-laki itu—bapakku—tak kulihat juga
bayangannya.
Aku dapat membaca dengan jelas
bibir wanita itu bergetar mengeja namaku, “Fi…kri…” Aku menghambur meninggalkan
koperku tersungkur di kaki emak. Emak terduduk di tangga. Ia menyambut kepalaku
yang terbenam di kakinya lulu mencium wajahku. Ia memperlakukanku seperti bayi
yang baru ditemukan dari seorang penculik amatiran. Air matanya tumpah. Aku
dapat lagi mencium aroma tubuhnya.
“Mana Bapak?” aku seperti berbisik
menayakan laki-laki yang darahnya mengalir deras di tubuhku.
Emak tak menjawab. Ayuk Fida
menepuk pundakku dan menunjuk sebuah gundukan tanah di halaman rumah. “Bapak
sudah lama pergi. Dia berpesan agar dimakamkan di halaman rumah kita. Dia ingin
menjadi orang pertama yang melihat dan menyambut kepulanganmu.”
Tubuhku lemas. Bapak yang kubenci
dan kuhapus dia dari kepalaku masih mengharapkan aku pulang? Bahkan saat tahu
tak dapat bertemu nyawa denganku, dia masih meninggalkan jejak raganya untuk
menyambutku.
“Bapak kau, pernah ke Jakarta untuk menyerahkan
uang kuliahmu, Fik. Tapi Jakarta terlalu luas bagi bapak kau yang bodoh itu.
Dia menjual semua sapinya untuk kuliah kau, tapi sayang kau berangkat ke Jakarta sebelum orang
melunasi pembayaran sapi itu, Fik.”
Aku diam. Membiarkan air mata
runtuh tanpa menunggu izinku. Menatap beku gundukan tanah bernisan papan di
halaman rumah kami. Lebaran kali ini aku
pun nyekar, Bud. Seperti rutinitasmu saat lebaran. Namun, terlalu menyedihkan
karena ini adalah mudik pertamaku.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar