Senin, 10 September 2012

MUDIK



“Dari stasiun Mas. Beli tiket untuk mudik lebaran nanti. Nih,” Budi menunjukkan selembar tiket kereta api untuk kelas ekonomi.
Aku menggeleng sambil menggantung dasi kerjaku. Belum juga masuk Ramdhan yang disiapkan lebih dahulu malah tiket mudik. “Mau mudik lagi lebaran ini?”
Budi menggangguk antusias, “Iya, Mas. Bukan Lebaran namanya kalo ndak mudik. Apalagi keluargaku kan di Bojonegoro semua, Mas. Ngapain aku lebaran tetep di Jakarta. Ndak ada siapa-siapa ini. Mas Fikri ndak pulang kampung lagi, yo?”
Tanganku yang hendak memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci tiba-tiba menggantung karena pertanyaannya. Sejurus kemudian aku menggeleng cepat. Aku tak peduli. “Pekerjaanku banyak, Bud. Aku mandi dulu, ya.”
Ndak rindu tho Mas dengan ibu sama bapak di kampung?”
* * *
Delapan tahun lalu aku memutuskan meninggalkan bapak, ibu, ayukku, dan kampung halamanku. Aku meninggalkan rumah dengan perasaan berdarah-darah. Aku kecewa dengan sikap bapak yang tak peduli pada cita-citaku. Tiga tahun aku bekerja keras di SMA agar dapat menjadi siswa terbaik dengan prestasi gemilang. Aku tak meminta apa pun pada bapak. Kupenuhi kebutuhan biaya sekolah dan buku-buku dengan bekerja sebagai penjaga toko dan kuli angkut di pasar pagi. Aku hanya ingin bapak mendukung cita-citaku.
Prestasi gemilangku berbuah manis. Aku diterima di fakultas hukum di universitas terbaik di Jakarta. Aku ingin menjadi pengacara terbaik. Meraih ilmu setinggi-tingginya untuk memperbaiki kualitas hidup dan kondisi ekonomi keluarga kami yang terpuruk selama bertahun-tahun. Namun, saat surat penerimaanku di universitas itu kutunjukkan pada bapak, beliau hanya melengos. “Bapak tidak punya uang untuk biaya masuk kuliah, Fik. Kau tahu kan, Ayuk Fida akan menikah bulan haji nanti.”
Saat itu aku ngotot mempertahankan cita-citaku. Aku tahu, jangankan untuk biaya kuliah, biaya sekolah pun aku berusaha memenuhi sendiri. “Fikri punya uang, Pak. Tabungan hasil nguli di pasar dan sisa beasiswa. Hanya masih kurang dua juta untuk ongkos perjalanan dan biaya masuk.” Aku melirik tiga ekor sapi yang merumput di samping rumah.
“Dua juta? Dapat dari mana kita uang sebanyak itu. Kau kan tahu ayuk kau akan menikah. Bapak juga harus menyiapkan banyak uang untuk pernikahannya.”
“Kita punya enam sapi, Pak. Jual satu untuk biaya kuliahku. Apa susahnya.”
“Ayuk kau hendak menikah, Fik. Bapak memang akan menjual sapi itu tapi bukan untuk kuliah kau, tapi untuk pernikahan ayuk kau! Kalau kau mau kuliah, tunggu tahun depan.”
Aku meradang. Kecewa berdarah-darah! Bapak lebih memilih penyambutan untuk seorang menantu! Tapi bapak melupakan masa depanku! Tidak! Tidak akan ada tahun depan! Kesempatan ini hanya datang sekali. Mengapa bukan Ayuk Fida yang menunda pernikahannya hingga tahun depan?
Aku berlari meninggalkan rumah menuju sungai di tengah hutan kampung kami. Aku berlari kesetanan tak peduli pada akar dan ranting patah yang siap menghadang kakiku. Aku memanjat pohon asam putaran yang berdahan besar dan berdaun lebat di tepi sungai. Duduk mengasingkan diri di dahan tertingginya yang menjorok ke sungai. Aku tidak menangisi ketidakpedulian bapakku. Juga tak menangisi kelemahan ibu yang tak mampu membela dan memperjuangkan cita-citaku di hadapan bapak. Aku marah pada nasib yang tidak memihak padaku. Aku berdiri dan melangkahkan kaki pelan menapaki guratan dahan pohon asam yang berbonggol. Merentangkan tanganku lebar-lebar. Menatap permukaan sungai yang lebar dan deras. Merasakan angin yang berhembus bebas menghantam dadaku yang telanjang. Aku melompat menceburkan diri ke sungai. Air kecoklatan itu melumatku. Aku membuka mata dan mengepakkan tangan. Saat muncul di permukaan air, aku telah terseret beberapa meter dari pohon asam.
Aku tak merasa kehabisan napas. Tak juga lambungku dipenuhi air. Aku adalah anak kampung yang menguasai teknik berenang dengan baik. Air sungai itu mencuci bersih otakku. Seolah memberikan cahaya baru untukku menemukan jalan merentas cita-cita.  Jangankan untuk tiba di Jakartakota yang satu butir kerikilnya pun belum pernah kulihat—ke bulan pun bukan hal mustahil asalkan kakiku tak pernah berhenti bergerak dan tanganku tak pernah malas berusaha.
Baiklah! Aku masih memiliki waktu dua bulan sebelum pendaftaran ulang di universitas.  Sejak hari itu aku menggila menjadi tenaga kerja paling produktif di kampung halamanku. Aku menjadi kuli angkut yang paling gesit berjalan dan paling banyak memanggul barang. Meskipun jika malam tiba, tulang punggungku beramai-ramai mengajukan permintaan libur. Aku berkunjug ke banyak rumah demi mendapatkan job memperbaiki pagar, kandang ayam, kandang kambing dan kerbau yang hendak diperbaiki. Bahkan, saking terkenalnya aku sebagai kuli serabutan di kampung, banyak anak kecil yang mencariku hanya untuk memperbaiki robot-robotan atau mobilan yang rusak. Hasilnya, pundi-pundi tabunganku bertambah meskipun dengan kecepatan lambat.
Bisa jadi aku adalah mahasiwa baru di universitas ternama yang datang hanya dengan modal semangat. Hingga akhir semester pertama, aku tak memiliki tempat kost. Pengurus masjid di dekat kampus berbaik hati mengizinkan aku tinggal di masjid itu untuk batas waktu yang tak ditentukan. Aku menghilang ditelan belantara Jakarta. Menenggelamkan diri pada studiku dan kerja serabutan. Tak sepucuk surat pun kukirimkan pada bapak yang melepas kepergianku dengan melemparkan puntung rokoknya saat kakiku baru saja menuruni anak tangga rumah panggung kami.
* * *
Ramadhan kali ini aku tetap melihat semangat luar biasa di wajah Budi. Mungkin karena ada janji bahagia di penghujung Ramadhan bahwa ia dapat pulang kampung tanpa harus berdesakan mengantri tiket kereta. Tiket itu disimpannya rapi di dompetnya, sesekali dipamerkannya padaku.
“Kenapa nggak naik pesawat aja, Bud? Kan lebih nyaman, cepet lagi.”
“Aduuh… gaji kita kan beda, Mas. Nantilah kalo Budi sudah dapat kasus-kasus besar kayak Mas Fikri ini lho… nanti baru Budi pulang mudik naik pesawat. Lagian, kalo pulang kampung tuh butuh banyak bawaan, Mas. Jadi pengeluaran ndak cuma buat ongkos, tapi juga buat oleh-oleh dan bagi-bagi duit ke ponakan dan anak-anak tetangga.”  Wajah Budi sumringah saat menceritakan ritual Lebaran di kampungnya.
“Ngapain aja sih kalo mudik?”
Maklum sejak lahir ke dunia hingga usiaku tujuh belas tahun aku menghabiskan Lebaran di kampung halaman tanpa pernah mendahului hari raya itu dengan rindu ingin bertemu. Toh, setiap hari kami bertemu. Jadi, mengapa pula harus ada rindu. Sejak delapan tahun lalu aku meninggalkan rumah panggung keluarga kami, sekali pun aku tidak pernah menginjakkan kaki ke kampungku. Tekadku bulat. Aku hanya akan pulang jika telah sukses di Jakarta. Aku ingin buktikan pada bapak bahwa anak bujangnya ini bukanlah lelaki manja yang tak akan bisa berdiri tanpa bantuannya. Aku akan buktikan pada bapak bahwa ketidakpeduliannya padaku tidak akan pernah menyurutkan langkahku.
“Yang pasti nyekar, Mas. Itu lho, ziarah maksudnya,” Budi segera meralat kalimatnya. “Bapakku kan sudah ndak ada. Jadi tiap Lebaran kami rame-rame ziarah ke makan bapak. Bersihin makam, tabur bunga, dan kirim doa. Lebaran tuh koyo’ ndak artinya kalo ndak ada orang tua lho, Mas.”
Aku diam. Teringat bahwa Budi pernah bercerita bahwa bapaknya meninggal saat ia masih SD. Namun, aku salut melihat semangat pada diri budi. Ah, tak terlalu jauh pula bedanya kami berdua ini. Namun, tetap saja Budi lebih beruntung. Budi bekerja keras untuk sekolahnya karena bapaknya sudah meninggal. Lalu aku? Nasibku jauh lebih menyedihkan. Bapakku masih ada, sapinya hampir setengah lusin, kebun kopi pun kami ada meskipun begitu kecil, tetapi bapakku tak pernah peduli pada sekolahku. Aku sama berkeringatnya seperti Budi demi angan-angan tentang koleksi beberapa lembar ijazah.
* * *
Lebaran tinggal menghitung hari. Budi telah berangkat ke kampung halamannya sejak kemarin sore. Aku terbangun dengan nafas tersengal dua jam sebelum azan subuh berkumandang. Masih sempat untuk qiyamul lail  dan sahur. Namun, nafsu makanku hilang. Seseorang bertangan keriput dengan rambut memutih menggandeng tanganku menyusuri jalan setapak dalam tidurku tadi. Jalan setapak itu begitu kukenal. Jalan yang licin saat hujan turun lalu aku dan anak-anak kampung beramai-ramai saling dorong bermain perosotan di atasnya. Itu jalan menuju rumahku.
Aku tak menyentuh sebutir nasi pun malam itu, malah sibuk menekan nomor telepon beberapa agen perjalanan dari ponselku. Tak satu pun panggilanku dijawab mengingat kantor itu tentu saja baru akan beraktivitas beberapa jam setelah matahari terbit.
“Penerbangan ke Palembang,” pintaku saat teleponku terangkat menjelang pukul sembilan pagi.
“Hanya tersisa pada H+1 Lebaran, Pak. Penerbangan pukul 06.00 WIB…”
Aku langsung mengiyakan. Percuma mencari penerbangan lain karena mungkin jawaban yang kuterima akan sama. Para calo dan pemburu tiket pastilah sudah menghabiskan semua tiket jauh sebelum bulan puasa tiba, seperti Budi.  Aku pun—entahlah—mengapa tiba-tiba terpikir bahwa aku harus pulang. Yang menghantui pikiranku adalah pemilik tangan keriput yang menggandeng tanganku dalam mimpiku tadi malam.  Aku pikir itu tangan emak. Aku mencoba mengingat lagi bingkai wajahnya, tetapi waktu delapan tahun pastilah telah mengubah beberapa karakter siluet wajahnya. Aku bahkan lupa seberapa tebal alis mata emakku. Bapak? Ah… aku semakin kesulitan melukis wajahnya. Yang kuingat hanyalah rokoknya yang seperti rel kereta api. Yang kuingat hanyalah tatapan ketidakpeduliannya. Yang kuingat hanyalah cemoohannya, apalah perlunya sekolah. Kau gali saja tanah kebun kita itu, pasti kau akan dapatkan emas di sana. Aku balas mencemooh kalimat itu, “Lalu, kenapa bukan bapak saja yang menggalinya? Kenapa bukan bapak saja yang temukan emasnya agar hidup kita tidak terlalu melarat seperti ini!”
* * *
Pesawat mendarat di SMB II saat matahari baru akan meninggi. Cahayanya menyilaukan. Aku menarik koperku yang hanya berisi beberapa pakaian ganti dan oleh-oleh untuk emak dan bapak. Aku masih butuh lima jam perjalanan darat menuju kampungku.  Aku tak berminat mengobrol dengan sopir yang mengantarku. Kubuang saja pandangan ke jalanan yang ramai orang hilir mudik berbaju baru keluar dari rumah satu ke rumah lainnya. Aku tak merasa lapar juga tak butuh seteguk air pun. Perjalanan tak terencana ini seperti mimpi magis yang menyeretku kembali ke masa lalu.
Aku berdiri mematung di depan sebuah rumah panggung.  Tak terlihat kemeriahan lebaran. Tangga rumah itu semakin rapuh. Kakiku seperti terpaku di halaman rumah itu. Tak berani melangkah. Semakin kaku saat seorang wanita kurus yang kulitnya bergelambir karena keriput dan menyampirkan kerudung coklat di kepalanya menatapku lekat. Mataku mengabut. Seorang lagi wanita bertubuh tinggi yang (kurasa) kulitnya lebih legam dari terakhir aku melihatnya berdiri di samping wanita tua itu sambil menggandeng seorang bocah laki-laki. Dadaku bergemuru seiring kabut yang siap runtuh dari mataku. Aku masih mencari seorang lagi. Laki-laki yang kusimpan kesumat untuknya. Namun, hingga dua orang wanita itu perlahan menuruni tangga laki-laki itu—bapakku—tak kulihat juga bayangannya. 
Aku dapat membaca dengan jelas bibir wanita itu bergetar mengeja namaku, “Fi…kri…” Aku menghambur meninggalkan koperku tersungkur di kaki emak. Emak terduduk di tangga. Ia menyambut kepalaku yang terbenam di kakinya lulu mencium wajahku. Ia memperlakukanku seperti bayi yang baru ditemukan dari seorang penculik amatiran. Air matanya tumpah. Aku dapat lagi mencium aroma tubuhnya.
“Mana Bapak?” aku seperti berbisik menayakan laki-laki yang darahnya mengalir deras di tubuhku.
Emak tak menjawab. Ayuk Fida menepuk pundakku dan menunjuk sebuah gundukan tanah di halaman rumah. “Bapak sudah lama pergi. Dia berpesan agar dimakamkan di halaman rumah kita. Dia ingin menjadi orang pertama yang melihat dan menyambut kepulanganmu.”
Tubuhku lemas. Bapak yang kubenci dan kuhapus dia dari kepalaku masih mengharapkan aku pulang? Bahkan saat tahu tak dapat bertemu nyawa denganku, dia masih meninggalkan jejak raganya untuk menyambutku.
“Bapak kau, pernah ke Jakarta untuk menyerahkan uang kuliahmu, Fik. Tapi Jakarta terlalu luas bagi bapak kau yang bodoh itu. Dia menjual semua sapinya untuk kuliah kau, tapi sayang kau berangkat ke Jakarta sebelum orang melunasi pembayaran sapi itu, Fik.”
Aku diam. Membiarkan air mata runtuh tanpa menunggu izinku. Menatap beku gundukan tanah bernisan papan di halaman rumah kami. Lebaran kali ini aku pun nyekar, Bud. Seperti rutinitasmu saat lebaran. Namun, terlalu menyedihkan karena ini adalah mudik pertamaku.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar