Diam, aku amat menyukainya. Kata
orang diam itu emas, tetapi bagiku diamku kekal. Aku tak terbiasa bicara.
Selalu saja menyimpan semuanya baik-baik di sini, di rongga dadaku. Aku tak
terbiasa menulis. Selalu saja mendokumentasikan semuanya baik-baik di sini, di
rongga dadaku. Kutulis dengan mata venaku yang tajam. Lalu aksara-aksara itu
kubiarkan mencair dan leleh berpendar di semua sudut jiwaku. Bagiku diam adalah
mendengar. Mendengar angin menangis, mendengar hutan tertawa, mendengar sungai
berlari, dan mendengar ayahku mendongeng.
Saat bapakku meninggal karena
kecelakaan di pabrik tempatnya bekerja, aku diam. Orang-orang mengelus kepalaku
dan berkata, “Jangan menangis, Bujang.”
Aku diam. Aku pun tak menangis saat bapak dengan tubuh kaku bersimbah darah
diantarkan orang ke rumah kami yang sempit, lalu dimandikan, dibungkus dengan
kain kafan harum. Aku tak menangis meskipun jenazahnya mulai ditimbun perlahan
dengan gundukan tanah. Aku tak menangis. Aku diam. Menyimpan semuanya baik-baik
di sini, di rongga dadaku. Bagiku bapak tidak pernah mati. Dia diam bersamaku.
Di sini, di rongga jiwaku.
Bagiku diam adalah kekekalan untuk
melawan semuanya. Melawan luapan kegembiraan agar tak meluber, melawan duka
yang dapat mematikan akal, melawan tatapan sinis mereka yang terganggu dengan
diamku, juga melawan kemarahan saat air mata emakku tumpah karena kaleng beras
di dapur kami kosong. Aku diam karena kaleng beras itu sudah terlalu sering
kosong, di bulan puasa atau bulan-bulan tanpa puasa.
* * *
Empat tahun setelah kematian bapak,
aku tak bisa lagi membiarkan semuanya. Tak bisa lagi hanya mengangguk menuruti
keinginan emak untuk terus diam di bangku sekolah yang kian tua dan gedungnya
semakin reot. Aku benci berdiam di sana
dan membiarkan jemari emakku semakin keriput terendam air sabun cucian
sepanjang hari. Bagiku diam adalah perlawanan, termasuk melawan nasib yang
menggerogoti kehidupan kami. Aku nekad
bekerja apa saja. Jadi kuli panggul di pasar, tukang bangunan, bahkan pembersih sampah pasar. Aku tak bisa
membiarkan tanganku diam menyaksikan kesulitan emak. Cukuplah lidahku saja yang
memilih diam. Setelah dua tahun bekerja
serabutan, aku akhirnya memutuskan untuk menulis sebuah surat lamaran pekerjaan.
“Kita tidak akan pernah kaya dengan
uang, Bujang. Kau bersabarlah sebentar lagi hingga sekolahmu selesai. Kalau kau
punya cukup ilmu, kau akan bekerja dengan otakmu bukan dengan tanganmu yang
ceking itu.”
Aku diam. Memasukkan surat lamaran dan fotokopi
ijazah lusuh dalam amplop coklat ukuran besar.
“Kalau saja bapak kau masih hidup,
mungkin kita tidak akan semelarat ini, Bujang.” Emakku menerawang lagi,
mengingat bapak yang berperang melawan cacing-cacing di kuburnya. Aku diam
membuang tatap ke jendela. “Kalau saja, pabrik itu bersedia bertanggung jawab
dan memberikan dana kompensasi atas kecelakaan bapak kau itu, Bujang, mungking
kau punya biaya sekolah yang lebih baik.”
Aku diam. Benci mendengar emak
meratapi masa lalu.
“Kau jangan ikut-ikutan bapak kau
bekerja di pabrik, Bujang. Emak tak mau melihat kau merasakan susah yang sama
seperti bapak kau dulu.”
Aku diam. Tertunduk meremas map
coklat berisi surat
lamaran kerja karena ke pabrik itulah aku akan melangkah. Bagiku diam adalah
penolakan absurd terhadap larangan-larangan emak agar aku tak harus menjadi
Malin Kundang yang terkutuk melawan nasihat emaknya. Bagiku diam adalah
permohonan maafku atas pembangkanganku pada emak yang tak dapat membaca.
* * *
“Anak Pak Saipul kah kau ini?” Kepala pabrik membaca sekilas surat lamaran pekerjaanku.
Menggeleng-gelengkan kepala melihat ijazahku yang hanya bertuliskan nama sebuah
SMP negeri. Aku menganggukkan kepala
saat dia menyebut nama bapakku dengan kesalahan penyebutan huruf f.
“Aiii… mau kerja di sini pula kau, Bujang?”
Aku mengangguk.
“Sayang, bapak kau yang bodoh tu tak cakap menggunakan mesin pemotong.
Sudah kusuruh mandor mengajarnya baik-baik, tapi kepalanya yang bebal tu ternyata tak cepat tanggap dengan
teknologi. Jadilah teknologi tu yang
makan die.”
Aku diam. Menatap mata sipitnya
tajam-tajam. Bagiku diam adalah perlawanan, termasuk perlawanan atas penghinaan
terhadap almarhum bapakku.
“Kau mau kerja di sini juga,
Bujang?” Ia terkekeh. Menatapku dari
ujung kepala seolah hendak membaca tingkat kecerdasanku dengan otak culasnya. “Aiiii… Mesin pemotong tu memanglah dapat bekerja sendiri, tak
perlu kau ajak bercakap, Bujang. Tapi kau mestilah tanggap dengan semua yang
harus dilakukan terhadap mesin tu. Pencet
tombol ini, pencet tombol itu, matikan ini, matikan itu. Kau bisa belajar
mengoperasikan mesin berteknologi macam tu?”
Dia menatapku ingin tahu. Dibumbui
rasa meremehkan yang kental. Namun, aku diam. Tak mengangguk, tak pula
menggeleng.
“Hei, Bujang. Kalau kau mati karena
mesin pemotong tu, alangkah tak
eloknya cerita keluarga kau nanti. Bapak—anak mati karena menjalankan mesin
pemotong. Alangkah tak eloknya kalau orang-orang tahu bahwa orang macam kau dan
bapak kau itu terkutuk oleh mesin berteknologi. Ditambah lagi, kalian bisu
pula. Nanti orang-orang pikir, orang bisu bodoh dan tak cakap mengoperasikan
mesin.”
Aku diam. Menghisap semua oksigen
di ruangan itu. Melawan otakku yang mendidih. Tanganku meraba sebuah badik yang
selalu terselip di pinggangku. Bagiku
diam adalah penghormatan. Penghormatan untuk bapakku yang bisu. Bagiku diam
adalah pemahaman. Memahami semua kata yang hendak bapak ucapkan padaku sejak
masa kanak-kanakku. Bagiku diam adalah pengertian. Mengerti bapak yang hanya
menyampaikan semangat dan kasih sayangnya hanya lewat mata, senyuman, dan
telapak tangannya. Bagiku diam adalah bapakku. Adalah jiwaku.
“Aku tidak bisu, Bodoh!!!”
Sebuah belati bersarang tepat di
ulu hati lelaki tambun yang mengejek romantisme diam antara aku dan bapak. Lelaki
itu melotot menatap mataku. Entah terkejut untuk rasa sakit mahadahsyat yang sekarang
menggerogoti tubuhnya atau mendengar suaraku yang mendesis tajam.
Setelah ini, diam bagiku adalah pengakuan.
* * *