Sabtu, 05 Maret 2011

ISTRIKU


Kalau kau mejadi laki-laki seperti aku, Kawan, pekerjaan yang paling kau hindari pastilah menjadi ibu. Kita kaum laki-laki mungkin tak akan pernah sanggup menjadi seperti para wanita di sekitar kita (seperti nenek, ibu, adik, atau istri kita).
Aku tak akan pernah sanggup membawa beban yang semakin berat dari waktu ke waktu selama sembilan bulan di perut seperti yang dialami istriku. Sambil menanggung beban berat yang menyakitkan itu, ia tetap melaksanakan semua aktivitasnya dengan baik. Aku melihatnya lambat-lambat meninggalkan tempat tidur jauh sebelum ayam-ayam jantan di kampung kami berkokok. Ia akan segera memanaskan air, menanak nasi, menyeduhkan segelas kopi untukku, menyiapkan susu anak-anakku, dan menggorengkan pisang untuk sarapan kami.
Sebelum para muazin mengumandangkan azan dari masjid-masjid di kampung kami, semua itu sudah tersedia di meja makan. Saat azan berkumandang, ia telah berwudhu lalu membangunkanku dan dua anak balitaku. Dibangunkannya kami pelan-pelan agar tak menimbulkan suara gaduh sehingga tak mengganggu tidur anak ketiga kami yang masih bayi itu. Aku sebenarnya tak tega melihat anak pertama dan keduaku itu terkantuk-kantuk mengikuti kami sholat subuh berjamaah, tetapi istriku bersikeras bahwa mereka harus didik untuk belajar disiplin. Kelak di kemudian hari, aku bersyukur bahwa kedisiplinan yang diterapkannya membawa anak-anakku jauh berbeda dari remaja seusia mereka.
Usai sholat subuh berjamaah, segelas kopi untukku, dan susu anak-anakku telah disuguhkan kepada kami. Di tengah sarapan pagi itu, bayi ketiga kami akan melengking suara tangisnya lalu istriku akan dengan lincah mendekatinya. Mencium pipi montoknya, menceritakan sesuatu untuk menghentikan tangisnya, dan mendamaikan bayi kami itu dalam pelukannya. Tak perlu waktu lama anak ketiga kami akan membulat matanya dan segera asyik menyedot makanan pokoknya sepuas hati tanpa pernah takut kehabisan. Ia membiarkan bayi kami menyusu sepuasnya sedang bibirnya tak henti bercerita. Di bahunya dalam waktu bersamaan kedua anakku akan bergelayut menagih perhatian yang sama seperti yang diterima adik bungsu mereka. Istriku seolah memiliki bahu yang terbuat dari rangka baja, ia tak pernah mengeluh bahunya lelah, pegal, atau linu meskipun seharian harus menggendong anak-anakku.
Istriku tak pernah mengeluh meskipun berpeluh-peluh dahinya. Mengasuh dan menjaga anak-anakku, menyiapkan makanan dan pakaianku dan anak-anak, serta menjaga dan merawat rumah kami. Ia tetap saja tersenyum menyambut kepulanganku dari kantor dan berceloteh tentang tingkah anak-anak kami saat kutinggalkan bekerja. Pernah kubayangkan, kalau saja istriku ini adalah robot, tentu di sore hari ia telah kehabisan batre karena begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya dan begitu banyak hal yang harus dipikirkannya. Namun, aku bersyukur bahwa para istri diciptakan Tuhan dari materi kualitas terbaik sehingga kami para suami tak perlu repot memikirkan ganti batre atau recharge batre di tubuh mereka. Tuhan memberi mereka kekuatan super yang tak tertandingi.
Istriku adalah orang pertama yang mengajarkan anak-anakku a-ba-ta-tsa… lalu menuntun anak-anakku menghafalkan Al Fatihah untuk sholat-sholat mereka. Ia menggendong anak ke-3 kami yang masih balita sambil jemarinya menuntun dua anakku yang lainnya melanjutkan pelajaran mereka. Ia mampu melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu bersamaan. Menemani anak-anakku belajar sambil menanak nasi, menyetrika, dll.. Kalau aku yang menjadi dirinya, mungkin aku akan memohon pada Tuhan agar satu hari adalah 40 jam, satu minggu adalah 10 hari, dst..
Istriku adalah pengusir nyamuk paling efektif yang pernah ada. Ia rela menghentikan keasyikannya membaca buku demi menjauhkan anak-anakku dari gigitan nyamuk tak terpelajar itu. Bila sakit menghampiri putera-puteriku bersamaan, istriku tak jua mengeluh. Meskipun terlihat kekhawatiran di wajahnya, ia tetap menyelesaikan semua pekerjaannya dengan baik dengan tak sedetik pun luput perhatiannya pada putra-putriku. Matanya begitu tangguh menghalau kantuk. Ditemaninya putra-putriku sepanjang malam sambil mengompres kepala-kepala mungil mereka. Istriku seolah memiliki energi yang dikumpulkannya dari langit, bumi, samudera, mentari, rembulan, gemintang, dan seisi semesta raya. Energinya tak pernah surut meski aku telah mulai terkantuk-kantuk saat berusaha menggantikan tugasnya untuk menemani anak-anakku yang sedang sakit. Aku tak tahu dari mana ia kumpulkan energi-energi itu, ia asuh anak-anakku dengan baik, ia siapkan kebutuhanku dan anak-anakku tanpa mengeluh, ia juga yang menyelesaikan segala perkara rumah tangga kami dengan baik. Namun, peluhnya tak sebanyak peluhku saat bekerja. Begitu kuatkah para istri kita? Atau Tuhan menciptakan wanita dengan komposisi terbaik yang dimiliki-Nya??
Istriku akan kuberikan predikat summa cum laude atas prestasi dan pengorbanannya yang luar biasa untukku dan anak-anakku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar