Minggu, 13 Maret 2011

SEPATU ARINI


“Kalau Arini minta pesta ulang tahun juga, boleh nggak, Mak?”
Wanita itu tak menjawab. Ia terus melipat pakaian yang menumpuk di depannya. Anak perempuannya yang baru kelas 5SD itu mengharap-harapkan sebuah jawaban terbaik dari emaknya. Beberapa detik telah berlalu, tetapi tidak tampak tanda-tanda wanita itu akan memberikan jawaban. Ia bergeming dengan diamnya. Dalam diam itu neuron-neuron otaknya berdenyut-denyut mengumpulkan serpihan-serpihan kata untuk disusunnya menjadi kalimat terbaik untuk menjawab pertanyaan putrinya.
Arini tertunduk lesu dengan wajah cemberut. Ia masih berharap emaknya memberikan jawaban meskipun hanya sekadar anggukan kepala.
“Mak, kenapa diam?” tanya Arini, “Nggak boleh, ya, Mak?” suara bocah itu bernada kecewa.
Wanita tiga puluh tahun di samping bocah itu masih diam saja. Ia masih teguh merapatkan bibirnya dan meneguh-neguhkan hati untuk tak menjawab pertanyaan putri sulungnya. Ia tahu, permintaan Arini adalah hal wajar bagi anak seusianya. Namun, apa mau dikata, hidup tak berpihak pada mereka. Jangankan melaksanakan sebuah pesta ulang tahun, untuk dapat terus mempertahankan dapurnya agar berasap tiap hari pun, ia harus memutar otak. Ia makin tak tega saat membayangkan suaminya yang berpeluh-peluh mengayuh becaknya hanya untuk mempertahankan nyala api di dapur mereka. Namun, menolak keinginan Arini pun sama pahitnya. Seperti mimpi memeluk bulan. Tak akan pernah menjadi kenyataan.
“Mak, kalau tak bisa, tak apa-apa. Hm……” bocah itu menggantung kalimatnya sebentar, “emmmm…. Kalau Arini minta hadiahnya saja, gimana? Boleh nggak?”
Bocah perempuan berambut ikal itu bertanya hati-hati.
Emaknya masih diam dan terus melipat tumpukan pakaian di hadapan mereka.
“Arini mau sepatu, Mak. Tidak usah yang mahal, yang biasa saja. Sekarang lagi musim itu, lho, Mak… sepatu karet. Kata teman-teman, sih, sepatu Crocs. Bagus lho, Mak, bisa dipake buat jalan-jalan, buat maen, dan kalo jalanan rumah kita lagi becek juga nggak apa-apa, Mak. Kata temen-temen, tinggal dicuci aja, nggak bakalan cepet mangap sepatunya.”
Ah… kepala wanita itu berdenyut-denyut. Ia merasakan pusing yang begitu tiba-tiba menyerang kepalanya dengan bertubi-tubi. Cerocosan putrinya itu membuatnya semakin pusing. Namun, ia masih bungkam dan terus menyelesaikan pekerjaannya. Bagaimana ia menjelaskan pada anaknya bahwa semua permintaannya itu adalah barang mewah yang ia dan suaminya tak akan sanggup memenuhi permintaan itu. Dapatkah kau ganti mimpimu itu dengan hal yang lebih sederhana lagi, Nak… rintihnya dalam hati.
“Mak, kenapa diam?”
Arini tak sabar lagi dengan sikap diam emaknya. Ia menggoyangkan bahu emaknya menuntut jawaban. Jawaban lengkap atau sekadar anggukan kepala pun tak apalah. Yang penting, emaknya memberikan jawaban. Jawaban terbaik untuknya. Untuk mimpi kanak-kanaknya.
Wanita itu menghentikan kesibukannya dan menatap wajah putri sulungnya itu. Dirayapinya baik-baik pahatan wajah kecil di depannya. Mata bulat, hidung, dan senyuman gadis cilik itu adalah kombinasi sempurna. Ia melihat duplikat wajah suaminya dalam wajah anak perempuannya. Ia tahu bahwa ia mencintai pemilik wajah hitam manis itu dengan sempurna, seperti ia mencintai suaminya yang menitiskan wajah indah itu pada putrinya.
Wanita itu menarik nafas dalam lalu menarik ujung-ujung bibirnya membentuk senyuman. Putrinya membalas senyum hangat itu sambil kepalanya menebak-nebak jawaban terbaik yang akan diberikan ibunya.
“Rin….” Ujarnya hati-hati sambil memikirkan kalimat tebaik untuk putrinya.
Tiba-tiba, terdengar ketukan tergesa di pintu depan rumah mereka. Ia tak sempat menyelesaikan kata-katanya. Tergesa ia menuju pintu untuk melihat tamunya. Arini mengekor langkah ibunya dengan sebal karena batal mendengar jawaban sang ibu.
Terdengar ketukan keras sekali lagi. Pintu segera dibuka. Seorang pria dengan topi lusuh berdiri di ambang pintu.
“Bi Cik, Mang Rozak kecelakaan. Becaknya hancur ditabrak truk. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit,” tanpa basa-basi lagi lelaki itu menyampaikan kabar.
“Maaaak…..” suara Arini terbata.
Wanita berambut ikal itu menguatkan pegangannya di tepian pintu. Pusing di kepalanya makin menjadi.
Mak Cik, Mang Rozak kecelakaan suara itu menggema. Tiba-tiba pintu itu terasa berputar.
Mak, kalau Arini minta pesta…. “Ah, kemana matahari????” Wanita itu meraba mencari cahaya yang perlahan menghilang.
Sepatu saja, Mak. Arini minta hadiahnya saja, sepatu, Mak…. “Ah, Oksigen. Bagi aku Oksigen,” wanita itu memohon karena merasakan nafasnya tiba-tiba sesak.
“Maaakkk…..” jerit Arini.
Bocah itu menahan tubuh ibunya yang limbung.
Wanita itu masih mendengar jerit putrinya. Samar.
Ulang tahun, Mak…. Crocs, sepatu Crocs, Mak….
Mang Rozak kecelakaan…. Becaknya hancur….
…..
Gelap
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar