Kamis, 24 Januari 2013

THE WAR OF ARIES


(episode 1)

“Bolos lagi, Tong?”
Aries hanya tersenyum unsimestris mendengar sapaan Mpok Munah. Ia menyesap rokoknya semakin dalam. Jam produksi Jerman yang melingkar di tangan remaja tujuh belas tahun itu baru merayap ke angka sepuluh pagi. Suara guru yang mengajar di kelas terdengar lantang dari balik tembok sekolah. Ia berkali-kali tertawa mencibir mendengar uraian-uraian teoretis itu. Baginya semua yang mereka sampaikan itu hanyalah teori-teori basi yang tak sesuai zaman.
“Birrul walidain. Menghormati kedua orang tua adalah salah satu tugas penting seorang anak!”
“Adakah kriteria orang tua yang tidak layak dihormati?” Aries nyeletuk santai sambil memutar pena di jarinya.
“Tanpa terkecuali! Kita wajib menghomati, menyayangi, mematuhi, dan mendoakan kedua orang tua kita.”
“Ini bukan zaman nabi, Pak. Tidak semua orang tua mencontoh sikap nabi sebagai orang tua! Sekarang yang kami hadapi adalah orang tua akhir zaman. Bagaimana?”
Aries menggelengkan kepala mengingat guru agama paling sabar di sekolahnya. Ia masih dapat mengingat dengan jelas bahwa ia tertawa penuh kemenangan saat Pak Ahmad berkali-kali beristigfar karena pertanyaannya. Baginya, sekolah tidak memberikan solusi. Sekolah telah gagal mencerdaskan pikirannya yang meradang. Bahkan, baginya, sekolah tidak lebih dari sekadar bangunan angker yang mengatasnamakan pendidikan. Padahal, sekolah tidak lebih dari penjara suci yang mengerdilkan jiwa-jiwa penghuninya dengan doktrin-doktrin picisan. Hasilnya? Sekolah berhasil meluluskan ribuan pengecut, pembohong, penipu, bahkan penjahat kelas kakap.
Sejak lama Aries menyatakan perang dengan sekolah. Ia menolak dicetak bulat-bulat sebagai pengecut dan pembohong seperti teman-temannya. Dengan semua analisis logisnya itu, di sinilah—warung Mpok Munah— Aries menghabiskan lebih banyak waktunya dibandingkan duduk sebagai pesakitan di kelasnya.
“Sekolahan Lu kan mahal, Tong. Nggak rugi tuh ngebayar setiap bulan, tapi elunya jarang masuk.”
Aries melempar sisa puntung rokoknya sambil tertawa—tetap dengan gaya sinisnya. “Justru saya bakal rugi kalo sering-sering masuk sekolah, Mpok. Guru-guru di sekolah sudah kadaluarsa! Mereka nggak bisa kasih gue jawaban atas pertanyaan-pertanyaan gue. Ngapain jadi guru kalo nggak bisa memuaskan rasa ingin tahu gue!”
“Lha elunya nanya juga kagak dipikir-pikir dulu kali, Tong.” Meskipun berkali-kali Aries mengingatkan wanita empat puluh tahunan itu untuk menghafalkan namanya, Mpok Munah tetap saja keukeh memanggil Aries dengan panggilan Tong.
“Justru karena saya tidak berhenti berpikir, Mpok, jadinya saya selalu bertanya.”
Mpok Munah manggut-manggut. Tak melanjutkan selaannya. Khawatir kalau-kalau pelanggan setianya itu merasa terganggu dengan kecomelannya. Kehilangan seorang Aries sebagai pelanggan bisa berimbas pada turunnya omset penjualan rokok di warungnya. Bagaimana tidak, setiap waktu pulang sekolah tiba, remaja berperawakan tinggi itu selalu membawa puluhan pelanggan lain yang menjadi konsumen setia rokok, nasi uduk, dan gorengan di warungnya. Tidak hanya sebagai pelanggan setia, Aries adalah pelanggan special bagi Mpok Munah. Kalo ditanya alasannya apa? Mpok Munah sendiri nggak tau alasannya apa. Yang pasti, Aries adalah satu-satunya orang yang tidak pernah absen mampir ke warungnya.
* * * *
“Apa ini?”
Damn!! Aries mengumpat dalam hati melihat amplop dengan logo Depdiknas terselip di tangan papa. Siang tadi ia sudah mencegat salah satu staf TU, tapi lelaki ceking berkumis tipis itu mengatakan tidak ada surat yang dikeluarkan atas namanya. Kurang ajar! Berbohong dia rupanya. Contoh produk gagal sekolah! Aries mengumpat kesal.
“Satu semester ini saja, sudah berapa kali surat panggilan kamu dapatkan, Aries!”
“Masih tersisa tiga jari lagi, Pa, agar genap semua jari digunakan.”
Papa melotot sebal. “Kau mau jadi apa kalau sekolah saja seperti ini?”
“Bukan sekolah yang menentukan kita menjadi apa, Pa. Papa lihat, berapa banyak orang-orang gagal dan jadi pengangguran di negeri ini? Jutaan!!! Sisanya menjadi koruptor dan penjilat!!!! Apakah mereka menjadi sesuatu setelah menghabiskan separuh usia di bangku sekolah? Sedikit saja kurasa. Sekolah tidak pernah memberikan apa pun, Pa. Hanya menghabiskan waktu. Sisanya? Sekolah hanya menjadi killing field untuk orang-orang cerdas dan kritis. Sebagian lagi, sekolah menjadi surga  untuk orang-orang oportunis dan pragmatis.”
Papa membanting amplop itu ke meja. “Diam!”
Aries tertawa satire, “Menolak mendengarkan pendapat orang lain! Arogansi intelektualitas karena standar usia! Sebaiknya semua orang menyekolahkan  jiwa mereka atas dasar kesadaran. Adakah tempat yang mampu mendidik jiwa tanpa mematikan humanism, keberanian, kejujuran, kekritisan, kepercayaan?” Aries tak membutuhkan jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan. Ia sudah terbiasa bertanya tanpa mendapatkan jawaban yang tepat. Sebagian besar pertanyaannya menggantung di langit-langit kelas. Sisanya, pertanyaan-pertanyaan itu menyulut kemarahan dan sinisme para guru dan orang tuanya. Sedikit di antaranya, menyulut gelak tawa dan tepuk tangan teman-temannya. Lebih sedikit lagi, menyulut kegeraman para penghuni top ranking di kelas atau di sekolahnya. Bagaimana tidak? Mereka  tak akan pernah mampu menggeser posisi Aries sebagai penguasa tahta juara umum atau tiga besar di kelas. Padahal jelas-jelas, cowong jangkung itu lebih sering bolos dan menyulut kemarahan guru-guru. Namun, kumpulan sang juara itu selalu merasa terancam dengan pertanyaan-pertanyaan dan wawasan tak terduga yang dimiliki Aries. Mereka memang tak akan pernah dapat menggeser Aries. Kredibilitas mereka sebagai anak ‘pintar’ dan anak baik di sekolah selalu terpojokkan oleh pikiran dan ide-ide liar seorang Aries.
Namun, Aries tak pernah berhenti bertanya. Baginya berhenti bertanya artinya berhenti berpikir. Berhenti berpikir artinya berhenti bertindak. Berhenti bertindak adalah mati. Aries memilih untuk tidak pernah mati.
Ia meninggalkan papa yang masih meradang amarah karena kelancangannya. Sambil menggelengkan kepala dan  melambaikan tangan kirinya tak acuh pada papa. Tangan kanannya sibuk menekan keypad ponsel pintarnya.
Sudah Lo sebar? Besok!” sebuah pesan singkat dikirimkannya.
“Aries! Nanti malam mama akan telepon dari Australi,” suara papa memenuhi seluruh atmosfer rumah.
Namun, Aries tak peduli. Ia menutup rapat pintu kamarnya dan Linkin Park menjerit hebat dari CD playernya. Remaja tujuh belas tahun itu menghempaskan tubuhnya di kasur kualitas terbaik yang disediakan di kamarnya. Matanya melumat habis langit-langit kamar yang seakan langsug terhubung dengan sebuah teropong paling canggih. Ia seperti asyik mengamati peredaran meteorid dan memprediksi meteorid mana yang besok akan meledakkan sekolahnya.
* * * *
Aries menyalakan rokoknya dan bersandar di tembok sekolah yang dipenuhi coretan pilox dengan kata-kata aus yang tak layak diucapkan. Ia menghitung dalam hati dengan tempo konstan.
“Bolos lagi, Tong?”  Mpok Munah membuang sepanci air rebusan mie instan ke dalam got yang berada di bawah warungnya.
Aries terkekeh mendengar pertanyaan yang diucapkan Mpok Munah tepat saat ia menyebut angkat tiga dalam hati. Saking seringnya menghabiskan waktu di warung kecil itu,  ia bahkan tahu kapan kalimat standar itu diucapkan Mpok Munah.
“Hari ini pelajaran sejarah, Mpok. Males gue masuk.”
“Kemaren ada pelajaran sejarah juga yak? Trus kemarennya lagi ada pelajaran sejarah juga? Kan elu juga kagak masuk dua hari kemaren. Masak pelajaran sejarah tiap hari, Tong?”
Aries tersenyum pada wanita itu. Senyum istimewa untuk wanita yang mungkin masih mewarisi darah Si Pitung karena logat Betawinya yang begitu kental. Mpok Muna terkesiap untuk beberapa detik karena ternyata pemuda itu memiliki senyuman maut yang tak pernah di duganya. Aries yang terbiasa sinis itu memang jarang tersenyum begitu tulus untuk orang lain. Ia lebih sering menatap sinis dan tertawa tak peduli. Meskipun demikian, Mpok Muna selalu yakin bahwa Aries adalah anak baik dan pintar. “Mpok bakal berumur panjang. Karena semakin hari, Mpok, semakin cerdas. Pertanyaan-pertanyaan, Mpok, mulai analitis. Bertanya artinya berpikir. Berpikir artinya bertindak. Bertindak artinya hidup. Nah, Mpok akan berumur panjang kalau selalu bertanya dengan cara seperti tadi sebab itu artinya Mpok berpikir.”
“Ah, elu Tong, ade-ade aje.”
“Oh, ya… pelajaran sejarah nggak tiap hari, Mpok.” Aries menuntaskan jawabannya.
Sejarah masuk dalam black list pelajaran yang harus diwaspadai Aries. Bukan karena tidak penting, tetapi lebih karena konten yang disampaikan oleh guru dan buku-buku teks rentan pada kebohongan dan manipulasi. Ia masih mengingat dengan jelas perdebatan dengan guru sejarah di sekolahnya sebelum ia menghidupkan lampu merah di atas kepalanya untuk selalu mewaspadai semua materi sejarah yang dikhotbahkan oleh guru dan buku. Ada uraian yang selama bertahun-tahun dicetak ulang dalam berbagai literatur sejarah pada akhirnya dibantah oleh para pelaku sejarah. Berbagai kejayaan yang dipuja-puja dan dikagumi dari berbagai peradaban ternyata menyimpan begitu banyak kebusukan. Aries menolak sebagian sektor otaknya terkontaminasi doktrin-doktrin sejarah yang tingkat akurasinya masih sangat dipertanyakan. Ia masih mengingat dengan jelas pernyataan yang membuatnya diusir dengan hormat dari dalam kelas, “Sebagai seorang guru Bapak seharusnya bertanggung jawab dengan ilmu yang Bapak sampaikan. Bapak harus tahu validitas dari setiap pernyataan. Bagaimana mungkin saya bisa duduk diam bila apa yang Bapak sampaikan jelas-jelas sangat dipertanyakan kebenarannya. Jelas-jelas teori evolusi telah terbantahkan sejak bertahun-tahun lalu, manusia purba bergenre monyet itu pun tak pernah terbukti! Bagaimana mungkin, Bapak masih mengajarkan materi sampah seperti ini.”
Aries menggelengkan kepala mengingat peristiwa itu.
“Eh, Tong,” Mpok Munah ternyata tidak bisa membendung rasa ingin tahunya, “kalo elu males belajar sejarah, gimana elu bisa tahu tentang bangsa kite coba?”
“Gue mau belajar, Mpok, tapi dari buku hidup.”
“Aduh! Serem amat tuh buku, Tong. Emang di mane jualnye?”
“Maksud gue, kenapa peristiwa sejarah bangsa ini tidak dituturkan langsung oleh pelaku sejarah. Pemerintah nggak usah ikut-ikut mengintervensi kebenaran. Tidak perlu memilih-milih mana yang boleh dan tidak boleh diketahui oleh anak mudanya. Biar kami yang menilai mana kejayaan  atau mana bagian kelam dari masa lalu bangsa ini.”
Mpok Munah manggut-manggut. Entah paham, entah tidak.  Aries sibuk dengan telepon cerdasnya.
* * * *
“Sialan! Kita mesti bales, Bud! Siapa yang pimpin?”
“Aries!” Budi berbisik tajam. Matanya berjaga-jaga dari orang-orang yang tak diinginkan dari mendengar pembicaraan itu. “Dia nunggu di luar. Biasa, males banget dia kalo bakal ketemu guru sejarah itu.”
“Gue ikut! Kapan lagi bisa nunjukin nyali gue di depan anak-anak SMANSA,” sahut Indra geram.
“Sebar informasi ke anak-anak laen. Inget! Jangan buka mulut Loe-Loe semua ke mahluk-mahluk sok suci di sekolah ini kalo Lo semua gak pengen rencana ini bocor dan Aries ngabisin Loe kan?”
Mendengar nama Aries disebut beberapa wajah tampak sedikit suram. Namun, tetap tak mampu menyembunyikan adrenalin yang mulai terpacu karena tawaran sebuah arena perang yang dipimpin langsung Aries, sang dewa perang.
“Beneran besok, Bud?” Handoko menyela dari balik tubuh Indra.
“Ntar gue kabari lagi. Yang pasti tugas Loe semua buat ngajakin anak-anak dan suruh mereka nyiapin senjata masing. Jangan lupa, gak ada yang boleh buka mulut! Paham?”
Cowok-cowok berseragam abu-abu itu mengangguk kompak. Budi rupanya telah mewarisi aura kepemimpinan yang pekat dari seorang Aries. Seolah-olah ada sebagian ruh Aries yang mempengaruhinya saat mempersuasi kawan-kawannya untuk rencana tawuran itu.
* * * *
“Gak usah bawa motor. Hari ini papa yang antar kamu!”
Aries menguliti papa dengan ekor matanya. Namun, tanpa perlawanan ia gantungkan kembali kunci motornya. Ia memang tidak berniat membolos hari ini karena hari ini adalah perang. Ia berniat memunculkan wajahnya di hadapan kawan-kawannya yang mungkin ingin mamastikan rencana mereka.
Aries duduk manis di samping papa. Membiarkan papa sibuk dengan setir dan jalan yang padat, tanpa berniat sedikit pun mencairkan kebekuan di antara mereka. Ia memilih berpura-pura tidur sepanjang perjalanan atau sesekali memperhatikan jalanan yang mulai padat. “Nggak perlu sampe gerbang sekolah, Pa. Di ujung jalan saja. Mobil mewah papa hanya akan mengintimidasi para pejalan kaki yang berpeluh di gerbang sekolah.” Papa menatap Aries tajam.  “Jangan, khawatir. Papa bisa pastikan bahwa Aries berada di sekolah sepanjang hari ini.”
Aries menutup pintu mobil tanpa mengucapkan salam sedikit pun pada lelaki berkacamata di belakang kemudi. Ia membiarkan mobil mewah itu melaju hanya dengan sedikit melambaikan tangan sebagai basa-basi sosial.
“Sekolah brengsek, I’m coming,” bisiknya pelan sambil mengukir senyum sinis.  Aries sengaja memperlambat langkahnya dan berusaha tak peduli pada berpasang-pasang mata yang menatap aneh atas kehadirannya. Namun, belum separuh ia berjalan, tiga orang berjaket hitam menariknya.
Aries berusaha melepaskan diri, tetapi tenaganya kalah kuat. Pukulan-pukulannya tanpa akurasi sama sekali. Hanya membentur udara kosong. Wajahnya menjadi sasaran empuk puluhan pukulan dari ketiga lelaki itu. Aries terus mencoba melawan. Ia berusaha menarik jaket dan kapucin yang menutupi wajah ketiga lelaki di hadapannya. “Pengecut!!!!” Aries berteriak garang saat mengetahui asal sekolah ketiga lelaki tadi dari seragam mereka.
“Kau yang pengecut, Bodoh!!” hardik salah seorang di antara mereka. “Setelah ini, kau gak bakal berani main-main sama kami lagi!!” BRUK!! Sebuah pukulan penutup menghantam ulu hati Aries.
Pukulan telak itu kontan membuat pandangan Aries menghitam untuk sesaat. Meskipun bernyali besar, energi Aries tidak cukup untuk membalas pengeroyokan itu.  Kesumat di dada Aries makin membara saat ketiga lelaki itu meninggalkannya dengan luka lebam di wajah dan seragam yang dipenuhi noda tanah. Namun, ia tetap menyeret langkah ke pintu gerbang sekolahnya….. (bersambung, episode 2)……
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar