(episode 1)
“Bolos lagi, Tong?”
Aries hanya tersenyum unsimestris mendengar sapaan Mpok Munah.
Ia menyesap rokoknya semakin dalam. Jam produksi Jerman yang melingkar di
tangan remaja tujuh belas tahun itu baru merayap ke angka sepuluh pagi. Suara
guru yang mengajar di kelas terdengar lantang dari balik tembok sekolah. Ia
berkali-kali tertawa mencibir mendengar uraian-uraian teoretis itu. Baginya
semua yang mereka sampaikan itu hanyalah teori-teori basi yang tak sesuai
zaman.
“Birrul
walidain. Menghormati kedua orang tua adalah salah satu tugas penting seorang
anak!”
“Adakah
kriteria orang tua yang tidak layak dihormati?” Aries nyeletuk santai sambil
memutar pena di jarinya.
“Tanpa
terkecuali! Kita wajib menghomati, menyayangi, mematuhi, dan mendoakan kedua
orang tua kita.”
“Ini
bukan zaman nabi, Pak. Tidak semua orang tua mencontoh sikap nabi sebagai orang
tua! Sekarang yang kami hadapi adalah orang tua akhir zaman. Bagaimana?”
Aries menggelengkan
kepala mengingat guru agama paling sabar di sekolahnya. Ia masih dapat
mengingat dengan jelas bahwa ia tertawa penuh kemenangan saat Pak Ahmad
berkali-kali beristigfar karena pertanyaannya. Baginya, sekolah tidak
memberikan solusi. Sekolah telah gagal mencerdaskan pikirannya yang meradang.
Bahkan, baginya, sekolah tidak lebih dari sekadar bangunan angker yang
mengatasnamakan pendidikan. Padahal,
sekolah tidak lebih dari penjara suci yang mengerdilkan jiwa-jiwa penghuninya
dengan doktrin-doktrin picisan. Hasilnya? Sekolah berhasil meluluskan ribuan
pengecut, pembohong, penipu, bahkan penjahat kelas kakap.
Sejak lama Aries
menyatakan perang dengan sekolah. Ia
menolak dicetak bulat-bulat sebagai pengecut dan pembohong seperti
teman-temannya. Dengan semua analisis logisnya itu, di sinilah—warung Mpok
Munah— Aries menghabiskan lebih banyak waktunya dibandingkan duduk sebagai
pesakitan di kelasnya.
“Sekolahan Lu kan mahal,
Tong. Nggak rugi tuh ngebayar setiap
bulan, tapi elunya jarang masuk.”
Aries melempar sisa
puntung rokoknya sambil tertawa—tetap dengan gaya sinisnya. “Justru saya bakal
rugi kalo sering-sering masuk sekolah, Mpok. Guru-guru di sekolah sudah kadaluarsa!
Mereka nggak bisa kasih gue jawaban atas pertanyaan-pertanyaan gue. Ngapain
jadi guru kalo nggak bisa memuaskan rasa ingin tahu gue!”
“Lha elunya nanya juga
kagak dipikir-pikir dulu kali, Tong.” Meskipun berkali-kali Aries mengingatkan
wanita empat puluh tahunan itu untuk menghafalkan namanya, Mpok Munah tetap
saja keukeh memanggil Aries dengan
panggilan Tong.
“Justru karena saya
tidak berhenti berpikir, Mpok, jadinya saya selalu bertanya.”
Mpok Munah
manggut-manggut. Tak melanjutkan selaannya. Khawatir kalau-kalau pelanggan
setianya itu merasa terganggu dengan kecomelannya. Kehilangan seorang Aries
sebagai pelanggan bisa berimbas pada turunnya omset penjualan rokok di
warungnya. Bagaimana tidak, setiap waktu pulang sekolah tiba, remaja
berperawakan tinggi itu selalu membawa puluhan pelanggan lain yang menjadi
konsumen setia rokok, nasi uduk, dan gorengan di warungnya. Tidak hanya sebagai
pelanggan setia, Aries adalah pelanggan special bagi Mpok Munah. Kalo ditanya
alasannya apa? Mpok Munah sendiri nggak tau alasannya apa. Yang pasti, Aries
adalah satu-satunya orang yang tidak pernah absen mampir ke warungnya.
* * * *
“Apa ini?”
Damn!!
Aries
mengumpat dalam hati melihat amplop dengan logo Depdiknas terselip di tangan papa. Siang tadi ia sudah mencegat
salah satu staf TU, tapi lelaki ceking berkumis tipis itu mengatakan tidak ada
surat yang dikeluarkan atas namanya. Kurang
ajar! Berbohong dia rupanya. Contoh produk gagal sekolah! Aries mengumpat
kesal.
“Satu semester ini
saja, sudah berapa kali surat panggilan kamu dapatkan, Aries!”
“Masih tersisa tiga
jari lagi, Pa, agar genap semua jari digunakan.”
Papa melotot sebal.
“Kau mau jadi apa kalau sekolah saja seperti ini?”
“Bukan sekolah yang
menentukan kita menjadi apa, Pa. Papa lihat, berapa banyak orang-orang gagal
dan jadi pengangguran di negeri ini? Jutaan!!! Sisanya menjadi koruptor dan
penjilat!!!! Apakah mereka menjadi sesuatu
setelah menghabiskan separuh usia di bangku sekolah? Sedikit saja kurasa.
Sekolah tidak pernah memberikan apa pun, Pa. Hanya menghabiskan waktu. Sisanya?
Sekolah hanya menjadi killing field untuk
orang-orang cerdas dan kritis. Sebagian lagi, sekolah menjadi surga untuk orang-orang oportunis dan
pragmatis.”
Papa membanting amplop
itu ke meja. “Diam!”
Aries tertawa satire,
“Menolak mendengarkan pendapat orang lain! Arogansi intelektualitas karena
standar usia! Sebaiknya semua orang menyekolahkan jiwa mereka atas dasar kesadaran. Adakah
tempat yang mampu mendidik jiwa tanpa mematikan humanism, keberanian,
kejujuran, kekritisan, kepercayaan?” Aries tak membutuhkan jawaban atas
pertanyaan yang ia ajukan. Ia sudah terbiasa bertanya tanpa mendapatkan jawaban
yang tepat. Sebagian besar pertanyaannya menggantung di langit-langit kelas.
Sisanya, pertanyaan-pertanyaan itu menyulut kemarahan dan sinisme para guru dan
orang tuanya. Sedikit di antaranya, menyulut gelak tawa dan tepuk tangan
teman-temannya. Lebih sedikit lagi, menyulut kegeraman para penghuni top ranking di kelas atau di sekolahnya.
Bagaimana tidak? Mereka tak akan pernah
mampu menggeser posisi Aries sebagai penguasa tahta juara umum atau tiga besar
di kelas. Padahal jelas-jelas, cowong jangkung itu lebih sering bolos dan
menyulut kemarahan guru-guru. Namun, kumpulan sang juara itu selalu merasa
terancam dengan pertanyaan-pertanyaan dan wawasan tak terduga yang dimiliki
Aries. Mereka memang tak akan pernah dapat menggeser Aries. Kredibilitas mereka
sebagai anak ‘pintar’ dan anak baik di sekolah selalu terpojokkan oleh pikiran
dan ide-ide liar seorang Aries.
Namun, Aries tak pernah
berhenti bertanya. Baginya berhenti bertanya artinya berhenti berpikir.
Berhenti berpikir artinya berhenti bertindak. Berhenti bertindak adalah mati. Aries
memilih untuk tidak pernah mati.
Ia meninggalkan papa
yang masih meradang amarah karena kelancangannya. Sambil menggelengkan kepala
dan melambaikan tangan kirinya tak acuh
pada papa. Tangan kanannya sibuk menekan keypad
ponsel pintarnya.
“Sudah Lo sebar? Besok!” sebuah pesan singkat dikirimkannya.
“Aries! Nanti malam
mama akan telepon dari Australi,” suara papa memenuhi seluruh atmosfer rumah.
Namun, Aries tak
peduli. Ia menutup rapat pintu kamarnya dan Linkin Park menjerit hebat dari CD playernya. Remaja tujuh belas tahun
itu menghempaskan tubuhnya di kasur kualitas terbaik yang disediakan di
kamarnya. Matanya melumat habis langit-langit kamar yang seakan langsug
terhubung dengan sebuah teropong paling canggih. Ia seperti asyik mengamati
peredaran meteorid dan memprediksi meteorid mana yang besok akan meledakkan
sekolahnya.
* * * *
Aries menyalakan
rokoknya dan bersandar di tembok sekolah yang dipenuhi coretan pilox dengan
kata-kata aus yang tak layak diucapkan. Ia menghitung dalam hati dengan tempo
konstan.
“Bolos lagi,
Tong?” Mpok Munah membuang sepanci air
rebusan mie instan ke dalam got yang berada di bawah warungnya.
Aries terkekeh
mendengar pertanyaan yang diucapkan Mpok Munah tepat saat ia menyebut angkat
tiga dalam hati. Saking seringnya menghabiskan waktu di warung kecil itu, ia bahkan tahu kapan kalimat standar itu diucapkan
Mpok Munah.
“Hari ini pelajaran
sejarah, Mpok. Males gue masuk.”
“Kemaren ada pelajaran
sejarah juga yak? Trus kemarennya lagi ada pelajaran sejarah juga? Kan elu juga
kagak masuk dua hari kemaren. Masak pelajaran sejarah tiap hari, Tong?”
Aries tersenyum pada
wanita itu. Senyum istimewa untuk wanita yang mungkin masih mewarisi darah Si
Pitung karena logat Betawinya yang begitu kental. Mpok Muna terkesiap untuk
beberapa detik karena ternyata pemuda itu memiliki senyuman maut yang tak
pernah di duganya. Aries yang terbiasa sinis itu memang jarang tersenyum begitu
tulus untuk orang lain. Ia lebih sering menatap sinis dan tertawa tak peduli.
Meskipun demikian, Mpok Muna selalu yakin bahwa Aries adalah anak baik dan
pintar. “Mpok bakal berumur panjang. Karena semakin hari, Mpok, semakin cerdas.
Pertanyaan-pertanyaan, Mpok, mulai analitis. Bertanya artinya berpikir.
Berpikir artinya bertindak. Bertindak artinya hidup. Nah, Mpok akan berumur
panjang kalau selalu bertanya dengan cara seperti tadi sebab itu artinya Mpok
berpikir.”
“Ah, elu Tong, ade-ade aje.”
“Oh, ya… pelajaran
sejarah nggak tiap hari, Mpok.” Aries menuntaskan jawabannya.
Sejarah masuk dalam black list pelajaran yang harus
diwaspadai Aries. Bukan karena tidak penting, tetapi lebih karena konten yang
disampaikan oleh guru dan buku-buku teks rentan pada kebohongan dan manipulasi.
Ia masih mengingat dengan jelas perdebatan dengan guru sejarah di sekolahnya
sebelum ia menghidupkan lampu merah di atas kepalanya untuk selalu mewaspadai
semua materi sejarah yang dikhotbahkan oleh guru dan buku. Ada uraian yang
selama bertahun-tahun dicetak ulang dalam berbagai literatur sejarah pada
akhirnya dibantah oleh para pelaku sejarah. Berbagai kejayaan yang dipuja-puja
dan dikagumi dari berbagai peradaban ternyata menyimpan begitu banyak
kebusukan. Aries menolak sebagian sektor otaknya terkontaminasi doktrin-doktrin
sejarah yang tingkat akurasinya masih sangat dipertanyakan. Ia masih mengingat
dengan jelas pernyataan yang membuatnya diusir dengan hormat dari dalam kelas, “Sebagai seorang guru Bapak seharusnya
bertanggung jawab dengan ilmu yang Bapak sampaikan. Bapak harus tahu validitas
dari setiap pernyataan. Bagaimana mungkin saya bisa duduk diam bila apa yang
Bapak sampaikan jelas-jelas sangat dipertanyakan kebenarannya. Jelas-jelas
teori evolusi telah terbantahkan sejak bertahun-tahun lalu, manusia purba
bergenre monyet itu pun tak pernah terbukti! Bagaimana mungkin, Bapak masih
mengajarkan materi sampah seperti ini.”
Aries menggelengkan
kepala mengingat peristiwa itu.
“Eh, Tong,” Mpok Munah
ternyata tidak bisa membendung rasa ingin tahunya, “kalo elu males belajar
sejarah, gimana elu bisa tahu tentang bangsa kite coba?”
“Gue mau belajar, Mpok,
tapi dari buku hidup.”
“Aduh! Serem amat tuh
buku, Tong. Emang di mane jualnye?”
“Maksud gue, kenapa
peristiwa sejarah bangsa ini tidak dituturkan langsung oleh pelaku sejarah.
Pemerintah nggak usah ikut-ikut mengintervensi kebenaran. Tidak perlu
memilih-milih mana yang boleh dan tidak boleh diketahui oleh anak mudanya. Biar
kami yang menilai mana kejayaan atau
mana bagian kelam dari masa lalu bangsa ini.”
Mpok Munah
manggut-manggut. Entah paham, entah tidak.
Aries sibuk dengan telepon cerdasnya.
* * * *
“Sialan! Kita mesti
bales, Bud! Siapa yang pimpin?”
“Aries!” Budi berbisik
tajam. Matanya berjaga-jaga dari orang-orang yang tak diinginkan dari mendengar
pembicaraan itu. “Dia nunggu di luar. Biasa, males banget dia kalo bakal ketemu
guru sejarah itu.”
“Gue ikut! Kapan lagi
bisa nunjukin nyali gue di depan anak-anak SMANSA,” sahut Indra geram.
“Sebar informasi ke
anak-anak laen. Inget! Jangan buka mulut Loe-Loe semua ke mahluk-mahluk sok
suci di sekolah ini kalo Lo semua gak pengen rencana ini bocor dan Aries
ngabisin Loe kan?”
Mendengar nama Aries
disebut beberapa wajah tampak sedikit suram. Namun, tetap tak mampu
menyembunyikan adrenalin yang mulai terpacu karena tawaran sebuah arena perang
yang dipimpin langsung Aries, sang dewa perang.
“Beneran besok, Bud?”
Handoko menyela dari balik tubuh Indra.
“Ntar gue kabari lagi.
Yang pasti tugas Loe semua buat ngajakin anak-anak dan suruh mereka nyiapin
senjata masing. Jangan lupa, gak ada yang boleh buka mulut! Paham?”
Cowok-cowok berseragam
abu-abu itu mengangguk kompak. Budi rupanya telah mewarisi aura kepemimpinan yang
pekat dari seorang Aries. Seolah-olah ada sebagian ruh Aries yang
mempengaruhinya saat mempersuasi kawan-kawannya untuk rencana tawuran itu.
* * * *
“Gak usah bawa motor.
Hari ini papa yang antar kamu!”
Aries menguliti papa
dengan ekor matanya. Namun, tanpa perlawanan ia gantungkan kembali kunci
motornya. Ia memang tidak berniat membolos hari ini karena hari ini adalah
perang. Ia berniat memunculkan wajahnya di hadapan kawan-kawannya yang mungkin
ingin mamastikan rencana mereka.
Aries duduk manis di
samping papa. Membiarkan papa sibuk dengan setir dan jalan yang padat, tanpa
berniat sedikit pun mencairkan kebekuan di antara mereka. Ia memilih
berpura-pura tidur sepanjang perjalanan atau sesekali memperhatikan jalanan
yang mulai padat. “Nggak perlu sampe gerbang sekolah, Pa. Di ujung jalan saja.
Mobil mewah papa hanya akan mengintimidasi para pejalan kaki yang berpeluh di
gerbang sekolah.” Papa menatap Aries tajam.
“Jangan, khawatir. Papa bisa pastikan bahwa Aries berada di sekolah
sepanjang hari ini.”
Aries menutup pintu
mobil tanpa mengucapkan salam sedikit pun pada lelaki berkacamata di belakang
kemudi. Ia membiarkan mobil mewah itu melaju hanya dengan sedikit melambaikan
tangan sebagai basa-basi sosial.
“Sekolah brengsek, I’m coming,” bisiknya pelan sambil
mengukir senyum sinis. Aries sengaja
memperlambat langkahnya dan berusaha tak peduli pada berpasang-pasang mata yang
menatap aneh atas kehadirannya. Namun, belum separuh ia berjalan, tiga orang
berjaket hitam menariknya.
Aries berusaha melepaskan
diri, tetapi tenaganya kalah kuat. Pukulan-pukulannya tanpa akurasi sama
sekali. Hanya membentur udara kosong. Wajahnya menjadi sasaran empuk puluhan
pukulan dari ketiga lelaki itu. Aries terus mencoba melawan. Ia berusaha
menarik jaket dan kapucin yang menutupi wajah ketiga lelaki di hadapannya. “Pengecut!!!!”
Aries berteriak garang saat mengetahui asal sekolah ketiga lelaki tadi dari
seragam mereka.
“Kau yang pengecut,
Bodoh!!” hardik salah seorang di antara mereka. “Setelah ini, kau gak bakal berani
main-main sama kami lagi!!” BRUK!! Sebuah pukulan penutup menghantam ulu hati
Aries.
Pukulan telak itu
kontan membuat pandangan Aries menghitam untuk sesaat. Meskipun bernyali besar,
energi Aries tidak cukup untuk membalas pengeroyokan itu. Kesumat di dada Aries makin membara saat
ketiga lelaki itu meninggalkannya dengan luka lebam di wajah dan seragam yang
dipenuhi noda tanah. Namun, ia tetap menyeret langkah ke pintu gerbang
sekolahnya….. (bersambung, episode 2)……
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar