Kamis, 24 Januari 2013

THE WAR OF ARIES


(Episode 2)

Septi urung melanjutkan langkah saat melewati koridor tempat toilet laki-laki berjajar. Di koridor itu seorang cowok dengan rambut acak-acakan duduk bersandar di dinging toilet. Di dahinya mengalir darah merah segar yang tampak lengket dan bercampur dengan keringat. Mata cowok itu terpejam. Ujung bibirnya tertarik ke atas, meringis, menahan (entahlah) mungkin nyeri di mata kirinya yang lebam atau rusuk yang kini dipeluknya dengan tangan kanan.
“Sakit?”
Mata cowok beralis hitam lebat itu tiba-tiba terbuka. Ia sontak menggeser tubuhnya saat mendapati wajah seorang gadis tepat berada dalam satu garis lurus dengan tatapannya. Ia mencoba menepis tangan Septi yang mengulurkan selembar wettissue untuk menyeka luka di dahinya. Namun, Septi tak peduli.
“Hm… aku mengenal begitu banyak dewa perang dalam berbagai mitologi. Kupikir, Aries—Putra Zeus—memilih menyendiri setelah mengantongi begitu banyak kekalahan dalam perang yang dipimpinnya. Atau Lucifer memilih untuk bertaubat dari mengobarkan peperangan agar dapat kembali ke surga—tempat abadi untuknya. Hm… bahkan setelah diagungkan oleh begitu banyak umat Hindu, Dewa Indra tak bersedia mengalirkan darah perangnya kepada manusia…”
Luka di dahi cowok berkulit putih itu terasa perih saat terkena air dari tissue basah yang digunakan cewek di hadapnnya. Ia bungkam. Meskipun tampak tak peduli, ia memperhatikan baik-baik celoteh gadis di hadapannya.
“Hm… kupikir aku salah.” Cewek berambut hitam lebat itu melanjutkan celotehnya. “Sepertinya Zeus lupa memenjarakan putranya agar tak melarikan diri dan kembali ke bumi. Atau jangan-jangan… Phopos dan Deimos telah membantunya melarikan diri. Karena ternyata…”
Gadis itu menggantung kalimatnya. Ia menatap lulus mata cowok yang sejak tadi mengamatinya. Untuk beberapa saat waktu berhenti berderak. Gravitasi bumi hanya perpusat pada mereka. Suara siswa dan guru yang sedang belajar di kelas tiba-tiba lenyap. Semuanya terperangkap dalam sebuah ruang hampa. Mereka hanya mendengar detak jantung masing-masing.
“Ternyata apa?” suara cowok itu terdengar berat.
Wajah mereka hanya terpaut beberapa senti. Septi dapat mendengar dengan jelas deru jantung mereka berdua.
“Ternyata… Zeus membiarkan Aries tersesat di sekolah ini.” Bisiknya pelan. Padangan mereka bertaut tajam. Aries tiba-tiba lupa cara bernafas saat bibir Septi dengan lembut mengecup bibirnya. Hangat. Saat itu semua nyeri yang dirasanya tiba-tiba lenyap.
“Ini masih terlalu pagi untuk berperang, Aries.” Septi mengecup pipi cowok itu perlahan lalu beranjak dari duduknya.
Aries ingin mengucapkan terima kasih. Namun, Septi segera berlalu dengan langkah ringan. Ia melangkah lincah dengan tungkainya yang panjang. Tak peduli pada Aries yang masih terpaku bersandar di dinding toilet. Nyeri itu kembali menjalar di tubuhnya.
* * * *
“Elo kasih tau siapa yang ngelakuin ini semua? Kita harus bales, Ries! Pengecut-pengecut itu harus tau sopan-santun. Mereka nyerang Lo saat nggak ada kita. Pagi-pagi lagi. Kasih tau kita, Ries. Biar tuh anak kapok! Biar mereka tahu siapa kita dan siapa elo, Ries.”
Aries menggeleng. “Ini masih terlalu pagi untuk memulai sebuah peperangan.”
“Maksud lo?”
“Bukan berarti lo milih diem aja kan?”
Aries menggeleng cepat mendengar pertanyaan teman-teman gengnya. Ia tidak benar-benar ingin mengonfirmasi pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi lebih untuk menetralisasi otaknya yang tiba-tiba memberontak karena mengulang sebuah kalimat dari orang yang baru pertama di kenalnya.
“Kita bakal bales, tapi setelah ada waktu yang tepat. Minimal, setelah luka-luka gue sembuh.” Aries menyeka luka di dahinya. Masih terasa nyeri. Namun, di sana tertinggal jejak jemari lentik Septi yang menyeka darah dan peluhnya yang asin dan perih.
* * * *
“Berantem lagi?” Papa memegang dagu Aries dan memutar wajah putra bungsunya itu dengan seenaknya.
Aries menepiskan tangan papa dengan sebal, “Nggak, Pa! Mereka yang nyerang Aries!!”
“Mereka nyerang kamu karena kamu yang duluan nyerang mereka. Iya kan?” suara papa meninggi. Memenuhi semua atmosfer rumah. “Sekolah tu buat belajar, Ries! Bukan berantem! Mau jadi apa kamu nanti kalau sibuk berantem gini?”
“Papa denger nggak sih?? Bukan Aries yang mulai!!! Mereka yang nyerang!!” Aries meraung marah. “Sekolah.. sekolah…sekolah! Aries sudah sekolah, Pa! Hampir dua belas tahun penuh! Tapi apa yang didapet??? Nggak ada! Cuma predikat bintang kelas tanpa sinar! Tanpa pilihan!”
“Dan sekali-sekali surat panggilan dan peringatan!” potong papa.
“Ya! Bener!” Sambut Aries. “Cuma itu yang bisa sekolah berikan untuk Aries dan papa! Tidak lebih! Papa sama aja kayak guru-guru di sekolah, cuma bisa berteriak dan marah, tetapi tuli! Mana pernah mau mendengar!”
“Aries!!” bentak papa.
Aries mengepalkan tangan. Mengumpulkan amarah dan kesalnya di sana. Sarung tangan perak dengan ukiran rumit perlahan menutupi jemarinya hingga pergelangan tangan. Dalam waktu bersamaan, sebuah perisai perak juga melingkari lengannya perlahan. Cahaya merah berpendar mengelilingi tubuhnya. “Aku, Aries, Pa! Berhentilah menyudutkanku seperti ini!” desisnya perlahan. Ia benar-benar tak terima disalahkan untuk sesuatu yang tidak dilakukannya. Jelas-jelas dia dikeroyok, bukan berkelehi. Namun, tetap saja selalu dia yang disalahkan.
Aries melompati dua anak tangga terakhir. Ingin segera tiba di kamarnya. Napasnya tersengal karena kemarahannya. Tiba di kamar ia segera menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dan menekan remote control. Sedetik kemudian Linkin Park langsung menjerit hebat dari CD player pojok kamar. Ia mencoba mengingat-ngingat gadis yang tadi pagi ditemuinya di toilet. Mencoba mencari sosok gadis itu dalam ingatannya. Namun, gagal! Ia merasa tak mengenal gadis itu dan tak pernah melihatnya di sekolah sebelum peristiwa tadi pagi. Atau… ini juga berarti bawa ia mengidap autisme ringan karena Aries gagal mengenali orang-orang di sekolahnya dengan baik meskipun waktu yang ia habiskan di sekolah itu hampir tiga tahun penuh.
* * * *
Lebam di mata kiri Aries hanya menyisakan lingkaran hitam samar. Luka di dahinya hanya membutuhkan beberapa hari lagi untuk sembuh sempurna. Beberapa siswa yang melintas di hadapan Aries menyempatkan diri menyapanya atau sekadar tersenyum—mencoba beramah-tamah. Semua siswa di sekolah tahu tentang reputasi ganda yang disandang Aries, siswa terbaik sekaligus terburuk. Tiga tahun berturut-turut ia memegang posisi puncak sebagai juara umum di sekolah. Lalu, dua tahun terakhir secara sukarela dia menjadi organisator semua peristiwa tawuran yang melibatkan sekolahnya. Aries yang jarang bicara dan lebih sering bermuka masam itu tak pernah kehilangan pengikut. Ia dipuja dan dibenci dalam satu waktu bersamaan.
“Tumben duduk manis di sini? Mau tobat Lo?”
Aries mencoba tersenyum mendengar pertanyaan Indra yang sudah duduk di sebelahnya. Namun, ia merasa wajahnya pastilah terlihat begitu aneh dengan senyum itu.  Ia tak menjawab pertanyaan itu. Hanya menepuk ringan pundak Indra—rekan setianya di medan tempur tawuran. Sebenarnya, hari ini adalah genap satu minggu Ares sengaja duduk manis di kursi panjang di depan perpustakaan karena ini adalah sudut paling signifikan untuk mengamati seluruh aktivitas penghuni sekolah. Ia memperhatikan baik-baik siswa yang sedang asyik bermain basket di lapangan dan beberapa cewek yang duduk bergerombol tebar pesona di tepi lapangan. Lalu beralih pada cewek-cewek yang lalu-lalang di koridor sekolah. Namun, tak ada sosok yang dicarinya. Hingga bel masuk meraung pun, cewek berambut pajang sebahu itu tak tampak di antara ratusan penghuni sekolah.
“Masuk, Ries.”
“Elo duluan gih, gue mau telat. Ke toilet dulu aja ah.”
“Kayak cewek, ya, Elo sekarag. Suka ke toilet!”
Aries tak peduli pada komentar Indra. Ia melangkah pelan—mengulur-ulur waktu—menuju toilet pria. Mau tak mau ia membenarkan kata-kata Indra. Entahlah, sebenarnya ia tak benar-benar membutuhkan toilet itu. Namun, ada jejak yang selalu ingin ia ingat di sana. Jejak darah di dinding koridor toilet, jejak jemari gadis berambut hitam berkilau di dahinya, dan… kecupan itu.  Ada kerinduan absurd yang menghentak-hentak di rongga dadanya. Berdiri di koridor toilet dan menghadirkan lagi peristiwa itu dari ingatannya meskipun dalam slide hitam putih adalah salah satu cara manis yang dapat dilakukannya untuk mengingat semuanya.
“Hai! Kau tidak sedang terluka kan?”
Aries segera berbalik. Mencari sosok pemilik aksen ceria itu. Septi berdiri di ujung koridor. Aries mencoba tersenyum meskipun selalu merasa bahwa wajahnya tak pantas memproduksi sebuah senyuman.
“Kau ke mana saja?” ah… bodoh! Bodoh! Bodoh! Mengapa bertanya seperti itu!  rutuknya dalam hati.
Septi tersenyum. Manis sekali. Ia berjalan mendekat ke arah Aries. Matanya bergerak jenaka memandang luka di dahi Aries yang dulu disentuhnya lembut. “Sudah sembuh,” ujarnya ringan.
Aries mengangguk. Matanya tak lepas dari menikmati pahatan wajah cewek di hadapannya. Sempurna! Wajah itu tidak berlapis bedak, tetapi begitu halus bak pualam. Bibirnya tak seperti milik ratusan cewek di sekolah yang berebut antre jadi anggota cheerleaders sekolah. Bibir itu tetap terlihat merah segar meskipun tanpa berlapis lipglos yang berkilat dan menggoda.
Septi masih asyik memeriksa luka di dahi Aries. Entah sadar atau tidak bahwa mata Aries sedang melumat habis wajah manisnya. “Kamu cantik,” bisik Aries nyaris tak terdengar.
“Kau lebih tampan tanpa luka ini,” jawabnya tak acuh. “Jangan berperang Aries. Berikan saja pedang Zeus itu pada Phobos atau Deimos. Biarkan mereka yang menyelesaikan semua pertarungan.”
Aries tak mengerti dengan ucapan Septi. Gadis itu sepertinya begitu fasih dengan mitologi Aries sang dewa perang dari Yunani. Ia bahkan mengenal Phobos dan Deimos dengan sangat baik sebagai pengawal setia Aries.
“Perang akan membunuhmu, Aries. Pedang Zeus dan pegasusmu tak banyak membantu untuk memenangkan perang yang kau ciptakan. Aries, aku benci melihat Lucifer di wajahmu.”
Aries merasakan tangan Septi yang dingin menggenggam erat jemarinya. Ia menatap genggaman itu sesaat lalu kembali menatap cahaya di kedua mata Septi. Wajahnya terlihat pucat. Ada kesedihan di lorong matanya.
Maaf…  Aries ingin mengucapkan kata itu sambil berlutut. Ia tertunduk merasakan genggaman Septi yang makin erat. Di kepalanya terbayang wajah-wajah yang akan menunggunya siang ini.
“Anak-anak sudah tau?”
Indra mengangguk. “Rendi bahkan sudah membawa gear andalannya. Tajam, terasah, dan sudah dibiarkan berkarat!”
Aries mengangguk, “Jangan ada anak kelas satu yang ikut. Gue nggak mau tanggung jawab dengan orang-orang bego! Nyali mereka nggak pasti!”
“Tenang. Emang ada orang baru, tapi bukan anak bawang. Dia punya nyali singa lapar.”
Aries mengangguk. Dipandangnya Indra yang tersenyum penuh kemenangan. Ia memang tidak pernah salah menilai Indra. Anak seorang perwira polisi itu memiliki insting kuat untuk menilai anak-anak di sekolah mereka. Sejauh ini, insting cowok berkulit hitam itu belum pernah salah.
“Aries?”
Aries terkejut mendengar Septi memanggil namanya. Lamunannya buyar. Ia menghindari tatapan gadis itu. Tak bersedia membohonginya.
“Aries, Zeus bisa saja marah dan mengutukmu dengan kematian atas peperangan yang kau ciptakan dan kerusakan yang kau sisakan. Dapatkah kau menjadi Aries yang tak lagi mengenakan baju zirahmu? Dapatkah kau tak lagi melangkahkan kaki ke arena perang itu?”
“Aku, Aries. Aries yang biasa. Bukan dewa perang dalam cerita-cerita tua yang sering elo baca, Sep. Nggak ada Zeus, nggak ada Pegasus, apalagi baju zirah!” sampai di sini, Aries seperti menelan sebuah pil pahit sepuluh biji sekaligus. Ia berbohong! Karena sesungguhnya, ia sering berimajinasi tentang baju zirah yang melingkupi tubuhnya saat kemarahannya tak terkendali. “Aku juga nggak pernah perang, Sep.”
Septi menggeleng. Ia memeluk tubuh Aries erat. “Zeus memperlakukanmu terlalu keji. Tega sekali membiarkan kau tersesat di sini.”
Aries mencoba melepaskan pelukan Septi yang membuatnya sulit bernapas. Belum lagi kepalanya yang berputar karena kalimat-kalimat langit yang digunakan Septi. Ditambah lagi, dari kejauhan tampak Pak Wanto—penjaga sekolah mereka—berjalan mendekat ke arah mereka. Aries tidak mau dituduh melakukan tindakan amoral di sekolah. Ia berusaha melepaskan pelukan Septi seiring langkah Pak Wanto yang semakin dekat. Namun, gagal.
Pak Wanto mengulurkan tangan untuk membantu Aries melepaskan pelukan Septi yang begitu erat. “Maaf, Nak.. Maaf..”
“Saya mestinya yang berterima kasih, Pak,” jawab Aries saat terlepas dari pelukan Septi.
“Ini anak bapak. Tadi pintu rumah tidak terkunci rapat, jadinya dia masuk ke sekolah. Ingatannya agak kurang baik, Nak…” Pak Wanto menggandeng tangan Septi dan menyeret gadis itu pergi.
Kalimat Pak Wanto menggema jauh di dasar ingatan Aries. Kalimat itu seperti magnet yang menyedot energi dan euforia yang tadi dimilikinya saat menatap gadis itu. Benarkah? Pertanyaannya turut menggema di lorong ingatan dan rongga hatinya. Terkurung pengap di sana.
* * * *
Jangan berperang Aries. Berikan saja pedang Zeus itu pada Phobos atau Deimos. Biarkan mereka yang menyelesaikan semua pertarungan. Suara Septi menggema jauh.
“Gue sudah nggak sabar, Ries. Ini saatnya nunjukin ke mereka bahwa gue bukan pengecut.”  Hendro memasang sarung tangan kulit di kedua tangannya. Selanjutnya ia mengeluarkan tali pinggang berkepala besar dari dalam tasnya. Untuk pertarungan jarak dekat, satu pukulan gesper itu saja sudah cukup untuk meretakkan tengkorak kepala musuh.
Aries mengukir senyum. Wajahnya terlihat bercahaya dengan senyum sinis yang khas. “Jangan ada yang nyerang sebelum mereka menyerang. Biarkan mereka yang menabuh genderang dan kita yang akan memenangkan battle kali ini.”
Aries berjalan di paling depan. Di tangan kanannya, sebuah batu besar tergenggam erat. Tangan kirinya memegang stick softball kualitas terbaik. Cukup untuk meretakkan tulang kering lawannya. Di sampingnya Indra melangkah dengan tangan kosong, tetapi Aries tahu bahwa cowok satu itu pastilah menyelipkan sesuatu di pinggangnya atau bahkan ia membawa celurit berkarat di tas sandangnya. Tak jauh dari mereka, dilihatnya Rendi memutar-mutar gear besi yang diikatkan di sebuah sabuk bekas. Ia seperti pemain akrobat yang sedang bermain-main dengan sebuah medali. Kroco-kroco lain sengaja diminta berjalan dalam jarak yang cukup signifikan untuk mengantisipasi serangan yang tak diperkirakan.
Ada rasa hangat yang menjalar perlahan di tubuh Aries. Ia tersenyum lugas. Perisai-perisai perak itu terbentuk satu persatu seiring langkahnya yang kian dekat berhadapan dengan musuh bebuyutan mereka dari SMANSA. Perisai itu melingkupi setiap inci tubuhnya. Yang terakhir dirasakannya adalah sebuah helm yang hanya menyisakan lubang untuk mata dan hidungnya.
Pedang Zeus dan Pegasus tak akan mampu membantumu, Aries…
Ah… lagi-lagi suara Septi menggema di kepalanya. Aries menatap tongkat kayu di tangan kirinya. Perlahan tongkat itu mengeras dan berubah menjadi pedang baja panjang yang mengilat dan tajam. Aku punya pedang, Sep… Aries menatap lurus kelompok massa berseragam abu-abu di depannya. Para pengendara sepeda motor dan pejalan kaki menyingkir dengan sukarela dari jalanan. Ibu-ibu menjerit histeris.
“Seraaangg!!!”
Entah komando untuk siapa. Suara itu menggerakkan dengan massif semua tangan yang menggenggam batu-batu besar. Dalam hitungan detik, batu beterbangan tak tentu arah. Perhitungan langkah harus akurat. Semua orang harus berjudi dengan waktu, menentukan kapan harus menyerang maju memberangus siapa pun tanpa ampun atau mundur agar tak terlepas dari kelompok.  Adrenalin mereka memuncak puas. Lucifer menjelma dalam semua wajah dan menguasai pikiran mereka.
Aries tertawa terbahak. Ini adalah dunianya. Ia melihat ketakutan di wajah musuh-musuhnya. Ketakutan yang menjadi sumber energinya. Ia mengayunkan tongkat pemukulnya pada siapa pun yang mendekat. Tiga orang jatuh tersungkur saat tongkat softball itu mementung keras kepala mereka. Dari kejauhan dilihatnya seseorang yang hanya berdiri tegak sambil memutar gear besar yang telah diikat dengan tali. Itu adalah sosok yang membuat matanya lebam dan rusuknya retak satu minggu lalu. Sosok itu terlihat hanya menikmati battle yang ia ciptakan ini. Sesekali ia tertawa puas.
Aries tahu siapa yang harus dihabisinya siang itu. Ia merangsek maju, tak peduli pada Indra yang memintanya mundur. Ia tahu siapa lawan yang harus dirobohkannya. Kakinya melangkah tegap. Aku tidak memerlukan Pegasus, Sep… bisiknya dalam hati. Senyumnya magis.
Kedatangan Aries disambut tawa penuh ejekan. Aries tak peduli. Ini peperangannya dan ia tidak ingin kalah. Namun, tanpa disadari, rupanya mereka membawa begitu banyak orang. Entah memang siswa SMANSA atau sebagiannya orang-orang bayaran.  Ada banyak yang melangkah mendekat ke arah Aries. Indra sendiri tak mematuhi kata-katanya. Ia malah maju untuk memperkecil jarak dengan Aries. Kayu, tongkat, dan batu beterbangan dan menyerang silih berganti. Aries mengandalkan instingnya untuk menghindar dari hujan batu yang bisa saja meretakkan tengkoraknya. Ia mencari Indra, tetapi matanya malah menemukan sosok berseragam abu-abu berlari ke arahnya. Rambut panjang hitamnya berkibar dimainkan angin.
“Septi??”
Apa yang dilakukannya di sini?? Aries tak pernah ingin menjadi pengecut. Namun, kali ini ada yang mendorongnya begitu kuat untuk meninggalkan Indra dan tempat itu. Ada Septi di seberang sana yang membutuhkan pertolongannya. Gadis itu tak layak mati konyol karena cerita klasik yang hidup di kepalanya.
“Ariieeeesss!!!” Septi melambaikan tangan. Ia terus melangkah memasuki arena tawuran. Orang-orang berteriak mengingatkannya. Beberapa di antara mereka berusaha meraih tangannya untuk mencegah gadis itu melangkah. Namun, Septi tak peduli. Entah tidak menyadari bahwa sedang ada tawuran hebat di depannya atau matanya hanya mampu melihat Aries.
Aries melangkah menjauh. Musuhnya tertawa mengejek. Sisa yang lain berusaha mengejarnya. Namun, Aries tak peduli. Ia bukan ingin melarikan diri, hanya hendak menyingkirkan Septi.
“Menyingkir dari sini!” Aries menarik tangan Septi. Tak peduli pada senyum sumringah gadis itu karena mendapati kedatangannya.
“Aries akan ada perang yang nanti paling kau benci. Berhentilah Aries, kau tak harus selalu berada di tengah peperangan. Kau punya pilihan Aries, kau tak harus selalu memicu kebencian dan amarah. Aries…”
“Ariiieeess!!!” ada suara lain yang meneriakkan namanya. Aries mengandalkan instingnya langsung menarik Septi untuk menunduk. Sebuah batu besar mendarat tepat di samping mereka.
“Ayo! Pergi dari sini!”
Suara sirine mobil polisi meraung semakin dekat dan jelas. Aries menarik tangan gadis itu. namun, telinganya dapat menangkap dengan jelas langkah besar penuh amarah di belakangnya.
“Kau sudah menjadi pengecut rupanya.”
Darah Aries mendidih mendengar ejekan itu. Ia berhenti melangkah dan menarik Septi untuk bersembunyi di balik punggungnya. Lawan di hadapannya menatapnya penuh nafsu sambil memutar-mutar gear besar di tangannya. Mereka telah menjadi musuh bebuyutan hampir dua tahun terakhir. Namun, Aries selalu berhasil melukainya.
“Aku Aries! Tak pernah membiarkan ketakutan mengendap di kepalaku lebih dari satu detik saja, Roni Pesek!” Aries merasa menang mengejek lawanannya dengan sebutan memalukan itu.
Septi memeluknya dari belakang. “Aries, kumohon. Berhentilah untuk kali ini saja,” bisiknya.
Aries berusaha melepaskan tangan Septi yang melingkar di pinggangnya. Rusuknya masih terasa nyeri. Roni yang benci dengan julukan itu tak lagi membuang banyak waktu. Ia melangkah maju sambil memutar-mutar gear karatan yang siap menghabisi lawannya. Aries berusaha menghindar dan melindungi Septi yang tak bersedia menjauh. Beberapa kali gear karatan itu menghantam aspal jalan atau ruang kosong di samping mereka. Sampai detik ini, Aries bersyukur bahwa Septi masih bisa mengikuti komandonya. Namun, keberuntungan ini pastilah tidak berlangsung lama. Aries memutuskan untuk menyeret Septi menjauh dari tempat itu. Ia tak peduli apakah Septi dapat mengikuti langkahnya atau tidak, yang pasti Aries berlari dalam langkah lebar dan cepat.
“Inilah perang yang kumaksudkan Aries. Zeus tak benar-benar menyayangimu dengan membiarkan kau memakai pedang itu. Kau mencuri pedang itu darinya  dan dia ingin kau menerima hukuman dari pedang yang kau curi itu.”
Septi berceloteh lagi. Aries tak peduli. Ia tak mengendurkan sedikit pun genggamannya di pergelangan tangan Septi. Matanya awas terhadap lemparan batu yang mungkin nyasar ke arah mereka. Telinganya mengawasi langkah Roni yang membuntuti mereka. “Aries!” Septi berusaha menahan langkah Aries. BRUKK!! Detik berikutnya ia tersungkur. Kakinya tersandung trotorar yang tadi dilompati Aries. Sepatunya terlepas. Aries mengumpat dalam hati. Namun, mau tak mau ia menghentikan langkah untuk menolong gadis bermata zaitun itu berdiri dan membersihkan rok dan kerikil yang melukai lututnya.
“Kau baik-baik saja?” 
Septi mengangguk. Aries masih berusaha membersihkan debu yang mengotori rok abu-abu Septi. Ia melihat Roni yang kian mendekat, tetapi Aries merasa masih memiliki setidaknya satu menit untuk membangun jarak dengan mahluk satu itu. Aries berusaha meraih sepatu Septi yang tergeletak tak jauh dari mereka.
“Ariieeeessss!!!” Ini kali ke sekian Septi meneriakkan namanya. Namun, Aries yang sedang merangkak untuk meraih sepatunya tak sempat tahu alasan Septi meneriakkan namanya karena gadis itu langsung menubruk tubuhnya hingga mereka terguling di tanah.
Wajah mereka sedekat dahulu—saat pertama kali gadis itu muncul. Namun, kali ini Septi terpejam. Kulitnya lebih pucat daripada terakhir ia menatapnya. Ada butiran peluh bening berkilau di dahinya. Perlahan kepala gadis itu rebah di dada Aries.
“Sep???” Aries berusaha mengguncangkan tubuh gadis itu. Ingin bertanya untuk memahami apa yang sedang dilakukannya. Ia bisa merasakan nafas Septi yang hangat, tetapi berat.  Aries mengangkat tangan kirinya yang sejak tadi melingkari tubuh Septi. Ia ingin berteriak, tetapi pita suaranya menolak bergetar. Air mata yang dibencinya mengalir perlahan dari sudut matanya saat menatap tangannya yang basah oleh darah.  “Septi!!! Banguuuuunnnn!!!!”  Aries mengguncangkan tubuh gadis itu sekali lagi. Namun, nihil.
Aries berusaha bangkit, tetapi pelukannya masih begitu erat. Kemarahannya semakin mendidih saat melihat gear karatan yang sejak tadi diproyeksikan Roni untuk menghabisinya kini malah tertancap lurus di punggung Septi. Hampir sempurna tenggelam di tubuh ringkih gadis itu. Entah kekuatan apa yang digunakan Roni sehingga dapat melukai Septi begitu dalam. Tidak!!! Luka ini jauh lebih menyakitkan untuknya. Roni berbalik dan melarikan diri dari hadapan Ares.
“Bangsaaatttt!!!” Aries bersuaha bangkit. Ia harus menuntaskan dendam ini. Cengkraman lemah di seragam putihnya yang telah ternoda merah mengurungkan langkahnya.
“Jangan!” Suara Septi terdengar lemah. Ia berusaha membuka mata zaitunnya yang cemerlang. Namun, Aries tak menemukan cahaya di sana. Gadis itu berusaha mengukir sebuah senyuman, tetapi tak sempurna simetris. “Aries, setelah ini tinggalkan semua peperangan. Zeus pun merasa terluka dan bersalah atas kematianku. Kau punya pilihan Aries!”
Ah… dalam situasi seperti ini pun gadis itu masih berceloteh tentang Zeus. Namun, Aries tak dapat membantah. Sekuat apapun gadis itu berusaha tersenyum dan membuka matanya, tetapi energinya susut sudah. Tangannya yang mencengkram seragam putih Ares perlahan jatuh tanpa energi.
Zeus memperlakukanmu terlalu keji. Tega sekali membiarkan kau tersesat di sini.
* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar