Rabu, 01 Mei 2013

SUARA


Sebentar lagi masa kampanye calon presiden akan berakhir. Kampanye yang gelar di lapangan-lapangan kampung makin ramai. Tim sukses para calon presiden menggelar acara besar yang mendatangkan artis dangdut dari ibu kota untuk menggoyang masyarakat hingga ke pelosok negeri. Janji manis dengan kadar gula tinggi berhamburan dari bibir para calon pemimmpin negeri. Tiba-tiba semua orang begitu pandai mengarang janji. Padahal dulu saat duduk di bangku sekolah, kepala mereka bebalnya minta ampun saat diminta membuat sebait pantun.
“Aku ndak bakal mau dateng ke acara kampanye kampungan seperti itu!” Mbah Suryo—veteran perang—bersikeras. “Jangankan ikut kampanye yang isinya cuma goyang dangdut sambil dengerin mereka obral janji murahan, ikut pemilu pun aku ndak mau!” tegas Mbah Suryo sambil menyesap pipa rokoknya.
Ndak boleh gitu tho, Mbah. Suara si Mbah di pemilu itu penting, lho, Mbah.”
“Karena tahu suaraku itu penting, aku ndak mau memakai hak pilihku untuk milih para pembohong dan calon koruptor sebagai pemimpin!”
Handoko, salah seorang tim sukses dari Partai Beras Ketan, mengerutkan dahi mendengar jawaban Mbah Suryo. “Waduuhh… Mbah jangan berburuk sangka gitu dong, Mbah.”
“Berburuk sangka bagaimana? Yang aku bilang, bener tho? Coba kamu inget-inget, partai mana yang ndak pernah tersangkut kasus korupsi? Ndak ada, tho. Nah, partai  yang calon presidennya terpilih di pemilu, korupsinya bakal makin huebat!!! Termasuk kamu itu, Ko!!”
Wajah Handoko memerah seketika saat mendengar pembelaan Mbah Suryo. Ia langsung meninggalkan lelaki delapan puluh tahun itu tanpa terlebih dahulu mengucapkan permisi. Mbah Suryo hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Handoko.
* * * *
Empat hari lagi pemilu presiden akan digelar. TPS-TPS mulai disiapkan. Tenda-tenda besar mulai didirikan dan kursi-kursi disiapkan agar semua warga bersemangat menggunakan hak pilih mereka. Mbah Suryo hanya mengamati kesibukan menjelang pesta demokrasi itu. Ia memilih menyibukkan dirinya merawat sepeda ontel tua yang usianya hampir sama persis dengan usia kemerdekaan bangsa ini. 
Dua orang lelaki berpakaian rapi dengan sepatu mengilat datang bertamu ke rumah Mbah Suryo. Setelah mempersilakan kedua tamu itu duduk dan menyediakan dua gelas air putih dingin dari kendi di meja, Mbah Suryo kembali sibuk dengan sepeda ontelnya. Tanpa sedikit pun niat menanyakan maksud kedua tamu itu. “Aku beli sepeda ini dari warisan ladang jagung almarhum bapakku. Sepeda ini pernah kupakai saat perang kemerdekaan. Pernah juga untuk membonceng almarhum ibu untuk berobat. Sayang waktu itu aku ndak punya cukup uang untuk membawa ibu ke puskesmas, di tangan dukun kampung penyakit ibu tidak bisa ditangani dengan baik. Aku bahkan terlalu sayang untuk menggadaikan sepeda ini,” air mata menggenang di wajah Mbah Suryo saat ia bercerita tentang kisah panjang sepeda ontel tua itu. “Sepeda ini juga yang mengikat banyak kenanganku dengan Diajeng Retno. Sepeda ini jauh lebih berharga dari sepetak sawah di belakang itu.” Mbah Suryo bercerita pada kedua tamunya, tanpa peduli apakah didengarkan atau tidak oleh kedua tamu parlente itu.
Mbah Suryo terus mengusap setiap inchi batangan besi sepeda ontel yang asli produksi Belanda tahun 1942. Ia menambahkan pelumas di stang, gear, dan rantai sepeda sambil mendendangkan tembang kinanthi.
“Kami ke sini…”
“Aku sudah tahu,” potong Mbah Suryo tanpa mengalihkan sedikit pun perhatian dari sepeda tuanya. “Kalian mau memintaku memilih calon presiden dari partai kalian, tho?
Lelaki yang berambut ikal tebal mengangguk sambil tersenyum. “Iya, betul, Mbah. Kalau Mbah memilih kandidat presiden dari partai kami, orang-orang kampung sini pasti ngikutin pilihan, Mbah Suryo. Mereka lebih mendengar suara Mbah Suryo daripada kampanye yang kamarin-kemarin. Kalau Mbah bersedia memilih presiden dari partai kami, apa pun yang Mbah pinta, akan kami beri Mbah.”
Mbah Suryo terkekeh. “Semprul!!!” ujarnya sambil menoyor dahi kedua orang itu bergantian. “Belum terpilih jadi presiden aja, kerja kalian sudah ndak bener!!! Apalagi kalo sudah kepilih, makin ndablek otak kalian!”
“Mbah… ayolah… Bantu kami, Mbah…”
Mbah Suryo menggeleng. “Aku baru mau milih presiden kalo mereka bersedia nerima gaji sebesar gaji pensiunku yang setiap bulan cuma empat ratus ribu! Diambil ngantri di kantor pos. Pas diterima, duitne lecek dan busuk! Ada yang mau? Itu gajiku selama puluhan tahun setelah bertaruh nyawa di bawah hujan peluru tentara Belanda. Ada calon presiden kalian mau hidup kere kayak aku iki?
Kedua tamu dari sebuah partai besar itu hanya saling pandang.  Mbah Suryo terkekeh melotot menatap mereka yang tampak kikuk.
Ndak bakal ada yang mau! Mau presiden dari partai mana pun, ndak ada yang mau cuma digaji segitu. Maunya gaji besaarrr… mobilne muahaalll… makanne uenak… korupsine segudaang… habis menjabat namane dicatat sebagai pahlawan di buku sejarah! Gitu tho? Ndak ada seorang pun calon presiden dan politikus koyo sampeyan-sampeyan iki yang bener-bener tulus mau berjuang membangun negoro iki seperti kami dulu yang cuma bermodal bambu runcing dan senjata rampasan.”
Akhirnya kedua tamu itu menyerah. Meskipun Mbah Suryo sudah menawari mereka agar meminum air kendi dingin itu terlebih dahulu, keduanya malah ngelonyor pergi. Gagal menjalankan misi membujuk Mbah Suryo.
* * * *
Di kampung Suka Bersama tak pernah ada teori pemilu berasaskan luber—langsung, umum, bebas, rahasia. Tidak ada yang rahasia di kampung ini. Yang ada adalah pilihan bersama berdasarkan pilihan Mbah Suryo. Kalau saja Mbah Suryo memilih Partai Cabe Bawang, seisi kampung akan memilih partai itu, tanpa terkecuali. Partai lain, silakan gigit jari. Sayangnya, sudah tiga kali pemilu, Mbah Suryo hanya menggelengkan kepala. Tak melangkahkan kaki sejengkal pun ke TPS. Pernah suatu waktu, kepala desa harus mendatangkan pimpinan KPUD untuk meminta warga segera memilih calon bupati pilihan mereka sebab hingga akhir masa pencoblosan tak ada satu pun warga yang mencoblos. Alasannya karena Mbah Suryo tidak menentukan pilihan.
Pemilu kali ini pun sangat merisaukan Kepala Desa Suka Bersama. Seandainya Mbah Suryo tidak ikut pemilu lagi, pemilihan presiden di Desa Suka Bersama akan kembali mencatat sejarah yang sama seperti saat pemilihan bupati lalu.
* * * *
Ayam belum ramai berkokok. Fajar baru akan merekah dua jam lagi. Namun, Mbah Suryo telah terbangun. Menghabiskan dua gelas air kendi lalu duduk di kursi goyang sambil menyesap tembakau dari pipa rokoknya. Di pangkuannya sebuah buku berbahasa Inggris terbuka begitu saja. Hari ini pesta demokrasi akbar empat tahunan akan digelar. Penduduk kampung akan berbondong-bondong datang ke TPS untuk mencoblos sepasang foto wajah pasangan calon presiden yang akan memimpin bangsa ini empat tahun ke depan. Bukan siapa yang akan menang dalam perhitungan suara nanti yang saat ini dipikirkan Mbah Suryo, melainkan setelah matahari terbit penduduk desa akan berbondong menemuinya. Bertanya tentang calon presiden pilihannya. Mereka menunggu Mbah Suryo menentukan pilihan untuk mereka ikuti secara massal. Bagi penduduk desa, Mbah Suryo memiliki mata batin yang tajam dan pertimbangan yang baik. Pilihan Mbah Suryo adalah pilihan bersama.
Suara pintu diketuk. Mbah Suryo tak menaruh curiga sedikit pun. Ia berjalan pelan untuk membukakan pintu. Dua orang laki-laki membawa dua kantong plastik putih bergambar Partai Bunga Matahari memasang wajah paling manis yang mereka miliki.
“Mau apa?”
“Ini untuk Mbah Suryo,” mereka menyerahkan dua bungkusan itu, “jangan lupa coblos presiden dari partai kami, ya, Mbah,” ujar mereka sambil menunjukkan foto wajah calon presiden yang mereka maksud.
Mbah Suryo menyambut dua kantong plastik yang diulurkan padanya. Ia duduk di muka pintu sambil membuka salah satu bungkusan. Aroma wangi beras kualitas terbaik menguar dari dalam kantong plastik tsb.. Mbah Suryo langsung mengikat lagi bungkusan itu baik-baik dan menyodorkan kembali bungkusan itu pada dua orang di hadapannya.
“Ambil! Berikan untuk calon presiden kalian itu!  Aku mau pilih dia kalau selama dia menjabat sebagai presiden, dia mau makan beras seperti ransum pensiunan yang kuterima setiap bulan. Ransum apek yang kadang sudah ulatan. Kalau dia mau makan beras seperti yang aku makan selama ini, aku pilih dia!” ujar Mbah Suryo tegas.
Mbah Suryo menutup pintu rumahnya. Air matanya menggenang. Teringat ransum pensiunannya yang selalu apek dan terkadang ulatan. Bahkan pernah, selama satu bulan penuh istrinya harus memasak ransum itu menjadi bubur asin agar cukup untuk dimakan sebulan penuh.  Ia bahkan pernah harus berpuasa di akhir bulan karena ransum dan uang pensiun sudah habis sebelum waktunya. Ada sakit di rongga dadanya saat calon pemimpin negara ini malah menyodorkan satu kilogram beras wangi hanya untuk dipilih menjadi seorang presiden. Dulu Mbah Suryo juga ingin membangun bangsa ini, ia tak meminta gaji. Malah menyerahkan nyawa demi nama dan bendera bangsa. Bagaimana dengan calon presiden kali ini? Mbah Suryo kesal. Menghisap rokoknya lebih dalam untuk meracuni kesal yang menggumpal di rongga dadanya.
* * * *
Selepas subuh, beberapa orang mendatangi rumah Mbah Suryo. Mengetuk pintu dan menunggu beberapa saat. Namun, Mbah Suryo sama sekali tak berniat membukakan pintu seperti yang selama ini ia lakukan untuk para tamunya. Mbah Suryo malah berdiri terpekur di depan lemari pakaian. Di sana masih tersimpan rapi baju yang dulu pernah dipakainya berjuang dan sobek jahitan di bagian bahu. Dulu, ada sebuah peluru yang menembus baju itu  dan hingga kini peluru itu masih bersarang di bahu Mbah Suryo. Tak ada rumah sakit yang bersedia membantunya mengelurkan peluru itu karena Mbah Suryo tak mampu membayar biaya operasi. Peluru  itu membuat tangan kiri Mbah Suryo tampak cacat. Itu adalah prasasti sejarah di dirinya.
Pukul tujuh pagi TPS mulai ramai. Pemilu telah resmi dimulai. Namun, tak satu pun warga bergerak ke bilik suara untuk mencoblos salah satu foto pasangan calon presiden. Membuat bingung para petugas TPS, saksi-saksi, dan pemantau pelaksanaan pemilu. Namun, tiba-tiba warga yang sudah mendatangi TPS berdiri dan menatap ke ujung jalan.
“Mbah Suryo datang,” seru salah seorang petugas keamanan.
Mbah Suryo berjalan tertatih dengan sandal jepit tipis, sepan tua yang telah memudar warnanya, dan kemeja tipis yang berlubang di bahu kiri. Kali ini ia tak ditemani sepeda ontelnya yang setia. Namun, ada sesuatu yang lain di tangan kanannya. Sebuah bambu kuning yang diruncingkan ujungnya.
Ketua TPS menyambut kedatangan Mbah Suryo dengan wajah sumringah. “Mbah Suryo sudah mau ikutan mencoblos?” tanyanya dengan suara riang.
Mbah Suryo menatap satu persatu wajah yang ada di TPS itu. Ia mengenal sebagian besar pemilik wajah yang berada di sana. Ia juga menatap tajam wajah tim sukses dari beberapa pasangan calon presiden. Mereka menundukkan kepala saat beradu tatap dengan Mbah Suryo.  Ia masih mengingat dengan jelas wajah beberapa orang yang pernah menemuinya secara langsung.
“Aku mau mencoblos,” Ujar Mbah Suryo dengan suara bergetar. “Tapi… aku mau mencoblos jantung dan hati nurani mereka…”  Mbah Suryo menunjuk foto pasangan calon presiden dengan bambu runcingnya.
Ketua TPS tertunduk. Tampaknya pemilu kali ini harus tertunda (lagi).
* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar