Sebentar lagi masa
kampanye calon presiden akan berakhir. Kampanye yang gelar di lapangan-lapangan
kampung makin ramai. Tim sukses para calon presiden menggelar acara besar yang
mendatangkan artis dangdut dari ibu kota untuk menggoyang masyarakat hingga ke
pelosok negeri. Janji manis dengan kadar gula tinggi berhamburan dari bibir
para calon pemimmpin negeri. Tiba-tiba semua orang begitu pandai mengarang
janji. Padahal dulu saat duduk di bangku sekolah, kepala mereka bebalnya minta
ampun saat diminta membuat sebait pantun.
“Aku ndak bakal mau dateng ke acara kampanye
kampungan seperti itu!” Mbah Suryo—veteran perang—bersikeras. “Jangankan ikut
kampanye yang isinya cuma goyang dangdut sambil dengerin mereka obral janji murahan,
ikut pemilu pun aku ndak mau!” tegas
Mbah Suryo sambil menyesap pipa rokoknya.
“Ndak boleh gitu tho, Mbah.
Suara si Mbah di pemilu itu penting, lho, Mbah.”
“Karena tahu suaraku
itu penting, aku ndak mau memakai hak
pilihku untuk milih para pembohong dan calon koruptor sebagai pemimpin!”
Handoko, salah seorang
tim sukses dari Partai Beras Ketan, mengerutkan dahi mendengar jawaban Mbah
Suryo. “Waduuhh… Mbah jangan berburuk sangka gitu dong, Mbah.”
“Berburuk sangka
bagaimana? Yang aku bilang, bener tho? Coba
kamu inget-inget, partai mana yang ndak pernah
tersangkut kasus korupsi? Ndak ada, tho. Nah, partai yang calon presidennya terpilih di pemilu,
korupsinya bakal makin huebat!!! Termasuk
kamu itu, Ko!!”
Wajah Handoko memerah
seketika saat mendengar pembelaan Mbah Suryo. Ia langsung meninggalkan lelaki
delapan puluh tahun itu tanpa terlebih dahulu mengucapkan permisi. Mbah Suryo
hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Handoko.
* * * *
Empat hari lagi pemilu
presiden akan digelar. TPS-TPS mulai disiapkan. Tenda-tenda besar mulai
didirikan dan kursi-kursi disiapkan agar semua warga bersemangat menggunakan
hak pilih mereka. Mbah Suryo hanya mengamati kesibukan menjelang pesta
demokrasi itu. Ia memilih menyibukkan dirinya merawat sepeda ontel tua yang
usianya hampir sama persis dengan usia kemerdekaan bangsa ini.
Dua orang lelaki
berpakaian rapi dengan sepatu mengilat datang bertamu ke rumah Mbah Suryo.
Setelah mempersilakan kedua tamu itu duduk dan menyediakan dua gelas air putih
dingin dari kendi di meja, Mbah Suryo kembali sibuk dengan sepeda ontelnya.
Tanpa sedikit pun niat menanyakan maksud kedua tamu itu. “Aku beli sepeda ini
dari warisan ladang jagung almarhum bapakku. Sepeda ini pernah kupakai saat
perang kemerdekaan. Pernah juga untuk membonceng almarhum ibu untuk berobat.
Sayang waktu itu aku ndak punya cukup
uang untuk membawa ibu ke puskesmas, di tangan dukun kampung penyakit ibu tidak
bisa ditangani dengan baik. Aku bahkan terlalu sayang untuk menggadaikan sepeda
ini,” air mata menggenang di wajah Mbah Suryo saat ia bercerita tentang kisah
panjang sepeda ontel tua itu. “Sepeda ini juga yang mengikat banyak kenanganku
dengan Diajeng Retno. Sepeda ini jauh lebih berharga dari sepetak sawah di
belakang itu.” Mbah Suryo bercerita pada kedua tamunya, tanpa peduli apakah
didengarkan atau tidak oleh kedua tamu parlente itu.
Mbah Suryo terus
mengusap setiap inchi batangan besi sepeda ontel yang asli produksi Belanda
tahun 1942. Ia menambahkan pelumas di stang, gear, dan rantai sepeda sambil mendendangkan tembang kinanthi.
“Kami ke sini…”
“Aku sudah tahu,”
potong Mbah Suryo tanpa mengalihkan sedikit pun perhatian dari sepeda tuanya.
“Kalian mau memintaku memilih calon presiden dari partai kalian, tho?”
Lelaki yang berambut
ikal tebal mengangguk sambil tersenyum. “Iya, betul, Mbah. Kalau Mbah memilih
kandidat presiden dari partai kami, orang-orang kampung sini pasti ngikutin pilihan, Mbah Suryo. Mereka
lebih mendengar suara Mbah Suryo daripada kampanye yang kamarin-kemarin. Kalau
Mbah bersedia memilih presiden dari partai kami, apa pun yang Mbah pinta, akan
kami beri Mbah.”
Mbah Suryo terkekeh. “Semprul!!!” ujarnya sambil menoyor dahi
kedua orang itu bergantian. “Belum terpilih jadi presiden aja, kerja kalian
sudah ndak bener!!! Apalagi kalo
sudah kepilih, makin ndablek otak
kalian!”
“Mbah… ayolah… Bantu
kami, Mbah…”
Mbah Suryo menggeleng.
“Aku baru mau milih presiden kalo mereka bersedia nerima gaji sebesar gaji
pensiunku yang setiap bulan cuma empat ratus ribu! Diambil ngantri di kantor pos. Pas diterima, duitne lecek dan busuk! Ada yang mau? Itu gajiku selama puluhan
tahun setelah bertaruh nyawa di bawah hujan peluru tentara Belanda. Ada calon
presiden kalian mau hidup kere kayak
aku iki?”
Kedua tamu dari sebuah
partai besar itu hanya saling pandang.
Mbah Suryo terkekeh melotot menatap mereka yang tampak kikuk.
“Ndak bakal ada yang mau! Mau presiden dari partai mana pun, ndak ada yang mau cuma digaji segitu.
Maunya gaji besaarrr… mobilne muahaalll…
makanne uenak… korupsine segudaang… habis menjabat namane dicatat sebagai pahlawan di buku
sejarah! Gitu tho? Ndak ada seorang
pun calon presiden dan politikus koyo
sampeyan-sampeyan iki yang bener-bener tulus mau berjuang membangun negoro iki seperti kami dulu yang cuma
bermodal bambu runcing dan senjata rampasan.”
Akhirnya kedua tamu itu
menyerah. Meskipun Mbah Suryo sudah menawari mereka agar meminum air kendi
dingin itu terlebih dahulu, keduanya malah ngelonyor
pergi. Gagal menjalankan misi membujuk Mbah Suryo.
* * * *
Di kampung Suka Bersama
tak pernah ada teori pemilu berasaskan luber—langsung, umum, bebas, rahasia.
Tidak ada yang rahasia di kampung ini. Yang ada adalah pilihan bersama
berdasarkan pilihan Mbah Suryo. Kalau saja Mbah Suryo memilih Partai Cabe
Bawang, seisi kampung akan memilih partai itu, tanpa terkecuali. Partai lain,
silakan gigit jari. Sayangnya, sudah tiga kali pemilu, Mbah Suryo hanya
menggelengkan kepala. Tak melangkahkan kaki sejengkal pun ke TPS. Pernah suatu
waktu, kepala desa harus mendatangkan pimpinan KPUD untuk meminta warga segera
memilih calon bupati pilihan mereka sebab hingga akhir masa pencoblosan tak ada
satu pun warga yang mencoblos. Alasannya karena Mbah Suryo tidak menentukan
pilihan.
Pemilu kali ini pun sangat
merisaukan Kepala Desa Suka Bersama. Seandainya Mbah Suryo tidak ikut pemilu
lagi, pemilihan presiden di Desa Suka Bersama akan kembali mencatat sejarah
yang sama seperti saat pemilihan bupati lalu.
* * * *
Ayam belum ramai
berkokok. Fajar baru akan merekah dua jam lagi. Namun, Mbah Suryo telah
terbangun. Menghabiskan dua gelas air kendi lalu duduk di kursi goyang sambil
menyesap tembakau dari pipa rokoknya. Di pangkuannya sebuah buku berbahasa
Inggris terbuka begitu saja. Hari ini pesta demokrasi akbar empat tahunan akan
digelar. Penduduk kampung akan berbondong-bondong datang ke TPS untuk mencoblos
sepasang foto wajah pasangan calon presiden yang akan memimpin bangsa ini empat
tahun ke depan. Bukan siapa yang akan menang dalam perhitungan suara nanti yang
saat ini dipikirkan Mbah Suryo, melainkan setelah matahari terbit penduduk desa
akan berbondong menemuinya. Bertanya tentang calon presiden pilihannya. Mereka
menunggu Mbah Suryo menentukan pilihan untuk mereka ikuti secara massal. Bagi
penduduk desa, Mbah Suryo memiliki mata batin yang tajam dan pertimbangan yang
baik. Pilihan Mbah Suryo adalah pilihan bersama.
Suara pintu diketuk.
Mbah Suryo tak menaruh curiga sedikit pun. Ia berjalan pelan untuk membukakan
pintu. Dua orang laki-laki membawa dua kantong plastik putih bergambar Partai
Bunga Matahari memasang wajah paling manis yang mereka miliki.
“Mau apa?”
“Ini untuk Mbah Suryo,”
mereka menyerahkan dua bungkusan itu, “jangan lupa coblos presiden dari partai
kami, ya, Mbah,” ujar mereka sambil menunjukkan foto wajah calon presiden yang
mereka maksud.
Mbah Suryo menyambut
dua kantong plastik yang diulurkan padanya. Ia duduk di muka pintu sambil
membuka salah satu bungkusan. Aroma wangi beras kualitas terbaik menguar dari
dalam kantong plastik tsb.. Mbah Suryo langsung mengikat lagi bungkusan itu
baik-baik dan menyodorkan kembali bungkusan itu pada dua orang di hadapannya.
“Ambil! Berikan untuk
calon presiden kalian itu! Aku mau pilih
dia kalau selama dia menjabat sebagai presiden, dia mau makan beras seperti
ransum pensiunan yang kuterima setiap bulan. Ransum apek yang kadang sudah
ulatan. Kalau dia mau makan beras seperti yang aku makan selama ini, aku pilih
dia!” ujar Mbah Suryo tegas.
Mbah Suryo menutup
pintu rumahnya. Air matanya menggenang. Teringat ransum pensiunannya yang selalu
apek dan terkadang ulatan. Bahkan pernah, selama satu bulan penuh istrinya
harus memasak ransum itu menjadi bubur asin agar cukup untuk dimakan sebulan
penuh. Ia bahkan pernah harus berpuasa
di akhir bulan karena ransum dan uang pensiun sudah habis sebelum waktunya. Ada
sakit di rongga dadanya saat calon pemimpin negara ini malah menyodorkan satu
kilogram beras wangi hanya untuk dipilih menjadi seorang presiden. Dulu Mbah
Suryo juga ingin membangun bangsa ini, ia tak meminta gaji. Malah menyerahkan nyawa
demi nama dan bendera bangsa. Bagaimana dengan calon presiden kali ini? Mbah
Suryo kesal. Menghisap rokoknya lebih dalam untuk meracuni kesal yang
menggumpal di rongga dadanya.
* * * *
Selepas subuh, beberapa
orang mendatangi rumah Mbah Suryo. Mengetuk pintu dan menunggu beberapa saat.
Namun, Mbah Suryo sama sekali tak berniat membukakan pintu seperti yang selama
ini ia lakukan untuk para tamunya. Mbah Suryo malah berdiri terpekur di depan
lemari pakaian. Di sana masih tersimpan rapi baju yang dulu pernah dipakainya
berjuang dan sobek jahitan di bagian bahu. Dulu, ada sebuah peluru yang
menembus baju itu dan hingga kini peluru
itu masih bersarang di bahu Mbah Suryo. Tak ada rumah sakit yang bersedia
membantunya mengelurkan peluru itu karena Mbah Suryo tak mampu membayar biaya
operasi. Peluru itu membuat tangan kiri
Mbah Suryo tampak cacat. Itu adalah prasasti sejarah di dirinya.
Pukul tujuh pagi TPS
mulai ramai. Pemilu telah resmi dimulai. Namun, tak satu pun warga bergerak ke
bilik suara untuk mencoblos salah satu foto pasangan calon presiden. Membuat
bingung para petugas TPS, saksi-saksi, dan pemantau pelaksanaan pemilu. Namun,
tiba-tiba warga yang sudah mendatangi TPS berdiri dan menatap ke ujung jalan.
“Mbah Suryo datang,”
seru salah seorang petugas keamanan.
Mbah Suryo berjalan
tertatih dengan sandal jepit tipis, sepan tua yang telah memudar warnanya, dan kemeja
tipis yang berlubang di bahu kiri. Kali ini ia tak ditemani sepeda ontelnya
yang setia. Namun, ada sesuatu yang lain di tangan kanannya. Sebuah bambu
kuning yang diruncingkan ujungnya.
Ketua TPS menyambut
kedatangan Mbah Suryo dengan wajah sumringah. “Mbah Suryo sudah mau ikutan
mencoblos?” tanyanya dengan suara riang.
Mbah Suryo menatap satu
persatu wajah yang ada di TPS itu. Ia mengenal sebagian besar pemilik wajah
yang berada di sana. Ia juga menatap tajam wajah tim sukses dari beberapa
pasangan calon presiden. Mereka menundukkan kepala saat beradu tatap dengan
Mbah Suryo. Ia masih mengingat dengan
jelas wajah beberapa orang yang pernah menemuinya secara langsung.
“Aku mau mencoblos,”
Ujar Mbah Suryo dengan suara bergetar. “Tapi… aku mau mencoblos jantung dan
hati nurani mereka…” Mbah Suryo menunjuk
foto pasangan calon presiden dengan bambu runcingnya.
Ketua TPS tertunduk.
Tampaknya pemilu kali ini harus tertunda (lagi).
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar