Rabu, 01 Mei 2013

TIKUS


“Nanti kau jangan bekerja dengan para tikus, Bujang,”  emak memasangkan topi segi lima di kepala Burhan. Kuncir dari benang wol dirapikan di sebelah kiri. Beberapa jam lagi rektor akan memindahkan kuncir itu ke sebelah kanan dan Burhan akan resmi menyandang gelar sebagai seorang sarjana hukum. “Kau bukan hanya akan bau tikus,  tetapi juga akan menjadi seperti mereka,” lanjut emak sambil menepuk-nepuk pundak Burhan.
“Ah, Emak, mana ada pula tikus mau membuka lowongan kerja. Kalaupun ada, tak akanlah dia sanggup membayar gaji untuk seorang sarjana hukum seperti anak bujang mamak ni,” Burhan tersenyum menggoda. Emak merengut marah sambil mencubit pipi anak bujangnya. Ia memastikan sekali lagi bahwa toga wisuda putra sulungnya itu dalam keadaan sempurna. Rona wajahnya tak mampu menyembunyikan kebanggaan pada putranya itu.
“Kau tahu, Bujang? Lubang tikus itu tersembunyi dibalik rumput. Kecil, tetapi dalam. Hitam dan gelap, tak peduli siang atau malam. Seorang ahli agama, ahli ibadah, bahkan seorang profesor pun dapat terperosok ke dalamnya. Sekali kau terperosok, kau tak akan sanggup keluar lagi karena kakimu akan  patah terjepit di lubang sempit mereka. Kalaupun kau sanggup keluar, pastilah kau akan berjalan pincang dan tubuhmu itu akan tercemar aroma busuk mereka.”
Burhan hanya tesenyum dan menggelengkan kepala mendengar petuah emak. Ia mematut dirinya sekali lagi di depan cermin meskipun tahu bahwa hal itu tak perlu ia lakukan karena emak sudah memastikan sejak tadi bahwa ia telah tampil sempurna. Meskipun hanya menanggapi kalimat emaknya dengan senyuman, mau tidak mau ia harus mengakui bahwa kata-kata tadi mengendap di kepalanya. Emaknya yang hanya lulusan SD itu memang senang berfilosofi.  Mak… anak bujang kau ini seorang sarjana hukum. Tak ‘kan lah aku menghinakan diri melupakan hukum yang bertahun-tahun jadi santapan di bangku kuliahku itu, Burhan membatin saat menatap punggung emaknya yang menghilang di balik pintu kamar.
* * *
Puluhan spanduk, ribuan stiker, kartu nama, pamflet, kaos partai, dan berbagai atribut kampanye lainnya berserakan di kamar Burhan. Emak menatap prihatin kamar anak bujangnya yang berantakan. Burhan tekun menatap monitor komputer tuanya. Ia berkonsentrasi penuh pada teks pidato yang akan disampaikannya dalam kampanye yang harus dilakukannya.
“Sibuk sekali kau sekarang, Bujang.”  Burhan menghentikan keasyikannya mengetik  teks pidato yang dipenuhi janji yang akan diumbar saat kampanye nanti. Ia mencoba tersenyum pada emak yang duduk di tepi dipan sambil menatap atribut kampenye yang berserakan di kamarnya. “Ah, Emak. Tidak sibuk sekali, hanya sedikit sibuk saja.”
“Tak sayangkah kau pada uang yang cuma dijadikan kertas-kertas begini, Bujang? Emak rasa lebih bermanfaat kalau uang untuk kertas-kertas ini kau tambahkan untuk toko bapak kau yang selama bertahun-tahun mengisi periuk nasi dapur kita itu.”
Burhan berpindah ke samping emak, “Mak… ini bukan soal uang. Ini tentang kepedulian kita pada negara. Burhan peduli hendak memperbaiki bangsa kita yang bobrok ini, Mak. Bujang anak mamak ni, nak jadi wakil rakyat. Duduk di parlemen bisa memudahkan untuk kita memperjuangkan hak-hak masayarakat.”
Emak meremas jemari Burhan sambil tersenyum dalam dan pekat. “Banyak yang sudah duduk di sana, malah lupa berdiri, Bujang. Tak hanya lupa berdiri, mereka pun lupa pada dunia. Emak lebih suka melihat kau membersihkan gorong-gorong di depan rumah kita ni atau mencebur di sungai seberang tu untuk membersihkan sampah. Lebih jelas terlihat bahwa kau peduli dan berguna. Ingat Bujang, bekerja tu dimulai dengan karya dan tenaga kau yang laki-laki ini. Bukan mengumbar janji-janji. Jangankan berjanji untuk ratusan orang di luar rumah kita ni, janji kau dengan mamak pun banyak yang belum sempat kau penuhi. Alangkah tak eloknya harus mati terhimpit janji oleh lidah kita yang tak terpelajar ni.
Burhan merasa pipinya memerah dan pedas karena tamparan emak. Tidak dengan telapak tangannya yang berkasih sayang itu, tetapi lewat kata-katanya. Emaknya yang hanya tamatan SD itu berpikir begitu sederhana, tetapi sikapnya cukup untuk mengerdilkan Burhan yang menghabiskan separuh usianya di bangaku sekolah untuk membaca ratusan buku dari pakar ilmu pengetahuan dunia.
* * *
“Kau sudah besar, Bujang. Tak perlu lagi rupanya emak membantu merapikan pakaianmu.”
Burhan tersenyum pendek sambil meminum dengan cepat segelas teh yang terhidang di meja makan tanpa sempat mencicipi sesendok pun nasi goreng yang sudah tersedia di sana. Emak hanya pernah sekali membantunya merapikan jas kerjanya—saat pelantikannya sebagai anggota dewan. Hari berikutnya, emak lebih banyak diam menunggu di meja makan, tetapi hanya beberapa kali saja Burhan sempat menghabiskan pagi di meja makan bersamanya.
Suara emak perlahan menghilang dan senyap dari kehidupan Burhan. Tergantikan oleh hiruk-pikuk program kerja, rapat, audiensi, dan sidang-sidang yang harus dihadirinya. Kunjungan rutin mereka setiap Jum’at sore ke makam bapak sempurna tergantikan oleh padatnya program kunjungan kerja dan studi banding yang harus Burhan ikuti. Dunia Burhan dan emak perlahan berjarak oleh sekat imajiner yang terbentuk oleh statusnya sebagai anggota dewan dan wakil rakyat.
“Bukankah, emak ni juga rakyat yang kau wakili di gedung parlemen itu, Bujang? Kenapa jarang pula kau ajak emak kau ini bicara, bagaimana kau bisa tau keinginan emak sebagai rakyat kalau kau sendiri tak pernah sempat mengajak emak kau ini bicara. Jangan-jangan… kau pun tak punya waktu bicara dengan ratusan rakyat yang kau wakili di kursi empuk kau itu, Bujang.”
Untuk ke sekian kali, kata-kata emak berhasil bersarang di ulu hati Burhan. Telak! Emak memang tak perlu menamparnya dengan tangan atau menikamnya dengan belati, tetapi kata-kata beliau selalu berhasil membuat waktu berhenti sejenak. Namun, sayang, saat itu Burhan sedang sibuk menyeret koper besarnya menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah. Satu jam lagi Burhan harus berangkat ke Venesia untuk studi banding.
“Kau berendam saja di sungai seberang rumah kita ni. Nanti kepala bebal kau itu akan menemukan sendiri masalah sungai-sungai dangkal itu. Setelah badan kau hampir beku berendam berhari-hari di sana, kau pun akan temukan jalan keluar untuk sungai-sungai kita yang bau dan kotor itu. Kau tak perlu melancong ke negeri orang hanya untuk belajar tentang sungai. Sungai di negeri kita ni jauh lebih banyak daripada negeri-negeri di benua seberang itu. Bodoh kali kau dan kawan-kawan kau—para anggota dewan itu—membuang banyak uang cuma untuk belajar tentang sungai. Sibuk mengorek sungai di negeri orang, sungai di depan rumah malah tak pernah diperhatikan.”
Burhan tahu emak mulai kesal karena tak mendapat perhatiannya. Namun, ia terikat pada jadwal kerja yang harus dipatuhi bersama. Ia mencium singkat punggung tangan emaknya, “Mak… di meja kamar, ada Burhan tinggalkan amplop untuk kebutuhan sehari-hari. Emak simpan saja sisanya. Kalau pun mau, emak boleh habiskan sesuka hati.” Burhan tersenyum penuh kemenangan karena merasa kemarahan emak akan reda dengan amplop tebal yang ditinggalkannya. Di dalam amplop itu juga ia selipkan sebuah cincin berlian yang dulu pernah dijanjikan oleh lidah bengalnya, “Nanti, kalau Burhan dah jadi orang sukses, Emak akan Burhan belikan cincin berlian. Biar tangan emak yang mulai keriput ni, jadi indah lagi.”
“Kau ambil saja amplop duit kau itu, Bujang. Aku tak sudi…” kalimat emak berhenti karena Burhan telah melaju dengan mobil mewahnya yang mengilat.
* * *
“Nah, ini proyek besar Burhan. Menggunakan dana APBN ratusan milyar. Kami cuma butuh tambahan tanda tangan kau untuk meloloskan proyek ini. Kau tenang saja, tanda tangan kau itu mahal harganya. Kau cukup menghitung tiga jam dari sekarang dan rekening kau otomatis akan terisi penuh.”
Burhan mengerutkan dahi mendengar tawaran Handoko, rekan satu partainya.
“Cepat! Bus yang akan mengantar wisata malam sudah nunggu dari tadi.” Bu Win yang bersanggul dan berdandan menor mengingatkan mereka berdua yang sedang menikmati secangkir kopi. Handoko dan Bu Win sudah menjabat sebagai anggota dewan untuk dua periode. Burhan hanya menatap heran. Mereka baru mendarat dua jam yang lalu. Alih-alih melakukan observasi dan studi banding, hal pertama yang mereka lakukan malah berwisata malam. Burhan melangkah tak berselera.
Hampir tiga jam mereka habiskan untuk berkeliling kota. Berfoto di taman-taman kota yang dihiasi lampu warna-warni. Makan di restoran mewah. Menyaksikan konser musik yang menghadirkan seorang penyanyi sopran terkenal. Untuk semua kesenangan di hari pertama itu Burhan tak mengeluarkan uang sepeser pun. Semua sudah termasuk dalam akomodasi perjalanannya. Saat perjalanan pulang menuju hotel, Handoko kembali menyodorkan map yang berisi berkas-berkas yang membutuhkan tanda tangan Burhan. Lelaki itu seperti sales obat yang begitu getol membujuk Burhan. Demi menghentikan ocehan lelaki bertubuh gempal itu, Burhan mencoretkan sebuah tanda tangan di berkas yang disodorkan padanya. Lubang tikus itu tersembunyi dibalik rumput. Kecil, tetapi dalam. Hitam dan pekat, tak peduli siang atau malam. Seorang ahli agama, ahli ibadah, bahkan seorang profesor pun dapat terperosok ke dalamnya, suara emak menggema jelas di telinga Burhan.
* * *
“…Sekali kau terperosok, kau tak akan sanggup keluar lagi karena kakimu akan  patah terjepit di lubang sempit mereka. Kalaupun kau sanggup keluar, pastilah kau akan berjalan pincang dan tubuhmu itu akan tercemar aroma busuk mereka.”
Burhan terbangun dari tidurnya. Kalimat emaknya tiga tahun lalu beberapa jam sebelum mereka berangkat menghadiri prosesi wisuda pengukuhan dirinya sebagai sarjana hukum kembali terngiang di telinganya. Ia sudah mencoba memejamkan mata. Namun, tak sepicing pun ia dapat tertidur. Diam-diam merapal doa agar suara emak berhenti menggema.
Telepon genggamnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan singkat dari operator bank ternama tertera di layar teleponnya. Burhan membaca cepat pesan singkat itu. Ia terbelalak saat melihat deretan angka yang telah masuk ke rekening pribadinya. 
“Mak…” Burhan memanggil emaknya, lupa bahwa ia sedang berada ribuan kilometer dari kamar emaknya. Tangannya gemetar memegang telepon genggamnya. “Nanti kau jangan bekerja dengan para tikus, Bujang.” suara emak begitu lantang di kepalanya.
Telepon genggam di tangan Burhan terlepas. Ia melihat bulu-bulu halus dan hitam tumbuh perlahan merayap di seluruh permukaan tubuhnya. Kulitnya perlahan menikus. Kukunya berubah tajam, menikus. Matanya perih dan memerah—menikus. Bahkan ia dapat mencium bau tubuhnya sendiri yang begitu memuakkan. Itu jelas bau seekor tikus yang tak tau malu. Bau yang amat laknat bagi emaknya. Burhan melompat kaget saat sebuah buntut panjang dan runcing menyembul dari balik punggungnya. Ia sempurna menikus. Tikus paling menjijikkan. Hal yang paling dibenci emaknya.
“Kau bukan hanya akan bau tikus,  tetapi juga akan menjadi seperti mereka.”
“Mak….” Burhan mencicit. Malu memandang dirinya sendiri.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar