Rabu, 01 Mei 2013

Surat buat Alisha


Seperti biasa, setiap pagi Alisha telah duduk di atas batu besar yang mencuat di tengah-tengah kebun teh yang menghijau di kaki Dempo. Ia tak butuh senter atau lentera untuk menerangi langkahnya menyusuri jalan setapak menuju batu hitam besar itu karena ia sudah terbiasa dengan gelap. Ia pun tak butuh teman untuk menuntun langkahnya karena sudah begitu terbiasa sendiri. Ia bahkan tak butuh tangga untuk memanjat batu bulat besar setinggi kepalanya itu. Kaki-kakinya sudah sangat terlatih mencari pijakan untuk memanjat batu besar itu. Di atas batu besar itu, berbalut sweater tebal dan syal yang melingkar di leher, ia menyaksikan langit perlahan merekah dengan cahaya keemasan. Di atas batu besar itu, ia selalu menunggu matahari menghangatkan wajahnya dan membiarkan angin menerbangkan helai-helai rambutnya.
“Ah… aku kalah lagi.”
Alisha terkejut saat tiba-tiba ada suara laki-laki di dekatnya. Hari tentu masih gelap sebab Alisha belum merasakan sengatan cahaya di wajahnya. Tak ada pula cicit pipit di sekitarnya. Ia menebak-nebak, siapa pula yang pagi-pagi begini berniat menyabotase kemesraannya dengan matahari. Ia menoleh mencari sumber suara, tetapi tak berniat bertanya sepatah kata pun.
“Padahal aku sudah merencanakan hendak menyaksikan sunrise dari batu besar ini. Tampaknya aku bangun kalah pagi darimu.” Laki-laki itu terkekeh.
Alisha hanya tersenyum singkat padanya. Lalu kembali memalingkan wajahnya, seolah tak hendak kehilangan momen sedetik pun untuk menyaksikan matahari memanjat kaki langit dari balik Bukit Barisan yang berjajar di depannya. Meskipun setiap hari menyaksikan matahari merayap naik, Alisha tak juga bosan menatap rekahan cakrawala kuning keemasan di seberang sana. Meskipun yang dilihatnya adalah matahari yang sama seperti ribuan tahun lalu, Alisha tak pernah bosan menanti kedatangannya.
Alisha tahu, lak-laki itu ada di dekatnya. Ia bersandar di batu besar hitam yang di atasnya Alisha duduk mematung. “Kau tidak bangun kesiangan. Hanya saja, matahari itu tidak pernah tidur sehingga sering kali sepertinya ia terlalu cepat datang. Lihat saja, belum ada seorang pun pemetik teh yang datang ke sini.”
“Bagaimana kau tahu?” 
Alisha tersenyum. “Aku kenal suara mesin pemetik teh mereka,” Alisha merapatkan sweaternya, “dan sedikit membayangkan garis wajah mereka,” lanjutnya pelan seiring memudarnya senyum di bibirnya.
“Aku Rahardian.”
Alisa mengangguk sambil tersenyum. Mengabaikan uluran tangan lelaki itu, “Alisha,” jawabnya singkat.
* * * *
Sejak pagi itu ada yang sedikit berubah. Alisha harus berbaik hati menggeser duduknya karena ada seseorang yang juga ingin menyaksikan matahari di atas batu hitam besar itu.  Ada harmoni lain yang didengarnya selain desau angin, cericit pipit, dan daun-daun teh yang berdansa, yakni detak jantung lelaki itu. Mereka jarang bicara. Menyaksikan matahari terbit adalah sebuah ritual magis bagi keduanya. Mereka seolah telah menyepakati sebuah perjanjian untuk menjemput matahari dengan cara masing-masing. Anehnya, diam adalah cara yang sama-sama mereka pilih hingga matahari menghangatkan wajah. Itu artinya sudah waktunya untuk meninggalkan batu hitam besar itu.
“Jangan lakukan itu,” Alisha menepiskan tangan Rahardian saat lelaki itu melambaikan tangannya tepat di depan wajah Alisha.
“Bagaimana kau tahu?” Alis lelaki itu berkerut. Ia merangkul kedua tungkainya.
Alisha terkekeh. “Aku tahu. Ada yang menghalangi cahaya matahari di pipiku.”
Rahardian mengangguk. “Apalagi yang kau suka dari tempat ini?”
“Ini kampungku. Aku mengenal setiap jengkal tempat ini. Aku mengenal mataharinya, bukit-bukit yang memagarinya, cemaranya, daun-daun tehnya, gemericik air yang mengalir deras dari Gunung Dempo dan bersatu di Sungai Lematang. Aku mengenal semua tempat ini sebaik aku mengenal diriku sendiri.
Rahardian mengangguk. “Tahukah kau warna mentari?”
Alisa menggeleng sambil tersenyum. Wajahnya bertatapan lurus dengan Rahardian. “Aku tahu. Matahari di sana orange kemerahaan saat langit mulai retak, perlahan-lahan ia akan kuning keemasan lalu membulat. Ia muncul dari bukit di depan sana,” Alisha menunjuk sebuah bukit di depan mereka, “seolah-olah ia bersembunyi di sana semalaman.”
Rahardian terpesona. Ada yang berteriak BINGO di kepalanya. Apa yang diuraikan Alisha sama persis seperti apa yang mereka nikmati selama sebulan terakhir—bersama-sama di atas batu besar hitam.
* * * *
“Kau sakit?” Alisha langsung menodongkan pertanyaannya saat ia mendengar jejak kaki di dekatnya.
“Bagaimana kau tahu bahwa aku yang ada di dekat batu ini?”
Alisha tersenyum. “Kau lupa bahwa kau memiliki teman yang memiliki radar di telinganya?”
Keduanya terkekeh.
Seminggu penuh Rahardian tak muncul untuk menyaksikan matahari terbit. Namun, Alisha tak pernah absen. Ia selalu datang dan memanjat batu hitam besar itu untuk menyaksikan matahari. Sebagian hatinya pernah bertanya tentang kepergian Rahardian. Namun, Alisha tak tahu harus mencari jawaban ke mana. Satu hal yang ia yakini, cepat atau lambat Rahardian akan kembali memanjat batu hitam besar itu dan duduk bersamanya untuk menjemput matahari. Ia yakin bahwa setiap orang akan jatuh cinta dengan matahari yang terbit dari balik Bukit Barisan. Tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta pada kolaborasi antara langit, kabut, dan matahari kuning emas di kaki Gunung Dempo.
“Ada yang aneh,” ujar Alisha saat matahari sudah terasa hangat di pipinya—saatnya mereka beranjak dari batu hitam besar itu.
“Apa?”  Rahardian mengulurkan tangan untuk membantu Alisha turun.
“Detak jantungmu.”
“Benarkah?” Rahardian menautkan alisnya.
Alisha mengangguk. Aku merasa ritme jantungmu sedikit berbeda juga tarikan napasmu.”
“Kau pernah memeriksaku dengan stetoskop tanpa sepengetahuanku?”
Alisha menggeleng. Ia tersenyum dan melangkah mendahului Rahardian. Mereka menyusuri jalan setapak di antara rumpun-rumpun teh. “Telingaku lebih sensitif daripada stetoskop canggih milik para dokter dari kota itu.”
Rahardian mengangguk. Mau tidak mau ia harus mengakui kelebihan gadis itu.
“Boleh aku bertanya sesuatu?”
Alisha mengangguk. Mereka berjalan bersisian.
“Sejak kapan kau..em… um…  buta, Alisha?” Rahardian bertanya ragu.
“Sejak usiaku empat tahun,” jawab Alisha lugas tanpa merasa tersinggung sedikit pun atas pertanyaan itu. “Ada virus yang menyerang mataku dan terlambat untuk diobati secara medis.”
“Kau ingin dapat melihat lagi?”
Alisha berhenti melangkah. Ia menoleh dan menatap lurus wajah Rahardian. “Dulu… dulu sekali. Namun, sekarang dengan atau tanpa memiliki mata, aku tetap dapat menikmati keindahan alam. Bahkan, tanpa kedua mata ini, aku lebih peka pada keindahan yang sering kali terabaikan dan dianggap tidak penting.”
Rahardian mengangguk.  “Maafkan aku, Alisha,” bisiknya lirih.
Alisha tersenyum, “Tak perlu minta maaf. Aku tidak merasa ada yang salah dengan pertanyaanmu itu. Bukankah kita teman?”
Rahardian mengangguk. Ia tersenyum lalu meraih jemari Alisha. Ia memerangkap jemari lentik itu dalam genggamannya. Mereka berjalan bersisian.
“Kau baik-baik saja?”
Rahardian mengangguk. Namun, ada nyeri di dadanya yang ia coba kendalikan. “Ada yang ingin kuberi tahu padamu.”
“Apa?” tanya Alisha tanpa menghentikan langkahnya.
“Kau cantik!”
Pipi Alisha memerah. “Aku tidak tahu,” jawabnya singkat.
“Kau bahagia?”
Alisha mengangguk. “Apa yang kau rasakan?”
Rahardian menatap jemari mereka yang bergenggaman. “Sepi.”
“Mengapa?”
“Ya, sepi. Sepi itu seperti saat ini. Sepi itu adalah kau bercerita dan tertawa sambil menggenggam jemariku, tapi tak kutemukan rindu di matamu.”
Alisha tertunduk sesaat kemudian ia mencoba tersenyum. “Kau tahu aku punya keterbatasan. Biarkan aku yang menemukan kerinduan di matamu. Rinduku kusimpan di sini,” Alisha menunjuk dada Rahardian dengan telunjuknya.
* * * *
Mamak memeluk Alisha dengan erat. Ia menangis terisak. “Cepatlah Alisha, sudah ada donor mata untukmu. Kita ke rumah sakit sekarang.”
Alisha tak sempat bertanya apa pun sebab mamak dan beberapa kerabatnya yang lain telah menyeretnya memasuki mobil carteran menuju rumah sakit. Penumpang mobil itu terlalu riuh oleh rasa gembira yang membuncah karena akhirnya setelah menunggu bertahun-tahun mereka menemukan pendonor untuk mata Alisha. Gadis itu ingin bertanya, tetapi semua orang lebih ingin merayakan kegembiraan ini daripada meladeni pertanyaannya yang pasti butuh penjelasan panjang.
Tiba-tiba, penantian selama bertahun-tahun tentang seorang pendonor mata untuknya usai dalam waktu lebih singkat dari sebuah mimpi. Mereka ke rumah sakit, observasi singkat, lalu operasi dilaksanakan. Singkat sekali. Setelah seminggu masa pemulihan, kamar Alisha dipenuhi kerabatnya dan tim medis. Mereka harap-harap cemas menantikan hasil operasi Alisha. Perban di mata Alisha akan di buka. Ia sungguh cemas. Namun, diam-diam ia telah menguatkan hatinya jika ternyata operasi itu gagal. Ia berjanji tak akan marah atau menangis. Bukankah selama bertahun-tahun ia sudah terbiasa dengan gelap. Tak jadi soal jika Tuhan masih memintanya untuk tetap tenang menikmati kegelapan sekali lagi.
Alisha membuka matanya perlahan. Awalnya, semua tampak samar dan menyilaukan. Dokter mengingatkannya untuk mengerjapkan matanya pelan-pelan. Lama kelamaan bayangan di depannya semakin jelas. Namun, ia tak mengenali seorang pun. Barulah ia bisa mengenal satu persatu orang-orang yang berkumpul itu setelah mereka bicara sebab selama bertahun-tahun Alisha hanya mengenal suara mereka. Ini adalah kali pertama ia melihat wajah para kerabatnya.
* * * *
Ini minggu ke tiga setelah operasi matanya. Alisha duduk sendiri setiap pagi di batu hitam besar yang terdapat di tengah-tengah kebun teh. Tiga minggu terakhir ini, ia menatap matahari kuning emas yang muncul malu-malu dari balik Bukit Barisan dengan kedua matanya. Ia bisa melihat burung-burung yang selama ini hanya ia kenali suaranya. Namun, sungguh, ia teramat ingin melihat wajah seseorang yang biasa duduk bersamanya di batu besar itu. Sudah tiga minggu berlalu, Rahardian belum juga menampakkan batang hidungnya.
Di akhir minggu ketiga itu, seseorang datang menemuinya di batu hitam besar itu. Namun, sayang, saat Alisha mendengar suaranya, ia yakin lelaki itu bukanlah Rahardian. Tebakannya benar karena lelaki itu tidak datang untuk menyaksikan matahari merayapi kaki langit bersamanya. Lelaki itu datang hanya untuk mengantarkan sebuah surat untuk Alisha.
Kaki Gunung Dempo, Penghujung 2012
Sungguh, menghabiskan waktu di kaki Gunung Dempo yang dikelilingi Bukit Barisan adalah hal terindah dalam hidupku. Sungguh indah karena di sana aku mengenalmu. Semakin indah karena aku semakin semangat menjemput matahari bersamamu. Namun, apalah artinya semangat yang kumiliki untuk menatap matahari setiap pagi jika ada sesuatu yang menggerogoti jantungku dan siap mematahkan langkahku menuju batu hitam besar itu.
Alisha… saat ini kuharap kau akan menyetujui kata-kataku dulu—Kau cantik. Kini kau pasti sudah bisa melihat bayanganmu sendiri di cermin dan di beningnya air Sungai Lematang. Kau sama cantiknya dengan matahari yang biasa kita jemput itu. Melihatmu dan melihat matahari kuning keemasan itu adalah alasan terbesarku datang ke batu hitam besar itu setiap pagi.
Alisha… kini kau tak perlu membaca dengan jemarimu. Kau sudah bisa membaca seperti gadis normal lainnya, dengan matamu. Semoga suratku adalah tulisan tangan pertama yang kau baca. Saat kau baca surat ini, aku yakin aku sudah tak ada lagi, Alisha. Surat ini adalah pertemuan terakhir kita. Aku tak akan pernah lagi menyaksikan matahari memanjat Bukit Barisan. Aku tak bisa memberimu kenangan apa pun sebagai tanda perpisahan kita. Kuberikan kedua bola mataku untukmu Alisha…

Sampai di sini, Alisha meremas surat itu. Air matanya runtuh.

Aku sangat ingin kau dapat melihat matahari merah seperti yang pernah kulihat. Aku sangat ingin kau dapat melihat hijaunya permadani hamparan daun teh di kaki Gunung Dempo seperti yang selalu kunikmati setiap pagi bersamamu dulu. Satu lagi, aku ingin kau dapat melihat prasasti namamu dan namaku di batu besar hitam yang biasa kita duduki.

Alisha tergugu.
“Bodoh! Kau selamanya melihat matahari merah, Rahardian. Kau selamanya selalu menyaksikan hamparan daun teh itu. Kau juga selamanya akan membaca berbagai tulisan tangan lainnya karena hari ini tetap yang bekerja untukku adalah mata pemberianmu. Bodoh! Kau bodoh, Rahardian!”
Air mata Alisha runtuh. Ia meraba permukaan batu besar yang biasa mereka duduki. Ia membaca dengan jemarinya ukiran nama yang dibuat Rahardian. Entah kapan ia membuatnya.
“Matahari… kau tahu, aku akan dipenuhi bongkahan kerinduan. Mata ini dipenuhi kerinduan untuk menatapnya. Mata ini juga yang dulu dipenuhi kerinduannya untuk menatapku. Kini, akan ada bongkahan keriduan baru di hatiku. Rindu untuk mendengar detak jantungnya. Lagi.”
* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar