Seperti biasa, setiap
pagi Alisha telah duduk di atas batu besar yang mencuat di tengah-tengah kebun
teh yang menghijau di kaki Dempo. Ia tak butuh senter atau lentera untuk
menerangi langkahnya menyusuri jalan setapak menuju batu hitam besar itu karena
ia sudah terbiasa dengan gelap. Ia pun tak butuh teman untuk menuntun
langkahnya karena sudah begitu terbiasa sendiri. Ia bahkan tak butuh tangga
untuk memanjat batu bulat besar setinggi kepalanya itu. Kaki-kakinya sudah
sangat terlatih mencari pijakan untuk memanjat batu besar itu. Di atas batu
besar itu, berbalut sweater tebal dan syal yang melingkar di leher, ia
menyaksikan langit perlahan merekah dengan cahaya keemasan. Di atas batu besar
itu, ia selalu menunggu matahari menghangatkan wajahnya dan membiarkan angin
menerbangkan helai-helai rambutnya.
“Ah… aku kalah lagi.”
Alisha terkejut saat
tiba-tiba ada suara laki-laki di dekatnya. Hari tentu masih gelap sebab Alisha
belum merasakan sengatan cahaya di wajahnya. Tak ada pula cicit pipit di
sekitarnya. Ia menebak-nebak, siapa pula yang pagi-pagi begini berniat
menyabotase kemesraannya dengan matahari. Ia menoleh mencari sumber suara,
tetapi tak berniat bertanya sepatah kata pun.
“Padahal aku sudah
merencanakan hendak menyaksikan sunrise dari
batu besar ini. Tampaknya aku bangun kalah pagi darimu.” Laki-laki itu
terkekeh.
Alisha hanya tersenyum
singkat padanya. Lalu kembali memalingkan wajahnya, seolah tak hendak
kehilangan momen sedetik pun untuk menyaksikan matahari memanjat kaki langit
dari balik Bukit Barisan yang berjajar di depannya. Meskipun setiap hari
menyaksikan matahari merayap naik, Alisha tak juga bosan menatap rekahan
cakrawala kuning keemasan di seberang sana. Meskipun yang dilihatnya adalah
matahari yang sama seperti ribuan tahun lalu, Alisha tak pernah bosan menanti
kedatangannya.
Alisha tahu, lak-laki
itu ada di dekatnya. Ia bersandar di batu besar hitam yang di atasnya Alisha
duduk mematung. “Kau tidak bangun kesiangan. Hanya saja, matahari itu tidak
pernah tidur sehingga sering kali sepertinya ia terlalu cepat datang. Lihat
saja, belum ada seorang pun pemetik teh yang datang ke sini.”
“Bagaimana kau
tahu?”
Alisha tersenyum. “Aku
kenal suara mesin pemetik teh mereka,” Alisha merapatkan sweaternya, “dan
sedikit membayangkan garis wajah mereka,” lanjutnya pelan seiring memudarnya
senyum di bibirnya.
“Aku Rahardian.”
Alisa mengangguk sambil
tersenyum. Mengabaikan uluran tangan lelaki itu, “Alisha,” jawabnya singkat.
* * * *
Sejak pagi itu ada yang
sedikit berubah. Alisha harus berbaik hati menggeser duduknya karena ada
seseorang yang juga ingin menyaksikan matahari di atas batu hitam besar itu. Ada harmoni lain yang didengarnya selain desau
angin, cericit pipit, dan daun-daun teh yang berdansa, yakni detak jantung
lelaki itu. Mereka jarang bicara. Menyaksikan matahari terbit adalah sebuah
ritual magis bagi keduanya. Mereka seolah telah menyepakati sebuah perjanjian
untuk menjemput matahari dengan cara masing-masing. Anehnya, diam adalah cara
yang sama-sama mereka pilih hingga matahari menghangatkan wajah. Itu artinya
sudah waktunya untuk meninggalkan batu hitam besar itu.
“Jangan lakukan itu,”
Alisha menepiskan tangan Rahardian saat lelaki itu melambaikan tangannya tepat
di depan wajah Alisha.
“Bagaimana kau tahu?”
Alis lelaki itu berkerut. Ia merangkul kedua tungkainya.
Alisha terkekeh. “Aku
tahu. Ada yang menghalangi cahaya matahari di pipiku.”
Rahardian mengangguk.
“Apalagi yang kau suka dari tempat ini?”
“Ini kampungku. Aku
mengenal setiap jengkal tempat ini. Aku mengenal mataharinya, bukit-bukit yang
memagarinya, cemaranya, daun-daun tehnya, gemericik air yang mengalir deras
dari Gunung Dempo dan bersatu di Sungai Lematang. Aku mengenal semua tempat ini
sebaik aku mengenal diriku sendiri.
Rahardian mengangguk.
“Tahukah kau warna mentari?”
Alisa menggeleng sambil
tersenyum. Wajahnya bertatapan lurus dengan Rahardian. “Aku tahu. Matahari di
sana orange kemerahaan saat langit
mulai retak, perlahan-lahan ia akan kuning keemasan lalu membulat. Ia muncul
dari bukit di depan sana,” Alisha menunjuk sebuah bukit di depan mereka,
“seolah-olah ia bersembunyi di sana semalaman.”
Rahardian terpesona.
Ada yang berteriak BINGO di
kepalanya. Apa yang diuraikan Alisha sama persis seperti apa yang mereka
nikmati selama sebulan terakhir—bersama-sama di atas batu besar hitam.
* * * *
“Kau sakit?” Alisha
langsung menodongkan pertanyaannya saat ia mendengar jejak kaki di dekatnya.
“Bagaimana kau tahu
bahwa aku yang ada di dekat batu ini?”
Alisha tersenyum. “Kau
lupa bahwa kau memiliki teman yang memiliki radar di telinganya?”
Keduanya terkekeh.
Seminggu penuh
Rahardian tak muncul untuk menyaksikan matahari terbit. Namun, Alisha tak
pernah absen. Ia selalu datang dan memanjat batu hitam besar itu untuk
menyaksikan matahari. Sebagian hatinya pernah bertanya tentang kepergian
Rahardian. Namun, Alisha tak tahu harus mencari jawaban ke mana. Satu hal yang
ia yakini, cepat atau lambat Rahardian akan kembali memanjat batu hitam besar
itu dan duduk bersamanya untuk menjemput matahari. Ia yakin bahwa setiap orang
akan jatuh cinta dengan matahari yang terbit dari balik Bukit Barisan. Tak ada
alasan untuk tidak jatuh cinta pada kolaborasi antara langit, kabut, dan
matahari kuning emas di kaki Gunung Dempo.
“Ada yang aneh,” ujar
Alisha saat matahari sudah terasa hangat di pipinya—saatnya mereka beranjak
dari batu hitam besar itu.
“Apa?” Rahardian mengulurkan tangan untuk membantu
Alisha turun.
“Detak jantungmu.”
“Benarkah?” Rahardian
menautkan alisnya.
Alisha mengangguk. Aku
merasa ritme jantungmu sedikit berbeda juga tarikan napasmu.”
“Kau pernah memeriksaku
dengan stetoskop tanpa sepengetahuanku?”
Alisha menggeleng. Ia
tersenyum dan melangkah mendahului Rahardian. Mereka menyusuri jalan setapak di
antara rumpun-rumpun teh. “Telingaku lebih sensitif daripada stetoskop canggih
milik para dokter dari kota itu.”
Rahardian mengangguk.
Mau tidak mau ia harus mengakui kelebihan gadis itu.
“Boleh aku bertanya
sesuatu?”
Alisha mengangguk.
Mereka berjalan bersisian.
“Sejak kapan kau..em…
um… buta, Alisha?” Rahardian bertanya
ragu.
“Sejak usiaku empat
tahun,” jawab Alisha lugas tanpa merasa tersinggung sedikit pun atas pertanyaan
itu. “Ada virus yang menyerang mataku dan terlambat untuk diobati secara
medis.”
“Kau ingin dapat
melihat lagi?”
Alisha berhenti
melangkah. Ia menoleh dan menatap lurus wajah Rahardian. “Dulu… dulu sekali.
Namun, sekarang dengan atau tanpa memiliki mata, aku tetap dapat menikmati
keindahan alam. Bahkan, tanpa kedua mata ini, aku lebih peka pada keindahan
yang sering kali terabaikan dan dianggap tidak penting.”
Rahardian
mengangguk. “Maafkan aku, Alisha,”
bisiknya lirih.
Alisha tersenyum, “Tak
perlu minta maaf. Aku tidak merasa ada yang salah dengan pertanyaanmu itu.
Bukankah kita teman?”
Rahardian mengangguk.
Ia tersenyum lalu meraih jemari Alisha. Ia memerangkap jemari lentik itu dalam
genggamannya. Mereka berjalan bersisian.
“Kau baik-baik saja?”
Rahardian mengangguk.
Namun, ada nyeri di dadanya yang ia coba kendalikan. “Ada yang ingin kuberi
tahu padamu.”
“Apa?” tanya Alisha
tanpa menghentikan langkahnya.
“Kau cantik!”
Pipi Alisha memerah.
“Aku tidak tahu,” jawabnya singkat.
“Kau bahagia?”
Alisha mengangguk. “Apa
yang kau rasakan?”
Rahardian menatap
jemari mereka yang bergenggaman. “Sepi.”
“Mengapa?”
“Ya, sepi. Sepi itu
seperti saat ini. Sepi itu adalah kau bercerita dan tertawa sambil menggenggam
jemariku, tapi tak kutemukan rindu di matamu.”
Alisha tertunduk sesaat
kemudian ia mencoba tersenyum. “Kau tahu aku punya keterbatasan. Biarkan aku
yang menemukan kerinduan di matamu. Rinduku kusimpan di sini,” Alisha menunjuk
dada Rahardian dengan telunjuknya.
* * * *
Mamak memeluk Alisha
dengan erat. Ia menangis terisak. “Cepatlah Alisha, sudah ada donor mata
untukmu. Kita ke rumah sakit sekarang.”
Alisha tak sempat
bertanya apa pun sebab mamak dan beberapa kerabatnya yang lain telah
menyeretnya memasuki mobil carteran menuju rumah sakit. Penumpang mobil itu
terlalu riuh oleh rasa gembira yang membuncah karena akhirnya setelah menunggu
bertahun-tahun mereka menemukan pendonor untuk mata Alisha. Gadis itu ingin
bertanya, tetapi semua orang lebih ingin merayakan kegembiraan ini daripada
meladeni pertanyaannya yang pasti butuh penjelasan panjang.
Tiba-tiba, penantian
selama bertahun-tahun tentang seorang pendonor mata untuknya usai dalam waktu
lebih singkat dari sebuah mimpi. Mereka ke rumah sakit, observasi singkat, lalu
operasi dilaksanakan. Singkat sekali. Setelah seminggu masa pemulihan, kamar
Alisha dipenuhi kerabatnya dan tim medis. Mereka harap-harap cemas menantikan
hasil operasi Alisha. Perban di mata Alisha akan di buka. Ia sungguh cemas.
Namun, diam-diam ia telah menguatkan hatinya jika ternyata operasi itu gagal.
Ia berjanji tak akan marah atau menangis. Bukankah selama bertahun-tahun ia
sudah terbiasa dengan gelap. Tak jadi soal jika Tuhan masih memintanya untuk
tetap tenang menikmati kegelapan sekali lagi.
Alisha membuka matanya
perlahan. Awalnya, semua tampak samar dan menyilaukan. Dokter mengingatkannya
untuk mengerjapkan matanya pelan-pelan. Lama kelamaan bayangan di depannya
semakin jelas. Namun, ia tak mengenali seorang pun. Barulah ia bisa mengenal
satu persatu orang-orang yang berkumpul itu setelah mereka bicara sebab selama
bertahun-tahun Alisha hanya mengenal suara mereka. Ini adalah kali pertama ia
melihat wajah para kerabatnya.
* * * *
Ini minggu ke tiga
setelah operasi matanya. Alisha duduk sendiri setiap pagi di batu hitam besar yang
terdapat di tengah-tengah kebun teh. Tiga minggu terakhir ini, ia menatap
matahari kuning emas yang muncul malu-malu dari balik Bukit Barisan dengan
kedua matanya. Ia bisa melihat burung-burung yang selama ini hanya ia kenali
suaranya. Namun, sungguh, ia teramat ingin melihat wajah seseorang yang biasa
duduk bersamanya di batu besar itu. Sudah tiga minggu berlalu, Rahardian belum
juga menampakkan batang hidungnya.
Di akhir minggu ketiga
itu, seseorang datang menemuinya di batu hitam besar itu. Namun, sayang, saat
Alisha mendengar suaranya, ia yakin lelaki itu bukanlah Rahardian. Tebakannya
benar karena lelaki itu tidak datang untuk menyaksikan matahari merayapi kaki
langit bersamanya. Lelaki itu datang hanya untuk mengantarkan sebuah surat
untuk Alisha.
Kaki Gunung Dempo, Penghujung
2012
Sungguh, menghabiskan waktu di
kaki Gunung Dempo yang dikelilingi Bukit Barisan adalah hal terindah dalam
hidupku. Sungguh indah karena di sana aku mengenalmu. Semakin indah karena aku
semakin semangat menjemput matahari bersamamu. Namun, apalah artinya semangat
yang kumiliki untuk menatap matahari setiap pagi jika ada sesuatu yang
menggerogoti jantungku dan siap mematahkan langkahku menuju batu hitam besar
itu.
Alisha… saat ini kuharap kau akan
menyetujui kata-kataku dulu—Kau cantik. Kini kau pasti sudah bisa melihat
bayanganmu sendiri di cermin dan di beningnya air Sungai Lematang. Kau sama
cantiknya dengan matahari yang biasa kita jemput itu. Melihatmu dan melihat
matahari kuning keemasan itu adalah alasan terbesarku datang ke batu hitam
besar itu setiap pagi.
Alisha… kini kau tak perlu
membaca dengan jemarimu. Kau sudah bisa membaca seperti gadis normal lainnya,
dengan matamu. Semoga suratku adalah tulisan tangan pertama yang kau baca. Saat
kau baca surat ini, aku yakin aku sudah tak ada lagi, Alisha. Surat ini adalah
pertemuan terakhir kita. Aku tak akan pernah lagi menyaksikan matahari memanjat
Bukit Barisan. Aku tak bisa memberimu kenangan apa pun sebagai tanda perpisahan
kita. Kuberikan kedua bola mataku untukmu Alisha…
Sampai di sini, Alisha
meremas surat itu. Air matanya runtuh.
Aku
sangat ingin kau dapat melihat matahari merah seperti yang pernah kulihat. Aku
sangat ingin kau dapat melihat hijaunya permadani hamparan daun teh di kaki
Gunung Dempo seperti yang selalu kunikmati setiap pagi bersamamu dulu. Satu
lagi, aku ingin kau dapat melihat prasasti namamu dan namaku di batu besar
hitam yang biasa kita duduki.
Alisha tergugu.
“Bodoh! Kau selamanya
melihat matahari merah, Rahardian. Kau selamanya selalu menyaksikan hamparan
daun teh itu. Kau juga selamanya akan membaca berbagai tulisan tangan lainnya
karena hari ini tetap yang bekerja untukku adalah mata pemberianmu. Bodoh! Kau
bodoh, Rahardian!”
Air mata Alisha runtuh.
Ia meraba permukaan batu besar yang biasa mereka duduki. Ia membaca dengan
jemarinya ukiran nama yang dibuat Rahardian. Entah kapan ia membuatnya.
“Matahari… kau tahu,
aku akan dipenuhi bongkahan kerinduan. Mata ini dipenuhi kerinduan untuk
menatapnya. Mata ini juga yang dulu dipenuhi kerinduannya untuk menatapku.
Kini, akan ada bongkahan keriduan baru di hatiku. Rindu untuk mendengar detak
jantungnya. Lagi.”
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar